Gunung Djati Conference Series, Volume 19 (2023)
CISS 4th: Islamic Studies Across Different Perspective:
Trends, Challenges and Innovation
ISSN: 2774-6585
Website: https://conferences.uinsgd.ac.id/gdcs
Hakikat Penyucian Jiwa (Tazkiyat An-Nafs) dalam Perspektif
Al-Ghazali
Lita Fauzi Hanafani1, Radea Yuli A. Hambali2
1,2 Program Studi Akidah dan Filsafat Islam, Fakultas Ushuluddin
UIN Sunan Gunung Djati Bandung
[email protected],
[email protected] Abstract
This study aims to discuss the nature of purification of the soul
(tazkiyat an-nafs) from Al-Ghazali's perspective. The research
method used is a qualitative type through literature study. The
results and discussion of this study are that there are two natures
of soul purification according to Al-Ghazali, namely: first,
cleansing the soul of all reprehensible qualities which in essence
is to get rid of all liver disease. Second, decorate the soul with
various praiseworthy qualities that are blessed by Allah swt.
This study concludes that Al-Ghazali is one of the philosophers
who discusses tazkiyatun nafs. tazkiyatun nafs according to Al-
Ghazali is a process to cleanse the human soul from various
impurities both externally and spiritually. As disclosed by
Jaelani who quoted him in the book Bidayatul Hidayah that Al-
Ghazali has defined that tazkiyatun nafs is an effort to purify
oneself from self-praise. For the essence of soul purification
according to Al-Ghazali there are two, namely: first, cleansing
the soul of all reprehensible qualities, which in essence is to get
rid of all heart ailments. secondly decorate the soul with various
commendable qualities that are blessed by Allah swt. To achieve
this, it is necessary to have a method including 1 takhalli, 2.
Tahalli and 3. Tajalli.
Keywords: Al-Ghazali; Soul; Tazkiyat an-nafs
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk membahas hakikat penyucian
jiwa (tazkiyat an-nafs) dalam perspektif Al-Ghazali. Metode
penelitian yang digunakan adalah jenis kualitatif melalui studi
pustaka. Hasil dan pembahasan penelitian ini adalah ada dua
hakikat penyucian jiwa menurut Al-Ghazali yaitu : pertama,
membersihkan jiwa dari segala sifat-sifat yang tercela yang pada
Copyright © 2023 The Authors. Published by Gunung Djati Conference Series
This is an open access article distributed under the CC BY 4.0 license -
https://creativecommons.org/licenses/by/4.0/
530
Gunung Djati Conference Series, Volume 19 (2022)
CISS 4th: Islamic Studies Across Different Perspective:
Trends, Challenges and Innovation
ISSN: 2774-6585
Website: https://conferences.uinsgd.ac.id/gdcs
intinya adalah untuk membuang seluruh penyakit hati. Kedua,
menghiasi jiwa dengan berbagai sifat-sifat terpuji yang di ridhoi
oleh Allah swt. penelitian ini menyimpulkan bahwa Al-Ghazali
adalah salah satu filsuf yang membahas tentang tazkiyatun nafs.
tazkiyatun nafs menurut Al-Ghazali ialah sebuah proses untuk
membersihkan jiwa manusia dari berbagai kotoran baik yang
bersifat lahir maupun batin. Sebagaimana yang diungkapkan
oleh Jaelani yang dikutipnya dalam kitab Bidayatul Hidayah
bahwasanya Al-Ghazali telah mendefinisikan bahwa tazkiyatun
nafs itu adalah usaha menyucikan diri dari sifat-sifat memuji diri
sendiri. Untuk hakikat penyucian jiwa menurut Al-Ghazali ada
dua yaitu : pertama, membersihkan jiwa dari segala sifat-sifat
yang tercela, yang pada intinya adalah untuk membuang
seluruh penyakit hati. kedua menghiasi jiwa dengan berbagai
sifat-sifat terpuji yang diridhoi Allah swt. Untuk mencapai ini
semua diperlukan adanya sebuah metode-metode diantaranya 1
takhalli, 2. Tahalli dan 3. Tajalli.
Kata Kunci: Al-Ghazali; Jiwa; Tazkiyat an-nafs
Pendahuluan
Makhluk ciptaan Allah swt yang paling sempurna yang diberikan
berbagai kelebihan diantara semua makhluknya adalah manusia. Salah
satu kelebihannya ia memiliki dimensi spiritual, dimensi ini merupakan
dimensi malakuti yang dalam kajian filsafat disebut dengan ruh / jiwa
(nafs). Jiwa adalah perangkat untuk mendekatkan diri terhadap Tuhan
(Allah swt), Namun jiwa ini tidak selamanya dalam keadaan suci,
terkadang terpengaruh oleh godaan dan gangguan yang merujuk pada
kebimbangan yang menyebabkan seseorang melakukan kejahatan,
kemungkaran dan perbutan-perbutan yang tidak diridhai Tuhan (Allah
swt), hal ini akan membuatnya jauh dan terhalang dari rahmat Allah swt
karena jiwanya yang kotor tersebut. Oleh karena itu, sangatlah penting
untuk dikaji secara lebih mendalam terkait hakikat penyucian jiwa (tazkiyat
an-nafs), agar setiap orang khususnya orang yang beriman tidak selamanya
terjerumus dalam kebatilan dan yang paling utama tidak jauh dari rahmat
Tuhan (Allah swt) yang maha Rahman (Siti Mutholingah, 2021).
