0% found this document useful (0 votes)
40 views21 pages

Relasi Fiqh Muamalah Dengan Ekonomi

This document discusses the relationship between Fiqh Muamalat (Islamic jurisprudence of transactions) and Islamic economics. It begins by explaining that human social interaction leads to personal interests and rights and obligations. Throughout history, economic practices like bartering and commerce have evolved. Islamic scholars developed Fiqh Muamalat to establish clear legal standards for protecting rights and obligations according to sharia. The document then defines Fiqh Muamalat and discusses key terms, concluding that Islamic economics is fundamentally part of Fiqh Muamalat as it regulates human interaction in economic practices.

Uploaded by

Naela
Copyright
© © All Rights Reserved
We take content rights seriously. If you suspect this is your content, claim it here.
Available Formats
Download as PDF, TXT or read online on Scribd
0% found this document useful (0 votes)
40 views21 pages

Relasi Fiqh Muamalah Dengan Ekonomi

This document discusses the relationship between Fiqh Muamalat (Islamic jurisprudence of transactions) and Islamic economics. It begins by explaining that human social interaction leads to personal interests and rights and obligations. Throughout history, economic practices like bartering and commerce have evolved. Islamic scholars developed Fiqh Muamalat to establish clear legal standards for protecting rights and obligations according to sharia. The document then defines Fiqh Muamalat and discusses key terms, concluding that Islamic economics is fundamentally part of Fiqh Muamalat as it regulates human interaction in economic practices.

Uploaded by

Naela
Copyright
© © All Rights Reserved
We take content rights seriously. If you suspect this is your content, claim it here.
Available Formats
Download as PDF, TXT or read online on Scribd
You are on page 1/ 21

Zainil Ghulam

RELASI FIQH MUAMALAT DENGAN EKONOMI ISLAM

Zainil Ghulam
Institut Agama Islam Syarifuddin Lumajang, Indonesia
e-mail: [email protected]

Abstract:

Association of human society, will lead to personal interests


for the sake of self-sufficient. From this will be born the rights and
obligations that must be observed as a result of the fulfillment of
human life necessities. Every human being bears the rights and
obligations of each. Therefore, the association's rights and obligations
should be regulated in accordance with the law and order that is
clearly not harm each other. For example, every human being must
be in need of property or the property of others. To meet these needs,
the emerging practice of barter (exchange of goods), then buying and
selling directly and are now developing more advanced such as e-
commerce. Practices such as these need standards clear law to
protect the rights and obligations of each. From here, the Muslim
scholars to formulate diligence "rules of the game" are clear and
properly conforming the Islamic Sharia, known as Fiqh Muamalat. In
Islam, the fundamental philosophy of Islamic Economics is unity of
god (Sura 39:38). The concept of monotheism confirms that Allah is
the One mighty One, the creator of all beings. Human beings as
creatures are derived from the same creation and discount equal
rights and obligations as a vicegerent on earth. Thus, in Islamic
Economics unknown economic strata, because the principle is the
equitable distribution of economic resources for the benefit of human
life and the universe. Humans as economic beings (homo
economicus) will certainly study the economy as part of his behavior
to meet their needs in accordance with the principles prisnip human
interaction. Therefore, the pattern of interaction between people
(read: Muamalat) in economic practice (Islam), it can be concluded
that the real Islamic economic is part of the Fiqh Muamalat.

Keywords: Fiqh Muamalat relations, Islamic economics

128 | Iqtishoduna Vol. 8 No. 2 Oktober 2016


Relasi Fiqh Muamalat dengan Ekonomi Islam

Pendahuluan
Pembahasan Muamalat sebetulnya telah banyak didiskusikan oleh
elemen manusia sejak dulu, karena muamalat itu sendiri sejatinya adalah
tata cara atau peraturan yang bersangkutan dengan urusan dunia, lebih
jelasnya berkaitan langsung dengan segala aktifitas manusia dengan
manusia lainnya, yang dari waktu ke waktu mengalami perubahan dan
perkembangan seiring dengan perkembangan peradaban dan teknologi.
Manusia sebagai makhluk sosial, mau tidak mau pernah melakukan satu
kegiatan muamalat dengan manusia lainnya untuk memenuhi hajat hidup
dan kehidupannya.
Pergaulan manusia dalam masyarakat, akan menimbulkan
kepentingan pribadi demi mencukupi kebutuhannya. Dari sinilah akan
lahir hak dan kewajiban yang harus diperhatikan sebagai akibat dari
pemenuhan hajat kehidupan manusia. Setiap manusia memikul hak dan
kewajibannya masing-masing. Oleh karenanya, hubungan hak dan
kewajiban ini harus diatur sesuai dengan hukum dan tatanan yang jelas
agar tidak merugikan satu sama lainnya. Sebagai contoh, setiap manusia
pasti akan membutuhkan harta atau barang milik orang lain. Untuk
memenuhi kebutuhan tersebut, muncul praktek barter (tukar menukar
barang), kemudian jual-beli secara langsung dan sekarang berkembang
lebih maju seperti e-commerce. Praktek-praktek seperti ini perlu patokan-
patokan hukum yang jelas untuk melindungi hak dan kewajiban masing-
masing. Dari sinilah, para sarjana muslim berijtihad untuk merumuskan
―aturan main‖ yang jelas dan benar —sesuai Syariat Islam— yang dikenal
dengan Fiqh Muamalat.
Menurut Juhaya S. Praja bahwa ―Pengunaan istilah Fiqh awalnya
mencakup hukum-hukum agama secara keseluruhan, baik hukum-hukum
yang berkeanaan dengan keyakinan (‘aqaid) maupun yang berkenaan

