0% found this document useful (0 votes)
34 views14 pages

Kitab at Tawassul Anwa D0e3cb4a

This document summarizes Muhammad Nashrul Haqqi's analysis of the book "At-Tawassul, Anwa'uh Wa Ahkamuh" by Nasiruddin al-Albani. It discusses Albani's life and intellectual development, focusing on hadith scholarship. It analyzes Albani's perspective on the concept of "tawassul" or intercession, as expressed in his book on the topic, noting he based his arguments on analyzing the authenticity of hadith transmissions using textualist methodology focused on the literal meaning of religious texts.

Uploaded by

Anwar
Copyright
© © All Rights Reserved
We take content rights seriously. If you suspect this is your content, claim it here.
Available Formats
Download as PDF, TXT or read online on Scribd
0% found this document useful (0 votes)
34 views14 pages

Kitab at Tawassul Anwa D0e3cb4a

This document summarizes Muhammad Nashrul Haqqi's analysis of the book "At-Tawassul, Anwa'uh Wa Ahkamuh" by Nasiruddin al-Albani. It discusses Albani's life and intellectual development, focusing on hadith scholarship. It analyzes Albani's perspective on the concept of "tawassul" or intercession, as expressed in his book on the topic, noting he based his arguments on analyzing the authenticity of hadith transmissions using textualist methodology focused on the literal meaning of religious texts.

Uploaded by

Anwar
Copyright
© © All Rights Reserved
We take content rights seriously. If you suspect this is your content, claim it here.
Available Formats
Download as PDF, TXT or read online on Scribd
You are on page 1/ 14

Kitab At-Tawassul, Anwa<’uh Wa Ah}ka<muh Karya Muh}ammad Na<s}iruddi<n Al-Alba<ni

Riwayah: Jurnal Studi Hadis


issn 2460-755X eissn 2476-9649
Tersedia online di: journal.stainkudus.ac.id/index.php/Riwayah
DOI: -

Kitab At-Tawassul, Anwa<’uh Wa Ah}ka<muh Karya Muh}ammad


Na<s}iruddi<n Al-Alba<ni<>

Muhammad Nashrul Haqqi


UNISNU Jepara
[email protected]

Abstract
The discussion about “tawassul”concept were one of manifested problem thinks
pro and contra to understanding text so that saw within social society in religious
activity like’s now. It was specifically discussed Na>s}iruddi>n al-Alba>ni> thought,
which was more textual clasifications, related effort’s him was “at-Tawassul;
Anwa>’uh wa Ah}ka>muh, this theme were“tawassul” some hadis books. It’re related
hadis used methods. Most albani fondations shahih transmission (sanad) hadis
used differences validities both hadis positions s}ah}i>h} and d}a’i>f. This result studies
“tawassul” discussion in Albani’s at-tawassul book were consistencied validities
value hadis within transmistion aspect sanad, also Albani was constructed
hadis comprehention’s languages throught, it was verse qur’an pressured and
most shcolar’s salaf thinks. However in other sides, Albani’s impressed, couldn’t
differences accommodated thinks in religious texts as inevitabilities, that’s also
bid’ah justification’s and more often occured opinion’s and also it was directed for
discredit thought then difference opinion’s opposites them.

Keyword: at-Tawassul book’s, Na>s}iruddi>n al-Alba>ni.

Riwayah: Jurnal Studi Hadis Volume 3 Nomor 2 2018 231


Muhammad Nashrul Haqqi

Abstrak
Pembicaraan tentang konsepsi “tawassul” merupakan salah satu keruwetan nyata
pro-kontra pemahaman teks yang menjelma dalam sikap keberagamaan dalam
masyarakat hingga sekarang. Secara khusus tulisan ini merupakan pembacaan
sederhana terhadap pemikiran Na>s}iruddi>n al-Alba>ni> --yang banyak dikatakan
masuk dalam klasifikasi tekstualis-- terkait dengan salah satu karyanya, “at-
Tawassul; Anwa>’uh wa Ah}ka>muh, merupakan kitab bermuatan hadis-hadis
bertemakan “tawassul”. Metode yang dipakai terkait dengan hadis-hadis yang
digunakan, Alba>ni lebih bertumpu pada kaidah kes}ahi>h}an transmisi (sanad)
hadis untuk membedakan validitas hadis berkedudukan s}ah}i>h} dan d}a’i>f. Hasil
telaah terhadap pembicaraan tawassul dalam kitab at-tawassul karya Alba>ni>
didapatkan adanya konsistensi dalam menilai validitas hadis terutama pada
aspek transmisi sanad, Alba>ni> juga membangun pemahaman terhadap hadis
melalui kaidah bahasa, perhatian terhadap ayat-ayat al-Qur’an dan berbagai
pendapat ulama’ salaf. Namun di sisi lain, Alba>ni> terkesan tidak mampu
mengakomodir perbedaan pendapat dalam memahami teks keagaamaan
sebagai sebuah keniscayaan, sehingga justifikasi bid’ah dan berbagai argumen
tidak jarang dibangun dan diarahkannya untuk mendiskreditkan pemahaman
dan pendapat yang bersebrangan dengan pendapatnya.

Keyword: Kitab at-Tawassul, Na>s}iruddi>n al-Alba>ni.

Pendahuluan
Sebagai sumber rujukan utama hukum dan ajaran Islam, sebagaimana al-Qur’an,
hadis merupakan teks statis yang tidak akan berubah mengingat kodifikasi rekaman
hidup Nabi saw, telah memasuki stadium final dalam ratusan bahkan mungkin ribuan
jilid ensiklopedi hadis. Berkebalikan dengan hal itu, pada kenyataannya realitas sosial dan
budaya merupakan entitas yang tidak statis dalam arti selalu berkembang dan berubah.
Dari sana upaya pemahaman terhadap teks keagamaan merupakan sebuah keniscayaan
yang perlu dilakukan secara terus menerus sebagaimana berjalannya waktu dalam ruang
yang melingkupinya.
Sebagaimana terjadi dalam tradisi pemahaman atau tafsir al-Qur’an, dalam tradisi
keilmuan hadis, khususnya pada wilayah pemahaman materi (fiqh al-h}adi>s|/ fahm al-h}
adi>s|) di samping pada wilayah validitas transmisi dan content, sejak masa para sahabat
juga telah terdapat dua poros besar paradigma yang saling bertolak belakang. Ada yang
berorientasi pada makna literal (ahl al-h}adi>s|, ahl al-hasyw, tekstualis) ataupun sebaliknya
yang lebih berorientasi pada rasionalitas dan berbagai faktor yang melingkupi hadis,
di samping teks hadis itu sendiri (ahl ar-ra’y, kontekstualis). Seiring berjalannya waktu,
pertarungan dua paradigma tersebut terus berkembang dan tersistematisasi, terlebih
dalam berbagai mazhab fiqih yang semakin mapan hingga sekarang. Sebut saja mazhab
turunan pemikiran Ah}mad bin Hanbal (w. 855), disusul pemikiran-pemikiran Ibn

