Good Governance
Good Governance
net/publication/263654439
Good Governance Sebagai Suatu Konsep dan Mengapa Penting dalam Sektor
Publik dan Swasta : Suatu Pendekatan Ekonomi Kelembagaan
CITATIONS READS
0 15,899
1 author:
Bayu Kharisma
Universitas Padjadjaran
16 PUBLICATIONS 9 CITATIONS
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
ASSESSING THE IMPACT OF CASH TRANSFER ON SOCIAL CAPITAL IN INDONESIA View project
All content following this page was uploaded by Bayu Kharisma on 04 July 2014.
ABSTRACT
This article aims to: (1) explore historically the approach of the World Bank, the International Monetary
Fund (IMF) and the United States as an international financial institution in defining requirements for each
major aid program with the application of good governance concept in developing countries and case studies
of such program in South Korea, Thailand and Indonesia, (2) to illustrate one form of reform in governance
and bureaucracy that is based on assumptions that neo-liberal policies boost the market (market-driven) and
the principles of neo-managerial conducted in Singapore and several other Asian countries and (3) to illustrate
the application of good governance at the firm level by introducing the concept of codes of governance as a
major tool to improve the effectiveness of governance systems in a company.
The conceptual framework used in this article is combining literature review of journal articles and
books. Study results showed that the established requirements do not always bring the expected policy
reforms. Experience and history of failures that occured in Africa show evidence that domestic support,
ownership, and commitment is very important; when these are failed to be implemented, however, the
dependence on development aid would be more of a negative impact on the reforms that have been
undertaken to combat corruption, law enforcement, and the quality of governance. In addition, the application
of selectivity to high poverty levels and weak governance were proven simultaneously. Therefore, for the
expected policy reforms to go well, it is necessary that in addition to establishing domestic support, ownership
and commitment, other crucial points such as cultural factors, norms, traditions, history, sensitivity and
political reform of recipient country must also be understood and taken into account.
Economic and political development in Singapore has gained a reputation for efficient administration;
the result of a competitive economy and corruption-free governance. In the span of five decades, Singapore
has become an "economic miracle" and achieve the status of developed industrial economies on the basis of
achieving high growth rates consistently and is placed as one of the countries with the highest per capita
incomes in the world. The successful governance and bureaucracy reformation in Singapore are able to
manage the national economy by coordinating foreign capital and to generate significant economic outcomes.
However, the reforms carried out so far in the government may have a negative impact and can affect the
capacity of the country, both in terms of financial and human resources as a result of the divestiture of public
enterprises revenues and streamlining of the public sector workforce. Although the domestic private sector
still becomes an active partner in economic development so far, the role of the public sector or the state is still
important in Singapore, especially since the Asian economic crisis. Analysis of 150 samples of governance
code introduced in 78 countries during the period 1978-2004 describes the stages of institutionalization,
namely shock, theorization, diffusion and re-institutionalization. However, the institutionalization process
may be formed through pressure of norms and values in existence.
Abstrak
Artikel ini bertujuan : (1) untuk mengeksplorasi secara historis pendekatan World Bank, International
Monetary Fund (IMF) dan Amerika Serikat sebagai lembaga pembiayaan internasional dalam menetapkan
persyaratan utama untuk setiap program bantuan dengan penerapan konsep good governance di negara
berkembang dan studi kasus yang terjadi di Korea Selatan, Thailand dan Indonesia, (2) menggambarkan salah
satu bentuk reformasi dalam governance dan birokrasi yang didasarkan pada asumsi neoliberal, kebijakan
dorongan pasar (market-driven) dan prinsip-prinsip neo-manajerial yang dilakukan di Singapura dan beberapa
negara Asia lainnya dan (3) penerapan good governance pada tingkat perusahaan dengan memperkenalkan
konsep codes of governance sebagai suatu alat utama untuk meningkatkan efektifitas sistem tata kelola dalam
suatu perusahaan.
