0% found this document useful (0 votes)
52 views9 pages

ID Perbandingan Pemeriksaan Toksigenisitas

This document compares genotypic and phenotypic toxin detection methods for Corynebacterium diphtheriae isolates that caused diphtheria outbreaks in Indonesia. A total of 12 isolates were tested using PCR (polymerase chain reaction) for genotypic toxin detection and the Elek test for phenotypic detection. The results showed that 10 isolates were toxigenic while 2 were non-toxigenic, with no differences between the PCR and Elek test results. Therefore, the study found 100% conformity between genotypic toxin detection using PCR and phenotypic detection using the Elek test for these C. diphtheriae isolates from diphtheria cases in Indonesia.

Uploaded by

indahdwirah
Copyright
© © All Rights Reserved
We take content rights seriously. If you suspect this is your content, claim it here.
Available Formats
Download as PDF, TXT or read online on Scribd
0% found this document useful (0 votes)
52 views9 pages

ID Perbandingan Pemeriksaan Toksigenisitas

This document compares genotypic and phenotypic toxin detection methods for Corynebacterium diphtheriae isolates that caused diphtheria outbreaks in Indonesia. A total of 12 isolates were tested using PCR (polymerase chain reaction) for genotypic toxin detection and the Elek test for phenotypic detection. The results showed that 10 isolates were toxigenic while 2 were non-toxigenic, with no differences between the PCR and Elek test results. Therefore, the study found 100% conformity between genotypic toxin detection using PCR and phenotypic detection using the Elek test for these C. diphtheriae isolates from diphtheria cases in Indonesia.

Uploaded by

indahdwirah
Copyright
© © All Rights Reserved
We take content rights seriously. If you suspect this is your content, claim it here.
Available Formats
Download as PDF, TXT or read online on Scribd
You are on page 1/ 9

3HUEDQGLQJDQ SHPHULNVDDQ« VXQDUQR GNN

Perbandingan Pemeriksaan Toksigenisitas secara Genotip dan Fenotip


pada Beberapa Isolat Corynebacterium diphtheriae Penyebab
Difteri di Indonesia
Sunarno 1 , Kambang Sariadji 2
2
Puslitbang Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan
Email: [email protected]

Abstract
&RU\QHEDFWHULXP GLSKWHULDH¶V WR[LQ FDQ EH GHWHFWHG E\ XVLQJ LQ YLYR DQG LQ YLWUR H[DPLQDWLRQ
Detection of the toxin using the guinea pig is a gold standard. This method requires a long time and has
been opposed by animal right organization. There is another alternative method such as vero cell
cytotoxicity and Elek test. The limitation of these methods are reagent procurements, technical skill, and
a long processing time. Other alternative method like polymerase chain reaction (PCR) can overcome the
limitation. PCR can detect the toxin quickly and the results can be interpreted easily. Some previous study
showed there was the difference results between PCR and Elek test or vero cell cytotoxicity. The Aim of
this study is to compare genotypic toxin detection using PCR and phenotypic detection using Elek test, on
some isolates that caused diphtheria outbreak in Indonesia. A total of 12 isolates have been tested in this
study. These isolates were obtained from the outbreak cases in Indonesia and isolated in Bacteriology
Laboratory, Center for Research and Development of Biomedical and Basic Technology of Health. This
study used reference strains as positive and negative controls (NCTC 10648, NCTC 3984 and NCTC
10356). All samples were examined by PCR for toxin genotyping detection, and Elek test for phenotyping
detection. The results showed as many as 10 isolates were toxigenic C. diphtheriae while the remaining
were non-toxigenic. There was no nontoxigenic tox-gene bearing (NTTB). There were no difference
results between PCR and Elek test to detect the toxin. Base on the results of this study, there was a 100%
conformity results between PCR and Elek test to detect the toxin of C. diphteriae.

Key word: C. diphtheria, toxigenicity, PCR, Elek test.