232 Riwayah: Jurnal Studi Hadis Volume 3 Nomor 2 2018


Kitab At-Tawassul, Anwa<’uh Wa Ah}ka<muh Karya Muh}ammad Na<s}iruddi<n Al-Alba<ni

Taimiyyah kemudian disebut lebih berorientasi pada tekstualitas teks, sementara mereka
yang disebut ahl al-ra’y atau kontekstualis lebih berafiliasi pada teologi mu’tazilah dan
mazhab fiqih turunan Abu> H}ani>fah (w. 767). (Suryadi, 2008, 73–77)
Pembicaraan tentang konsepsi “tawassul” merupakan salah satu keruwetan nyata
pro-kontra pemahaman teks yang menjelma dalam sikap keberagamaan dalam masyarakat
hingga sekarang. Secara khusus tulisan ini merupakan pembacaan sederhana terhadap
pemikiran Na>s}iruddi>n al-Alba>ni> --yang banyak dikatakan masuk dalam klasifikasi
tekstualis-- terkait dengan salah satu karyanya, “at-Tawassul; Anwa>’uh wa Ah}ka>muh.”

Alba>ni> dan Kondisi Sosio-Historis


Abu> ‘Abdurrah}ma>n Muh}ammad Na>s}iruddi>n ibn Nu>h} A<dam an-Najati> (1914-
1999) lahir di Asyqudera, Ibukota Albania sebagaimana nama populernya, Na>s}iruddi>n
al-Alba>ni>. Pada masa itu, Albania merupakan salah satu di antara beberapa negara
terbelakang di Eropa yang baru merdeka dari kekuasaan Turki Usmani pada 1912.
Setelah merdeka, pada 1925 Ahmad Zoghu berkuasa dengan gaya pemerintahan otoriter
dan sekuler sebagaimana model pemerintahan Mustafa Kemal at-Tatruk di Turki. Dari
sana, sebagai bentuk protes dan perlindungan diri, banyak penduduk Albania termasuk
keluarga Alba>ni kemudian berhijrah ke berbagai negara sekitar. Dalam catatan penulis,
Alba>ni pernah hijrah ke Damaskus Syiria, Beirut Libanon, Amman Yordania hingga ia
juga diberi gelar al-Dimasyqi> atau al-Urdu>ni>.
Selain belajar bahasa Arab pada Madrasah al-‘Is’afi> al-Khairi> di Damaskus, Alba>ni>
juga mempelajari nah}w, s}araf, fiqih h}anafi> dan menghafalkan al-Qur’an dengan riwayat
‘A<s}im dari ayahnya sendiri, Haji Nu>h}, serta beberapa kolega ayahnya tersebut. Namun
dalam perjalanan intelektualnya, Alba>ni> lebih tertarik pada kajian hadis ketimbang kajian
lain dengan belajar kepada Syaikh Raghi>b at}-T}abakh dari Allepo dan beberapa ulama’
Syiria lain seperti Syaikh Bahjah al-Bi>t}a>r, Syaikh ‘Abd al-Fatta>h} dan sebagainya. Beberapa
informasi juga mengatakan bahwa Alba>ni> juga terpengaruh dengan model kritik hadis
yang dilakukan Rasyi>d Rid}a> (1865-1935) dalam tafsirnya, al-Mana>r. Atas ketertarikannya
terhadap kajian hadis, semasa hidupnya Alba>ni> banyak menghabiskan waktu di
perpustakaan az}-Z}a>hiriyyah, tidak kurang dari 12 (dua belas) jam setiap harinya untuk
melakukan ta’li>q, takhri>j dan tah}qi>q terhadap berbagai kitab hadis yang ada, termasuk
menulis berbagai kitab bertema fiqih berisi hadis atau juga kitab-kitab bantahan (rudu>d)
terhadap pendapat atau tulisan ulama’-ulama’ lain. Hingga akhir hayatnya ia menulis lebih
dari dari 200 kitab, beberapa di antaranya Silsilah al-Ah}a>di>s| as-S}ah}i>h}ah, Silsilah al-Ah}a>di>s|
ad}-D}a’i>fah wa al-Maud}u>’ah, al-Ajwibah an-Na>fi’ah ‘an As’ilah Lajnah Masjid al-Ja>mi’ah,
Irwa>’ al-Ghali>l, Misyka>t al-Mas}a>bi>h}, Ah}ka>m al-Jana>’iz, Jilba>b al-Mar’ah al-Muslimah, H}
ija>b al-Mar’ah, H}uqu>q an-Nisa>’ fi> al-Isla>m, S}ah}i>h} wa D}a’i>f Sunan Abi> Da>wud, at-Turmuz}i>,
an-Nasa>’i>, Ibn Ma>jah dan sebagainya.
Selain bergelut pada kajian hadis dengan aktif memproduksi karya tulis, menjadi
guru besar bidang studi hadis di Universitas Islam Madinah (1961-1963) serta Universitas
Makkah, Arab Saudi, Alba>ni> juga terlibat langsung dalam gerakan purifikasi dakwah
sala>fiyah (salaf as-sa>lih}) dengan seruan kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah serta tidak

Riwayah: Jurnal Studi Hadis Volume 3 Nomor 2 2018 233


Muhammad Nashrul Haqqi

fanatik terhadap madzhab fiqih. Menurutnya, berpegang pada al-Qur’an dan sunnah
dengan mengikuti pendapat para ‘ulama’ salaf merupakan sebuah opsi terbaik mengingat
kedekatan generasi mereka dengan generasi Nabi saw, sehingga segala sesuatu yang mereka
ajarkan adalah sesuai dengan ajaran Nabi saw. (‘Abdillah, Musytasya>r, n.d.).

