0% found this document useful (0 votes)
79 views8 pages

Musawwir - Inferioritas Pada Siswa SMP Dan MTS Di Pulau Ternate

This document summarizes a study that aims to describe feelings of inferiority among junior high school students in Ternate Island, Indonesia. The study used a quantitative descriptive approach and measured levels of inferiority in 648 students using a 48-item scale. The results found that 8% of students had very high inferiority, 22% were high, 37% were medium, 28% were low, and 5% were very low. Feelings of inferiority can be influenced by physical appearance, social relationships, self-ability, economic conditions, and family background. Addressing inferiority is important for students' academic and social development.

Uploaded by

Cita Tri Kusuma
Copyright
© © All Rights Reserved
We take content rights seriously. If you suspect this is your content, claim it here.
Available Formats
Download as PDF, TXT or read online on Scribd
0% found this document useful (0 votes)
79 views8 pages

Musawwir - Inferioritas Pada Siswa SMP Dan MTS Di Pulau Ternate

This document summarizes a study that aims to describe feelings of inferiority among junior high school students in Ternate Island, Indonesia. The study used a quantitative descriptive approach and measured levels of inferiority in 648 students using a 48-item scale. The results found that 8% of students had very high inferiority, 22% were high, 37% were medium, 28% were low, and 5% were very low. Feelings of inferiority can be influenced by physical appearance, social relationships, self-ability, economic conditions, and family background. Addressing inferiority is important for students' academic and social development.

Uploaded by

Cita Tri Kusuma
Copyright
© © All Rights Reserved
We take content rights seriously. If you suspect this is your content, claim it here.
Available Formats
Download as PDF, TXT or read online on Scribd
You are on page 1/ 8

Musawwir, Arie Gunawan Hazairin Zubair, Nurul Inayah

Nosipakabelo: Jurnal Bimbingan Konseling


https://journal.iainpalu.ac.id/index.php/nosipakabelo/

Inferioritas Pada Siswa Smp dan Mts Di Pulau


Ternate
Musawwir1, Arie Gunawan Hazairin Zubair2, Nurul Inayah3
Universitas Bososwa Makassar, Indonesia1
[email protected]*

Abstract
This study aims to describe the inferiority that exists in junior high school
students in Ternate Island. Inferiority is due to feeling that there is a
deficiency in yourself or an imperfection in an individual's life. This feeling
will encourage someone to be insecure and tend to feel fail. The method
used in this research is descriptive quantitative approach. The sample that
Article Information: will be involved in this research is around 648 students of SMP / MTs at
Received April 17, 2020 Ternate city. This sample size was obtained by dividing the sample size of
Revised June 4, 2020 24 students per school, 8 students per batch (grades 1-3), consisting of 4
Accepted June 16, 2020 boys and 4 girls. The variables will be measured using an inferiority scale
instrument compiled by researchers based on the inferiority dimensions
Keywords: inferiority, student, proposed by Adler, namely, Feeling of being below, Feeling of feminity, and
lackness Feeling of insecurity (feeling insecure). This scale consists of 48 items, with
24 favorable items and 24 unfavorable items. The results showed that there
were 36 respondents (8%) who had an inferiority score in the very high
category, 98 respondents (22%) were in the high category, 161 respondents
(37%) were in the medium category, 123 respondents (28%) were in the
low category, and 24 respondents (5%) are in the very low category. These
results indicate that inferiority is a situation faced by students but can still
be overcome with various approaches.
PENDAHULUAN
Siswa merupakan individu yang memiliki berbagai macam karakteristik, latar belakang
dan kepribadian sehingga tiap siswa menunjukkan potensi prestasi akademik yang berbeda-
beda pula. Siswa SMP atau MTs merupakan individu-individu yang berada pada fase remaja
awal yang dikenal dengan fase pencarian jati diri. Santrock (1995) menjelaskan bahwa pada
masa remaja, individu akan cenderung mudah terpengaruh oleh lingkungan sekitar seperti
teman sebaya atau orang-orang yang lebih dewasa yang berada disekitar individu tersebut.
Tuntutan perubahan dari lingkungan akan memberikan tekanan kepada individu yang
memaksa untuk beradaptasi dengan situasi tersebut, sehingga jika seseorang tidak mampu
melakukan adaptasi terhadap lingkungan akan menimbulkan perasaan rendah diri atau dikenal
dengan istilah inferioritas (Ariyanto & Karino, 2018). Penilaian narasumber yang rendah
terhadap dirinya mengantarkan individu pada sikap pasif dalam mengejar prestasi serta
dalam berinteraksi. Siswa yang menganggap dirinya berbeda dan merasa kekurangan
akan sesuatu, membuatnya meragukan kemampuan dirinya dan takut akan kegagalan
sebelum benar-benar mencoba bertindak. Padahal siswa yang aktif mengejar cita-cita serta
berperan dalam lingkungan sangat dibutuhkan baik Negara maupun kota tempat tinggaal
siswa. Terutama bagi daerah yang masih berkembang, membutuhkan calon penerus yang
memiliki kepercayaan diri dan dorongan berprestasi yang baik, serta bertanggung jawab
terhadap lingkungan.