Iqtishoduna p-ISSN: 2252-5661, e-ISSN: 2443-0056| 129


Zainil Ghulam

dengan hukum-hukum praktis (amaliah) dan akhlak. Oleh karena itu


dijumpai istilah al-fiqh al-akbar dan al-fiqh al-asgar. Kedua istilah ini mulai
diperkenalkan oleh Abu Hanifah. al-Fiqh al-akbar berkonotasi usuhul al-din
yang kemudian dikenal ulama dengan nama ilmu tauhid, ilmu kalam,
ilmu ‘aqaid. Adapun al-fiqh al-asgar berkonotasi ushul al-fiqh, yakni dasar-
dasar pembinaan fiqih atau metodologi hukum Islam‖.1
Saat ini, pengunaan terminologi Hukum Fiqh, secara garis besar
dikategorikan meliputi: a). Hukum Ibadah, meliputi tata cara bersuci,
shalat, puasa, haji, zakat, sumpah, dan aktivitas sejenis terkait dengan
hubungan seorang hamba dengan Tuhannya. b). Hukum Muamalah,
meliputi tata cara melakukan akad, transaksi, hukum pidana atau perdata
dan lainnya yang terkait dengan hubungan antarmanusia atau dengan
masyarakat luas. 2
Manusia juga disebut sebagai makhluk Ekonomi, karena secara
kodrati ia akan membutuhkan barang dan jasa sepanjang hidupnya.
Untuk memenuhi kebutuhannya ini, ia akan mempertimbangkan secara
rasional berdasarkan adat, etika dan pranata sosial lainnya sebagai pijakan
relasi antar manusia dalam mewujudkan kepentingan pribadi masing-
masing.
Dalam agama Islam, filsafat fundamental Ekonomi Islam adalah
tauhid (QS 39:38). Konsep tauhid ini menegaskan bahwa Allah adalah
dzat yang maha Esa, pencipta seluruh makhluk. Manusia sebagai
makhluknya berasal dari ciptaan yang sama dan memliki hak dan
kewajiban yang setara sebagai khalifah di bumi. Maka dari itu, dalam
Ekonomi Islam tidak dikenal strata ekonomi, karena asasnya adalah

1 Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, (Bandung: Pusat Penerbitan Universitas


LPPM, Universitas Islam Bandung, 1995), h. 12.
2 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Juz I, (Beirut: Dar al-Fikr, 2008),

h. 33-34. Lihat juga, Ahmad Muhammad al-Sayid dan Yusuf ‗Ali Badiwi, al-Mufid fi al-
Ibadat wa al-Mu’amalat, (Beirut: Dar Ibn Kasir, 1998), h. 7.

130 | Iqtishoduna Vol. 8 No. 2 Oktober 2016


Relasi Fiqh Muamalat dengan Ekonomi Islam

pemerataan sumber daya ekonomi untuk kemaslahatan kehidupan


manusia dan alam semesta.

Terminologi Fiqh Muamalat


Istilah Fiqh Muamalat ini, terangkai dari dua kata yanki fiqh dan
muamalat. Kata Fiqh3 berasal dari ‫ يفقه – فقها‬- ‫ فقه‬yang artinya pengetahuan
dan pemahaman tentang sesuatu.4 Makna ini dipertegas oleh Abi al-
Husan Ahmad, bahwa kata fiqh menunjuk pada maksud sesuatu atau
ilmu pengetahuan. Itulah sebabnya, setiap ilmu yang berkaitan dengan
sesuatu disebut fiqh.5 Secara etimologis, kata fiqh juga berarti
―kecenderungan dalam memahami sesuatu secara mutlak‖ atau ―
mengetahui sesuatu, memahami, dan menanggapi secara sempurna‖.6
Begitu juga Wahbah al-Zuhaili mendefinisikan kata fiqh secara bahasa
adalah al-fahmnu (pemahaman), baik pemahaman secara holistik maupun
parsial.7 Kata Fiqh pada mulanya digunakan oleh orang Arab untuk
menyebutkan seseorang yang ahli dalam mengawinkan unta, dan yang
mampu membedakan unta betina yang sedang birahi dengan unta betina
yang sedang bunting. Ungkapan fahlun faqihan, sebagai julukan bagi
seseorang yang ahli dalam masalah unta, merupakan kata umum yang
digunakan di kalangan mereka. Dari ungkapan ini dapat diyakini bahwa
fiqh berarti pengetahuan dan pemahamn yang mendalam tentang
sesuatu.8

3Dedi Supriyadi, M.Ag., Sejarah Hukum Islam, Dari Kawasan Jazirah Arab sampai
Indonesia, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2007), h. 20-21.
4Sya‘ban Muhammad Isma‘il, al-Tasyri’ al-Islamiy Mashadiruhu wa Athwaruhu, (Kairo:

al-Nahdah al-Misriyah, 1985), h. 10.


5Abi al-Husan Ahmad, Mu’jam Maqayis al-Lughah, Juz IV, (Beirut: Dar al-Fikr, 1979),

h. 442.
6Umar Shihab, al-Qur’an dan Kekenyalan Hukum, (Semarang: Dina Utama, 1993), h.

28., Lihat juga, Abu Bakar Aceh, Ilmu Fiqih Islam dalam Lima Madzhab, (Jakarta: Islamic
Research Institute, 1997), h. 11.
7Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Juz I, h. 33.
8Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Tertutp, (Bandung: slaman, 1994), h. 1.

Iqtishoduna p-ISSN: 2252-5661, e-ISSN: 2443-0056| 131


Zainil Ghulam

Adapun pengertian fiqh secara istilah,9 jika ditelisik dari masa


konsepsinya sampai perkembangannya adalah:
1. Menurut Abu Hanifah, definisi Fiqh adalah ‫يعرفة انُفس يا نها ويا عهيها‬
(pengetahuan tentang hak dan kewajiban manusia).10
2. Imam Syafi‘i mendefinisikan Fiqh sebagi berikut: ‫انعهى باألحكاو انشرعية انعًهية‬
‫( انًكتسبة يٍ ادنتها انتفصيهية‬suatu ilmu yang membahas hukum-hukum
syari‘ah amaliyah (praktis) yang diperoleh dari dalil-dalil yang
terinci).11
3. Abdul Wahab Khallaf mendefinisikan fiqh dengan pengetahuan
tentang hukum-hukum syara‘ mengenai perbuatan manusia yang
diusahakan dari dali-dalil yang terinci atau kumpulan hukum syara‘
mengenai perbuatan manusia yang diperoleh dari dalil-dalil yang
terinci.12
4. Menurut al-Amidi, seorang ulama‘ Syafiiyah, mendefinisikan fiqh
sebagai ilmu tentang hukum-hukum syari‘ah dari dalil-dalil yang
terinci. Sementara menurut fuqaha Malikiyah, fiqh adalah ilmu
tentang perintah-perintah syari‘ah dalam masalah khusus yang
diperoleh dari aplikasi teori illat atau pencarian hukum dengan dalil.13
Dari pemaparan di atas, mengutip pendapat Dede Supriyadi,
M.Ag., dapat disimpulkan bahwa makna fiqh, telah menjadi disiplin
tersendiri. Istilah fiqh atau sering pula disebut dengan fiqh Islami –
biasanya diartikan dengan hukum Islam atau ada yang menyebutnya
dengan hukum positif Islam. Ilmu fiqh dapat berarti ilmu hukum Islam
(Islamic Jurisprudence), sebagaimana tertuang dalam definisi al-Ilm bi al-