Alba>ni> dan Kitab at-Tawassul


Latar Belakang Penulisan
Pada halaman awal tulisannya, Alba>ni> mengatakan bahwa ditulisnya kitab
at- Tawassul didasari oleh ketertarikannya terhadap berbagai pertentangan yang terjadi
dalam masyarakat terkait dengan pandangan keharaman atau halalnya suatu konsepsi
yang disebut sebagai “tawassul”. Menurutnya, hal itu terjadi karena beberapa dari mereka
memandang tawassul sebagai sesuatu yang sesuai dengan syari’at sebagaimana disebutkan
secara jelas dalam beberapa ayat al-Qur’an dan hadis. Dalam catatan Alba>ni>, hal itu
kemudian terakomodasi secara legal, misalnya sebagaimana ter-rekam melalui ungkapan
dalam beberapa do’a berikut:
‫ •اللهم بحق نبيك أو بجاهه أو بقدره عندك عافني واعف عني‬
‫ •اللهم إني أسألك بحق البيت الحرام أن تغفرلي‬
‫ •اللهم بجاه األولياء والصالحين ومثل فالن وفالن‬
‫ •اللهم بكرامة رجال هللا عندك وبجاه من نحن في حضرته وتحت مدده فرج الهم عنا وعن املهمومين‬
‫ •اللهم إنا قد بسطنا إليك أكف الضراعة متوسلين إليك بصاحب الوسيلة والشفاعة أن تنصراإلسالم واملسلمين‬
Menurut Alba>ni>, beberapa teks do’a semisal di atas dianggap sebagai sebuah bentuk
tawassul. Bahkan konsepsi tentang tawassul tersebut kemudian bergeser menjadi legitimasi
terhadap berbagai praktek semisal berdo’a pada tempat-tempat tertentu seperti makam
para wali, bahkan termasuk menggunakan tanah, air, bebatuan dan pohon disekitar makam
para wali tersebut untuk menyampaikan hajat dan keinginan mereka dengan alasan bahwa
segala sesuatu yang berada di sekitar kemuliaan juga menjadi mulia. Penghormatan Allah
kepada seseorang yang dimakamkan juga berarti penghormatan Allah pada makamnya
hingga kemudian hal itu dilegalkan menjadi sebuah perantara (wasi>lah) kepada Allah.
Menariknya, menurut Alba>ni> permintaan pertolongan (istigha>s|ah) kepada selain Allah
sebagaimana dalam praktik-prektik tersebut justru didukung oleh sebagian ulama’. Atas
beberapa alasan tersebut kitab at-Tawassul; Anwa>’uh wa Ah}ka>muh kemudian ditulis Alba>ni>
di Damaskus pada pertengahan musim panas tahun 1972. (Al-Alba>ni>, 2001, hal. 5–10)

Sekilas Isi Kitab


Kitab at-Tawassul; Anwa>’uh wa Ah}ka>muh, terdiri dari lima bab sebagaimana
berikut:
Bab pertama terdiri dari beberapa pembahasan yaitu (1) makna tawassul secara
bahasa dan (2) penggunaannya dalam al-Qur’an. Selanjutnya, pembicaraan tentang (3)
Amal Saleh sebagai satu-satunya bentuk wasi>lah dan (4) kapan sebuah Amal tersebut
dinilai sebagai amal yang saleh. Dalam bab ini Alba>ni> berupaya menggali makna
tawassul melalui berbagai kamus semisal dengan mengutip kitab “Niha>yah” karya ibn

234 Riwayah: Jurnal Studi Hadis Volume 3 Nomor 2 2018


Kitab At-Tawassul, Anwa<’uh Wa Ah}ka<muh Karya Muh}ammad Na<s}iruddi<n Al-Alba<ni

As|i>r, “Mu’jam Mufrada>t li Alfaz} al-Qur’a>n” karya Ra>ghib al-As}faha>ni>, “al-Qa>mu>s” karya
Fairu>z Aba>di>, dan “Mu’jam al-Maqa>yis” karya ibn Fa>riz atau juga menggunakan sya’ir-
sya’ir Arab. Dari sana ia berpendapat bahwa wasi>lah merupakan sebuah perantara untuk
mendekatkan diri kepada Allah melalui segala bentuk ibadah yang sesuai dengan syari’at.
Ia juga mengutip sebuah hadis yang menunjukkan pengertian wasi>lah sebagai sebuah
upaya mendekatkan diri untuk mencapai tempat dan kedudukan yang tinggi di sisi Allah,
sebagaimana berikut:

‫ (إذا سمعتم املؤذن فقولوا مثل ما يقول ثم صلوا علي فإن من صلى علي صالة صلى هللا عليه بها‬:ε ‫قوله‬
‫عشرا ثم سلوا هللا إلى الوسيلة فإنها منزلة ال تبتغي إال لعبد من عباد هللا وأرجو أن أكون أنا هو فمن سأل‬
.)‫لي الوسيلة حلت له الشفاعة‬
Jika kalian mendengar muaz|z|in, maka ucapkan sebagaimana yang diucapkan,
kemudian bers}alawatlah atasku, sesungguhnya siapa bers}alawat atas aku, maka Allah
bers}alawat 10 kali kepadanya. Kemudian mintalah kepada Allah melalui wasi>lah
(perantara) karena sesungguhnya wasi>lah menjadi tempat atau kedudukan yang tidak
pantas kecuali bagi hamba dari hamba-hamba Allah, dan aku (Nabi saw,) berharap
menjadi orang itu, maka siapa yang meminta kepadaku sebagai wasi>lah (perantara)
dihalalkan baginya memperoleh syafa>’at. (Al-Alba>ni>, 2001, hal. 5-10).
Alba>ni> juga mengutip beberapa ayat yang dipandangnya terkait dengan tawassul
semisal QS. al-Ma>’idah (5): 35 dan al-Isra>’ (17): 57 melalui berbagai karya tafsir dan syarh
hadis seperti karya at-T}abari>, ibn Kas|i>r, Ibn H}ajar al-‘Asqala>ni>. Dari berbagai pendapat
tersebut ia kemudian berpendapat bahwa wasi>lah merupakan suatu ibadah pendekatkan
diri kepada Allah melalui amal saleh. Dari sana, agar setiap amal memiliki nilai kesalehan
maka hal itu harus ditujukan kepada Allah dengan ikhlas serta sesuai dengan syari’at.
(Al- Alba>ni>, 2001, hal. 12)
Bab kedua terdiri dari satu pembahasan yaitu pemetaan antara wasi>lah kauniyyah dan
syar’iyyah serta bagaimana sebuah wasi>lah tersebut dinilai sah dan disyari’atkan. Menurut
Alba>ni>, setiap kausalitas alami yang mengantarkan kepada tujuan makhluk melalui
berbagai makhluk Allah yang lain sesuai dengan fitrahnya merupakan wasi>lah kauniyyah.
Misalnya air sebagai wasi>lah untuk menghilangkan dahaga manusia, makanan untuk
mengenyangkan, pakaian untuk melindungi dari panas dan dingin, mobil sebagai media
agar seseorang dapat berpindah dari satu tempat ketempat yang lain dan sebagainya.
Sementara wasi>lah syar’iyyah merupakan segala sesuatu yang mengantarkan pada
tujuan, namun melalui cara-cara yang telah disyari’atkan dan dijelaskan dalam al-Qur’an
dan sunnah Nabi saw, semisal mengucapkan dua kalimat syahadat, do’a setelah adzan,
silaturrahmi dan sebagainya. Dalam hal ini Alba>ni> mencontohkan berbagai praktek semisal
berdo’a dan berharap pertolongan kepada para wali yang telah wafat agar hajat mereka
terpenuhi seperti meminta disembuhkan dari penyakit, meminta rizki dan sebagainya
sebagai wasi>lah yang batil. Alba>ni> juga mencontohkan berbagai praktek “ramalan nasib”
menggunakan perantara kartu dan tikus yang pada waktu itu tengah marak di Damaskus
sebagai wasi>lah kauniyyah yang batil. (Al-Alba>ni>, 2001, hal. 17-28).