Abstrak
Toksigenisitas (kemampuan mengeluarkan toksin) Corynebacterium diphtheriae dapat diketahui
dengan pemeriksaan in vivo maupun in vitro. Pemeriksaan in vivo menggunakan guinea pig sebagai gold
standard banyak ditentang pecinta binatang dan memakan waktu cukup lama. Sebagai alternatif gold
standard adalah vero cell cytotoxicity dan Elek test. Kedua pemeriksaan ini terkendala pengadaan reagen,
kemampuan teknis dan lama waktu yang dibutuhkan. PCR (polymerase chain reaction) menjadi alternatif
pilihan untuk pemeriksaan toksigenisitas secara cepat dan relatif lebih mudah dalam interpretasi hasil.
Namun demikian, beberapa penelitian sebelumnya mengindikasikan adanya perbedaan hasil antara PCR
dengan Elek test dan vero cell cytotoxicity. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan hasil
pemeriksaan toksigenisitas secara genotip menggunakan PCR dan fenotip menggunakan Elek test pada
beberapa isolat C. diphtheriae penyebab difteri di Indonesia. Sampel penelitian berupa 12 isolat klinis C.
diphtheriae penyebab kasus difteri di Indonesia, milik Laboratorium Bakteriologi, Puslitbang Biomedis
dan Teknologi Dasar Kesehatan. Kontrol positif dan negatif pemeriksaan menggunakan strain referensi
(NCTC 10648, NCTC 3984 dan NCTC 10356). Semua sampel diidentifikasi secara genotip
menggunakan PCR dan fenotip menggunakan Elek test. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 12
isolat yang diperiksa, 10 diantaranya adalah jenis toksigenik dan 2 lainnya non-toksigenik. Tidak
ditemukan adanya strain non-toxigenic tox-gene bearing (NTTB). Hasil yang sama terlihat pada
pemeriksaan PCR maupun Elek test. Oleh karena itu disimpulkan bahwa pada penelitian ini kesesuaian
hasil pemeriksaan toksigenisitas C. diphtheriae penyebab kasus difteri di Indonesia secara genotip
menggunakan PCR dan fenotip menggunakan Elek test mencapai 100%.

Kata kunci: C. diphtheriae, toksigenisitas, PCR, Elek test.

143
dengan edema jaringan mukosa di
Pendahuluan bawahnya sehingga dapat menyebabkan
terjadinya obstruksi saluran nafas.
Corynebacterium diphtheriae adalah
Selanjutnya toksin akan memasuki
agen penyebab penyakit difteri dan
peredaran darah dan menyerang berbagai
merupakan spesies utama penyebab
organ terutama sel jantung dan saraf
penyakit pada manusia dari Genus
karena pada tempat tersebut terdapat
Corynebacterium.1 Sebelum era vaksinasi,
banyak reseptor toksin difteri. Efek pada
difteri merupakan penyabab utama
jantung dapat mengakibatkan terjadinya
kematian pada anak-anak. Sejak
myocarditis dan payah jantung, sedangkan
dilakukannya program imunisasi secara
pada jaringan saraf akan menyebabkan
global, kasus difteri menurun secara
terjadinya polineuropati. Kematian
signifikan di berbagai belahan dunia.2
biasanya disebabkan gagal jantung dan
Namun demikian, difteri belum bisa
gangguan pernafasan.7,8,9,10
dieradikasi, wabah difteri tetap terjadi di
Berdasarkan kemampuannya dalam
berbagai negara. Kasus wabah difteri
menghasilkan toksin difteri, C. diphtheriae
terbesar pada era vaksinasi terjadi di Rusia
dibedakan menjadi 2, yaitu toksigenik dan
dan negara-negara bekas Uni Soviet tahun
non-toksigenik. Bakteri yang mampu
1990-an dengan korban lebih dari 4.000
menghasilkan toksin difteri disebut strain
penderita meninggal dunia.3,4 Khusus di
Indonesia, kejadian luar biasa (KLB) toksigenik, sementara bakteri yang tidak
difteri terjadi hampir di seluruh provinsi. mampu memproduksi toksin disebut strain
non-toksigenik.11,12 Selain itu ada yang
Pada beberapa tahun terakhir, Indonesia
dikenal dengan istilah strain nontoxigenic
selalu menempati peringkat ke-2 penderita
tox-gene bearing (NTTB). Strain NTTB
difteri terbanyak setelah India, baru pada
adalah bakteri yang secara genetik
tahun 2014 dan 2015 menempati peringkat
ke-3 setelah terjadi peningkatan kasus di memiliki gen pengkode sintesis toksin
Nepal dan Madagascar5,6 (gen tox), namun tidak terekspresi
Faktor virulensi utama C. sehingga secara fenotif tidak menghasilkan
diphtheriae adalah toksin difteri yang toksin.13,14 Gen tox merupakan seperangkat
berhubungan dengan gambaran sistemik gen yang dibawa oleh Corynephage,
penyakit difteri. C. diphtheriae yang sejenis virus yang menginfeksi bakteri
penyebab difteri. Jika terjadi proses
masuk ke dalam tubuh, melekat dan
lysogenik, gen tox akan terinsersi ke dalam
berkembang biak pada mukosa saluran
kromosom bakteri dan mempengaruhi
nafas atas. Bakteri akan mengeluarkan
perilaku bakteri tersebut yang pada
beberapa produk metabolit, diantaranya
awalnya bersifat non-toksigenik akan
toksin difteri. Toksin yang terbentuk akan
diserap melalui membran mukosa, menjadi toksigenik.15 Gen tox inilah yang
menimbulkan peradangan, destruksi sel dideteksi dan digunakan sebagai penanda
epitel dan akhirnya terjadinya nekrosis. toksigenisitas bakteri secara genotip pada
Pada daerah nekrosis terbentuk fibrin yang pemeriksaan PCR.16,17,18
diinfilterasi leukosit. Hal ini menyebabkan Pemeriksaan toksigenisitas secara
terbentuknya membran palsu yang sulit genotip dengan PCR menjadi alternatif
terlepas dan mudah berdarah. Membran pilihan di banyak laboratorium karena
palsu (pseudomembran) biasanya lebih cepat dan relatif lebih mudah dalam
terbentuk pada tonsil, faring, laring, interpretasi hasil.19 PCR juga bermanfaat
bahkan bisa meluas sampai dengan trakhea untuk pemeriksaan toksigenisitas pada
kasus yang bakterinya tidak dapat
dan bronkhus. Pseudomembran ini diikuti