9Dedi Supriyadi, M.Ag., Sejarah Hukum Islam, Dari Kawasan Jazirah Arab sampai

Indonesia, h. 22.
10Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Juz I, h. 30
11Ibid., h. 31
12Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, (Jakarta: al-Majlis al-‗A‘la al-Indunisi,

1972), h. 11
13Mun‘im Sirry, Sejarah Fiqh Islam (Sebuah Pengantar), (Surabaya: Risalah Gusti, 1995),

h. 14.

132 | Iqtishoduna Vol. 8 No. 2 Oktober 2016


Relasi Fiqh Muamalat dengan Ekonomi Islam

Ahkam. Ilmu fiqh juga berupa materi hukum, bahkan juga prosedur dalam
proses di pengadilan (hukum acara), sebagaimana tertuang dalam definisi
Majmu’at al-Ahkam. Meskipun pada saat ini, fiqh biasa diartikan hukum
Islam, hukum di sini tidak selalu identik dengan law atau rules (peraturan
perundang-undangan). Fiqh lebih dekat dengan konsep etika (religious
ethics).14
Adapun kata Mua‘malat, secara etimologi berasal dari kata ‫عايم‬
‫ يعايم يعايهة‬yang artinya saling bertindak, saling berbuat, dan saling
mengamalkan.15 Sedangkan pengertian Mu‘amalat secara terminologis,
dapat dibedakan dalam pengertian secara sempit dan luas. Definisi
Mu‘amalat secara arti luas sebagai berikut:
1. Menurut al-Dimyathi adalah: ‫( انتحصيم اندَيىي نيكىٌ سببا نألخر‬mengahasilkan
duniawi, supaya menjadi sebab suksesnya masalah ukhrawi).16
2. Muhammad Yusuf berpedapat bahwa muamalat adalah peraturan-
peraturan Allah yang harus diikuti dan ditaati dalam hidup
bermasyarakat untuk menjaga kepentingan manusia.17
3. Muamalat adalah segala peraturan yang diciptakan Allah untuk
mengatur hubungan manusia dnegan manusia dalam hidup dan
kehidupan.18
Sedangkan pengertian Muamalat dalam arti sempit,19 didefinisikan
oleh para ulama sebagai berikut:
1. Menurut Hudari Beyk adalah : ‫انًعايالت جًيع انعقىد انتي بها يتبادل يُافعهى‬
(Mu‘amalat adalah semua akad yang membolehkan manusia saling
menukar manfaatnya).

14Dedi Supriyadi, M.Ag., Sejarah Hukum Islam, Dari Kawasan Jazirah Arab Sampai
Indonesia, h. 25.
15Dr. H. Hendi Suhendi, M.Si. Fiqh Muamalah., (Jakarta: Rajawali Press, 2014), h. 1.
16Al-Dimyathi, I’ananh al-Talibin, (Semarang: Toha Putra, tt), h. 2.
17Dr. H. Hendi Suhendi, M.Si. Fiqh Muamalah, h. 2.
18Ibid.
19Ibid

Iqtishoduna p-ISSN: 2252-5661, e-ISSN: 2443-0056| 133


Zainil Ghulam

2. Idris Ahamad berpendapat bahwa Mu‘amalat adalah aturan-aturan


Allah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam
usahanya untuk mendapatkan alat-alat keperluan jasmaninya dengan
cara yang paling baik.20
3. Menurut Rasyid Ridha, Mu‘amalat adalah tukar-menukar barang atau
sesuatu yang bermanfaat dengan cara-cara yang telah ditentukan.21
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan fiqh Mu‘amalat dalam arti sempit adalah aturan-aturan
Allah yang wajib ditaati yang mengatur hubungan manusia dengan
manusia dalam kaitannya dengan memperoleh dan mengembangkan
harta benda. Perbedaan pengertian Mu‘amalat dalam arti sempit dengan
pengertian dalam arti luas adalah dalam cakupannya. Mu‘amalat dalam
arti luas mencakup masalah waris, misalnya, padahal masalah waris
dewasa ini telah diatur dalam disiplin ilmu tersendiri, yaitu dalam fiqh
mawaris (tirkah), karena masalah waris telah diatur dalam disiplin ilmu
tersendiri, maka dalam Mu‘amalah pengertian sempit tidak termasuk di
dalamnya.22
Mengutip pendapat Dimyauddin Djuwaini,23 bahwa konsep Fiqh
Mu‘amalat sebenarnya adalah tawaran Islam memberikan warna dalam
setiap dimensi kehidupan manusia, tak terkecuali dunia ekonomi. Sistem
Islam ini berusaha mendialektikan nilai-nilai ekonomi dengan nilai akidah
ataupun etika. Artinya, kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh manusia
dibangun dengan dialektika nilai materialisme dan spiritulisme. Kegiatan
ekonomi yang dilakukan tidak hanya berbasis nilai materi, akan tetatpi
terdapat sandaran transendental di dalamnya, sehingga akan bernilai

20Ibid., lihat Fiqh al-Syafi’iyyah, (Jakarta: Karya Indah, 1986), h. 1.