Riwayah: Jurnal Studi Hadis Volume 3 Nomor 2 2018 235


Muhammad Nashrul Haqqi

Bab ketiga membicarakan tawassul yang disyari’atkan dan jenisnya mencakup: (1)
tawassul melalui berbagai Nama Allah dan Sifat-Nya dengan mengutip QS. al-A’ra>f (7): 180
dan beberapa hadis; (2) tawassul dengan Amal Saleh sebagaimana dilakukan seseorang
yang berdo’a dengan mengutip QS. A<li ‘Imra>n (3): 16, 53, 193-194, al-Mu’minu>n (23):
109 serta beberapa hadis; (3) tawassul kepada Allah melalui do’a seseorang yang saleh
dengan mengutip beberapa hadis. Dalam kesimpulannya, Alba>ni> berpendapat bahwa
selain ketiga model tawassul sebagaimana disebut, adalah tawassul yang batil. (Al-Alba>ni>,
2001, hal. 29-49)
Bab keempat membicarakan berbagai tuduhan dan jawabannya terkait dengan
persoalan tawassul meliputi: (1) pembahasan hadis tentang ‘Umar meminta hujan melalui
wasi>lah ‘Abbas (2) hadis seorang yang buta yang mendatangi Nabi saw, (3) 7 (tujuh) hadis
d}a’i>f dan 2 (dua) as|ar tentang tawassul.
Kesemua hadis dan as|ar tersebut diarahkan secara spesifik dan digunakan untuk
menopang pandangannya bahwa (1) melakukan tawassul melalui dzat Nabi saw, berbeda
dengan meminta do’a secara langsung dari beliau; (2) mengharap pertolongan (istigha>s|ah)
kepada selain Allah merupakan sesuatu yang batil; (3) penolakan untuk menqiyaskan
Allah dengan makhluk (4) penolakan terhadap tawassul melalui dzat (5) penolakan
terhadap pandangan yang mengqiya>skan tawassul melalui dzat dengan tawassul melalui
amal saleh (6) penolakan terhadap qiya>s tawassul atas dzat Nabi saw, termasuk melalui
“tabarruk” atau mengharapkan berkah dengan berbagai benda peninggalannya.

Beberapa Hadis yang dikaji


Dalam hal ini penulis mengetengahkan beberapa hadis yang dikutip Alba>ni> untuk
mendukung pandangannya terkait dengan persoalan tawassul. Dua hadis pertama dinilai
s}ah}i>h} berdasarkan aspek transmisinya, namun menurut Alba>ni> dari sisi materi justru
disalahpahami oleh sebagian besar ulama’. Tujuh hadis dan dua as\ar berikutnya dinilai
d} a’i>f berdasarkan aspek transmisinya sekaligus pemaknaannya. Beberapa hadis dan as\ar
tersebut sebagaimana berikut:

‫ما رواه أنس بن مالك رضي اهلل عنه أن عمر بن اخلطاب رضي اهلل عنه كان إذا قحطوا استسقى بالعباس ابن عبد‬
.‫ فيسقون‬:‫ فتسقينا وإنا نتوسل إليك بعم نبينا فاسقنا قال‬ε‫ اللهم إنا كنا نتوسل إليك بنبينا‬:‫املطلب فقال‬
Hadis yang diriwayatkan Anas bin Ma>lik ra, bahwa ketika terjadi kekeringan,
‘Umar bin al-Khat}t}a>b ra, meminta hujan melalui ‘Abba>s ibn ‘Abdul Mut}allib (paman
Nabi saw,) dan berkata: “ya Allah sesunggungnya kami telah bertawassul kepada-
Mu melalui Nabi kami saw, hingga engkau berikan hujan kepada kami dan kami
bertawassul kepadamu melalui paman Nabi kami, maka berikanlah hujan bagi kami.”
Anas berkata: “kemudian mereka diberi hujan.”
Menurut Alba>ni> hadis di atas seringkali disalah pahami bahwa ‘Umar berdo’a kepada
‘Abbas, paman Nabi saw,. Sementara menurutnya, pemahaman tersebut bertentangan
dengan nas}s} yang lain sebagaimana dalam QS. an-Nisa>’ (4): 64 serta hadis lain yang dikutip
Ibn H}}ajar al-‘Asqala>ni> dalam kitabnya Fath al-Ba>ri>. Selain itu ia menguatkan pandangannya

236 Riwayah: Jurnal Studi Hadis Volume 3 Nomor 2 2018


Kitab At-Tawassul, Anwa<’uh Wa Ah}ka<muh Karya Muh}ammad Na<s}iruddi<n Al-Alba<ni

dengan dua pendapat: pertama, terdapat kata yang menurutnya hilang (mah}z|uf) di antara
kata “bi… nabiyyina>” atau “bi… ‘a>m nabiyyina>”. Kata-kata yang hilang tersebut kemudian
direkonstruksikan dengan kata “ja>h” kehormatan atau “du’a>’” do’a. Pilihan dijatuhkan
pada kata “du’a>’” sehingga dari sana dapat dipahami bahwa ‘Umar mendatangi ‘Abbas dan
memintanya untuk berdo’a kepada Allah agar diturunkan hujan; kedua, wasi>lah sendiri
telah dikenal dalam kebudayaan Arab dalam konteks menyampaikan keperluan kepada
orang lain melalui perantara, pada waktu itu Nabi saw, sendiri telah wafat sehingga ‘Abbas
sebagai keluarga yang banyak menyertai dan dipandang mengetahui berbagai hal tentang
Nabi saw, dipilih sebagai wasi>lah untuk berdo’a kepada Allah agar diturunkan hujan. (Al-
Alba>ni>, 2001, hal. 51-57)

‫ إن شئت‬:‫ قال‬.‫ ادع هللا أن يعافيني‬:‫ فقال‬ε ‫ أن رجال ضرير البصر أتى النبي‬:‫عن عثمان بن حنيف‬
.‫ ادعه‬:‫ وإن شئت صبرت فهو خير لك) فقال‬: ‫دعوت لك وإن شئت أخرت ذاك فهو خير (وفي رواية‬
‫ اللهم إني أسألك وأتوجه إليك‬:‫فأمره أن يتوضأ فيحسن وضوءه فيصلي ركعتين ويدعو بهذا الدعاء‬
‫بنبيك محمد نبي الرحمة يا محمد إني توجهت بك إلى ربي في حاجتي هذه فتق�ضى لي اللهم فشفعه في‬
.‫ ففعل الرجل فبرأ‬:‫ قال‬.]‫[وشفعني فيه‬
Dari ‘Us|ma>n bin H}ani>f: bahwa seorang laki-laki buta mendatangi Nabi saw, dan
berkata: “berdoalah kepada Allah agar Dia menyembuhkanku.” Nabi saw, bersabda:
“jika kamu menginginkan, aku berdoa kepadamu, dan jika kamu menginginkan aku
akan menundanya karena kebutaan merupakan kebaikan (dalam sebuah riwayat:
“jika kamu menginginkan, bersabarlah karena lebih baik bagimu.”). Laki-laki buta
tersebut kemudian berkata: “Do’akanlah.” Nabi kemudian memerintahkan kepadanya
untuk berwudlu hingga ia berwudlu dengan baik kemudian mendirikan s}alat dua
raka’at serta berdo’a dengan do’a ini: “ya Allah sesungguhnya aku meminta dan
menghadap kepada-Mu melalui Nabi-Mu, Muh}ammad, Nabi pembawa rah}mat.
Wahai Muh}ammad sesungguhnya aku menghadap kepada Tuhanku melalui kamu
untuk hajatku ini, maka lakukanlah untukku. Ya Allah berikan syafa’at kepadanya
untukku (dan berikan aku syafa’at baginya).” Laki-laki itu melakukannya sehingga
ia sembuh.
Sebagaimana hadis sebelumnya, Alba>ni> memandang bahwa hadis di atas justru
menunjukkan bahwa laki-laki buta tersebut datang agar dido’akan secara langsung oleh
Nabi saw, dalam arti tidak melakukan tawassul melalui dzat Nabi saw, atau melalui
kemuliaan beliau dalam do’a laki-laki tersebut.
Untuk menopang pendapatnya, Alba>ni> menggunakan beberapa rasionalitas:
pertama, seandainya laki-laki buta tersebut melakukan tawassul melalui dzat Nabi saw,
maka laki-laki tersebut tidak perlu datang secara langsung kepada Nabi saw,; kedua,
Nabi saw, sendiri memerintahkan kepada laki-laki buta tersebut untuk berwudlu, shalat
dua raka’at dan berdo’a, di mana menurut Alba>ni> hal itu menunjukkan bahwa Nabi
saw, memerintahkan kepada laki-laki buta tersebut untuk melakukan tawassul dalam