E-ISSN: 2798-3250 Nosipakabelo: Jurnal Bimbingan Konseling


Published by: Institut Agama Islam Palu
Vol. 2, No. 1, Juli 2021 8
Musawwir, Arie Gunawan Hazairin Zubair, Nurul Inayah
Aini (2018) menjelaskan hasil penelitiannya bahwa perasaan inferior yang tinggi dapat
membuat seorang anak tidak sepenuhnya percaya pada kemampuannya sendiri, sehingga
wawasan dan interaksi bersama teman-temannya kurang. Dampak inferioritas dapat membuat
seorang siswa untuk meragukan kemampuan dirinya dan menghindar dari interakasi sosial.
Kalaivani (2017) juga memaparkan hal serupa dalam penelitianya, bahwa remaja yang
memiliki tingkat inferioritas yang tinggi akan membuatnya menutup diri dan cenderung tidak
memiliki motivasi dalam melanjutkan pendidikan.
Terdapat berbagai faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya inferioritas, seperti yang
dikemukakan oleh Smith (1983) bahwa bahwa tampilan fisik, hubungan sosial, kemampuan
diri, keadaan ekonomi, dan latar belakang keluarga dapat meningkatkan perasaan rendah
diri seseorang. Teori ini didukung oleh Situasi yang ditemukan oleh peneliti berdasarkan hasil
wawancara awal terhadap 10 siswa SMP dan MTs di Kota Ternate yang menunjukkan bahwa
terdapat siswa mengalami inferioritas karena tidak yakin dengan kemampuan akademik yang
dimilikinya sehingga siswa menjadi tidak percaya diri dan merasa tidak mendapatkan
perhatian dari guru. Selain itu, ditemukan pula kondisi dimana siswa mengalami inferioritas
karena memiliki kekurangan fisik seperti tinggi badan dibawah rata-rata teman kelas atau
merasa tidak memiliki tampilan wajah yang menarik. Sebagai kesimpulan, hal-hal yang
berperan besar dalam memunculkan perasaan inferioritas ini adalah 1) tampilan fisik, 2)
pendapat teman-teman dan 3) perubahan lingkungan. Penilaian narasumber yang rendah
terhadap dirinya mengantarkannya pada sikap pasif dalam mengejar prestasi serta dalam
berinteraksi. Siswa yang menganggap dirinya berbeda dan merasa kekurangan akan
sesuatu, membuatnya meragukan kemampuan dirinya dan takut akan kegagalan sebelum
benar-benar mencoba bertindak. Padahal siswa yang aktif mengejar cita-cita serta berperan
dalam lingkungan sangat dibutuhkan baik Negara maupun kota tempat tinggal siswa.
Terutama bagi daerah yang masih berkembang, membutuhkan calon penerus yang memiliki
kepercayaan diri dan dorongan berprestasi yang baik, serta bertanggung jawab terhadap
lingkungan.
Rahman & Pratiwi (2014) menjelaskan pada penelitiannya bahwa perasaan inferior
yang tinggi dapat membuat seorang anak tidak sepenuhnya percaya pada kemampuannya
sendiri, sehingga wawasan dan interaksi bersama teman-temannya kurang. Dampak
inferioritas dapat membuat seorang siswa untuk meragukan kemampuan dirinya dan
menghindar dari interakasi sosial. Istanti & Yuniardi (2018) juga memaparkan hal serupa
dalam penelitiannya, bahwa remaja yang memiliki tingkat inferioritas yang tinggi akan
membuatnya menutup diri dan cenderung tidak memiliki motivasi dalam melanjutkan
pendidikan.
Barmawi & Suranto (2016) menjelaskan bahwa keadaan siswa saat berada disekolah
dan/atau proses belajar mengajar di kota Ternate berpengaruh langsung pada perkembangan
kemampuan siswa kelak dan menjadi tolak ukur keberhasilan impelementasi program
pendidikan wajib belajar 9 tahun di kota Ternate. Siswa yang tidak merasa nyaman dengan
dirinya sendiri karena adanya alasan-alasan tertentu disekolah akan menghasilkan seorang
individu yang pasif dan tidak berkontribusi dalam perkembangan daerahnya. Sehingga,
penting bagi siswa untuk merasa yakin pada kemampuannya agar proses pencapaiannya
di sekolah berjalan dengan baik.
Masih kurangnya penelitian tentang inferioritas terutama dalam lingkup dunia
pendidikan mengakibatkan kurangnya referensi tentang variabel ini, oleh karena itu perlu
dilakukan penelusuran secara kuantitatif berupa survey yang diharapkan dapat memberikan
gambaran yang jelas tentang kondisi inferioritas terutama di kota Ternate sebagai salah satu
kota yang berkembang dengan pesat.