144 Jurnal Biotek Medisiana Indonesia . Vol.5.2.2016:143-151


3HUEDQGLQJDQ SHPHULNVDDQ« VXQDUQR GNN

diisolasi (kultur negatif). Namun seperti digunakan sebagai kontrol positif dan
telah dikemukakan di awal bahwa pada kontrol negatif pemeriksaan. NCTC 10648
strain NTTB, secara fenotip bakteri tidak dan NCTC 3984 adalah C. diphtheriae
menghasilkan toksin difteri. Dalam kasus toksigenik yang mampu menghasilkan
demikian, akan terjadi perbedaan hasil toksin difteri. NCTC 10356 adalah C.
pemeriksaan antara metode PCR yang diphtheriae biotipe belfanti yang tidak
berbasis genotip dengan metode mampu menghasilkan toksin difteri (non-
konvensional yang berbasis fenotip. Ada toksigenik). Isolat referensi diperoleh dari
beberapa penelitian yang menemukan Health Protection Agency (HPA) United
ketidaksesuaian hasil PCR dibandingkan Kingdom melalui Balai Besar
dengan metode konvensional (Elek test Laboratorium Kesehatan Surabaya.
dan vero cell cytotoxicity).20,21 Seluruh sampel baik isolat klinik
Elek test dan vero cell cytotoxicity maupun isolat strain referensi dikultur
merupakan alternatif gold standard pada medium agar darah dan diinkubasi
pemeriksaan toksigenisitas bakteri pada suhu 37 oC selama 24 jam. Sel
penyebab difteri yang dalam pemeriksaan bakteri dipanen dari koloni yang tumbuh
dengan guinea pig sebagai gold standard untuk pemeriksaan toksigenisitas secara
menemui banyak hambatan. Namun, genotip menggunakan PCR maupun
aplikasi kedua pemeriksaan ini di fenotip menggunakan Elek test.
laboratorium sering terkendala masalah
ketersediaan bahan, keterbatasan Elek Test
kemampuan teknisi dan lama waktu yang Pemeriksaan toksigenisitas seca-ra
dibutuhkan.22,23 Di sisi lain, realitas di fenotip dilakukan dengan metode Elek test
lapangan menunjukkan bahwa jumlah yang telah dimodifikasi mengikuti
strain NTTB tidak banyak ditemukan prosedur yang dikembangkan oleh Engler,
sehingga pada beberapa penelitian, et.al.24 Elek base medium 2,5 ml dalam
kesesuaian hasil antara PCR dan metode tabung reaksi disterilisasi dengan
konvensional mencapai 100%.16,18 o
autoclave 121 C selama 15 menit,
o
Penelitian ini bertujuan untuk didiamkan sampai suhu 55 C,
membandingkan hasil pemeriksaan ditambahkan/dicampur dengan 0,5 ml
toksigenisitas secara genotip menggunakan Newborn Bovine Serum (Sigma) dan
PCR dan fenotip menggunakan Elek test dituang ke petri disc kecil (diameter 4,5
pada beberapa isolat C. diphtheriae cm). Disc antitoksin berisi 10 IU ADS
penyebab difteri di Indonesia. (Biofarma) diletakkan di bagian tengah
petri disc dan isolat C. diphtheriae
Metode diinokulasi pada bagian tepi dengan jarak
1 cm dari disk antitoksin. Inkubasi
Sampel
dilakukan pada suhu 37 oC selama 24-48
Penggunaan sampel isolat klinis dan
jam. Presipitasi berbentuk garis putih
seluruh prosedur yang ada dalam
dievaluasi di antara disk antitoksin dan
penelitian ini telah mendapat persetujuan
inokulasi bakteri. Bila terlihat garis
etik dari Komisi Etik Penelitian
presipitasi maka disimpulkan hasil Elek
Kesehatan, Badan Litbangkes No.
test positif dan jika tidak terlihat
LB.02.01/52/KE.200/2014. Sampel
presipitasi maka hasil dianggap negatif.
penelitian berupa 12 isolat klinis C.
Elek base medium dibuat
diphtheriae penyebab kasus difteri di
berdasarkan formula yang dikembangkan
Indonesia (milik Laboratorium
dan dipublikasi oleh Stephen D. Elek
Bakteriologi, Puslitbang Biomedis dan
tahun 1949.25 Campuran pertama terdiri
Teknologi Dasar Kesehatan). Tiga isolat
dari 22 gr proteose peptone (difco), 3 gr
C. diphtheriae strain referensi (NCTC
maltose (Merk), dan 0,7 ml asam laktat
10648, NCTC 3984 dan NCTC 10356)