Kerangka konseptual yang digunakan dalam artikel ini adalah menggabungkan kajian literatur dari
jurnal, artikel dan buku. Berdasarkan hasil studi menunjukkan bahwa persyaratan yang telah ditetapkan tidak
selalu membawa reformasi kebijakan yang diharapkan. Berdasarkan pengalaman dan sejarah kegagalan yang
terjadi di Afrika menunjukkan bukti bahwa dukungan domestik, kepemilikan, dan komitmen sangat penting,
jika tidak dilaksanakan maka ketergantungan bantuan pembangunan memiliki dampak negatif terhadap
reformasi yang telah dilakukan untuk pemberantasan korupsi, penegakan supremasi hukum, dan kualitas
pemerintahan. Selaini tu, adanya penerapan selektivitas untuk tingkat kemiskinan yang tinggi dan
kepemerintahan dibuktikan lemah secara simultan. Dengan demikian, agar reformasi kebijakan yang
1
Jurnal
Buletin
Studi
Ekonomi
Vol.19
No.1.
Februari
2014
Bayu
Kharisma.
Good Governance Sebagai Suatu Konsep
dan Mengapa Penting dalam Sektor Publik dan Swasta :
Suatu Pendekatan Ekonomi Kelembagaan
diharapkan berjalan dengan baik maka selain dukungan domestik, kepemilikan dan komitmen juga harus
memahami dan memperhitungkan faktor budaya, norma, tradisi, sejarah, sensitifitas dan juga reformasi
politik negara penerima bantuan.
Pembangunan ekonomi dan politik di Singapura telah memperoleh reputasi administrasi yang efisien,
hasil ekonomi kompetitif dan tata kepemerintahan yang bebas korupsi. Dalam rentang waktu lima dekade,
Singapura menjadi sebuah "keajaiban ekonomi" dan mencapai status ekonomi industri maju atas dasar tingkat
pertumbuhan yang tinggi secara konsisten dan merupakan menempatkannya merupakan salah satu negara
dengan pendapatan per kapita tertinggi di dunia. Reformasi governance dan birokrasi yang terjadi di
Singapura mampu mengelola ekonomi nasional berkoordinasi dengan modal asing dan menghasilkan hasil-
hasil ekonomi yang signifikan. Namun, sejauh ini reformasi yang dilakukan dalam pemerintahan mungkin
mempunyai pengaruh negatif dan dapat mempengaruhi kapasitas negara, baik dari segi sumber daya
keuangan dan manusia akibat divestasi pendapatan-pendapatan perusahaan publik dan perampingan tenaga
kerja sektor publik. Meskipun sejauh ini sektor swasta domestik menjadi mitra aktif dalam pembangunan
ekonomi, peran sektor publik atau negara masih tetap penting di Singapura, terutama sejak krisis ekonomi
Asia. Analisa sampel 150 kode pemerintahan yang diperkenalkan di 78 negara selama periode 1978-2004
menggambarkan tahap-tahap dari institusionalisasi yaitu goncangan, teorisasi, difusi dan pelembagaan
kembali. Namun proses institusionalisasi tersebut dapat terbentuk melalui tekanan norma-norma dan nilai-
nilai yang ada.
1. PENDAHULUAN
Konsep “governance” bukanlah sesuatu hal yang baru. Istilah “government” dan
“governance” seringkali dianggap memiliki kesamaan arti yaitu cara menerapkan otoritas
dalam suatu organisasi, lembaga atau negara. Definisi government atau pemerintah adalah
lebih mengacu kepada entitas yang menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan dalam
suatu negara. Sedangkan governance seringkali diartikan sebagai proses pengambilan
keputusan dan proses dimana keputusan diimplementasikan atau tidak diimplementasikan
(World Bank, 1989). Selanjutnya, banyak sekali definisi tentang good governance, namun
definisi yang paling umum adalah kepemerintahan yang baik. Selanjutnya, World Bank
mendefinisikan good governance sebagai suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan
yang solid dan bertanggung jawab, sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien,
penghindaran salah alokasi dana investasi, dan pencegahan korupsi, baik secara politik
maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and political
framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha (World Bank, 1992a).