METODE PENELITIAN
Penelitian yang digunakan ini adalah penelitian kuantitatif. Penelitian kuantitatif
memandang tingkhalkau manusia dapat diramalkan, objektif dan dapat diukur. Penggunaan

Nosipakabelo: Jurnal Bimbingan Konseling


Vol. 2, No. 1, Juli 2021 9
Musawwir, Arie Gunawan Hazairin Zubair, Nurul Inayah
penelitian kuantitatif dengan instrumen yang valid dan reliabel serta analisis statistik yang
sesuai dan tepat akan menghasilkan penelitian yang tidak menyimpang. Metode kuantitatif
digunakan untuk meneliti populasi atau sampel tertentu, pengumpulan data menggunakan
instrumen penelitian. Data dari penelitian ini terdiri dari angka-angka yang dapat dianalisis
berdasarkan prosedur-prosedur statistik (Creswell, 2002).
Populasi sebagai wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subjek yang
mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk
dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Populasi dalam penelitian ini peneliti
dapatkan dari Dinas Pendidikan Kota Ternate yaitu, berjumlah 8.741 siswa, dengan
5.955 mengemban pendidikan di sekolah negeri dan 2.786 di sekolah swasta. Terdapat 27
sekolah dengan 10 sekolah negeri dan 17 sekolah swasta, yang terdiri atas 6 sekolah
Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan 21 Sekolah Menengah Pertama (SMP) di pulau
Ternate.
Populasi dalam penelitian ini ialah siswa/siswi SMP/MTs yang menduduki kelas 1-
3 sehingga memiliki strata dan jumlah siswa/siswi di setiap SMP/MTs memiliki jumlah yang
beragam atau tidak homogen, sehingga peneliti memilih jenis teknik pengambilan sampel
tersebut. Adapun karakteristik sampel yang digunakan dalam penelitian ini ialah
siswa/siswi SMP/Mts, aktif bersekolah, dan berusia antara 11-16 tahun.
Sampel yang akan dilibatkan dalam penelitian ini ialah berkisar 648 siswa/siswi
SMP/MTs kota Ternate. Jumlah sampel ini didapatkan dengan membagi ukuran sampel 24
siswa/siswi per sekolah,8 siswa/siswi per angkatan (kelas 1-3), yang terdiri atas 4 laki-laki
dan 4 perempuan.

PEMBAHASAN

Kata Inferioritas pada kamus psikologi yang ditulis oleh Chaplin (2008) merujuk kepada
perasaan tidak aman yang mengarah ke perasaaan rendah diri karena tidak mampu memenuhi
tuntutan dalam hidup. Inferioritas sendiri di kenal dalam dunia psikologi sebagai bagian dari
teori kepribadian Alfred Adler. Adler mengkonsepkan kehidupan dasar manusia bergerak dari
kondisi minus ke kondisi plus, merangkak dari perasaan inferior ke perasaan superior,
kesempurnaan, dan totalitas. Adler pada awalnya mengemukakan ide mengenai organ
inferioritas yang berasal dari rasa penasaran kepada subjek yang terkena musibah dan hanya
merasakan sakit pada suatu organ tertentu saja (Adler, 1973). Adler kemudian memperluas
konsep inferioritas sebagai perasaan kekurangan secara psikologis atau sosial yang bersumber
dari cacat fisik, dan juga menggambarkan terkait jenis kelamin bahwa inferioritas sebagai
perasaan kurangnya kejantanan yang disebut sebagai protes maskulin. Kemudian pengertian
tersebut diuraikan dengan lebih umum yaitu perasaan karena merasa adanya kekurangan
dalam diri atau adanya ketidaksempurnaan dalam hidup individu (Fitriana, 2018).
Adler menekankan bahwa perasaan inferioritas merupakan bagian dari kehidupan
manusia, dan telah dibawa sejak lahir (dalam hal ini disebutkan sebagai organ inferior). Bayi
dan anak-anak akan merasa tidak aman jika hidup tanpa bimbingan orang dewasa, perasaan
ketergantungan ini merupakan hasil dari lemahnya penilaian diri jika berdiri sendiri. Namun,
seiring dengan perkembangan, anak akan terdorong mencapai kedewasaan karena keinginan
menyempurnakan diri mencapai totalitas (Adler, 1973). Maka dari itu inferioritas bukanlah
suatu keadaan abnormal melainkan suatu dorongan yang membuat manusia ingin
menyempurnakan hidupnya. Namun, terdapat kondisi inferioritas tertentu yang dianggap
berlebihan dan menyebabkan lahirnya kondisi inferioritas kompleks (Lindzey & Hall, 1965).
Seperti pada kondisi anak yang menganggap bahwa lingkungannya adalah musuhnya,
sehingga tidak ingin lagi berinteraksi, membuatnya berhenti berkembang dan tidak dapat
mencapai totalitas. Anak seperti ini mengurung dirinya dengan inferioritasnya, Ia lebih takut
akan kekalahan dibandingkan dengan keinginan untuk sukses (Nurbaity, 2017).
Pada teori perkembangan Gunarsa (1982), inferioritas disebutkan sebagai bagian dari