145
(Oxoid) dilarutkan dalam Aquadest 500 ml sentrifugasi kering dengan kekuatan
ditambah dengan 40% NaOH, kemudian 14.000 rpm selama 1 menit. Terakhir, filter
direbus sampai semua bahan terlarut dan ditempatkan pada tabung baru, dibilas
disaring dengan kertas filter. Untuk dengan 200 ul buffer AE, dan
membuat pH 7,8 ditambahkan HCL. disentrifugasi 8.000 rpm selama 1 menit.
Campuran kedua terdiri dari 3% agar base Filter dibuang dan supernatant disimpan
ditambah 1% NaCl dan HCL untuk pada suhu ±20 oC untuk digunakan sebagai
membuat pH 7,8 dalam 500 ml aquadest. template DNA.
Setelah disaring, campuran pertama Proses amplifikasi dilakukan
ditambah campuran kedua, dimasukkan ke menggunakan sepasang primer (1st Base
dalam tabung, dan disterilisasi dengan Oligos) dengan target gen dtx/tox dengan
autoclave 121 oC selama 10 menit. panjang produk PCR 551 bp. Sekuens
primer adalah sebagai berikut:
PCR
Pemeriksaan toksigenisitas secara Forward Primer (F) ¶-
genotip dilakukan dengan metode PCR. CAAAAGGTTCGGTGATGGTGCTTC -
Ekstraksi DNA dilakukan dengan kit ¶
komersial QiaAmp DNA Minikit
(Qiagen). Prosedur ekstraksi mengikuti Reverse Primer (R) ¶-
petunjuk yang terlampir dalam kit dengan GACAATTCAGGATGCTCTAATGCC -
sedikit modifikasi pada volume sampel ¶
dan volume akhir. Sebanyak 100 ul
suspensi sel dimasukkan dalam microtube Volume final sebanyak 25 ul terdiri
1,5 ml ditambahkan dengan 20 ul dari 12,5 ul Kapa Multiplex 2G fast (Kapa
proteinase K dan 200 ul buffer AL, Biosystem), 1,25 ul masing-masing
dihomogenisasi dengan vortex selama 15 primer, 8 ul molecular water (Genekam)
detik dan diinkubasi pada suhu 56 oC dan 2 ul template DNA. Proses amplifikasi
selama 10 menit serta 95 oC selama 5 menggunakan mesin thermal cycler C1000
menit. Campuran tersebut ditambah (Biorad) mengikuti kondisi PCR sebagai
dengan 100 ul ethanol absolut, berikut: 95 oC selama 3 menit, diikuti 35
dihomogenisasi dengan vortex selama 15 siklus yang terdiri dari 95oC selama 15
detik, kemudian dipindahkan dalam tube detik, 60oC selama 30 detik, dan 72 oC
berfilter (mini column) dan disentrifugasi selama 30 detik. Produk PCR (amplikon)
8.000 rpm selama 3 menit. Supernatan diseparasi dengan mesin elektroforesis
dibuang dan filter dibilas dengan 750 ul (150 Volt selama 30 menit) pada 2% Gel
buffer AW1, disentrifugasi 8000 rpm Agarose (Genekam) yang diwarnai dengan
selama 3 menit dan supernatant dibuang. Gel red (Biotium) menggunakan TBE
Proses pembilasan ini dilakukan lagi buffer (Invitrogen). Hasil
dengan cara yang sama menggunakan dibaca/divisualisasi dengan Gel doc XR
buffer AW2. Selanjutnya dilakukan plus (Biorad).