Riwayah: Jurnal Studi Hadis Volume 3 Nomor 2 2018 237


Muhammad Nashrul Haqqi

upayanya sendiri dengan meminta kesembuhan secara langsung kepada Allah; ketiga,
terkait dengan kata “fasyaffi’hu fiyya” dan “fasyaffi’ni> fi>h” dalam redaksi do’a dalam hadis
tersebut, Alba>ni> berpendapat bahwa “fasyaffi’hu fiyya” berarti terimalah do’anya (Nabi
saw,) yang memohonkan untukku, sementara “fasyaffi’ni> fi>h” berarti terimalah do’aku
untuk mengabulkan do’a Nabi saw, tersebut. (Al-Alba>ni>, 2001, hal. 68-90)

‫ اللهم إني أسألك بحق السائلين‬:‫ (من خرج من بيته إلى الصالة فقال‬: ‫عن أبي سعيد الخدري مرفوعا‬
.)‫ أقبل هللا عليه بوجهه‬. . . ‫عليك وأسألك بحق ممشاي هذا فإني لم أخرج أشرا وال بطرا‬
Marfu>’ dari Abu> Sa’i>d al-Khudri>: “siapa keluar dari rumahnya untuk melakukan
s} alat maka ucapkanlah: ‘ya Allah sesungguhnya aku meminta kepada-Mu melalui
h}aq orang-orang yang meminta kepadamu dan aku meminta kepada-Mu melalui
h}aq perjalananku ini. Sesungguhnya aku tidak keluar dalam keadaan angkuh dan
sombong…’ maka Allah akan menerima dengan wajah-Nya.”
Hadis di atas disebut Alba>ni> berkualitas lemah (d}a’i>f) sebagaimana penilaian dan
takhri>j yang telah dilakukannya dalam kitab yang lain (Silsilah al-Ah}a>di>s| ad-D}a’i>fah) serta
dengan mengutip berbagai ulama’ semisal an-Nawa>wi> dalam al-Az|ka>r, Ibn Taimiyyah
dalam al-Qa>’idah al-Jali>lah, az|-Z|ahabi> dalam al-Mi>za>n, al-Hais|ami> dalam Majma’ az-
Zawa>’id dan sebagainya. (Al-Alba>ni>, 2001, hal. 92-96)

‫ إذا خرج إلى الصالة‬e ‫ (كان رسول هللا‬: ‫وحديث بالل الذي أشار إليه صديق خان هو ما روي عنه أنه قال‬
‫ بسم هللا آمنت باهلل توكلت على هللا ال حول وال قوة إال باهلل اللهم بحق السائلين عليكن وبحق‬:‫قال‬
.). . ‫مخرجي هذا فإني لم أخرج أشرا وال بطرا‬
H}adi>s| Bila>l yang diisyaratkan oleh S}adi>q Kha>n itu adalah yang diriwayatkan darinya
(Bila>l) bahwa dia berkata: “ketika keluar untuk mendirikan s}alat Rasu>lulah saw,
mengucapkan: ‘dengan nama Allah, aku beriman kepada Allah, aku bertawakkal
kepada Allah, tiada kekuasaan dan kekuatan kecuali dengan Allah. Ya Allah
melalui h}aq orang-orang yang meminta atas-Mu dan dengan h}aq perjalananku ini,
sesungguhnya aku tidak keluar dalam keadaan angkuh dan sombong..’.”
Hadis di atas dikutip dari kitab ‘Amal al-Yaum wa al-Lailah karya Ibn as-Sinni> dan
dinilai d}a’i>f oleh Alba>ni>. Selain itu menurutnya hadis di atas juga tidak menunjukkan
tawassul dengan makhluk, tetapi melalui hak-hak orang-orang yang meminta kepada
Allah dalam arti mengabulkan do’a mereka. Sementara ijaba>h (pengabulan) sendiri
merupakan salah satu dari sifat-sifat Allah. (Al-Alba>ni>, 2001, hal. 97-98).

‫ اللهم أنت أحق من ذكر‬: ‫ إذا أصبح وإذا أم�ضى دعا بهذا الدعاء‬ε ‫ (كان رسول هللا‬: ‫عن أبي أمامة قال‬
‫ أسألك بنور وجهك الذي أشرقت له السماوات واألرض وبكل حق هو لك وبحق‬. . ‫وأحق من عبد‬
.). . ‫السائلين عليك‬

238 Riwayah: Jurnal Studi Hadis Volume 3 Nomor 2 2018


Kitab At-Tawassul, Anwa<’uh Wa Ah}ka<muh Karya Muh}ammad Na<s}iruddi<n Al-Alba<ni

Dari Abu> Uma>>mah, ia berkata: “ketika subuh dan sore Rasu>lullah saw, berdoa dengan
do’a ini: ‘ya Allah engkau adalah dzat yang paling berhak untuk disembah dan diingat,
aku meminta kepadamu melalui cahaya wajahmu yang menyinari langit dan bumi,
dan melalui h}aq orang-orang yang meminta atasmu…’.”
Hadis di atas dinilai d}a’i>f, dikutip dari Majma’ az-Zawa>’id karya al-Hais|ami> dan al-
Ka>mil karya Ibn ‘Addi>. (Al-Alba>ni>, 2001, hal. 99)