World Bank merupakan pencetus gagasan pertama yang memperkenalkan good governance
sebagai “program pengelolaan sektor publik” (public sector management program), dalam
rangka penciptaan ketatapemerintahan yang baik dalam kerangka persyaratan bantuan
pembangunan. World Bank (1992a) dalam laporannya mendefinisikan governance sebagai
“exercise of political power to manage nation”, dimana bahwa legitimasi politik dan
konsensus merupakan prasyarat bagi pembangunan berkelanjutan. Dalam hal ini, aktor
negara (pemerintah), bisnis dan civil society harus bersinergi membangun konsensus dan
peran negara tidak lagi bersifat regulator, tetapi hanya sebatas fasilitator. Oleh karena itu,
legitimasi politik dan konsensus yang menjadi pilar utama bagi good governance versi
World Bank ini hanya bisa dibangun dengan melibatkan aktor non-negara yang seluas-
luasnya dan melimitasi keterlibatan negara atau pemerintah.
Pengalaman Afrika pasca krisis utang dan perang dingin telah menggambarkan suatu iklim
umum dalam menyokong pasar bebas dan demokrasi liberal. Hal ini menunjukkan bahwa
good governance merupakan “pemaksaan” oleh negara industrialisasi maju dan agen
internasional (termasuk lembaga maupun negara donor) dalam membentuk tata
kepemerintahan pasar. Dengan melihat kasus Afrika, menunjukkan bahwa pemerintah
dianggap sebagai adalah salah satu sumber kegagalan pembangunan. Oleh karena itu, untuk
2
Jurnal
Buletin
Studi
Ekonomi
Vol.19
No.1.
Februari
2014
Bayu
Kharisma.
Good Governance Sebagai Suatu Konsep
dan Mengapa Penting dalam Sektor Publik dan Swasta :
Suatu Pendekatan Ekonomi Kelembagaan
membangun kepemerintahan yang baik maka peran pemerintah harus dikurangi (less
government) karena disinyalir bahwa pemerintahan yang besar (big government) akan
menjadi sumber dari kepemerintahan yang buruk (bad governance). Kepemerintahan yang
buruk tersebut ditandai dengan pemerintahan yang tidak representatif serta sistem non-
pasar yang tidak efisien, dimana dalam prakteknya menjadi sumber kegagalan
pembangunan di Afrika. Sejak saat itulah awal mula gelombang dalam upaya mengatasi
permasalah-permasalahan di dunia ketiga dilakukan, dengan cara mewajibkan sejumlah
persyaratan-persyaratan dari World Bank (yang kemudian diikuti oleh lembaga dan negara
donor lainnya). Krisis di Afrika telah membawa pesan yang jelas dalam memperkenalkan
sebuah konsep baru untuk melawan apa yang diidentifikasi World Bank sebagai sebuah
“crisis of governance” atau “bad governance”.
Istilah "good governance" terus mengalami pasang surut dalam maknanya. Mulai tahun
1980-an dan 1990-an, negara-negara dan lembaga donor cenderung terus untuk melakukan
redefinisi dan reformasi mengenai ketentuan serta persyaratan bantuan di negara penerima
bantuan. Selama ini negara dan lembaga donor-donor seperti International Monetary Fund,
World Bank, dan Amerika Serikat semakin bersikeras menuntut atas kinerja dan tata kelola
kepemerintahan yang baik (good governance) sebagai prasyarat bantuan yang disebut
dengan "selektivitas”, yaitu komitmen dari negara penerima bantuan untuk menunjukkan
keseriusannya terhadap reformasi di bidang ekonomi dan sosial termasuk beberapa aspek
lainnya, yaitu adanya reformasi yang substansial dalam kepemerintahan, administrasi dan
birokrasi yang didasarkan pada asumsi neo-liberalisme, market-driven dan penerapan
prinsip-prinsip neo-managerial.
Dalam konteks globalisasi, dominasi ideologi neo-liberalism dan kebijakan dorongan pasar
(market-driven) sebagian besar telah meluas dan diadopsi dibeberapa negara dalam upaya
melakukan reformasi sektor publik antara lain mempercayai adanya asumsi superioritas
pasar, penolakan peran dominan negara, pengurangan dalam aktifitas sektor publik,
preferensi aturan-aturan pasar dalam penyediaan terhadap layanan publik, menggunakan
prinsip-prinsip bisnis dalam pelayanan publik dan kepedulian terhadap pilihan serta
mengedepankan kepuasan terhadap pelanggan (Haque et al, 2004). Sementara itu, di
negara-negara kapitalis maju sejak akhir periode 1970-an sudah terlihat munculnya fokus
neo-liberalsm pada perampingan negara dan memperluas kekuatan pasar untuk mengatasi
inefisiensi, stagnasi, dan pengangguran.