Nosipakabelo: Jurnal Bimbingan Konseling


Vol. 2, No. 1, Juli 2021 10
Musawwir, Arie Gunawan Hazairin Zubair, Nurul Inayah
delapan tahapan perkembangan manusia, tahap ini dinamakan produktivitas/industri vs
inferioritas. Erikson menjelaskan di tahap ini bahwa anak akan dipersiapkan untuk memasuki
kehidupan melalui sekolah. Di sekolah anak belajar untuk mendapatkan pengakuan dengan
memproduksi sesuatu yang bermakna melalui kemampuan yang dipelajari. Namun, ketika
seorang anak merasa lemah dengan keterampilannya ataupun statusnya diantara teman-
temannya Ia akan kehilangan asosiasi dengan “industrial” (kemampuan mempelajari dan
menerapkan keterampilan yang bermakna di lingkungan masyarakat) dan akibatnya perasaan
inferior anak meningkat.
Gunarsa (1982) menjelaskan bahwa disekolah anak-anak diajarkan mengenai budaya,
tekhnologi, maupun keterampilan-keterampilan yang diterapkan dan memiliki arti di
lingkungan masyarakat. Anak-anak akan diminta untuk menguasai suatu ilmu baru dan
menerapkannya, lalu diberi penilaian bersama dengan teman-temanya. Anak yang
menganggap dirinya gagal akan menempatkan dirinya dibawah teman-temannya, sehingga
mempengaruhi kinerja produktivitasnya kelak karena menganggap dirinya tidak mampu dan
membatasi diri. Ini merupakan bukti inferior anak.
Ariyanto (2018) menjelaskan lebih lanjut bahwa inferioritas seorang anak memiliki
penyebab yang berbeda-beda. Anak yang memiliki inferioritas mungkin saja diakibatkan
karena tidak mampu menyelesaikan konflik ditahap perkembangan sebelumnya, ataupun
karena sikap dari komunitas dan/atau sekolah yang menghalangi perkembangan anak.
Inferioritas sebagai konflik ditahap ini harus mampu anak atasi agar dapat memaksimalkan
penggunaan talenta-talenta baru yang lahir dari proses pembelajaran. Talenta ini akan
berperan ketika anak menempatkan diri dimasyarakat dan juga ketika anak tidak mampu
mengetasi inferioritas Ia akan mengalami hambatan yang lebih besar di tahapan selanjutnya
(Pujianti, 2013). (Ananda & Fadhilaturrahmi, 2018) menekankan bahwa pada tahap ini juga
memiliki peran penting dalam pertumbuhan ego seorang anak. Salah satu tanda anak yang
memiliki ego yang kuat ialah anak yang memiliki pengendalian inferioritas yang baik.
Ketika anak mampu menunjukkan keterampilannya dalam penyelasaian tugas di sekolah
tanpa merasa takut berlebihan atas kegagalan, maka anak akan mampu mengembangkan
egonya dengan baik dan mampu mencapai produktivitas yang maksimal. Walaupun di setiap
sekolah memiliki budaya, tujuan dan batasan tersendiri, namun peran guru di setiap sekolah
sama yaitu, sebagai pemberi motivasi dan insipirasi bagi anak agar dapat berprestasi di
sekolah.
Aspek dalam Inferioritas
Adler, Ansbacher dan Ansbacher (1964) menjelaskan berdasarkan teori yang
dikemukakan oleh Alfred Adler bahwa kepribadian manusia itu bergerak dari sisi inferioritas
ke superioritas dan totalitas, dalam kepribadian inferioritas terdapat aspek-aspek yaitu:
Feeling of below, memiliki beberapa bagian yaitu :
• Feeling of displeasure
• Feeling of humiliation
• Feeling of ignorance and lack of orientation
• Feeling of feminity
• Feeling of deprivation
• Qualified feelings of weakness of the sensory organs and speech organs
• Feeling of insecurity
• Unclealiness of all kind
• Sickness, danger of death
• Feeling of being disparaged (ketakutan akan pengucilan)
Faktor-Faktor Inferioritas
Brachfeld (2013) menguraikan dan menyimpulkan teori-teori yang dikemukakan oleh
para ahli tentang faktor-faktor yang meningkatkan perasaan inferioritas. Faktor-faktor tersebut
adalah :