‫ ملا ماتت فاطمة بنت أسد بن هاشم أم علي ر�ضي هللا عنهما دعا أسامة بن زيد وأبا‬: ‫عن أنس بن مالك قال‬
‫ فاضطجع فيه‬ε ‫ فلما فرغ دخل رسول هللا‬. . . ‫أيوب األنصاري وعمر ابن الخطاب وغالما أسود يحفرون‬
‫ ( هللا الذي يحيي ويميت وهو حي ال يموت اغفر ألمي فاطمة بنت أسد ولقنها حجتها ووسع مدخلها‬: ‫فقال‬
.). . . ‫بحق نبيك واألنبياء الذين من قبله فإنك أرحم الراحمين‬
Dari Anas bin Ma>lik, ia berkata: “ketika Fa>t}imah binti Asad bin Ha>syim, ibu ‘Ali
ra, wafat, Usa>mah bin Zaid mengajak Abu>> Ayyu>b al-Ans}a>ri>, ‘Umar bin al-Khat}t}a>b
dan beberapa pemuda kulit hitam untuk menggali kubur… ketika selesai Rasu>lullah
saw, datang dan berbaring di atasnya kemudian bersabda: ‘Allah adalah dzat yang
menghidupkan dan mewafatkan, Dia dzat yang Maha Hidup dan tidak meninggal,
Ampuni Ibuku Fa>t}imah binti Asad dan ajarkan h}ujjahnya padanya, luaskan tempat
masuknya melalui h}aq Nabi-Mu dan para Nabi sebelumnya, sesungguhnya Engkaulah
dzat yang Maha Penyayang.’”
Hadis di atas dikutip dari Majma’ az-Zawa>’id karya al-Hais|ami>, al-Kabi>r dan al-
Ausat} karya at-T}abra>ni>. Alba>ni> mengatakan bahwa Abu> Nu’aim menyebutkan bahwa
hadis tersebut berkualitas lemah. (Al-Alba>ni>, 2001, hal. 99)

.)‫ يستفتح بصعاليك املهاجرين‬ε ‫ (كان رسول هللا‬: ‫عن أمية بن عبد هللا بن خالد بن أسيد قال‬
Dari Umayyah bin ‘Abdullah bin Kha>lid bin Usaid, ia berkata: Rasu>lullah saw, pernah
meminta kemenangan mealui orang-orang miskin dari golongan muha>jiri>n.
Hadis di atas dikutip dari kitab al-Majmu’ al-Kabi>r karya at-T}abra>ni>, namun juga
dinilai d}a’i>f oleh Alba>ni>. Selain itu, Alba>ni> juga berpendapat jika seandainya hadis itu
berkualitas s}ah}i>h}, maka Nabi saw, meminta pertolongan kepada orang-orang miskin
tersebut adalah melalui do’a mereka, bukan dalam arti melalui dzat, kehormatan dan
kemuliaan mereka. (Al-Alba>ni>, 2001, hal. 101)

:‫ يا رب أسألك بحق محمد ملا غفرت لي فقال‬:‫ (ملا اقترف آدم الخطيئة قال‬:‫عن عمر بن الخطاب مرفوعا‬
‫يا آدم وكيف عرفت محمدا ولم أخلقه؟ قال يا رب ملا خلقتني بيدك ونخفت في من روحك رفعت رأ�ضي‬
‫ ال إله إال هللا محمد رسول هللا فعلمت أنك لم تضف إلى اسمك إال أحب‬:‫فرأيت على قوائم العرش مكتوبا‬
.)‫ غفرت لك ولوال محمد ما خلقتك‬:‫الخلق إليك فقال‬

Riwayah: Jurnal Studi Hadis Volume 3 Nomor 2 2018 239


Muhammad Nashrul Haqqi

Marfu>’ dari ‘Umar bin al-Khat}t}a>b: “ketika A>dam as, berbuat kesalahan, ia berkata:
‘wahai Tuhanku, aku meminta kepadamu melalui h}aq Muh}ammad saw, terhadap
apa yang Engkau ampunkan untukku.’ Kemudian Allah berfirman: ‘wahai A>dam,
bagaimana kamu mengetahui Muh}ammad sementara Aku belum menciptakannya..?’
Adam menjawab: ‘wahai Tuhanku, ketika Engkau ciptakan aku dengan tangan-Mu
dan Engkau tiupkan sebagian dari ru>h}-Mu, aku mengangkat kepalaku dan aku melihat
di atas tiang-tiang ‘Arsy tertulis kalimat La> Ila>h Illa Alla>h Muh}ammadan Rasu>lullah,
maka aku tahu Engkau tidak akan mengumpulkan nama-Mu kecuali kepada makhluk
yang paling Engkau cintai.’ Kemudian Allah berfirman: ‘Aku telah mengampunimu,
seandainya bukan karena Muh}ammad, Aku tidak akan menciptakan kamu.’”
Hadis di atas dikutip dari kitab al-Mustadrak karya al-H}a>kim dan al-Mu’jam
as-S} aghi>r karya at-T}abra>ni> serta dinilai d}a’i>f oleh Alba>ni> dengan mengutip kitab al-Qa>’idah
al-Jali>lah karya Ibn Taimiyyah. Selain itu menurutnya hadis di atas juga bertentangan
dengan beberapa ayat al-Qur’an seperti QS. al-Baqarah (2): 37 dan al-A’raf (7): 23 melalui
riwayat lebih s}ah}i>h} yang dikutip Ibn Kas|i>r dan Rasyid Rid}a> dalam dalam tafsirnya. (Al-
Alba>ni>, 2001, hal. 103)

.)‫ (إذا سألتم هللا فاسألوه بجاهي فإن جاهي عند هللا عظيم‬/ )‫(توسلوا بجاهي فإن جاهي عند هللا عظم‬
Bertawassul-lah dengan kemuliaan-ku karena kemuliaanku besar di hadapan Allah
/ ketika kalian meminta kepada Allah, maka mintalah dengan kemuliaanku kerena
kemuliaanku besar di hadapan Allah.
Hadis di atas tidak ditemukan Alba>ni> dalam kitab-kitab hadis. Dengan mengutip
pendapat Ibn Taimiyyah, Alba>ni> menyebutkan bahwa meskipun kemuliaan Rasu>lullah
lebih besar dari kemuliaan semua para nabi dan rasu>l, namun kemuliaan makhlu>k (ciptaan)
di sisi kha>liq (pencipta) tidak sebagaimana kemuliaan makhluk di antara makhluk lainnya.
Menurutnya kesemua hadis di atas juga bertentangan dengan QS. Saba’ (34): 22-23 di
mana di dalamnya terdapat larangan untuk mempersekutukan Allah. (Al-Alba>ni>, 2001,
hal. 115)