Beberapa penelitian terdahulu yang telah membahas mengenai tema
ini di antaranya ialah artikel yang ditulis Siti Mutholingah (2021). “Metode
Penyucian Jiwa (Tazkiyah Al-nafs) dan Implikasimya bagi Pendidikan
Agama Islam” yang diterbitkan oleh Ta’limuna Vol.No.10. Instansi STAI
Copyright © 2023 The Authors. Published by Gunung Djati Conference Series
This is an open access article distributed under the CC BY 4.0 license -
https://creativecommons.org/licenses/by/4.0/
531
Gunung Djati Conference Series, Volume 19 (2022)
CISS 4th: Islamic Studies Across Different Perspective:
Trends, Challenges and Innovation
ISSN: 2774-6585
Website: https://conferences.uinsgd.ac.id/gdcs
Mahad Aly Al Hikmah Malang, artikel ini bertujuan untuk mengeksplorasi
metode penyucian dan kesehatan jiwa serta implikasinya terhadap
Pendidikan Agama Islam (PAI) dengan menggunakan metode kualitatif.
Teori yang digunakan penelitian ini ialah tazkiyah an-nafs. temuan
penelitian ini yaitu metode tazkiyah al-nafs erdiri dari 3 tahap yaitu (1)
membersihkan jiwa dari sifat-sifat tercela (takhall) (2) menghiasi jiwa
dengan sifat-sifat terpuji tahall dan (3) tersingkapnya tabir kepada Allah
SWT karena kondisi jiwa sudah suci (tajall). hasil dan pembahasan
penelitian ini ialah tazkiyah al-nafs ni berimplikasi terhadap pendidikan
agama islam yakni untuk menjadikan manusia yang beriman, bertaqwa,
serta berakhlak mulia diperlukan adanya proses penyucian jiwa (tazkiyah
al-nafs). Penelitian ini menyimpulkan bahwa apabila kondisi jiwa peserta
didik sudah bersih, suci dan sehat maka jiwa peserta didik ini akan lebih
mudah menerima, memahami, dan mengamalkan ajaran-ajaran Islam serta
lebih mudah menerima bimbingan dari pendidik untuk mencapai
tujuannya sebagai abdullah sekaligus sebagai khalifatullah (Siti
Mutholingah, 2021).
Artikel yang ditulis Nur Zainatul Nadra Zainol (2019), “Model
Tahaqquh dalam Tazkiyah Al-Nafs oleh Said Hawwa bagi Merawat Jiwa
Muslim” yang diterbitkan oleh Perada : Jurnal Studi Islam Kawasan
Melayu (E) Volume 2 Nomor 2. Istansi Institut Ahli Sunnah wal Jamaah,
Universitas Tun Hussein Onn Malaysia Johor, artikel ini bertujuan untuk
menganalisis pendekatan tahaqquq yang diketengahkan oleh Syeikh Sa’id
Hawwa dalam kaedah tazkiyah al-nafs, dengan menggunakan metode
kualitatif dengan reka bentuk analisis kandungan. Teori yang digunakan
penelitian ini ialah tazkiyat an-nafs. Penelitian ini menyimpulkan bahwa
Sheikh Said Hawwa telah mengetengahkan proses dan peringkat tahaqquq
dalam kaedah tazkiyah al-nafs yang berupaya mendidik jiwa manusia
supaya terhindar daripada ketidaksihatan mental dan kecelaruan jiwa
dengan sifat-sifat mazmumah. Kajian ini dapat menjelaskan model
komprehensif tahaqquq dalam kaedah penyucian jiwa berlandaskan al-
Quran dan al-sunnah (Zainol, 2019).