21Ibid.
22Dr. H. Hendi Suhendi, M.Si. Fiqh Muamalah, h. 3.
23Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2010), h. xviii

134 | Iqtishoduna Vol. 8 No. 2 Oktober 2016


Relasi Fiqh Muamalat dengan Ekonomi Islam

ibadah. Selain itu, konsep dasar Islam dalam kegiatan Mu‘amalat


(ekonomi) juga sangat konsen terhadap nilai-nilai humanisme. Diantara
kaidah dasar Fiqh Mu‘amalat adalah sebagai berikut:24
1. Hukum Asal dalam Mu‘amalat adalah Mubah. Ulama fiqh sepakat
bahwa hukum dalam transaksi Mu‘amalat adalah diperbolehkan
(mubah), kecuali terdapat nash yang melarangnya. Dengan demikian,
kita tidak bisa mengatakan bahwa sebuah transaksi itu dilarang
sepanjang belum/tidak ditemukan nash yang secara sharih
melarangnya.
2. Konsep Fiqh Mu‘amalat untuk mewujudkan Kemaslahatan, Fiqh
Mu‘amalat akan senstiasa berusaha mewujudkan kemaslahatan,
mereduksi permusuhan dan perselisihan diantara manusia. Allah
tidak menurunkan syari‘ah kecuali dengan tujuan untuk
merealisasikan kemaslahatan hiduyp hambaNya, tidak bermaksud
memberi beban dan menyempitkan ruang gerak kehidupan manusia.
3. Menetapkan harga yang kompetitif. Masyarakat sangat
membutuhkan barang produksi, tidak peduli ia seorang yang kaya
atau miskin, mereka mengingatkan konsumsi barang kebutuhan
dengan harga yang lebih rendah. Harga yang lebih rendah tidak
mungkin dapat diperoleh kecuali dengan pemangkasan biaya
produksi. Untuk itu, harus dilakukan pemangkasan biaya produksi
yang tidak begitu krusial, serta biaya-biaya oevrhead lainnya.
4. Meninggalkan intervensi yang Dilarang. Islam memberikan tuntunan
kepada kaum muslimin untuk mengimani konsepsi qadha’ dan qadar
Allah. Apa yang telah Allah tetapkan untuk seorang hamba tidak
akan pernah tertukar dengan bagian hamba lain, dan rezeki seorang
hamba tidak akan pernah berpindah tangan kepada orang lain. Perlu

24Ibid., h. xviii-xxiv.

Iqtishoduna p-ISSN: 2252-5661, e-ISSN: 2443-0056| 135


Zainil Ghulam

disadari bahwa nilai-nilai solidaritas sosial ataupun ikatan


persaudaraan dengan ornag lain lebih penting daripada sekadar nilai
materi. Untuk itu, Rasulullah melarang untuk menumpangi transaksi
yang sedang dilakukan orang lain, kita tidak diperbolehkan untuk
intervensi terhadap akad ataupun jual beli yang sedang dilakukan
oleh orang lain. Rasulullah bersabda: seseorang tidak boleh
melakukan jual beli atas jual beli yang sedang dilakukan oleh
saudaranya‖.
5. Menghindari Eksploitasi. Islam mengajarkan kepada pemeluknya
untuk membantu ornag-orang yang membutuhkan dimana
Rasulullah bersabda: ―Sesama orng muslim adalah saudara, tidak
mendzalimi satu sama lainnya..., barnag siapa memenuhi kebutuhan
saudaranya, maka Allah akan mencukupi kebutuhannya, dan barang
siapa membantu mengurangi beban sesama saudaranya maka Allah
akan menghilangkan bebannya di hari kiamat nanti‖.
6. Memberikan keleunturan dan toleransi. Toleransi merupakan
karakteristik dari ajaran Islam yang ingin direalisasikan dalam setiap
dimensi kehidupan. Nilai toleransi ini bisa dipraktekkan dalam
kehidupan politik, ekonomi atau hubungan kemasyarakatan lainnya.
Khusus dalam transaksi finansial, nilai ini bisa diwujudkan dengan
mempermudah transaksi bisnis tanpa harus memberatkan pihak yang
terkait. Karena Allah akan memberikan rahmat bagi orang yang
mempermudah dalam transaksi jual beli.
7. Jujur dan Amanah. Kejujuran merupakan bekal utama untuk meraih
keberkahan. Namun, kata jujur tidak semudah mengucapkannya,
sangat berat memegang prinsip ini dalam kehidupan. Seseorang bisa
meraup keuntungan berlimpah dengan lipstick kebohongan dalam
bertransaksi. Sementara, orang yang jujur harus menahan dorongan

136 | Iqtishoduna Vol. 8 No. 2 Oktober 2016


Relasi Fiqh Muamalat dengan Ekonomi Islam

materialisme dari cara-cara yang tidak semestinya. Perlu perjuangan


keras untuk membumikan kejujuran dalam setiap langkah kehidupan.

Falsafah Ekonomi Islam


Banyak ragam pendapat dari para sarjana muslim yang
menawarkan definisi ekonomi Islam. Diantara defiinisi tersebut adalah :
1. Menurut M. Umaer Chapra, ekonomi Islam ilmu yang membantu
merealisasikan kesejahteraan manusia (falah) melalui alokasi dan
distribusi sumberdaya yang langka, yang sejalan dengan ajaran Islam,
tanpa membatasi kebebasan individu ataupun menciptakan
ketidakseimbangan makro dan ekologis.25
2. Menurut M. Akram Khan, ekonomi Islam memusatkan perhatian
pada studi tentang kesejahteraan manusia (falah) yang dicapai dengan
mengorganisasikan sumber daya di bumi atas dasar kerjsama dan
partsipasi.26
3. Muhammad Abdul Manan berpendapat, Islamic Economics is a social
sciences with studies the economic problems imbuded with the values of
Islami. Ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah
ekonomi rakyat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam.27
4. Menurut Hazanuzaman, ekonomi Islam adalah pengetahuan dan
aplikasi dari ajaran dan aturan syariah yang mencegah ketidakadilan
dalam memperoleh sumber-sumber daya material memenuhi

25Nurizal Islamil, Maqashid Syari’a dalam Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Smart WR,

2014), h. 48. Lihat; M. Umer Chapra, What Is Islamic Economics, (Saudi Arabia: Islamic
Research and Training Institute, 1996), h. 33.
26Nurizal Islamil, Maqashid Syari’a dalam Ekonomi Islam, h. 48. Lihat: M. Akram Khan,

Islamic Economics: Nature and Needs, J. Res, Islamic Econ, Vol. 1, No.2, (1404/1984), h. 51.
27Dr. Rozalinda, M.Ag., Ekonomi Islam; Teori dan Aplikasinya pada Aktivitas Ekonomi,

(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2015), h. 3. Lihat, Muhammad Abdul Manan, Islamic
Economics: Theori and Practice (A Comperative Study), (Delhi: Idarah Adabiyah, 1970), h. 3.

