Kepemimpinan Pendidikan Multikultural (Tantangan Dan Solusinya)
Kepemimpinan Pendidikan Multikultural (Tantangan Dan Solusinya)
Abstract
Indonesian with a very wide area that consists of thousands of ethnic groups, languages,
religions, traditions and cultures also interact and mingle to form a multi-ethnic society. The
migration of Arabs, China, and India to the Indonesian archipelago increased the diversity of the
nation. Indonesian multiculturalism has the potential that can be developed to improve welfare.
However, these conditions also potential to conflicts among ethnic groups, religious, and
cultures. Horizontal conflicts that occurred in Sambas, Poso, Sampit, Tasikmalaya, and others
show that multiculturalism needs to be managed so it gives positive impact on the progress and
welfare of the community. In the Indonesian context, the awareness of multiculturalism needs to
inculcated in the life of the nation and society. There are recognition and inter-ethnic tolerance
that led to the establishment of cooperation and trust so as to create a peaceful and democratic
life. As a multicultural country, Indonesia should have the awareness of multiculturalism that
tribes who settle in the region establish interaction and communication between the healthy and
dynamic society in order to create a democratic, harmonious, and peaceful community.
Education is the starting point for reconstruction of multicultural culture in a democratic
society. Through school teachers can instill pluralistic nature and practice into learners.
Teachers need to be creative in bridging cultural plurality and a pluralistic and peaceful
community. As the spearhead of multicultural education, teachers must have an adequate
understanding of multiculturalism and multicultural education. In the teaching activities,
teachers develop multiculture-oriented climate that highlights social justice and culture.
Keywords: multiculturalism, multicultural education.
Pendahuluan
Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang
dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan, proses, cara,
perbuatan mendidik.1 Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.2
Sedangkan multikulturalisme dapat diartikan sebagai suatu gejala pada seseorang atau suatu
masyarakat yang ditandai oleh kebiasaan menggunakan lebih dari satu kebudayaan.
Bila digeneralisasikan secara umum, maka pendidikan multikultural dapat diartikan
sebagai suatu proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang dalam kelompok sosial tertentu
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran secara aktif agar dapat berkembang
secara spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara dengan pola pembiasaan
hidup dalam suatu perbedaan (agama, budaya, adat istiadat, suku bangsa, ras, dan sejenisnya)
dan tidak mempermasalahkan adanya unsur perbedaan dimaksud yang bermuara pada
pembiasaan hidup dengan menggunakan lebih dari satu unsur kebudayaan. Menurut James A.
Banks pendidikan multikultural didefinisikan sebagai sebuah kebijakan sosial yang didasarkan
pada prinsip-prinsip pemeliharaan budaya dan saling memiliki rasa hormat antara seluruh
kelompok budaya di dalam masyarakat. Pembelajaran multikultural pada dasarnya merupakan
program pendidikan bangsa agar komunitas multikultural dapat berpartisipasi dalam
mewujudkan kehidupan demokrasi yang ideal bagi bangsanya.3
Pendidikan multikultural sejatinya merupakan pendidikan yang menjunjung tinggi
persamaan hak dan martabat manusia. Berbagai bentuk tindakan tindakan diskriminasi yang
didapatkan kelompok minoritas mendorong manusia untuk lebih gencar lagi melakukan tindakan
1
Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia – edisi ketiga, cetakan ketiga. (Jakarta: Balai Pustaka. 2005),
hal:263
2
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 1 (1)
3
Banks, J.A, “Multicultural Educatian: Historical Development, Dimentions and Practrice” In Review of
Research in Education, vol. 19, edited by L. Darling- Hammond. (Washington, D.C.: American Educational
Research Association, 1993), http://lubisgrafura.wordpress.com/2013/09/10/pembelajaran-berbasis-multikultural/
diunduh tgl 20/03/2013
perlawanan terhadap dominasi mayoritas, salah satunya yaitu melalui pendidikan. Karena
pendidikan merupakan sarana yang tepat untuk mentransformasikan gagasan multikultural ini.