Artikel yang ditulis M Hafidz Khusnadi, Muhammad Yusuf, Dedi
Setiawan (2022), “Konsep Tazkiyat Al-Nafs Al-Ghozali Sebagai Metode
dalam Pendidikan Akhlak” yang diterbitkan oleh Indonesian journal of
Instructional Technology Volume 3, Nomer 1. instansi Institut Agama Islam
Maarif NU (IAIMNU) Metro Lampung, Indonesia. Artikel ini bertujuan
untuk mengeksplorasi konsep tazkiyat an-nafs Al-Ghazali sebagai metode
dalam pendidikan akhlak dengan menggunakan metode kualitatif. Teori
yang digunakan penelitian ini ialah tazkiyat an-nafs. Penelitian ini
menyimpulkan bahwa konsep tazkiyat al-nafs Al-Ghazali dalam pendidikan
Copyright © 2023 The Authors. Published by Gunung Djati Conference Series
This is an open access article distributed under the CC BY 4.0 license -
https://creativecommons.org/licenses/by/4.0/
532
Gunung Djati Conference Series, Volume 19 (2022)
CISS 4th: Islamic Studies Across Different Perspective:
Trends, Challenges and Innovation
ISSN: 2774-6585
Website: https://conferences.uinsgd.ac.id/gdcs
akhlak dengan mengunakan beberapa sarana yaitu tauhid, sholat, zakat
dan infak, puasa, membaca Al Quran, bertafakur, mengingat kematian,
muhasabah dan muqorobah zuhud dan taubat (Khusnadi et al., 2022).
Penelitian-penelitian yang telah dilakukan sangat berguna untuk
menyusun kerangka pemikiran dalam penelitian ini. Plato
mengidentifikasi nafs sebagai jauharruhani, dan jiwa mempunyai
kehidupan sendiri dalam alam fana yang tak bisa di indra sebelum
kehidupan ini tercipta sedangkan Aristoteles memahami jiwa itu sebagai
gambaran jisim. Bahkan menganggap jiwa sebagai gambaran dari mimpi,
bukan sekedar ilham Tuhan, Dewa atau segala sesuatu yang berbau
kedewa-an (divine) (Najati, 1993). Menurut al-Kindi, jiwa adalah jauhar basit
(tunggal, tidak tersusun, tidak panjang, dalam, dan lebar). Jiwa memiliki
ciri Ilahi sedangkan ruhani mempunyai arti sempurna dan juga mulia.
Al-nafs merupakan jauhar rohani, bersifat acciden terkait hubungannya
dengan tubuh. Al-nafs menyatu dengan tubuh, sehingga dapat melakukan
berbagai macam aktivitas, namun meskipun demikian tentu terdapat
perbedaan antara keduanya al-nafs kekal setelah mengalami kematian
(Salam & Huzain, 2020). Sedangkan penyucian jiwa atau tazkiyah al-nafs
bermakna sebuah proses pembersihan dari ruh yang sifatnya buruk (nafs
amârah dan nafslawâmah) dari dalam diri seseorang menuju kebaikan dan
ruh yang lebih baik (nafs mutmainah) dengan cara mengikuti dan
mengaplikasikan prinsip hukum Islam (Syariah) dalam kehidupan sehari-
hari (Siti Mutholingah, 2021).
Al-Ghazali memandang bahwa penyucian jiwa (tazkiyah an-nafs) itu
dapat dilakukan melalui proses takhalli (menghilangkan sifat-sifat tercela)
diiringi dengan melakukan sifat-sifat terpuji (tahalli). Tazkiyah al-nafs
memiliki makna yang mendalam yakni penyucian jiwa dari sifat-sifat
kebinatangan dan sifat-sifat setan, kemudian mengisi jiwa dengan akhlak
ketuhanan (rabbaniah). Tazkiyah al-nafs berusaha mengobati penyakit jiwa
(asqam al-nufus). Tazkiyah al-nafs ini sangat berkaitan dengan akhlak,
kejiwaan, dan dengan usaha mendekatkan diri kepada Allah. Tingkat
kedekatan (qurb), pengenalan (ma'rifah), dan kecintaan (mahabbah) manusia
terhadap-Nya akan didapatkan tergantung pada kesucian jiwa seseorang
(Fahrudin, 2014).
Penelitian ini menggunakan teori tazkiyat an-nafs dari seorang filsuf
yang bernama Al-Ghazali. Menurut Al-Ghazali, tazkiyat an-nafs merupakan
cara atau metode untuk menyucikan diri pada kehidupan seseorang dari
berbagai sifat memuji diri sendiri. Dasar dari pemikiran tazkiyah al-nafs
bermula dari keyakinan para sufi bahwa jiwa manusia pada fitrahnya
adalah suci, karena disebabkan oleh adanya pertentangan antara jiwa
dengan badan (keinginan nafsu) sehingga mengakibatkan jiwa ini tidak
Copyright © 2023 The Authors. Published by Gunung Djati Conference Series
This is an open access article distributed under the CC BY 4.0 license -
https://creativecommons.org/licenses/by/4.0/
533
Gunung Djati Conference Series, Volume 19 (2022)
CISS 4th: Islamic Studies Across Different Perspective:
Trends, Challenges and Innovation
ISSN: 2774-6585
Website: https://conferences.uinsgd.ac.id/gdcs
lagi suci bahkan tidak sehat. Dalam hubungannya dengan sifat-sifat jiwa
yang ada dalam diri manusia, tazkiyatun nafs menurut Al-Ghazali berarti
pembersihan diri dari sifat kebuasan, kebinatangan, dan setan yang
kemudian harus di isi dengan sifat-sifat ketuhanan dalam kehidupan
sehari-hari (Siti Mutholingah, 2021).