Nosipakabelo: Jurnal Bimbingan Konseling


Vol. 2, No. 1, Juli 2021 11
Musawwir, Arie Gunawan Hazairin Zubair, Nurul Inayah
Iri hati
Iri hati atau envy adalah situasi dimana seseorang merasakan ketidak mampuan untuk
memiliki apa yang orang lain miliki, merasa tidak lengkap jika tidak memiliki hal tersebut dan
membandingkan dengan kondisi orang lain adalah pendorong seseorang memiliki perasaaan
iri hati, namun perasaan iri hati yang terjadi karena rasa “tidak memiliki” akan berganti
menjadi “tidak harus memiliki” yang menjadi lebih positif dan tidak selalu meningkatkan nilai
inferioritas.
Kesederajatan
Kesederajatan berkaitan dengan perbedaan usia dimana orang yang lebih muda
kadangkala berada dibawah tekanan orang yang lebih tua karena membandingkan faktor fisik
dan faktor intelektualitas. Namun, hal ini tidak hanya terjadi karena perbedaan tersebut tapi
juga karena ketidakmampuan mengikuti perkembangan zaman contohnya mengikuti
perkembangan teknologi. Jenis kelamin juga menjadi salah satu faktor dalam kesederajatan.
Adler berpendapat bahwa peran laki-laki dan perempuan yang dibentuk oleh masyarakat
membuat adanya perbedaan perilaku yang dapat dan tidak dapat dilakukan sehingga
menimbulkan dorongan untuk memiliki kesetaraan tanpa perbedaan fisik.
Keluarga
Brachfeld menjelaskan inferioritas dapat terjadi dalam keluarga karena beberapa kondisi
seperti kelahiran anggota keluarga baru atau kehilangan anggota keluarga baru.
Karakteristik Siswa Smp
Usia SMP ditinjau dari rentang kehidupan manusia berada pada masa remaja. Putri (2015)
menjelaskan remaja merupakan salah satu masa tahapan perkembangan manusia yang
memiliki banyak peningkatan & perubahan baik dari segi biologis, seperti hormon,
aspek fisik, kognitif, hingga sosioemosi. Usia remaja biasanya di mulai dengan
terjadinya pubertas, atau sebuah periode kematangan fisik yang berlangsung cepat, dan
melibatkan perubahan hormonal juga tubuh, hal ini dapat dikatakan sebagai penanda seorang
anak telah masuk pada masa remaja awal. Sehingga, masa remaja merupakan masa
evaluasi, pengambilan keputusan, komitmen, dan cara mereka (remaja) mengukir tempat
di dunia.
Hartati (2017) menjelaskan bahwa masa remaja awal adalah bagian perkembangan
remaja yang memiliki perbedaan secara kuantitatif, baik seacara laten dan umum
(jika dibandingkan dengan perkembangan remaja setelahnya). Masa remaja awal dimulai
dari usia 11 tahun pada anak perempuan dan beberapa tahun lebih lambat pada anak laki-laki.
Masa ini biasanya berakhir pada usia 14 tahun pada anak perempuan dan beberapa
tahun lebih lambat pada anak laki-laki. Masa perkembangan ini memiliki karakteristik
pada perubahan psikologis yang berkembang seiring dengan perubahan pengalaman
hidup dan situasi lingkungan. Perubahan ini terjadi secara intens, sehingga memiliki dampak
besar pada kohesi diri (kebergantungan dengan orang lain) dan self- esteem anak di
masa remaja awal.
Santrock (2003) lebih lanjut menjelaskan pada proses kognitif remaja, terjadi perubahan
pada cara berpikir dan tingkat intelegensinya. Mengingat kalimat-kalimat dinovel,
menyelesaikan quiz/teka-teki, maupun membayangkan bagaimana rasanya menjadi artis,
semua hal merefleksikan proses kognitif. Sedangkan pada proses sosioemosinya, remaja
mengalami perubahan emosi, kepribadian, relasi dengan orang lain, dan konteks sosial.
Membangkan orang tua, menyukai acara-acara kekinian, bersikap asertif, adalah beberapa
contoh perubahan pada proses sosioemosi remaja.
Perkembangan remaja berhubungan dengan perkembangan sosial dan memiliki enam
kebutuhan penting (Santrock, 2003), yaitu:
1. Kebutuhan untuk saling memperhatikan, berarti, dan memuaskan dalam
hubungannya dengan individu lainnya;
2. Kebutuhan untuk memperluas persahabatan pada masa kanak- kanak dengan cara
berkenalan dengan orang baru dari latar belakang, pengalaman, dan pendapat-pendapat