146 Jurnal Biotek Medisiana Indonesia . Vol.5.2.2016:143-151


3HUEDQGLQJDQ SHPHULNVDDQ« VXQDUQR GNN

ADS

Gambar 1
Hasil Elek test: garis presipitasi ditunjukkan dengan tanda panah

Hasil kontrol positif (++) dan (+) serta sampel


no 9 dan 10. Hal ini menunjukkan
Elek test
bahwa sampel tersebut merupakan jenis
Gambaran hasil pemeriksaan Elek
toksigenik. Sementara itu, pada kontrol
test dapat dilihat pada Gambar 1.
negatif (-) dan sampel nomor 11 tidak
Gambar 1 menunjukkan bahwa garis
terlihat adanya garis presipitasi. Hal ini
presipitasi berwarna putih di antara
menunjukkan bahwa sampel tersebut
cakram antitoksin (tengah) dan tempat
merupakan jenis non-toksigenik.
inokulasi bakteri terlihat pada kedua

PCR
Hasil pemeriksaan toksigenisitas dengan PCR dapat dilihat pada Gambar 2.

600 bp 551 bp
400 bp
300 bp
200 bp
150 bp
100 bp
Gambar 2.

Gambar 2. Hasil pemeriksaan toksigenisitas dengan PCR: Marker, 100 bp DNA


ladder (M), C. diphtheriae toksigenik (1-10), C. diphtehriae non-toksigenik (11-12),
kontrol negatif dengan ddH2O (N), kontrol positif (P)

Gambar 2 menunjukkan bahwa pita sama sekali sebagaimana juga tidak


dengan panjang sekitar 551 bp terlihat terlihat pada kontrol negatif (N). Hal ini
pada sampel 1-10, sebagaimana terlihat menunjukkan bahwa kedua sampel
juga pada kontrol positif (P). Hal ini tersebut adalah jenis non-toksigenik.
menunjukkan adanya gen tox pada Perbandingan hasil pemeriksaan
sampel dan disimpulkan bahwa hasil PCR dan Elek test semua sampel dapat
positif toksigenik. Sementara itu pada dilihat pada Tabel 1.
sampel 11 dan 12, pita tidak terlihat

147
Tabel 1. Perbandingan hasil PCR dan Elek test.

No Sampel PCR Elek test Keterangan


Sampel 01 Toksigenik Toksigenik Sesuai
Sampel 02 Toksigenik Toksigenik Sesuai
Sampel 03 Toksigenik Toksigenik Sesuai
Sampel 04 Toksigenik Toksigenik Sesuai
Sampel 05 Toksigenik Toksigenik Sesuai
Sampel 06 Toksigenik Toksigenik Sesuai
Sampel 07 Toksigenik Toksigenik Sesuai
Sampel 08 Toksigenik Toksigenik Sesuai
Sampel 09 Toksigenik Toksigenik Sesuai
Sampel 10 Toksigenik Toksigenik Sesuai
Sampel 11 Non-toksigenik Non-toksigenik Sesuai
Sampel 12 Non-toksigenik Non-toksigenik Sesuai