Berdasarkan paparan di atas penelitian ini berusaha menyusun
formula penelitian yaitu rumusan masalah, pernyataan dan tujuan
penelitian. Rumusan masalah penelitian ini adalah terdapat hakikat
penyucian jiwa (tazkiyah an-nafs) dalam perspektif Al-Ghazali. Pertanyaan
utama penelitian ini ialah bagaimana hakikat penyucian jiwa (tazkiyah an-
mafs) dalam perspektif Al-Ghazali. Penelitian ini bertujuan untuk
membahas hakikat penyucian jiwa (tazkiyah an-nafs) dalam perspektif Al-
Ghazali.
Metode Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode kualitatif dengan
cara melakukan penghimpunan data dari berbagai sumber yang bersifat
kepustakaan. Sumber kepustakaan tersebut meliputi buku-buku filsafat
yang membahas tentang jiwa, artikel-artikel jurnal terkait pokok
pembahasan yang meliputi jiwa khususnya tazkyat an-nafs, video dan lain
sebagainya. Selanjutnya, terkait data yang telah terhimpun dilakukanlah
analisis hasil temuan untuk menarik sebuah kesimpulan yang dianggap
paling relevan (Library, 2020). Sedangkan pendekatan yang digunakan
untuk menemukan hasil ialah hakikat penyucian jiwa dalam perspektif Al-
Ghazali.
Hasil dan Pembahasan
Hasil dan pembahasan di bawah ini:
1. Pengertian jiwa dalam pandangan filsuf Barat dan Muslim :
a) Plato
Plato mengemukakan bahwa jiwa ini berada diantara dua alam, yakni
alam yang bersifat luhur dan alam yang bersifat bawah. Dimana jika dilihat
dari alam yang bersifat luhur, jiwa ini merupakan gabungan dari kebaikan
dan keutamaan sedangkan. Sedangkan jika dilihat dari alam yang bersifat
bawah jiwa ini merupakan susunan dari syahwat dan juga kejelekan Plato
juga menyatakan bahwa jiwa tertinggi yang berakal adalah hikmah
(Fathuddin & Amir, 2016).
b) Aristoteles
Mengemukakan bahwa jiwa itu merupakan gambaran dari mimpi.
Selain itu, dia juga menganggap bahwa yang namanya mimpi adalah salah
Copyright © 2023 The Authors. Published by Gunung Djati Conference Series
This is an open access article distributed under the CC BY 4.0 license -
https://creativecommons.org/licenses/by/4.0/
534
Gunung Djati Conference Series, Volume 19 (2022)
CISS 4th: Islamic Studies Across Different Perspective:
Trends, Challenges and Innovation
ISSN: 2774-6585
Website: https://conferences.uinsgd.ac.id/gdcs
satu gambaran dari jiwa, tapi bukanlah hanya sekedar gambaran saja
melainkan juga sebagai Ilham Tuhan, dewa atau segala sesuatu yang
bersifat ketuhanan. Jiwa menurut Aristoteles juga diibaratkan sebagai inti
dari tubuh, jika tanpa adanya jiwa maka makhluk hidup tidak akan pernah
bisa menjalankan segala aktivitas kehidupannya secara maksimal. Karena
jika seandainya jiwa tersebut tidak pernah menyatu dengan tubuh maka
tubuh itu bisa disebuut telah mati (Kusuma, 2022).
c) Socrates
Socrates mengemukakan bahwa yang namanya jiwa adalah
perwujudan dari rohani yang sifatnya lepas (independen). Jika seandainya
wujud dari rohani tersebut ditiadakan maka akan menimbulkan
kebodohan, sehingga akan membuat pemikiran-pemikiran yang sifatnya
mandul serta rusak. Selain itu, Socrates juga mengemukakan bahwa jiwa
itu adalah intisari dari roh dan sesungguhnya yang dimaksud dengan jiwa
manusia itu adalah yang memiliki kedudukan tertinggi dalam kehidupan
seseorang, sebab tanpa adanya jiwa maka tubuh ini tidak bisa apa-apa
(mati)(Kusuma, 2022).
d) Mula sadra
Mula Sadra mengungkapkan bahwa jiwa itu merupakan pusat sebuah
kekuatan atau disebut juga dengan muara dari kekuatan tubuh, pikiran dan
juga hati. Dalam hal ini Mula Sadra mengandaikan jiwa itu bagaikan
nahkoda dan apapun selain jiwa termasuk semua komponen yang ada
dalam tubuh merupakan perahunya (Fathuddin & Amir, 2016).
e) Imam Ar-Razi
Imam Ar-Razi Mengemukakan bahwa nafs merupakan sesuatu yang
bersifat tunggal, dan manusia itu diibaratkan berdiri dalam dua keadaan.