Nosipakabelo: Jurnal Bimbingan Konseling


Vol. 2, No. 1, Juli 2021 12
Musawwir, Arie Gunawan Hazairin Zubair, Nurul Inayah
yang berbeda;
3. Kebutuhan untuk mendapatkan penerimaan, rasa memiliki, pengakuan, dan status
dalam kelompok sosial;
4. Kebutuhan akan ketertarikan dengan hubungan teman sejenis dan teman bermain pada
masa kanak-kanak tengah untuk beralih ke perhatian pada lawan jenis dan
persahabatan;
5. Kebutuhan untuk mempelajari, mengadaptasi, dan mempraktekkan pola berkencan dan
kemampuan yang akan berpengaruh pada perkembangan sosial dan individu,
kecerdasan dalam memilih teman, dan pernikahan yang bahagia;
6. Kebutuhan untuk mendapatkan penerimaan peran jenis kelamin maskulin dan feminin
dan untuk mempelajari tingkah laku kemampuan seksual.
Ditinjau dari perkembangan kognitif beberapa ahli memberikan pengertian. Piaget (dalam
Gunarsa, 2008) menjelaskan dalam teori perkembangannya bahwa remaja (usia 11 tahun
ke atas) memasuki periode ke IV yaitu periode operasi berpikir formal. Pada tingkat ini para
remaja bekerja dengan sistematis dan mencoba segala kemungkinan. Mereka mulai dengan
mencoba beragam kombinasi dan kemudian menyadari bahwa mereka akan merasa lebih baik
jika mencoba “semua”. Ketika remaja memikirkan berbagai kemungkinan pada situasi yang
dihadapinya, mereka kemudian secara sistematis mengujinya. Mereka tidak hanya gembira
mencoba kemungkinan baru, namun juga membuat sebuah hipotesis berdasarkan efek ataupun
variabel yang mereka temukan.
Aini (2018) menyatakan bahwa transisi antara SD menuju jenjang pendidikan
selanjutnya biasa nya menimbulkan penurunan self-esteem (harga diri) individu. Self-
esteem diketahui lebih tinggi ketika individu berada di kelas 6 SD dibandingkan ketika
memasuki SMP, khususnya ketika duduk dibangku kelas satu SMP. Hal ini diyakini
terkait dengan perubahan lingkungan dan kenaikan harapan masyarakat seiring
bertambahnya usia. Siswa-siswi diharapkan mampu lebih inisiatif dan bertanggung
jawab dalam beradaptasi menjadi seorang remaja. Remaja juga mengembangkan
kedekatan dengan teman sebaya lebih dari ketika Ia masih berada di bangku SD. Remaja
juga cenderung mendorong dirinya agar bersikap mandiri, sehingga berdampak pada
perubahan perilaku.
Remaja cenderung tidak bersikap baik ketika berada dilingkungan yang tidak sesuai
dengan kebutuhan psikologinya. Jika perubahan lingkungan di SMP tidak sesuai dengan
kebutuhan seorang remaja, maka akan mendorong remaja untuk menolak termotivasi, tertarik,
dan menunjukkan perilaku sosial di lingkungannya. Struktur lingkungan sekolah berbeda
dengan SD, gedung yang besar, guru yang banyak, hingga teman-teman yang beragam
memaksa seorang remaja untuk beradaptasi dengan baik. Guru di SMP biasanya mengajar
beberapa kelas sekaligus, sehingga kecendrungan siswa/siswi untuk dekat dengan guru
rendah. Hal ini berdampak pada kebutuhan dukungan sosial yang dibutuhkan oleh
siswa/siswi di sekolah, jika Ia seharusnya membutuhkan perhatian selain dari lingkungan
keluarganya. Keadaan ini juga akan mungkin mempengaruhi tingkat kepercayaan siswa/siswi
terhadap gurunya dan begitupun sebaliknya, membuat penurunan efikasi guru, menaikkan
kecenderungan guru untuk mengajar dnegan tipe kontrol-otoriter, dan juga menaikkan
perasaan keterasingan bagi siswa/siswi. Masalah-masalah ini jika tidak ditangani segera akan
mengarahkan siswa/siswi mengembangkan motivasi negatif, perasaan ditolak dan di abaikan,
bolos, hingga pindah atau berhenti sekolah (Lerner, Easterbrooks, & Mistry, 2003).
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa siswa sekolah menengah pertama memiliki
perubahan perilaku dan sikap setelah meninggalkan bangku sekolah dasar. Perubahan ini
terjadi seiring dengan perkembangan dirinya memasuki masa remaja dan perubahan tuntutan
juga keadaan lingkungan disekitarnya.
Variabel Inferioritas yang terdiri atas 28 aitem yang dianggap valid, diperoleh mean
sebesar 18.42, dengan skor maksimum sebesar 28.94 dan skor minimum sebesar 10.44, serta
standar deviasi sebesar 3.32. Hasil pengumpulan data menunjukkan terdapat 36 responden