4
James A Banks, Introduction to Multicultural Education, (New York: Paperback, 2007), hal: 30
memiliki kesalahpahaman terhadap ras atau etnik yang berbeda dan kelompok etnik lainnya,
pendidikan dapat membantu siswa mengembangkan perilaku intergroup yang lebih positif,
penyediaan kondisi yang mapan dan pasti. Dua kondisi yang dimaksud adalah bahan
pembelajaran yang memiliki citra yang positif tentang perbedaan kelompok dan
menggunakan bahan pembelajaran tersebut secara konsisten dan terus-menerus. Penelitian
menunjukkan bahwa para pelajar yang datang ke sekolah dengan banyak stereotipe,
cenderung berperilaku negatif dan banyak melakukan kesalahpahaman terhadap kelompok
etnik dan ras dari luar kelompoknya. Penelitian juga menunjukkan bahwa penggunaan
teksbook multikultural atau bahan pengajaran lain dan strategi pembelajaran yang kooperatif
dapat membantu para pelajar untuk mengembangkan perilaku dan persepsi terhadap ras
yang lebih positif. Jenis strategi dan bahan dapat menghasilkan pilihan para pelajar untuk
lebih bersahabat dengan ras luar, etnik dan kelompok budaya lain.
4. Dimensi pendidikan yang sama/adil (equitable pedagogy). Dimensi ini memperhatikan
cara-cara dalam mengubah fasilitas pembelajaran sehingga mempermudah pencapaian hasil
belajar pada sejumlah siswa dari berbagai kelompok. Strategi dan aktivitas belajar yang
dapat digunakan sebagai upaya memperlakukan pendidikan secara adil, antara lain dengan
bentuk kerjasama (cooperatve learning), dan bukan dengan cara-cara yang kompetitif
(competition learning). Dimensi ini juga menyangkut pendidikan yang dirancang untuk
membentuk lingkungan sekolah, menjadi banyak jenis kelompok, termasuk kelompok etnik,
wanita, dan para pelajar dengan kebutuhan khusus yang akan memberikan pengalaman
pendidikan persamaan hak dan persamaan memperoleh kesempatan belajar.
5. Dimensi pemberdayaan budaya sekolah dan struktur sosial (empowering school culture
and social structure). Dimensi ini penting dalam memperdayakan budaya siswa yang
dibawa ke sekolah yang berasal dari kelompok yang berbeda. Di samping itu, dapat
digunakan untuk menyusun struktur sosial (sekolah) yang memanfaatkan potensi budaya
siswa yang beranekaragam sebagai karakteristik struktur sekolah setempat, misalnya
berkaitan dengan praktik kelompok, iklim sosial, latihan-latihan, partisipasi ekstra kurikuler
dan penghargaan staff dalam merespon berbagai perbedaan yang ada di sekolah.
Studi mengenai kepemimpinan relatif baru, dalam ranah bidang perilaku organisasi.
Terlebih ketika kerangka culture education dimasukkan dalam konteks kepemimpinan. oleh
karena itu dibutuhkan suatu konseptualisasi model kepemimpinan Pendidikan Multikultural.
Salah satu konseptualisasi telah ditawarkan oleh Dorfman (2003) yang menekankan pada
dampak budaya pada kekuasaan pemimpin, karakteristik personal dari pemimpin, khususnya
pada pencitraan diri pemimpin, dan pola interaksi antar pimpinan dan bawahan. Dampak budaya
dirasakan melalui skema, naskah, dan prototype dari pemimpin dan bawahan. Lebih lanjut, citra
yang diciptakan oleh pemimpin mungkin didorong oleh prototype pemimpin dan bawahan yang
berhasil pada budaya setempat dimana ia berada.
Tantangan kepemimpinan pendidikan multikultural lainnya adalah adanya perpindahan
orang dari satu budaya ke budaya yang lain atau juga merupakan perbandingan dari
kepemimpinan pada suatu budaya tertentu dengan kepemimpinan di budaya lain yang saling
berinteraksi dan berseberangan.
Dalam salah satu artikel, Graen dan Hui (1999) berpendapat bahwa persepsi dari apa yang
dimaksud sebagai pemimpin global pada saat ini akan berubah. Dimana saat ini pemimpin
ditransfer dari satu lokasi ke lokasi lain. Maka yang akan muncul adalah “transcultural creative
leaders”. Mereka merupakan orang-orang yang dapat belajar untuk:
1. Merubah (transcend) akulturasi masa kecilnya dan menghormati budaya-budaya yang
berbeda
2. Membangun hubungan kerja lintas-budaya untuk kepercayaan, penghormatan dan kewajiban
3. Terlibat dalam pemecahan masalah lintas budaya yang kreatif
4. Ikut terlibat dalam konstruksi budaya ketiga dalam berbagai operasi kerjanya.
Lebih lanjut Dorfman pun menggaris bawahi tentang beberapa hal yang perlu
diperhitungkan dalam studi kepemimpinan lintas budaya. Terdapat empat hal yang perlu
diperhatikan:
1. Budaya tidak statis, mereka dinamik dan secara terus menerus berevolusi
2. Meskipun pengukuran dalam budaya dikategorikan antara rendah dan tinggi, namun
orientasi dan perspektif semacam ini tidaklah cocok untuk semua karakteristik
3. Setiap individu pasti merefleksikan nilai budaya yang berbeda-beda, mreka tidak selalu
mencerminkan nilai indigenous budaya setempat
4. Perbedaan antar budaya, negara, cluster budaya merupakan batasan yang harus diperhatikan.
Konflik memiliki pengertian, suatu proses pergulatan hingga pertikaian individu dengan
individu lainnya atau dalam suatu kelompok. Sebenarnya konflik pun menyertai individu yang
disebut dikemudian dengan konflik bathin atau jiwa. Adapun penyebab konflik menurut Selo
Soemardjan, adanya perbedaan pendirian atau perasaan antara individu atau kelompok, adanya
perbedaan kepribadian diantara individu/kelompok disebabkan faktor kebudayaan, perbedaan
kepentingan diantara individu/kelompok, adanya perubahan sosial yang menyentuh pada tataran
sistem nilai yang berlaku dimasyarakat.
Konflik terjadi pada masyarakat majemuk. Dimana kondisi sosio-kultur sangat mendukung
kearah penyesuaian (adaptasi) individu atau suatu kelompok, hingga pada tataran pemahaman
dan kedewasaan dalam bersikap dan bertindak. Pemahamaan akan perbedaan dan bagaimana
seharusnya kita bertindak dan bersikap atas perbedaan yang terjadi tersebut? Bukan
menghilangkan, namun bagaimana sebenarnya perbedaan tersebut menjadi kekuatan yang luar
biasa dalam membangun masyarakat yang lebih baik dan besar.
Dalam mewujudkan individu yang mampu untuk memecahkan suatu konflik, ialah dengan
melalui pendidikan, melalui komunikasi efektif (meminjam teori komunikatif Habbermas), atau
melalui pengalaman, sehingga diharapkan mampu menciptakan kondisi individu yang sadar,
paham dan bijak. Formula pemecahan konflik atau manajemen resolusi konflik adalah strategi
penanggulangan konflik yang tidak saja mencangkup apresiasi terhadap konflik yang berwujud
perilaku menerima perbedaan dan keanekaragaman, tetapi juga menstimulinya, lalu
menyelesaikannya guna mewujudkan perbaikan-perbaikan yang bermanfaat bagi kalangsungan
hidup sistem sosial. Didalam diri individu pastilah memiliki potensi akan bagaimana memenej
konflik tersebut? Hanya yang menjadi problem umumnya ialah kemampuan untuk mengasah
potensi tersebut. Dalam melakukan resolusi konflik, tidak terlepas atas sebuah proses yakni
indivdu untuk mampu meneliti, menganalisa, mengkaji terkait essensi penyebab konflik yang
terjadi.
Adakalanya kita terjebak pada proses analisa konflik yang parsial, sehingga dalam
pemecahannya pun bersifat parsial, dan sulit untuk menyentuh tataran fundamental problematika
yang sesungguhnya. Salah satunya kita juga terkadang terjebak pada proses dikotomi faktor
politik, ekonomi, agama, sosial, atau budaya masyarakat.Semata itu. Meskipun itu dapat pula
menjadi faktor penyebab, namun bukan mustahil bila hal tersebut hanyalah “kata kunci” yang
bersifat sementara dalam proses kita mencari akar problematika yang sesungguhnya. Proses
resolusi konflik memang dibutuhkan saat ini, dengan landasan keadilan, merupakan hasil yang
didasarkan atas kesepakatan bersama, dan solidaritas individu/kelompok, menjadi sesuatu hal
yang mesti selalu diperjuangkan oleh setiap individu/kelompok, sehingga memungkinkan
terciptanya tatanan masyarakat majemuk yang senantiasa dinamis, progresif, serta damai, dan
sejahtera.
Adanya dominasi budaya tertentu terhadap budaya lain di dalam satu komunitas, tak
terkecuali dalam sebuah lembaga pendidikan dapat mengakibatkan ketegangan yang berujung
kepada konflik. Hal demikian sering terjadi akibat adanya penempatan yang tidak tepat dalam
identitas lokalpun universal pada saat berinteraksi maupun bersosialisasi. Sehingga seseorang
tanpa adanya kesadaran yang lapang merasa benar dengan membawa dominasi identitas lokal ke
dalam komunitas yang multikultural. Dalam hal ini perlu paradigma kepemimpinan yang tepat
agar dominasi budaya tertentu dalam sebuah komunitas yang beragam tidak terjadi. Pada kasus
kepemimpinan yang bersifat hierarkis-otokratis menuju kepemimpinan yang berbasis kemitraan
bersama dalam naungan kepemimpinan pendidikan dengan paradigma multikultural.