Terkadang nafs ini dipahami oleh faktor luar sehingga kesuciannya itu
sebagai sesuatu yang tunggal yang akan mengalami perubahan jik
disandingkan dengan sesuatu yang lain. Contohnya seperti nafsu yang
buruk (nafsamarah). Amarah ini akan timbul jika seandainya ada faktor
luar yang mendorong untuk melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan
yang telah diperintahkan oleh Tuhan (Zainol, 2019).
f) Al-kindi
Al-Kindi memahami jiwa sebagai esensial yang sempurna bagi jisim.
Jisim tidak akan bisa melakukan fungsinya sama sekali jika tanpa adanya
jiwa sehingga hal ini akan menimbulkan kebinasaan pada jisim. selain itu,
menurutnya jiwa itu adalah Jauhar Basit (Jauhar tunggal, tidak memiliki
Copyright © 2023 The Authors. Published by Gunung Djati Conference Series
This is an open access article distributed under the CC BY 4.0 license -
https://creativecommons.org/licenses/by/4.0/
535
Gunung Djati Conference Series, Volume 19 (2022)
CISS 4th: Islamic Studies Across Different Perspective:
Trends, Challenges and Innovation
ISSN: 2774-6585
Website: https://conferences.uinsgd.ac.id/gdcs
susunan dan tidak memiliki ukuran antara panjang, lebar, tinggi dan
sebagainya) (Najati, 1993).
g) Ibnu Sina
Dari segi pemikirannya tentang jiwa, Ibnu Sina memiliki pandangan
yang sama dengan pandangan filsuf muslim yang bernama Al Farabi yakni
keduanya sama-sama memandang jiwa itu sebagai pancaran dari akal ke-
10. Selain itu, Ibnu Sina juga membagi jiwa ke dalam tiga tingkatan :
pertama, adanya jiwa tumbuh-tumbuhan dengan daya makan tumbuh,
dan juga berkembang biak. Kedua, adanya jiwa binatang hal ini di
dalamnya terdapat gerak, menangkap. Dalam segi menangkap pun terbagi
lagi menjadi dua, ada menangkap dari luar yang dilakukan dengan cara
menggunakan panca indra. Sedangkan untuk menangkap dari dalam
menggunakan indra-indra dalam juga. Untuk tinkatan yang ketiga adalah
jiwa manusia yang merupakan gabungan dari keduanya antara tumbuhan
dan juga binatang dalam hal ini disebut sebagai daya praktis (segala
hubungan yang dilakukan menggunakan badan), dan juga daya teoritis
(lakukan segala hubungan dengan menggunakan hal-hal yang bersifat
abstrak). sehingga dalam hal ini terciptalah beberapa tingkatan, ada
tingkatan akal material, akal malakat, akal aktual dan yang terakhir adalah
akal Mustafad.
Sehingga dari penjelasannya di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
Ibnu Sina mengemukakan yang dinamakan dengan nafs itu adalah
substansi (Jauhar) yang sama sekali bukan berbentuk materi dan bukan
pula berada dalam suatu materi tersebut. Jiwa itu merupakan perwujudan
rohani (material) yang tempatnya berada dalam tubuh manusia dan jiwa
tersebut dapat mengendalikan tubuh ini secara langsung oleh sebab itulah
terkadang jiwa ini sering disebut sebagai sebab hidup seseorang penggerak
dan juga pengendali tubuh (Siti Mutholingah, 2021).
2. Pengertian tazkiyatun nafs
Tazkiyatun nafs jika dilihat dari pengertian menurut bahasa,
merupakan asal kata dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kata yaitu
tazkiat dan an-nafs. kata tazkiyat memiliki makna membersihkan atau
menyucikan serta tumbuh atau berkembang. sedangkan untuk kata an-nafs
sendiri mengandung makna jiwa, diri, dan juga ego.
Abdul Aziz bin Muhammad Al Abdullah Latif Memandang
Tazkiyatun nafs itu sebagai upaya untuk memperbaiki dan membersihkan
hati (dari setiap perkara yang mengotorinya dengan melalui tahapan jalan
mempelajari ilmu yang bermanfaat dan melakukan segala perbuatan amal
saleh serta menjalankan semua perintah agama dan juga menjauhi segala
larangannya). Kemudian Muhammad Abduh memandang tazkiatun nafs
Copyright © 2023 The Authors. Published by Gunung Djati Conference Series
This is an open access article distributed under the CC BY 4.0 license -
https://creativecommons.org/licenses/by/4.0/
536
Gunung Djati Conference Series, Volume 19 (2022)
CISS 4th: Islamic Studies Across Different Perspective:
Trends, Challenges and Innovation
ISSN: 2774-6585
Website: https://conferences.uinsgd.ac.id/gdcs
sebagai tarbiyatun nafs (pendidikan jiwa) semua ini dapat diperoleh
melalui tazkiyatul aqli (pengembangan akal). Tujuan dari semua ini tidak
lain hanyalah untuk menyucikan jiwa dengan cara menjauhi segala
perilaku yang sesat dan yang jahat agar hati ini bisa tetap terjaga fitrahnya.