Nosipakabelo: Jurnal Bimbingan Konseling


Vol. 2, No. 1, Juli 2021 13
Musawwir, Arie Gunawan Hazairin Zubair, Nurul Inayah
(8%) yang memiliki skor inferioritas berada dalam kategori sangat tinggi, 98 responden (22%)
berada dalam kategori tinggi, 161 responden (37%) berada dalam kategori sedang, 123
responden (28%) berada dalam kategori rendah, dan 24 responden (5%) berada dalam
kategori sangat rendah.
Untuk responden siswa SMP laki-laki terdapat 5 responden (7%) yang berada dalam
kategori inferioritas sangat tinggi, 15 responden (21%) berada dalam ketagori tinggi, 29
responden (42%) berada dalam kategori sedang, 29 responden (24%) berada dalam kategori
rendah, dan 4 responden (6%) berada dalam kategori sangat rendah. Hasil kategorisasi
Inferioritas tersebut dapat disimpulkan bahwa Inferioritas pada siswa laki-laki MTs di Ternate
berada dalam kategori sedang. Artinya, siswa laki-laki MTs di Ternate memiliki perasaan
Inferior yang ia rasakan disekolah pada taraf cukup. Sedangkan pada subjek siswa SMP
Perempuan terdapat 20 responden (9%) yang berada dalam kategori sangat tinggi, 41
responden (18%) berada dalam ketagori tinggi, 91 responden (41%) berada dalam kategori
sedang, 57 responden (26%) berada dalam kategori rendah, dan 14 responden (6%) berada
dalamkategori sangat rendah.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa siswa SMP di Ternate memiliki rasa inferioritas
sedang. Inferioritas yang dialami akan berdampak buruk jika tidak dapat dipahami
kondisinya, dampauk yang dimaksud seperti tidak yakin dengan kemampuan diri sendiri,
cenderung fokus kepada kegagalan dan takut menghadapi tantangan. Kata Inferioritas pada
kamus psikologi yang di tulis oleh Chaplin (2011) merujuk kepada perasaan tidak aman yang
mengarah ke perasaan rendah diri karena tidak mampu memenuhi tuntutan dalam hidup.
Inferioritas sendiri di kenal dalam dunia psikologi sebagai bagian dari teori kepribadian
Alfred Adler.
Adler mengkonsepkan kehidupan dasar manusia bergerak dari kondisi minus ke kondisi
plus, merangkak dari perasaan inferior ke perasaan superior, kesempurnaan, dan totalitas.
Adler pada awalnya mengemukakan ide mengenai organ inferioritas yang berasal dari rasa
penasaran kepada subjek yang terkena musibah dan hanya merasakan sakit pada suatu organ
tertentu saja (Ansbacher & Ansbacher, 1956). Adler kemudian memperluas konsep
inferioritas sebagai perasaan kekurangan secara psikologis atau sosial yang bersumber dari
cacat fisik, dan juga Ia menggambarkan terkait jenis kelamin bahwa inferioritas sebagai
perasaan kurangnya kejantanan yang Ia sebut sebagai protes maskulin. Kemudian pengertian
tersebut di uraikan dengan lebih umum yaitu perasaan karena merasa adanya kekurangan
dalam diri atau adanya ketidaksempurnaan dalam hidup individu (Fudyartanta, 2012). Kondisi
inferioritas pada masa SMP adalah hal yang biasa, namun perlu dipahami bahwa jika tidak
mendapatkan perhatian yang cukup maka akan menjadi kepribadian siswa yang akan menjadi
hambatan dalam berprestasi.
KESIMPULAN
Berdasarkan analisis data dan uji hipotesis yang telah dilakukan, maka hasil penelitian
dapat disimpulkan bahwa tingkat inferioritas siswa dan siswi SMP di Pulau Ternate rata-rata
berada pada kategori sedang yang artinya siswa SMP memiliki perasaan inferior namun masih
dapat mengendalikannya sehingga, tidak menghambat aktivitas belajar-mengajarnya di
sekolah. Dari hasil ini dapat disarankan agar sekolah-sekolah dapat memberikan perhatian
terhadap kondisi inferioritas siswa yang cenderung rendah.