Pembahasan ini berdampak pada kegagalan sintesis


Toksin difteri disintesis sebagai protein dan pada akhirnya terjadi
polipeptida rantai tunggal dengan berat kematian sel.26,27
molekul sekitar 62.000 dalton. Toksin Pemeriksaan toksigenisitas
difteri dapat dipecah dengan enzim bakteri C. diphtheriae penting
protease menjadi 2 fragmen, A (active dilakukan untuk kepentingan investigasi
atau catalytic domain) dan B (binding kasus dan pengobatan. Strain toksigenik
domain). Fragmen A merupakan bagian membutuhkan penatalaksanaan sesegera
aktif toksin yang berhubungan dengan mungkin dengan antibiotik dan ADS
efek letal sel host, sedangkan fragmen B (serum anti difteri). Keterlambatan
merupakan bagian yang berikatan pengobatan akan menyebabkan toksin
dengan reseptor pada permukaan sel menyebar ke seluruh tubuh dan
host. Kedua fragmen dihubungkan berikatan dengan reseptor toksin pada
dengan ikatan single disulfide. Pada permukaan sel, terutama sel saraf dan
keadaan absensi fragmen B, fragmen A jantung. Toksin yang telah berikatan
adalah non toksik karena tidak dapat dengan permukaan sel tidak dapat
menyeberangi membran plasma untuk dinetralisasi dengan ADS sehingga sel
menjangkau sitoplasma. Ikatan fragmen akan mengalami kerusakan dan
B dengan reseptor pada permukaan sel kematian. Oleh karena itu, seharusnya
host yang disebut heparin binding ADS telah diberikan pada 3 hari
epidermal growth factor (HB-EGF) pertama sejak timbul gejala klinis.10
menyebabkan terjadinya proses Pemeriksaan toksigenisitas C.
receptor-mediated endocytosis. Proses diphtheriae dapat dilakukan secara
ini berakibat pada masuknya toksin genotip maupun fenotip. Pemeriksaan
difteri ke dalam sel. Perubahan pH toksigenisitas secara fenotip yang
lingkungan sekitar menyebabkan dilakukan dengan Elek test,
terjadinya translokasi fragmen A ke sebagaimana terlihat pada Gambar 1
dalam sitosol. Fragmen A akan menggunakan prinsip immunopresipita
menginaktifasi protein seluler yang si. Antigen berupa toksin difteri yang
disebut elongation factor 2 (EF-2). Hal dihasilkan oleh bakteri penyebab difteri

148 Jurnal Biotek Medisiana Indonesia . Vol.5.2.2016:143-151


3HUEDQGLQJDQ SHPHULNVDDQ« VXQDUQR GNN

(yang diinokulasi) akan berikatan menempatkan salah satu mutasi pada


dengan antibodi (ADS) yang berasal strain NTTB sebagai tempat
dari disc antitoksin. Ikatan tersebut akan SHQHPSHODQ XMXQJ ¶ SULPHU 3&5
membentuk garis presipitasi yang dapat Hasil penelitian sebagaimana
diamati dengan mata telanjang. terlihat pada Tabel 1. menunjukkan
Ketebalan medium, jarak antara tempat bahwa pemeriksaan toksigenisitas 12
inokulasi bakteri dengan disc antitoksin isolat C. diphtheriae penyebab kasus
dan kadar antitoksin dalam disc, bahkan difteri di Indonesia menggunakan PCR,
asal atau pabrik pembuat reagen pun 100% sesuai dengan hasil pemeriksaan
dapat mempengaruhi hasil Elek test. Kedua metode tersebut
pemeriksaan.24,25 Elek test ditemukan mengidentifikasi 10 strain toksigenik
dan dipublikasikan oleh Stephen Elek dan 2 strain non-toksigenik dari 12
tahun 1949.25 Beberapa modifikasi telah sampel yang diperiksa. Kesesuaian hasil
dilakukan untuk mendapatkan hasil toksigenisitas antara pemeriksaan secara
yang lebih optimal. Pemeriksaan genotip dan fenotip ini dapat terjadi
toksigenisitas bakteri secara fenotip karena tidak adanya strain NTTB
dengan Elek test memiliki beberapa diantara 12 sampel atau ada strain
kendala untuk dilaksanakan secara NTTB namun tidak terjadi hibridisasi
rutin, diantaranya keterampilan teknisi GDQ DPSOLILNDVL ´SVHXGRJHQ´ WR[ pada
dan lamanya waktu yang dibutuhkan.23 strain tersebut. Hasil penelitian ini
Pemeriksaan toksigenisitas serupa dengan penelitian lain yang
secara genotip dengan PCR dilakukan Nakao, et.al dan Pimenta, et
sebagaimana terlihat pada Gambar 2 al.17,18 Penelitian ini memiliki
memiliki keunggulan dari sisi kecepatan keterbatasan pada jumlah sampel
dan kemudahan dalam interpretasi hasil. sehingga perlu dilakukan evaluasi
Berbagai cara dan modifikasi telah dengan jumlah sampel yang lebih
dilakukan untuk mendapatkan hasil banyak.
yang optimal. Nakao, et al. (1997)
mengembangkan PCR untuk Kesimpulan
diaplikasikan pada spesimen klinis Pada penelitian ini kesesuaian
(swab tenggorok dan nasofaring).18 hasil pemeriksaan toksigenisitas C.
Ahmed, et al menggunakan PCR untuk diphtheriae penyebab kasus difteri di
deteksi C. diphtheriae toksigenik pada Indonesia secara genotip menggunakan
susu.28 PCR untuk pemeriksaan difteri PCR dan fenotip menggunakan Elek
terus dikembangkan dengan teknik Real test mencapai 100%.
Time PCR, Light Cycler PCR, dan PCR
multipleks.17,29,30 Namun demikian, Saran
pemeriksaan PCR pada umumnya
memiliki keterbatasan untuk identifikasi PCR merupakan metode alternatif
toksigenisitas strain NTTB sehingga yang cepat, terutama untuk skrining
lebih banyak digunakan untuk pemeriksaan toksigenisitas C. diph-
kepentingan skrining toksigenisitas theriaae yang dapat diaplikasikan di
bakteri dan dilanjutkan dengan Elek laboratorium. Namun demikian,
test. Metode PCR yang digunakan pada kepastian toksigenisitas bakteri secara
penelitian ini adalah in-house PCR fenotip dengan pemeriksaan Elek test
dengan sepasang primer yang didesain maupuan yang lain tetap disarankan
untuk tidak mengamplifikasi beberapa untuk dilakukan.
strain NTTB. Hal ini dilakukan dengan