Iqtishoduna p-ISSN: 2252-5661, e-ISSN: 2443-0056| 137


Zainil Ghulam

kebutuhan manusia yang memungkinkan untuk melaksanakan


kewajiban kepada Allah dan masyarakat.28
Dari beberapa definisi yang telah disebutkan, mengutip pendapat
Nurizal Ismail, bahwa tujuan dari ekonomi Islam adalah merealisasikan
falah kepada ummat manusia di muka bumi melalui pendayagunaan
sumber-sumber daya yang dianugerahkan oleh Allah kepada manusia
dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh-Nya. Batasan-batasan
tersebut menegaskan bahwa adanya perbedaan sudut pandang
(worldview) antara ekonomi Islam dan konvensional. Karena dengan
berbedanya worldview makan akan mengahasilkan kesimpulan yang
berbeda dari makna dan tujuan hidup manusia dalam berekonomi.
Islamic worldview adalah sebuah pandangan konprehensif dan terpadu di
sekitar kita dan tempat manusia di dalamnya. Menurut al-Attas, dikenal
dengan ru’yatul Islam lil wujud. Definisi al-Attas adalah ―a metaphysical
survey of the visible as well as the invisible worlds including perspective of life as
whole‖. Karena itu, worldview dalam ekonomi Islam tidak hanya terbatas
pada dunia saja, tetapi akhiratlah yang menjadi tujuan akhirnya, sehingga
dalam pembahasannya hubungan ekonomi dengan nilai-nilai agama
merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Hasilnya sumber-
sumber rujukan ekonomi Islam tidak hanya sebatas pada akal manusia
saja melainkan pada wahyu (revelation). Sebaliknya konvensional yang
merujuk pada sekularisme menandang bahwa ekonomi merupakan hasil
dari pemikiran manusia melalui pengalaman dari sesuatu yang nyata, hal
ini didukung oleh pernyataan Chapra bahwa worldview dari sekuler dan
materialis mementingkan kepada aspek material dari kesejahteraan
manusia dan cenderung mengabaikan aspek-aspek spiritual. Sumber-

28Dr. Rozalinda, M.Ag., Ekonomi Islam; Teori dan Aplikasinya pada Aktivitas Ekonomi, h.
3. Lihat: Hazanuzzaman, Definition of Islamic Economics dalam Journal Of Research in Islamic
Economics, Vol. 1 No. 2, 1984.

138 | Iqtishoduna Vol. 8 No. 2 Oktober 2016


Relasi Fiqh Muamalat dengan Ekonomi Islam

sumber rujukan ekonomi konvensional hanya sebatas pada akal (reason)


manusia saja dan mengembalikan ilmu yang memberikan cara kepada
manusia untuk mendapatkan kesejahteraannya (falah) yang berdsarkan
pada sumber-sumber lain.29
Adapun karakteristik ekonomi Islam menurut Yusuf al-Qardhawi,
sebagaimana dikutip Dr. Rozalinda, M.Ag., bahwa ekonomi Islam itu
adalah ekonomi yang berasaskan ketuhanan, berwawasan kemanusiaan,
berakhlak, dan ekonomi pertengahan. Sesungguhnya ekonomi Islam
adalah ekonomi ketuhanan, ekonomi kemanusiaan, ekonomi akhlak, dan
ekonomi pertengahan. Dari pengertian yang dirumuskan al-Qardhawi ini
muncul empat nilai-nilai utama yang terdapat dalam ekonomi Islam
sehingga menjadi karakteistik ekonomi Islam yaitu:30
1. Iqtishad Rabbani (Ekonomi Ketuhanan). Ekonomi Islam adalah
ekonomi ilahiyyah karena titik awalnya berangkat dari Allah dan
tujuannya untuk mencapai ridha Allah. Karena itu seorang Muslim
dalam aktivitas ekonominya, misalnya ketika membeli atau menjual
dan sebagainya berarti menjalankan ibadah kepada Allah. Semua
aktifitas ekonomi dalam Islam kalau dilakukan sesuai dengan
syariatnya dan niat ihlas maka akan bernilai ibadah di sisi Allah.
2. Iqtishad Akhlaqi. Hal yang membedakan anatara sistem ekonomi Islam
dengan sistem ekonomi lain adalah dalam sistem ekonomi Islam
antara ekonomi dengan akhlak tidak pernah terpisah sama sekali.,
seperti tidak pernah terpisahnya antara ilmu dengan akhlak, antara
siyasah dengan akhlak karena akhlak adalah urat nadi kehidupan
Islami. Kesatuan antara ekonomi dengan akhlak ini semakin jelas
terlihat pada setiap aktivitas ekonomi, baik yang berkaitan dengan

29Nurizal Islamil, Maqashid Syari‘a dalam Ekonomi Islam, h. 48-49.


30 Dr. Rozalinda, M.Ag., Ekonomi Islam; Teori dan Aplikasinya pada Aktivitas Ekonomi, h.
10-12; Bandingkan juga dengan Dr. Al-Saih Ali Husain, al-Fiqh al-Islamiy; al-Iqtishad wa al-
Mu’amalat al-Maliyah, (Tripoli-Libya: Kulliyat a-Da‘wah al-Islamiyah, 2003), h. 12-88.