Kepemimpinan hierarkis-otokratisseringkali diwarnai oleh sikap dan prilaku pemaksaan
kehendak dan pragmatis, yang menyebabkan terbelenggunya sikap inovatif dan kreatif bawahan.
Para bawahan cendrung bersikap apriori, sehingga dalam melakukan tugas dan kewajiban hanya
berdasarkan perintah atasan. Dengan kondisi demikian akan sulit dicapai kinerja yang unggul.
Maka perlu kebijakan perubahan kepemimpinan pendidikan yang dapat memberdayakan
bawahan yang beranekaragan budaya, etnik, agama dan kemampuan. Dalam hal ini Dimmock
dan Walkermengetengahkan tentang Cross Cultural Leadership (kepemimpinan lintas budaya)
yaitu kepemimpinan yang berdasarkan pemahaman budaya yang ada sekaligus dampaknya
terhadap kelangsungan masyarakat sosial dalam lingkup budaya tertentu. Model kepemimpinan
demikian, diharapkan dapat mendorong motivasi, memberdayakan dirinya dan memiliki
tanggung jawab atas tugas yang diembannya. Kepatuhan tidak lagi didasarkan pada kontrol
eksternal namun berkembang dari hati sanubari disertai dengan pertimbangan rasionalnya.
Kepemimpinan multi budaya pada pendidikan intinya merujuk pada upaya memperdayakan
setiap komponen manusia yang multi budaya untuk terlibat dan bertanggung jawab dalam
pendidikan. Setiap manusia dipandang sebagai individu yang memiliki kekuatan cipta, rasa dan
karsa serta mempunyai tempat untuk berkembang sebagaimana mestinya, maka hal ini
mempunyai kekuatan bagi lembaga pendidikan untuk meningkatkan mutu pendidikan. Hersey
dan Blanchardmengatakan bahwa gaya kepemimpinan akan sangat efektif apabila
mengakomodir budaya dan lingkungan. Untuk itu ditawarkan konsep kepemimpinan multi-
kultur, yaitu kepemimpinan yang menggunakan perspektif multukultural. Secara makna multi-
kultur berarti membandingkan atau menangani dua atau lebih budaya yang berbeda terkait
dengan berbagai budaya daerah, bangsa dan lainnya.
Di dalam kepemimpinan multi-kultur ini, lebih ditujukan kepada budaya pemimpin (yang
mempengaruhi) yang berbeda dengan pengikutnya (yang dipengaruhi). Maka kepemimpinan
multi-kultur merupakan kemampuan seorang pemimpin untuk mempengaruhi dan memotivasi
anggota grupnya yang berbeda budaya dengan sengaja dan tidak seimbang menuju sasaran yang
diterapkan dengan mempertimbangkan pengetahuan dan sistem makna dari budaya yang berbeda
didalam grup. Atau dengan kata lain adalah pemimpin yang mampu menyesuaikan dan
menerapkan gaya kepemimpinan yang sesuai dengan situasi, budaya dan kondisi lingkungan
yang beragam.
Budaya secara tidak langsung berpengaruh terhadap prilaku kepemimpinan. Hal itu
dikemukakan oleh Bowditch dan Buono,dengan alasan bahwa sikap dan prilaku seseorang
dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dipegangnya, dan nilai – nilai itu dipengaruhi oleh budaya dan
lingkungan sosial. Seorang pemimpin dalam menjalankan kepemimpinannya perlu menyadari
bahwa setiap individu, walaupun berada dalam satu unit kerja yang sama namun tetap memiliki
nilai-nilai yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, agar proses
kepemimpinan dapat berjalan dengan efektif, maka setiap pemimpin hendaknya menerapkan
gaya kepemimpinan yang sesuai dengan kondisi yang ada sehingga tidak menimbulkan masalah
dan konflik dengan bawahannya dan organisasinya.
Penutup
Adler, Susan A. 2006. Cultural Foundation of Education ,Ohio: Pearon Prentice Hall
Bush, Tony & Coleman, Marianne, 2000.Leadership and Strategic Management in Education,
London: ASAGE Publications Company
Tri, 2003. Mencari Kedamaian di Maluku: Suatu Pendekatan Historis Politis dalam Konflik
Komunal di Indonesia Saat ini ,Jakarta: INIS