149
Daftar Rujukan Corynebacterium diphtheriae Biotype
Gravis Strains in Pondicherry, Southern
1. Burkovski A. Diphtheria and its India. J Clin Microbial. 2010;49(2):763-
Etiological Agent. In: Burkovski A, 764.
Editor. Corynebacterium diphtheriae and 12. Shashikala P, Reddy PVV, Prashant K,
Related Toxigenic Species. 2014. Kanungo R, Devi S, Anitha P,
Springer. http://libgen.org/ (Accessed 27 Rajarajeshweri, and Cherian TM.
February 2015). Persistence of Nontoxigenic
2. Tasman A & Lansberg HP. Problem Corynebacterium diphtheriae Biotype
concerning the prophilaxis, pathogenesis Gravis Strains in Pondicherry, Southern
and theraphy of diphtheria. Bull Wld Hlth India. J Clin Microbiol. 2010;49(2):763-
Org. 1957;16:939-973. 764.
3. Adler NR, Mahony A, and Friedman ND. 13. Eisenberg T, Kutzer P, Peters M, Sing A,
Diphtheria: forgotten, but not gone. Inter Contzen M, and Rau J. Nontoxigenic tox-
Med J. 2013:206-210. bearing Corynebacterium ulcerans
4. Hardy IRB, Dittmann S, and Sutter RW. Infection among Game Animals, Germany.
Current situation and control strategies for Emerg Infec Dis. 2014;20(3):448-452.
resurgence of diphtheria in newly 14. Zakikhany K, Neal S, and Efstratiou.
independent states of of the former Soviet Emergence and molecular characterization
Union. The Lancet. 1996;347(9017):1739- of non-toxigenic tox gene-bearing
1744. Corynebacterium diphtheriae biovar mitis
5. CDC Indonesia, Ministry of Health. in the United Kingdom, 2003-2012. Euro
Diphtheria Surveillance Data -- Monthly Surveill. 2014;19(22):1-8.
Integrated VPD Report. Indonesia: 2014. 15. Sekizuka T, Yamamoto A, Komiya T,
6. WHO. Diphtheria reported cases. Kenri T, Takeuchi F, Shibayama K,
http://apps.who.int/immunization_monitori Takahashi M, Kuroda M, and Iwaki M.
ng/ globalsummary/timeseries/ tsincidence Corynebacterium ulcerans 0102 carries the
diphtheria.html (Accessed 27 September gene encoding diphtheria toxin on a
2016) prophage different from the C.diphtheriae
7. 7RGDU . 7RGDU¶V 2QOLQH 7H[WERRN RI NCTC 13129 prophage. BMC
Bacteriology. Updated 2009. Microbiology. 2012;12:72.
http://textbookofbacteriology.net/diphtheri 16. Sunarno, Kambang Sariadji, Holly Arif
a.html. (Accessed 27 February 2015). Wibowo. Potensi gen dtx dan dtxR sebagai
8. Nursyamsi-Agustina N, Wahyutomo R, marker untuk deteksi dan pemeriksaan
Hapsari MMDEAH, and Wahjono H. toksigenisitas Corynebacterium
Tonsilopharingitis diphtheriae complicated diphtheriae. Bullet. Penelit. Kesehat.
with diphtheritic myocarditis in 13 years 2013;41(1):1-10.
old girl at DR Kariadi Hospital Semarang- 17. Pimenta FP, Hirata R, Rosa ACP, Milagres
Indonesia. JCMID. 2014;1(1):2355-1909. LG and Mattos-Guaraldi AL. A multiplex
9. Kolybo DV, Labyntsev AA, Romaniuk SI, PCR assay for simultaneous detection of
Kaberniuk AA, Oliinyk OM, Korotkevich Corynebacterium diphtheriae and
NV, and Komisarenko SV. differentiation between non-toxigenic and
Immunobiology of diphtheria. Recent toxigenic isolates. JMM.2008:1438-1439.
approaches for the prevention, diagnosis, 18. Nakao H & Popovic T. Development of a
and treatment of disease. Biotechnologia Direct PCR Assay for Detection of the
Acta. 2013;6(4):43-62. Diphtheria Toxin Gene. J Clin Microbiol.
10. Lumio J. Studies on the Epidemiology and 1997;35(7):1651-1655.
Clinical Characteristics of Diphteria during 19. Sunarno, Sariadji K, Rizky A. Malik A,
the Russian Epidemic of the 1990s. Karunaiwati A, Soebandrio A. Direct
Dissertation. Finlandia: University of Polymerase Chain Reaction, sebuah
Tampere; 2003. metode alternatif untuk diagnosis difteri
11. Shashikala P, Reddy PVV, Prashant K, secara cepat, mudah dan hemat. Makara
Kanungo R, Devi S, Anitha P, seri Kesehatan. 2013;17(2):88-94
Rajarajeshweri, and Cherian TM. 20. Wagner KS, White JM, Neal S, Crowcroft
Persistence of Nontoxigenic NS, Kupreviciene N, Paberza R, Lucenko
I, Joks U, Akbas E, Athanassoulis HA,