Iqtishoduna p-ISSN: 2252-5661, e-ISSN: 2443-0056| 139


Zainil Ghulam

produksi, konsumsi, distribusi, dan sirkulasi. Seorang Muslim baik


secara pribadi maupun kelompok tidak bebas mengerjakan apa saja
yang diinginkannya ataupun yang menguntungkannya saja. Karena
setiap Muslim terikat oleh iman dan akhlak yang harus diaplikasikan
dalam setiap akitivitas ekonomi, disamping terikat dengan undang-
undang dan hukum-hukum syariat.
3. Iqtishad Insani (Ekonomi Kerakyatan). Ekonomi Islam bertujuan untuk
mewujudkan kehidupan yang baik dengan kesempatan bagi manusia
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk itu, manusia perlu
hidup dengan pola kehidupan rabbani sekaligus manusiawi sehingga
ia mampu melaksanakan kewajibannya kepada tuhan, kepada
dirinya, keluarga, dan kepada manusia lain secara umum. Manusia
dalam sistem ekonomi Islam adalah tujuan sekaligus sasaran dalam
setiap kegiatan ekonomi karena ia telah dipercayakan sebagai
khalifahNya (QS al-Baqarah [2]:30). Allah memberikan kepada
manusia beberapa kemampuan dan sarana yang memungkinkan
mereka melaksanakan tugasnya. Karena itu, manusia wajib beramal
dengan berkreasi dan berinovasi dalam setiap kerja keras mereka.
Dengan demikian akan dapat terwujud manusia sebagai tujuan
kegiatan ekonomi dalam pandangan Islam sekaligus merupakan
sarana dan pelakunya dengan memanfaatkan ilmu yang telah
diajarkan Allah kepadanya.
4. Iqtishad Washathi (Ekonomi Pertengahan). Karakteristik Islam adalah
sikap pertengahan, seimbang (tawazun) antara dua kutub (aspek
duniawi dan ukhrawi) yang berlawanan dan bertentangan. Arti
tawazun (seimbang) diantara dua kutub ini adalah memberikan
kepada setiap kutub itu haknya masing-masing secara adil atau
timbangan yang lurus tanpa mengurangi atau melebihkannya seperti
aspek keakhiratan atau keduniawian. Dalam sistem

140 | Iqtishoduna Vol. 8 No. 2 Oktober 2016


Relasi Fiqh Muamalat dengan Ekonomi Islam

Islam,individualisme dan sosialisme bertemu dalam perpaduan yang


harmonis. Dimana kebebasan individu dengan kebebasan masyarakat
seimbang, antara hak dan kewajiban serasi, imbalan dan tanggung
jawab terbagi dengan timbangan yang lurus.
5. Washattiyah (pertengahan atau keseimbangan) merupakan nilai-nilai
yang utama dalam ekonomi Islam. Bahkan nilai-nilai ini menurut
Yusuf al-Qardhawi merupakan ruh atau jiwa dari ekonomi Islam. Ciri
khas pertengahan ini tercermin dalam keseimbangan yang adil yang
ditegakkan oleh individu dan masyarakat. Berdsarkan prinsip ini,
sistem ekonomi Islam tidak menganiaya masyarakat terutama
golongan ekonomi lemah, seperti yang telah terjadi dalam masyarakat
ekonomi kapitalis, juga tidak memperkosa hak dan kewajiban
individu seperti yang telah dibuktikan golongan ekonomi komunis.
Akan tetapi Islam mengambil posisi dipertengahan berada diantara
keduanya, memberikan hak masing-masing individu dan masyarakat
secara utuh. Menyeimbangkan antara bidang produksi dan konsumsi,
anatar satu produksi dengan produksi lain.

Relasi Fiqh Muamalah dengan Ekonomi Islam


Diskursus relasi antara Fiqh Muamalah dengan ekonomi Islam
berkutat diantara perdebatan apakah Fiqh Muamalah lebih awal daripada
ekonomi Islam perspektif science (sebagai Ilmu)? Apakah ekonomi Islam
lahir setelah para sarjana Muslim membukukan pembahasan Fiqh
Muamalah? Ataukah pembahasan ekonomi Islam lebih besar cakupannya
dengan Fiqh Muamalah karena bukan hanya membahas sisi hukum dan
etika? dan masak banya lagi perdebatan lainnya. Di sini, menarik untuk

Iqtishoduna p-ISSN: 2252-5661, e-ISSN: 2443-0056| 141


Zainil Ghulam

mengutip analisis Dr. H. Abbas Arfan, Lc., M.H.,31 perihal hubungan


antara Fiqh Muamalah dengan ekonomi Islam sebagaimana berikut:
Pertama, ekonomi (Islam) memiliki fungsi yang berbeda dari Fiqh
Muamalah), yakni fungsi deskripsi dan identifikasi fakta-fakta, penemuan
terhadap hubungan-hubungan dan hukum-hukum yang menghubungkan
fenomena ekonomi secara serentak, dan mengupayakan manfaat
ekonomis diantara ketentuan-ketentuan syariah atau menentukan akibat-
akibat ekonomis baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang
dalam kehidupan ekonomi. Pada sisi lain, fungsi fiqh adalah untuk
mengidentifikasi perintah-perintah syariah dari bukti-bukti tekstual yang
terinci dalam hukum aktivitas ekonomi. Perbedaan fungsi tersebut dapat
dilihat pula dari perbedaan dasar antara fiqh (muamalat) dengan ekonomi
(Islam) adalah bahwa tujuan fiqh yang utama adalah memahami asumsi-
asumsi normatif yang secara esensial merupakan perintah-perintah
syariah. Asumsi-asumsi normatife ini dalam kenyataannya menempati
totalitas semu dari fiqh (the quasi-totality of fiqh). Pada sisi lain, tujuam
ekonomi Islam (maupun ekonomi positif) yang utama adalah memahami
asumsi-asumsi deskriptif dalam rangka mengidentifikasi realitas-realitas
dan menghubungkan realitas itu dengan fenomena ekonomi secara
serentak. Dalam karangka fikir di atas, dengan mengemukakan contoh
berikut ini, memungkinkan untuk melakukan klarifikasi terhadap adanya
perbedaan fungsi antara ekonomi Islam dengan Fiqh Muamalah. Dalam
kasus monopoli misalnya, teks-teks fiqh akan mengemukakan bukti-bukti
tekstual untuk mendukung pelanggaran monopoli, apa saja yang tidak
boleh dimonopoli, dan sifat serta syarat yang bagaimana suatu monopoli
dilarang. Sedangkan karya-karya di bidang ekonomi (Islam) akan
melakukan identifikasi terhadap akar terjadinya monopli, tipe-tipe

31Dr. H. Abbas Arfan, Lc., M.H., 99 Kaidah Fiqh Muamalah Kuliyah, (Malang: UIN-
Maliki Press, 2013), h. 99-102.