Kemudian Said Hawwa memandang tazkiyatun nafs dalam dua makna,
yakni sebagai pembersih dan penyuci jiwa dari hal-hal yang sifatnya tercela
dan juga menghidupkan dan memperbaiki jiwa yang rusak dengan sifat-
sifat yang terpuji.
Ibnu qayyum al-jauziyah Menjelaskan dalam kitabnya bahwa
tazkiyatun nafs merupakan kecondongan terhadap hal yang sifatnya jahat
dan tercela. Hal ini dirujukkan dalam dalil Al-Quran yang beliau tafsirkan
yakni terkait penggalan khusus tentang nafs yaitu “nafs al-Ammarah bi as-
Suu” (jiwa yang selalu mengajak kepada keburukan). Sehingga Ibnu
qayyum menyimpulkan bahwa tazkiyatu nafs itu merupakan sebuah upaya
agar seseorang dapat meredamkan kekuatan nafsu yang menggejolak
kepada keburukan yang tidak pernah merasakan kepuasan dengan segala
sesuatu yang sudah didapatkan. Salah satu caranya adalah dengan
meredam nafsu agar tunduk kepada perintah Allah subhanahu wa ta'ala.
3. Hakikat dari penyucian jiwa dalam perspektif Al-Ghazali
a) Biografi Al-Ghazali
Al-Ghazali memiliki nama lengkap abu Hamid Muhammad bin
Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali. Kota Thus, kehurasan yakni
tempat yang kurang lebih berada sekitar 10 mil dari kota Naizabur, Persia
adalah kota kelahiran Al-Ghazali, yang mana Al-Ghazali dilahirkan pada
tahun 450 H /1058 M. Ayah dari Al-Ghazali merupakan seorang pemintal
wol yang buta huruf dan juga miskin tetapi istimewanya beliau adalah
memperhatikan pendidikan anaknya. Bahkan sebelum meninggalnya pun
berwasiat kepada sahabatnya agar memberikan pendidikan kepada Al-
Ghazali dan juga Ahmad, dari segi pendidikannya Al-Ghazali memulai
pendidikan di wilayah Tus untuk memulai pendidikan dasar. Di Nisyafur
(Naisabur) dan khurasan adalah kota tempat berguru Al-Ghazali kepada
gurunya yang bernama Al Juwainy yakni seorang ulama yang bermazhab
Syafi'i. kepadanya ia belajar ilmu kalam, ilmu usul, madzhab fiqih, retorika,
tasawuf dan filsafat. Setelah gurunya wafat Al-Ghazali berpindah ke istana
Nidzam Al Mulk yaitu sebuah perdana menteri yang berada pada khalifah
Bani saljuk. Merupakan tempat berkumpulnya ulama-ulama besar
ternama. Bahkan Al-Ghazali di tempat ini sering berdebat dengan ulama-
ulama besar tersebut dan mereka pun mengakui keunggulan ilmu imam
Al-Ghazali. Al-Ghazali wafat pada tahun 505 / 1111 M yakni pada usianya
yang ke-55 tahun (Nurmayuli, 2017).
Copyright © 2023 The Authors. Published by Gunung Djati Conference Series
This is an open access article distributed under the CC BY 4.0 license -
https://creativecommons.org/licenses/by/4.0/
537
Gunung Djati Conference Series, Volume 19 (2022)
CISS 4th: Islamic Studies Across Different Perspective:
Trends, Challenges and Innovation
ISSN: 2774-6585
Website: https://conferences.uinsgd.ac.id/gdcs
b) Tazkiyat an-nafs menurut Al-Ghazali
Al-Ghazali mendefinisikan tazkiat an-nafs bagaikan kaca yang menjadi
buram, hal ini jika diimplementasikan pada diri manuusia dikarenakan
adanya syahwat pada badan. Oleh sebab itu, cara untuk membersihkannya
ialah dengan melakukan ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta'ala dan
menghindarkan diri ini dari segala tuntutan yang bersifat syahwat karena
hal itu dapat membersihkan dan menerangkan hati (tazkiyatun nafs). Secara
sederhananya tazkiyatun nafs itu merupakan sebuah proses untuk
membersihkan jiwa manusia dari berbagai kotoran baik yang bersifat lahir
maupun batin.