Referensi
Adler, A. (1973). Alfred Adler's individual psychology. Teori Dasar Psikologi Kepribadian I,
64.
Adler, A., Ansbacher, H. L., & Ansbacher, R. R. (1964). The individual psychology of Alfred
Adler (Vol. 1154). New York: Harper & Row.
Aini, D. F. N. (2018). Self Esteem Pada Anak Usia Sekolah Dasar Untuk Pencegahan Kasus
Bullying. Jurnal Pemikiran dan Pengembangan Sekolah Dasar (JP2SD), 6(1), 36-46.
Aini, D. F. N. (2018). Self Esteem Pada Anak Usia Sekolah Dasar Untuk Pencegahan Kasus

Nosipakabelo: Jurnal Bimbingan Konseling


Vol. 2, No. 1, Juli 2021 14
Musawwir, Arie Gunawan Hazairin Zubair, Nurul Inayah
Bullying. Jurnal Pemikiran dan Pengembangan Sekolah Dasar (JP2SD), 6(1), 36-46.
Ananda, R., & Fadhilaturrahmi, F. (2018). Peningkatan Kemampuan Sosial Emosional
Melalui Permainan Kolaboratif pada Anak KB. Jurnal Obsesi: Jurnal Pendidikan Anak
Usia Dini, 2(1), 20-26.
Ariyanto, P. B. (2018). Inferioritas pada Anak Penderita Kanker. Yogyakarta: Universitas
Ahmad Dahlan.
Ariyanto, P. B. (2018). Inferioritas pada Anak Penderita Kanker. Yogyakarta: Universitas
Ahmad Dahlan.
Barmawi, W., & Suranto, S. (2016). Analisis Implementasi Kebijakan Wajib Belajar 9 Tahun
dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan di Kota Ternate. Journal of Governance and
Public Policy, 3(1).
Brachfeld, O. (2013). Inferiority feelings: In the individual and the group. Routledge.
Chaplin, J. P. (2008). Kamus psikologi lengkap. Jakarta: PT Raja Grafindo.
Creswell, J. W. (2002). Desain penelitian. Pendekatan Kualitatif & Kuantitatif, Jakarta: KIK.
Easterbrooks, M. A., & Mistry, J. (2003). Handbook of psychology: Developmental
psychology. R. M. Lerner, & I. B. Weiner (Eds.). Wiley.
Fitriana, D. (2018). Peran Orang Tua Asuh Dalam Pembinaan Kepribadian Anak Asuh Di
Panti Asuhan Darul Hadlanah Suruh Kabupaten Semarang Tahun 2017 (Doctoral
Dissertation, Iain Salatiga).
Gunarsa, S. D. (1982). Dasar dan teori perkembangan anak. BPK Gunung Mulia.
Gunarsa, S. D. (2008). Psikologi perkembangan anak dan remaja. BPK Gunung Mulia.
Hartati, S. (2017). Pengembangan Model Asesmen Perkembangan Anak Taman Kanak-
Kanak Di DKI Jakarta. Jurnal Pendidikan Usia Dini, 11(1), 19-30.
Istanti, S. R., & Yuniardi, M. S. (2018). Inferiority dan perilaku bullying dimediasi oleh
dorongan agresi pada remaja sekolah menengah pertama. Jurnal Ilmiah Psikologi
Terapan, 6(2), 207-212.
Karino, A. R. (2018). Pengaruh Perasaan Inferioritas Terhadap Orientasi Masa Depan
Dimediasi Oleh Adversity Quotient Pada Remaja Dengan Orang Tua Penyandang
Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) (Doctoral dissertation, University of
Muhammadiyah Malang).
Lindzey, G. E., & Hall, C. S. (1965). Theories of personality: Primary sources and research.
NURBAITY, M. (2017). Pembentukan Kepribadian Anak Melalui Keteladanan Orangtua Di
Lingkungan Rumah Menurut Konsep Pendidikan Islam.[Skripsi] (Doctoral Dissertation,
Uin Raden Fatah Palembang).
Pujianti, H. (2013). Cognitive Behavior Play Therapy (Cbpt) Untuk Mengatasi Inferioritas
Pada Anak (Doctoral Dissertation, University Of Muhammadiyah Malang).
Putri, B. D. (2015). Peran faktor keluarga dan karakteristik remaja terhadap perilaku seksual
pranikah. Biometrika dan Kependudukan, 3(1).
Santrock, J. W. (1995). Life-span development. WCB Brown & Benchmark Publishers.
Santrock, J. W. (2003). Adolescence: perkembangan remaja.

Nosipakabelo: Jurnal Bimbingan Konseling


Vol. 2, No. 1, Juli 2021 15

You might also like