142 | Iqtishoduna Vol. 8 No. 2 Oktober 2016


Relasi Fiqh Muamalat dengan Ekonomi Islam

monopoli, pengaruhnya terhadap distribusi pendapatan, adanya


perlakuan pricing yang berbeda antara pasar monopoli dengan pasar
kompetitif, berbedaan kuantitas barang yang dijual dan lain sebagainya.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ekonomi Islam
memfokuskan diri pada aspek deskriptif dari fenomena, berusaha
melakukan identifikasi terhadap faktor-faktor yang mempegaruhinya dan
terhadap hubungan-hubungan kausal yang relevan. Sedangkan Fiqh
Muamalah melihat fenomena (ekonomi) dari aspek yang normatif, yakni
bagaimana aturan syariah terhadap fenomena tersebut kemudian
menetapkan kriteria kebolehan dan larangan tergantung fenomena dan
fakta yang dihadapi.
Menurut Monzer Khaf, suatu perbedaan harus ditarik antara
berbagai bagian dari hukum Islam yang memahami fiqh muamalah
dengan ekonomi Islam. Bagian yang disebut pertama (Fiqh Muamalah)
menetapkan kerangka di bidang hukum untuk kepentingan bagian yang
disebut belakangan (ekonomi Islam), sedangkan yang disebut belakangan
(ekonomi Islam) mengkaji proses dan pengulangan kegiatan manusia
yang berkaitan dengan produksi, distribusi dan konsumsi dalam
masyarakat muslim. Menurutnya, ekonomi Islam dibatasi oleh hukum
dagang Islam, tetapi itu bukan satu-satunya pembatas mengenai kajian
mengenai ekonomi tersebut. Sistem sosial Islam dan aturan-aturan
keagamaan mempunyai pengaruh, atau bahkan lebih banyak terhadap
cakupan ekonomi dibandingkan dengan sistem hukum sendiri. Tidak
adanya pembedaan fiqh muamalah dengan ekonomi Islam seperti itu
merupakan sumber lain dari kesalahan konsep dalam literatur mengenai
ekonomi Islam. Beberapa buku menggunakan alat-alat analisis fiqh dalam
ekonomi, sedangkan buku-buku yang lain mengkaji ekonomi Islam dari
perspektif fiqh. Sebagai contoh, teori konsumsi kadang-kadang berubah
pernyataan kembali ke hukum Islam mengenai beberapa jenis makanan

Iqtishoduna p-ISSN: 2252-5661, e-ISSN: 2443-0056| 143


Zainil Ghulam

dan minuman, bukan kajian mengenai perilaku konsumen terhadap


sejumlah barang konsumsi yang tersedia, dan teori produksi diperkecil
maknanya sebagai kajian tentang hak pemilik dalam Islam yang tidak
difokuskan pada perilaku perusahaan sebagai unit produksi. Hal ini yang
tidak menguntungkan dalam membahas ekonomi Islam dalam
peristilahan fiqh muamalah adalah bahwa rancangan seperti itu, pada
dasarnya terpecah-pecah, parsial dan kehilangan keterkaitan secara
menyeluruh dengan teori ekonomi yang menjadi mainstream.
Meskipun Anas Zarqa dan Monzar Khaf mengakui adanya
perbedaan mendasar antara Fiqh Muamalah dan ekonomi Islam, maupun
terhadap adanya keterkaitan antara keduanya, akan tetapi tidak
disebutkan secara eksplisit bagian-bagian yang manakah dalam Fiqh
Muamalah yang mempunyai keterkaitan dengan ekonomi Islam. Untuk
mempertegas adanya keterkaitan antara bagian Fiqh Muamalah dengan
ekonomi Islam secara eksplisit, ada baiknya diikuti pendapat Syamsul
Anwar sebagai berikut:
―Pada tiga dasawarsa terakhir ini fiqh muamalah mendapat arti
penting yang lebih besar dengan lahirnya ilmu ekonomi Islam dengan
institusi perbankan dan asuransi Islam. Ilmu ekonomi Islam terkait
dengan fiqh muamalah secara erat. Bukan pada fase dalam perjalanan
ilmu ini mencari bentuk dimana ia dianggap sebagai cabang fiqh
muamalat. Walaupun kemudian pandangan itu tidak dapat dibenarkan.
Namun hal ini menunjukan betapa pentingnya fiqh muamalah bagi
ekonomi Islam, khususnya menyangkut perbankan dan asuransi Islam.‖

Kedua, join fungsi antara fiqh muamalah dengan ekonomi Islam. Dalam
hal ini, adalah formulasi terhadap kebijakan-kebijakan ekonomi dan
ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan kesejahteraan publik. Contoh
yang sangat baik untuk dikemukakan dalam hal ini adalah kebijakan
fiskal dan perbendaharaan negara (bayt al-mal). Secara historis kebijakan
fiskal dan perbedaan negara dalam Islam mengalami evolusi sejak masa

144 | Iqtishoduna Vol. 8 No. 2 Oktober 2016


Relasi Fiqh Muamalat dengan Ekonomi Islam

Rosulullah SAW sampai beberapa generasi berikutnya dan hingga


sekarang kajian di bidang ini tetap mendapat perhatian yang sangat
signifikan. Sumbangan teoritas dalam bidang ini sangat berarti bagi
penguatan baik fiqh muamalah maupun ekonomi Islam. Meskipun kedua
disiplin keilmuan tersebut akan melihat dari sudut kajian yang berbeda,
tetapi dapat dilihat dengan adanya joint function keduanya dalam bidang
ini. Dengan melihat joint function antara fiqh muamalah dengan ekonomi
Islam yang begitu akomodatif, sehingga ada beberapa penulis
menyamakan fiqh muamalah dengan ekonomi Islam. Qodri Azizy
misalnya, menyatakan bahwa yang benar adalah bahwa ekonomi Islam
merupakan fiqh muamalah atau cabang dari ilmu fiqh atau ilmu
keIslaman, bukan cabang dari ilmu ekonomi sekuler. Oleh karena itu,
masalah keterkaitan antara fiqh muamalah dengan ekonomi Islam muncul
bagi orang yang berpandangan bahwa antara fiqh muamalah dengan
ekonomi Islam adalah tidak sama dan tidak muncul bagi mereka yang
berpendapat sebaliknya (yaitu menyamakan antara antara fiqh muamalah
engan ekonomi Islam), sebab tidak ada perbedaan dari segi objek material.
Ketiga, fungsi yang mendukung fiqh. Dalam hal ini, adalah suatu fungsi
dalam rangka membentuk faqih (pakar fiqh) sampai pada pemahaman
terhadap peraturan syariah yang semestinya dalam khasus-khasus
tertentu, dimana faktor-faktor ekonomi dapat berperan dalam
menentukan diantara beberapa aturan yang mungkin lebih relevan untuk
diterapkan dari pada yang lain.19 Sebagaimana dipahami bahwa
ketentuan-ketentuan syariah adalah dalam rangka merealisasikan
kemaslahatan (istislah atau consideration of public interest). Ekonomi Islam
diharapkan dapat memainkan peran penting dalam merealisasikan
kemaslahatan tersebut dalam konteks istihsan. Operasionalisasinya dapat
dilihat apabila dalam kasus perdagangan internasional, misalnya GATT,
AFTA, WTO, ekonomi Islam dalam kerangka istihsan dapat memberikan