Sebagaimana yang terdapat dalam kitab bidayatul hidayah (yang
dikutip oleh Jaelani), bahwasanya imam Al-Ghazali telah mengatakan
bahwa yang namanya tazkiyatun nafs itu adalah usaha menyucikan diri dari
sifat-sifat memuji diri sendiri.Yang menjadi acuan dasar dari tazkiyatun nafs
ini adalah keyakinan yang ada dari para sufi, bahwasanya jiwa manusia itu
suci pada fitrahnya, karena disebabkan oleh pertentangan dengan badan
atau keinginan nafsu lebih tepatnya, sehingga mengakibatkan jiwa yang
tadinya suci dan sehat tidak lagi seperti semula atau menjadi rusak dan
kotor. Sehingga hal ini tentu harus dibersihkan dengan cara mengisi sifat-
sifat ketuhanan dalam diri dan menghilangkan segala sifat kepuasan, ke
binatang dan sifat-sifat setan (Siti Mutholingah, 2021).
4. Hakikat penyucian jiwa (tazkiyatun nafs) al-Ghazali
Pada dasarnya, hakikat dari penyucian jiwa (tazkiyatun nafs) menurut
Al-Ghazali tidaklah banyak hanya ada dua namun sangat bermakna karena
mencakup segala kebaikan dalam kehidupan seseorang agar bisa mencapai
ridha Allah swt. Kedua hakikat itu adalah : 1). membersihkan jiwa dari
segala sifat-sifat yang tercela, yang pada intinya adalah untuk membuang
seluruh penyakit hati. 2). menghiasi jiwa dengan berbagai sifat-sifat terpuji
yang diridhoi oleh Allah swt. Tentunya kedua hal ini haruslah saling
beriringan, dikarenakan kedua hal ini saling memiliki ikatan satu sama lain.
Jika seseorang ingin hatinya bersih maka orang tersebut haruslah
membuang segala sifat yang negatif dalam dirinya terutama dalam hatinya
dan harus berusaha memperbaiki, merubahnya serta mengisinya dengan
sifat-sifat yang positif agar mendapat keridhaan Allah swt (Sira, 2018).
Untuk mencapai suatu hakikat dari penyucian jiwa tersebut tentunya
ada metode-metode yang harus dilakukan di antaranya: 1). Takhalli ini
adalah sifat yang harus ditanamkan dalam diri untuk membersihkan sifat-
sifat yang selalu mendukung terhadap nafsu yang akhirnya selalu
menjerumuskan kita kepada dosa. Atau secara lebih singkat dapat
diartikan hal-hal baik yang harus dilakukan untuk membersihkan diri dari
sifat-sifat yang tercela atau kemaksiatan.
Copyright © 2023 The Authors. Published by Gunung Djati Conference Series
This is an open access article distributed under the CC BY 4.0 license -
https://creativecommons.org/licenses/by/4.0/
538
Gunung Djati Conference Series, Volume 19 (2022)
CISS 4th: Islamic Studies Across Different Perspective:
Trends, Challenges and Innovation
ISSN: 2774-6585
Website: https://conferences.uinsgd.ac.id/gdcs
Maksiat terbagi menjadi dua, ada maksiat yang bersifat lahir dan juga
ada yang bersifat batin. Untuk maksiat batin sendiri mengandung makna
semua perbuatan atau tingkah laku yang tercela yang dikerjakan oleh
anggota badan termasuk panca indra. Sedangkan untuk maksiat batin ialah
segala keburukan yang dikerjakan oleh hati. Hal ini dapat dilakukan
dengan cara bertobat terhadap segala sesuatu keburukan yang telah
diperbuat dan diiringi dengan selalu beristighfar. 2). Tahalli merupakan
sebuah cara untuk kembali menyucikan jiwa yang sudah bersih agar lebih
bersih lagi dan selalu berusaha untuk menjaganya dengan sifat-sifat terpuji,
yakni dengan membiasakan diri agar terus melakukan perbuatan yang baik
dan meninggalkan segala perbuatan yang jahat agar terciptanya akhlak
kalimah sebagai kepribadian dalam diri. Hal ini dapat dilakukan dengan
berzikir sebab sebagaimana dikatakan oleh Al-Ghazali “zikir adalah
"pelarut qolbu" yakni sebagai alat untuk selalu mengingat Allah subhanahu
wa ta'ala”.
Pada intinya tahalli ini bisa lebih dispesifikan pengertiannya sebagai
membekali diri, membiasakan diri dan menghiasi diri ini dengan segala
perbuatan-perbuatan yang baik dan juga positif. Sebagai contohnya selalu
bersabar, husnudzon, zuhud, wara dan tentunya semua sifat ini dapat
dilakukan dengan cara kita membekali diri dengan ilmu, iman dan juga
taqwa dengan cara beribadah kepada Allah dengan menjalankan semua
perintahnya dan menjauhi segala larangannya. 3). Tajalli ialah seseorang
telah tersingkap tabirnya antara dirinya dengan Allah swt. Jika manusia
sudah mencapai tahapan ini maka segala yang dilakukan baik itu amal
perbuatannya, tingkah lakunya, ucapannya dan lain sebagainya semata-
mata diniatkan hanya untuk mencapai cinta dan ridho dari Allah swt (Siti
Mutholingah, 2021).