:‫ قال‬- ‫ وكان خازن عمر‬- ‫(وروى ابن أبي شيبة بإسناد صحيح من رواية أبي صالح السمان عن مالك الدار‬
‫ يا رسول هللا استسق ألمتك فإنهم قد‬:‫ فقال‬ε ‫أصاب الناس قحط في زمن عمر فجاء رجل إلى قبر النبي‬
‫ وقد روى سيف في (الفتوح) أن الذي رأى املنام‬.‫ الحديث‬. . .‫ ائت عمر‬:‫هلكوا فأتي الرجل في املنام فقيل له‬
.)‫املذكور هو بالل بن الحارث املزني أحد الصحابة‬
Ibn Abi> Syaibah meriwayatkan dengan sanad yang s}ah}i>h} dari riwayat Abu> S}a>lih
as-Samma>n dari Ma>lik ad-Da>r – ia pernah menjadi bendahara pada ‘Umar –, ia
berkata: “kekeringan pernah menimpa manusia pada masa ‘Umar sehingga seorang
laki-laki mendatangi makam Nabi saw dan berkata: ‘wahai Rasu>lullah mintakanlah
hujan untuk ummatmu, mereka telah binasa.’ Kemudian dalam mimpi orang tersebut
datanglah seorang laki-laki dan dikatakan kepadanya: ‘datanglah kepada ‘Umar…

240 Riwayah: Jurnal Studi Hadis Volume 3 Nomor 2 2018


Kitab At-Tawassul, Anwa<’uh Wa Ah}ka<muh Karya Muh}ammad Na<s}iruddi<n Al-Alba<ni

al-h}adi>s|.’” Saif meriwayatkan dalam (al-Futu>h}) bahwa laki-laki yang bermimpi


tersebut adalah Bila>l bin al-H}a>ris| al-Mazni>, salah satu s}ahabat.

‫ حدثنا أبو النعمان ثنا سعيد بن زيد ثنا بن عمرو بن مالك النكري حدثنا أبو‬:‫روى الدارمي في سننه‬
‫ انظروا قبر‬:‫ قحط أهل املدينة قحطا شديدا فشكوا إلى عائشة فقالت‬:‫الجوزاء أوس بن عبد هللا قال‬
‫ ففعلوا فمطرنا مطرا حتى‬:‫ فاجعلوا منه كوى إلى السماء حتى ال يكون بينه وبين السماء سقف قال‬ε ‫النبي‬
.)‫نبت العشب وسمنت اإلبل حتى تفتقت من الشحم فسمي عام الفتق‬
Ad-Da>rimi> meriwayatkan dalam sunan-nya: Abu> an-Nu’ma>n telah menceritakan
kepada kami, Sa’i>d bin Zaid menceritakan kepada kami, ‘Amru> bin Ma>lik an-Nakri>
menceritakan kepada kami, Abu> al-Jauza>’ Aus bin ‘Abdullah telah menceritakan kepada
kami, ia berkata: “penduduk Madi>nah pernah dilanda kekeringan parah sehingga
mereka mengadu kepada ‘A>’isyah ra, maka ia berkata: ‘lihatlah kalian pada makam
Nabi saw, dan dari sana buatlah lubang ke langit sehingga tidak terdapat penghalang
di antaranya dan langit.’ Abu> al-Jauza>’ Aus bin ‘Abdullah berkata: ‘kemudian mereka
melakukan hal itu dan turun hujan lebat pada kami sehingga rumput tumbuh, unta
menjadi gemuk hingga lemak melimpah, maka tahun itu disebut tahun limpahan.’”
Selain menilai beberapa periwayat dalam As|ar di atas dengan penilaian “majhu>l”
yang berimplikasi pada lemahnya hadis tersebut, Alba>ni> juga menolak dua as}ar di atas
karena anjuran shalat istisqa>’ (meminta hujan) sendiri lebih dianjurkan dalam syari’at,
bahkan didukung secara jelas dalam QS. Nu>h} (71): 10-11 misalnya. Dalam hal ini
Alba>ni> kembali mengutip pendapat Ibn Taimiyyah bahwa Nabi saw, dan para nabi tidak
pernah mensyari’atkan umatnya agar berdo’a kepada Nabi dan orang-orang saleh setelah
wafatnya serta kepada para Malaikat karena eksistensi metafisisnya. (Al-Alba>ni>, 2001, hal.
117- 126)

Metode dan Karakteristik


Melalui sekilas pembicaraan terkait dengan pembahasan hadis Alba>ni> di atas, dapat
dipahami bahwa kitab “at-Tawassul; Anwa>’uh wa Ah}ka>muh” merupakan kitab bermuatan
hadis-hadis bertemakan “tawassul”. Metode yang digunakan terkait dengan hadis-hadis
yang digunakan, Alba>ni lebih bertumpu pada kaidah kes}ahi>h}an transmisi (sanad) hadis
untuk membedakan validitas hadis berkedudukan s}ah}i>h} dan d}a’i>f. Sebagaimana dalam
karyanya yang lain, salah satunya Silsilah al-Ah}a>di>s|, dalam kitab ini Alba>ni> melakukan
takhri>j hadis untuk mengetahui berbagai syahi>d dan ta>bi’ (jalur pendukung). Ia juga
menguraikan beberapa periwayat yang dinilainya lemah berdasarkan berbagai pendapat
ulama’. Ketika sebuah hadis dinyatakan d}a’i>f sebagaimana 7 hadis dan 2 as|ar sebagaimana
di atas, Alba>ni> tidak beranjak pada wilayah isi (matn) tersebut dan cenderung mengatakan

Riwayah: Jurnal Studi Hadis Volume 3 Nomor 2 2018 241


Muhammad Nashrul Haqqi

bahwa hadis-hadis tersebut tidak dapat dijadikan sebagai h}ujjah.1 (al-Alba>ni>, 1987,
hal. 3–4)
Namun terkait dengan hadis yang dinilai s}ah}i>h} dari aspek transmisinya sebagaimana
hadis ‘Umar bertawassul kepada ‘Abbas dan seorang laki-laki buta yang mendatangi
Nabi saw, tidak dengan serta merta Alba>ni> berpendapat bahwa hadis-hadis tersebut
dapat dijadikan sebagai h}ujjah, karena kesesuaiannya harus diuji kembali dengan aspek
kebahasaan, tidak bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur’an dan ajaran syari’ah. Ia
juga melakukan ta’wi>l jika menurutnya sebuah hadis itu tidak sesuai dengan logika.2
(al-Alba>ni>, 1987, hal. 42-43) Selain itu dalam kasus tawassul ini, nampaknya Alba>ni>
juga banyak terpengaruh pemikiran oleh pemikiran Ibn Taimiyyah, melalui kitabnya al-
Qa>’idah al-Jali>lah untuk menolak berbagai pandangan yang dianggapnya melegalkan
tawassul melalui dzat dan kemuliaan para nabi, malaikat, wali termasuk benda-benda
peninggalan mereka untuk memperoleh syafa>’at serta berbagai harapan dang keinginan.