150 Jurnal Biotek Medisiana Indonesia . Vol.5.2.2016:143-151


3HUEDQGLQJDQ SHPHULNVDDQ« VXQDUQR GNN

Detcheva A, Vuopio J, von Hunolstein C, 26. Guilfoile PG. Deadly diseases and
Murphy PG, Andrews N, and Efstratiou A. epidemics: diphtheria. 2009 New York:
Screening for Corynebacterium Chelsea House Publishers.
diphtheriae and C.ulcerans in patients http://libgen.org/ (Accessed 27 February
with upper respiratory tract infections 2015).
2007-2008: a multicentre Europian study. 27. Murphy JR. Mechanism of Diphtheria
Clin Microb Infect. 2010;17(4):519-525. Toxin Catalytic Domain Delivery to the
21. Hall AJ, Cassiday PK, Bernard KA, Bolt Eukaryotic Cell Cytosol and the Cellular
F, Steigerwalt AG, Bixler D, Pawloski LC, Factors that Directly Participate in the
et al. Novel Corynebacterium diphtheriae Process. Toxin. 2011;3:294-308.
in domestic cats. Emerg Infect Dis. 28. Ahmed AAH, Saad NM, Wahba NM, and
2010;16(4):688-691. Mosa AIH. Polymerase Chain Reaction for
22. Babychh EM, Ryzhkova TA, Kalinichenco Detection of Toxigenic Strains of
SV, and Sklyar NI. General characteristic Corynebacterium diphtheriae in Milk and
of the methods for detection of diphtheria Some Milk Products. Inter J Dairy Sci.
toxin. Annals of Mechnickov Institute. 2011;6(5):287-294.
2008;N4:19-21. 29. Schuhegger R, Lindermayer M, Kugler R,
23. Neal SE & Efstratiou A. International Heesemann J, Busch U, and Sing A.
External Quality assurance for Laboratory Detection of toxigenic Corynebacterium
Diagnosis of Diphtheria. J Clin Microbiol. diphtheria and Corynebacterium ulcerans
2009;47(12):4037-4042. strains by a novel Real-Time PCR. J Clin
24. Engler KH, Glushkevich T, Mazurova IK, Microbiol. 2008;46(8):2822-2823.
George RC and Efstratiou A. A Modified 30. Sing A, Berger A, Schneider-Brachert W,
Elek Test for Detection of Toxigenic Holzmann T, and Reischl U. Rapid
Corynebacteria in the Diagnostic detection and molecular differentiation of
Laboratory. J Clin Mirobiol.1997;35(2): toxigenic Corynebacterium diphtheria and
495±498 Corynebacterium ulcerans strains by Light
25. Elek SD. The Plate Virulence Test for Cycler PCR. J Clin
Diphtheria. J Clin Path. 1949;2:250-258. Microbiol.2011;49(7):2485-2489.

151

You might also like