Kesimpulan
Al-Ghazali adalah salah satu filsuf yang membahas tentang tazkiyatun
nafs. Tazkiyatun nafs menurut Al-Ghazali ialah sebuah proses untuk
membersihkan jiwa manusia dari berbagai kotoran baik yang bersifat lahir
maupun batin. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Jaelani yang
mengutip dalam kitab bidayatul hidayah bahwasanya imam Al-Ghazali
telah mendefinisikan bahwa tazkiyatun nafs itu adalah usaha menyucikan
diri dari sifat-sifat memuji diri sendiri untuk hakikat penyucian jiwa
menurut Al-Ghazali ada dua yaitu : pertama, membersihkan jiwa dari
segala sifat-sifat yang tercela, yang pada intinya adalah untuk membuang
seluruh penyakit hati. Kedua, menghiasi jiwa dengan berbagai sifat-sifat
terpuji yang di ridhoi Allah swt. Untuk mencapai ini semua diperlukan
adanya sebuah metode-metode diantaranya 1 takhalli, 2. Tahalli dan 3.
Copyright © 2023 The Authors. Published by Gunung Djati Conference Series
This is an open access article distributed under the CC BY 4.0 license -
https://creativecommons.org/licenses/by/4.0/
539
Gunung Djati Conference Series, Volume 19 (2022)
CISS 4th: Islamic Studies Across Different Perspective:
Trends, Challenges and Innovation
ISSN: 2774-6585
Website: https://conferences.uinsgd.ac.id/gdcs
Tajalli. Diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi
siapapun yang membacanya agar bisa menjadi ilmu yang bermanfaat dan
bisa sama-sama membersihkan jiwa (tazkiyatun nafs) untuk meraih Ridha
Allah SWT. Keterbatasan penelitian ini adalah tidak membahas secara rinci
dan mendalam tentang tazkiyatun nafs dari semua filsuf muslim bahkan
dari filsuf Al-Ghazali pun haya selintas saja. Penelitian ini
direkomendasikan untuk bahan rujukan bagi para peneliti yang mengkaji
tentang filsafat muslim khususnya dalam pembahasan tentang jiwa.
Daftar Pustaka
Fahrudin. (2014). Tasawuf upaya Tazkiyatun Nafsi sebagai Jalan
Mendekatkan Diri kepada Tuhan. Jurnal Pendidikan Agama Islam -
Ta’lim, 12(2), 127–145.
Fathuddin, M. H., & Amir, F. R. (2016). Konsep Tazkiyatun Nafs Menurut
Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah dalam Kitab Madarijus Shalikin serta
Implikasinya terhadap Pendidikan. Jurnal Ta’dibi, 5(2), 117–127.
Khusnadi, M. H., Yusuf, M., & Setiawan, D. (2022). Indonesian Journal of
Instructional Konsep Tazkiyat Al-Nafs Al-Ghozali sebagai Metode
dalam Pendidikan Akhlak. Indonesian Journal of Instructional Technology,
3(1), 19–26.
Kusuma, A. R. (2022). Konsep Jiwa Menurut Ibnu Sina dan Aristoteles.
Jurnal Tasamuh, 14(1), 61 89. https://doi.org/10.47945/tasamuh.v14i1.
492
Library, P. D. (2020). Pre-print Digital Library UIN Sunan Gunung Djati
Bandung, 2020. 1–6.
Najati, M. U. (1993). Jiwa dalam Pandangan Filsafat. 3(1), 13–31.
Nurmayuli. (2017). Al-Ghazali dan Pemikirannya. Al-Mabhats, 2(1), 125–
150.
Salam, A. M. I., & Huzain, M. (2020). Al-Nafs dalam Filsafat Islam: Kajian
Kritis terhadap Pemikiran tentang Jiwa. Dirasat Islamiah: Jurnal Kajian
Keislaman, 1(1), 34 46. https://doi.org/https://doi.org/10.5281/zeno
do.3893632
Sira, F. M. (2018). Relevansi Konsep Jiwa Al-Ghazali dalam Pembentukkan
Mentalitas yang Berakhlak. Inquiry: Jurnal Ilmiah Psikologi, 9(1), 32–45.
Siti Mutholingah. (2021). Metode Penyucian Jiwa (Tazkiyah Al-nafs) dan
Implikasinya bagi Pendidikan Agama Islam. Ta’Limuna, 10(01), 67–81.
Zainol, N. Z. N. (2019). Model Tahaqquh dalam Tazkiyah Al-Nafs oleh Said
Hawwa bagi Merawat Jiwa Muslim. Perada, 2(2), 115–126.
https://doi.org/10.35961/perada.v2i2.36
Copyright © 2023 The Authors. Published by Gunung Djati Conference Series
This is an open access article distributed under the CC BY 4.0 license -
https://creativecommons.org/licenses/by/4.0/
540