Sekilas Kritik
Dalam tradisi ilmu hadis, untuk menentukan kualitas sebuah hadis diperlukan
serangkaian penelitian, baik untuk menentukan validitas transmisi (sanad) maupun
kualitas content-nya (matan). Hal ini dilakukan karena kualitas keduanya tidak selalu
sejalan, (Ismail, 1994, hal. 115) ada kalanya sanad-nya s}ah}i>h} akan tetapi matannya mardu>d.
Melalui langkah-langkah tersebut sebagaimana dilakukan Alba>ni>, minimal memang akan
diketahui proses penentuan kualitas hadis secara keseluruhan baik dari aspek sanad
maupun matan, meskipun hal itu sendiri pada dasarnya juga tergolong ijtiha>di> (relative),
dalam arti perbedaan penilaian sangat dimungkinkan terjadi antara satu peneliti dengan
peneliti yang lain. ‘Ajja>j al-Khat}i>b sendiri menyebut setidaknya 3 kelompok terkait dengan
penggunaan hadis berkualitas d}a’i>f, yaitu: (1) mereka yang mengunakan hadis berkualitas
d}a’i>f hanya dalam konteks fad}a>’il al-a’ma>l (2) menggunakannya secara mutlak karena
hadis d}a’i>f dipandang lebih baik ketimbang pendapat manusia (3) menolak dan sama
sekali tidak menggunakan hadis berkualitas d}a’i>f . (al-Khat}i>b, 1989, hal. 338–339)
Dalam hemat penulis, persoalan tawassul sebagaimana diketengahkan Alba>ni> lebih
tepat dipahami dalam konteks perbedaan pendapat (ikhtila>f), karena dua aspek, yaitu: (1)
aspek pemaknaan, jika Alba>ni> berpendapat bahwa tawassul melalui do’a atau syafa>’at Nabi
saw, dan para wali secara langsung ketika beliau masih hidup merupakan pemahaman
1
Hal itu senada dengan ungkapannya dalam muqaddimah Silsilah al-Ah}a>di>s| ad}-D}a’i>fah wa al-
Maud}u>’ah, Alba>ni> mengatakan bahwa dalam mengkaji hadis ia menggunakan kaidah-kaidah yang telah
ditentukan oleh para ahli hadis, atau disebutnya sebagai metode tamyi>z. Lihat M. Na>s}iruddi>n al-Alba>ni>,
Silsilah al-Ah}a>di>s| ad}-D}a’i>fah wa al-Maud}u>’ah (Riya>d}: Maktabah al-Ma’a>rif, 1987), hlm. 3-4.
‫ كان ال بد من التزام‬...‫ واخلطأ بالصواب‬،‫ واال اختلط الباطل بااحق‬.‫ هو املنهج الذي ينبغي ان يقام عليه الفقه االسالمي و العقيدة االسالمية‬،‫فإ ّن هذا التمييز‬
‫هذا املنهج السليم من التمييز بني الصحيح و الضعيف من احلديث‬.
“Metode tamyi>z ini merupakan metode yang harus ditegakkan bagi fiqih dan ‘aqidah Islam. Jika tidak maka
segala sesuatu yang batil akan bercampur dengan yang h}aq dan yang salah bercampur dengan yang benar…
dari sana berpedoman kepada metode tamyi>z untuk membedan yang s}ah}i>h} dan d}a’i>f merupakan suatu
ke harusan.”
2
... ‫ فهو ال يستحق التأويل‬،‫ والحديث ضعيف االسناد كما سبق تحقيقه‬،‫فإن التأويل فرع التصحيح كما هو معروف عند العلماء‬.
“Ta’wi>l merupakan bagian dari pens}ahi>h}an hadis sebagaimana popular di kalangan ulama’, sementara hadis
yang sanadnya lemah tidak dapat dita’wi>lkan.

242 Riwayah: Jurnal Studi Hadis Volume 3 Nomor 2 2018


Kitab At-Tawassul, Anwa<’uh Wa Ah}ka<muh Karya Muh}ammad Na<s}iruddi<n Al-Alba<ni

yang lebih tepat dalam memaknai beberapa hadis s}ah}i>h} di atas, maka sangat dimungkinkan
terdapat pemaknaan lain bahwa dalam hadis-hadis itu sendiri terdapat konsepsi tawassul
melalui perantara syafa>’at dan do’a Nabi saw, secara tidak langsung, sehingga (2) perbedaan
pemaknaan tersebut pada akhirnya juga bergeser pada wilayah ideologis.
Sebagaimana terlihat dalam pembahasan, didasari realitas bahwa terjadi berbagai
praktek menyimpang dalam masyarakat semisal menjadikan tempat, benda-benda
peninggalan sebagai wasi>lah, maka menjadi sebuah kewajaran jika Alba>ni> dengan
semangat purifikasi memandangnya sebagai sesuatu yang berlebihan. Namun juga menjadi
berlebihan untuk kemudian mendudukkan perbedaan pemahaman tentang melakukan
tawassul dengan berdo’a menggunakan berbagai do’a yang juga diriwayatkan dalam hadis
yang dinilai s}ah}i>h} sebagai bid’ah.

Simpulan
Beberapa poin menarik terkait dengan pembicaraan tawassul dalam kitab at-tawassul
karya Alba>ni> sebagaimana di atas, di antaranya adalah konsistensi dalam menilai validitas
hadis terutama pada aspek transmisi sanad, di mana hal itu diharapkan mampu menjadi
filter terhadap berbagai praktek keagamaan yang diakomodir dari berbagai informasi yang
dalam pandangannya tidak sesuai dengan ajaran Islam. Tidak berhenti pada aspek sanad,
Alba>ni> juga membangun pemahaman terhadap hadis melalui kaidah bahasa, perhatian
terhadap ayat-ayat al-Qur’an dan berbagai pendapat ulama’ salaf. Namun di sisi lain,
Alba>ni> terkesan tidak mampu mengakomodir perbedaan pendapat dalam memahami
teks keagaamaan sebagai sebuah keniscayaan, sehingga justifikasi bid’ah dan berbagai
argumen tidak jarang dibangun dan diarahkannya untuk mendiskreditkan pemahaman
dan pendapat yang bersebrangan dengan pendapatnya.

Walla>hu A’lam....

Riwayah: Jurnal Studi Hadis Volume 3 Nomor 2 2018 243


Muhammad Nashrul Haqqi

Daftar Pustaka

‘Abdillah, Musytasya>r, N. al-A. (n.d.). al-Muh}addis| Haz}|a al-‘As}r wa Na>s}ir as-Sunnah.


al-Alba>ni>, M. N. (1987). Silsilah al-Ah}a>di>s| ad}-D}a’i>fah wa al-Maud}u>’ah. Riya>d: Maktabah
al-Ma’a>rif.
Al-Alba>ni>, M. N. (2001). at-Tawassul; Anwa>’uh wa Ah}ka>muh. Riya>d: Maktabah al-
Ma’a>rif.
al-Khat}i>b, M. ‘Ajja>j. (1989). Us}u>l al-H}adi>s;| ‘Ulu>muh wa Mus}t}ala>h}uh. Beirut: Da>r al-Fikr.
Ismail, S. (1994). Hadits Nabi yang Kontekstual dan Kontekstual. Jakarta: Bulan Bintang.
Suryadi. (2008). Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi; Perspektif Muhammad al-
Ghazali dan Yusuf al-Qaradhawi. Yogyakarta: Teras.

244 Riwayah: Jurnal Studi Hadis Volume 3 Nomor 2 2018

You might also like