Iqtishoduna p-ISSN: 2252-5661, e-ISSN: 2443-0056| 145


Zainil Ghulam

pandangan yang berguna bagi faqih untuk menentukan sikap antara


meratifikasi atau tidak perjanjian dagang internasional tersebut.

Kesimpulan
Praktek Muamalat sudah ada sejak zaman dahulu kala. Karena
antar sesama manusia, sama-sama memiliki kebutuhan yang tidak
dipenuhi sendiri, baik dari degi pengadaan barang atau jasa. Sistim Barter
(tukar-menukar barang) termasuk praktek Muamalat pada awal-awal
peradaban manusia, kemudian berkembang menjadi transaksi jual-beli
hingga sekarang transaksi tersebut berkembangan dalam transaksi
multidimesional.
Seiring perkembangan, praktek tersebut dikenal dengan terma
ekonomi. Awalnya, sistim keungan dan praktek ekonomi yang
berkembang di dunia adalah berasas ekonomi konvensional. Dalam
―bingkai‖ ekonomi konvensional, rumusnya adalah survival of the fittes
sehingga praktek ekonomi seperti ini menggerus rasa keadilan antar
sesama manusia. Saat keuangan Amerika mengalami ambruk pada tahun
2009 dengan model kapitalistiknya, dunia mulai melirik ekonomi Islam
karena memiliki konsep yang lebih adil dan sejahtera.
Manusia sebagai makhluk ekonomi (homo economicus) tentu akan
mempelajari ekonomi sebagai bagian dari prilakunya untuk mencukupi
kebutuhannya sesuai dengan prinsip-prisnip interaksi antar manusia.
Maka dari itu, pola interaksi antar manusia (baca: Muamalat) dalam
praktek ekonomi (Islam), dapat disimpulkan bahwa sejatinya ekonomi
Islam dalah bagian dari Fiqh Muamalat.

146 | Iqtishoduna Vol. 8 No. 2 Oktober 2016


Relasi Fiqh Muamalat dengan Ekonomi Islam

Daftar Pustaka
Aceh, Abu Bakar, Ilmu Fiqih Islam dalam Lima Madzhab, (Jakarta: Islamic
Research Institute, 1997.
Ahmad Muhammad al-Sayid dan Yusuf ‗Ali Badiwi, al-Mufid fi al-Ibadat
wa al-Mu’amalat, Beirut: Dar Ibn Kasir, 1998.
Ahmad, Abi al-Husan, Mu’jam Maqayis al-Lughah, Juz IV, Beirut: Dar al-
Fikr, 1979
al-Zuhaili, Wahbah, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Juz I, Beirut: Dar al-
Fikr, 2008.
Chapra, Umer, What Is Islamic Economics, Saudi Arabia: Islamic Research
and Training Institute, 1996.
Djuwaini, Dimyauddin, Pengantar Fiqh Muamalah, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010.
Hasan, Ahmad, Pintu Ijtihad Tertutp, Bandung: slaman, 1994.
Hazanuzzaman, Definition of Islamic Economics dalam Journal Of Research in
Islamic Economics, Vol. 1 No. 2, 1984.
Husain, Dr. Al-Saih Ali, al-Fiqh al-Islamiy; al-Iqtishad wa al-Mu’amalat al-
Maliyah, Tripoli-Libya: Kulliyat a-Da‘wah al-Islamiyah, 2003.
Isma‘il, Sya‘ban Muhammad, al-Tasyri’ al-Islamiy Mashadiruhu wa
Athwaruhu, Kairo: al-Nahdah al-Misriyah, 1985
Ismail, Nurizal, Maqashid Syari’a dalam Ekonomi Islam, Yogyakarta: Smart
WR, 2014.
Khallaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul al-Fiqh, Jakarta: al-Majlis al-‗A‘la al-
Indunisi, 1972.
Khan, M. Akram, Islamic Economics: Nature and Needs, J. Res, Islamic Econ,
Vol. 1, No.2, 1404/1984.
Manan, Muhammad Abdul, Islamic Economics: Theori and Practice (A
Comperative Study), Delhi: Idarah Adabiyah, 1970.

Iqtishoduna p-ISSN: 2252-5661, e-ISSN: 2443-0056| 147


Zainil Ghulam

Praja , Juhaya S., Filsafat Hukum Islam, Bandung: Pusat Penerbitan


Universitas LPPM, Universitas Islam Bandung, 1995.
Rozalinda, Dr., M.Ag., Ekonomi Islam; Teori dan Aplikasinya pada Aktivitas
Ekonomi, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2015.
Shihab, Umar, al-Qur’an dan Kekenyalan Hukum, Semarang: Dina Utama,
1993.
Sirry, Mun‘im, Sejarah Fiqh Islam (Sebuah Pengantar), Surabaya: Risalah
Gusti, 1995.
Suhendi, Dr. H. Hendi, M.Si. Fiqh Muamalah, Jakarta: Rajawali Press, 2014.
Supriyadi, Dedi, M.Ag., Sejarah Hukum Islam, Dari Kawasan Jazirah Arab
sampai Indonesia, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2007.

148 | Iqtishoduna Vol. 8 No. 2 Oktober 2016

You might also like