Globalisasi telah membawa pengaruh yang kuat terhadap kondisi politik dan ekonomi di
seluruh dunia. Kondisi ini membuat setiap negara harus mempersiapkan diri terhadap efek
yang ditimbulkannya sehingga tidak berdampak buruk terhadap kondisi pemerintah.
Reformasi birokrasi merupakan salah satu contoh dari dampak globalisasi yang saat ini
terus melanda diseluruh negara. Oleh karena itu, lembaga bantuan asing terus mensyaratkan
dan menyuarakan adanya penyesuaian struktural yang mengarah pada penciptaan good
governance.
Good governance awalnya ditujukan untuk masalah reformasi pada sektor publik, namun
seiring dengan tingkat persaingan yang semakin ketat pada lingkungan perusahaan maka
memungkinkan good governance untuk diaplikasikan ke dalam perusahaan dengan tujuan
untuk menjamin efektivitas pencapaian target yang ditetapkan oleh perusahaan tersebut
yang dikenal dengan good corporate governance (GCG). Sejauh ini, istilah good corporate
governance diyakini sebagai salah satu kunci sukses bagi perusahaan untuk tumbuh dan
menguntungkan dalam jangka panjang sekaligus memenangkan persaingan bisnis global,
3
Jurnal
Buletin
Studi
Ekonomi
Vol.19
No.1.
Februari
2014
Bayu
Kharisma.
Good Governance Sebagai Suatu Konsep
dan Mengapa Penting dalam Sektor Publik dan Swasta :
Suatu Pendekatan Ekonomi Kelembagaan
terutama bagi perusahaan yang telah mampu berkembang sekaligus menjadi terbuka. Good
corporate governance muncul dikarenakan adanya regulatory system yang rendah, standar
akuntansi dan audit yang tidak konsisten, praktek perbankan yang lemah, serta pandangan
board of directors yang kurang peduli terhadap hak-hak pemegang saham minoritas.
Sementara itu, dalam upaya meningkatkan kualitas tata kelola pengurus perusahaan,
meningkatkan akuntabilitas perusahaan kepada pemegang saham dan meningkatkan
efektifitas sistem corporate governance maka dibentuklah konsep codes of governance.
Berdasarkan latar belakang di atas, artikel ini bertujuan : (1) untuk mengeksplorasi secara
historis perubahan pendekatan World Bank, International Monetary Fund (IMF) dan
Amerika Serikat sebagai lembaga pembiayaan internasional dalam menetapkan persyaratan
utama untuk setiap program bantuan di negara berkembang yang dilanjutkan dengan studi
kasus yang terjadi di Korea Selatan, Thailand dan Indonesia, (2) melihat salah satu bentuk
reformasi dalam governance dan birokrasi yang didasarkan pada asumsi neoliberal,
kebijakan dorongan pasar (market-driven) dan prinsip-prinsip neo-manajerial di Singapura
yang kemudian dilanjutkan dengan studi kasus di beberapa negara Asia, dan (3) penerapan
good governance pada tingkat perusahaan dengan memperkenalkan konsep codes of
governance sebagai suatu alat utama untuk meningkatkan keefektifan sistem tata kelola
suatu perusahaan.
2. TINJAUAN LITERATUR
2.1. Good Governance dan Ideologi Pasar
Governance seringkali diartikan sebagai proses pengambilan keputusan dan proses dimana
keputusan diimplementasikan atau tidak diimplementasikan (World Bank, 1989). Selain
itu, konsep governance dapat digunakan dalam beberapa konteks seperti perusahaan,
internasional, pemerintahan nasional dan pemerintahan lokal. Selama “governance”
merupakan proses pengambilan keputusan dan proses, dimana keputusan tersebut
diimplementasikan. Selanjutnya, analisis governance lebih fokus pada aktor-aktor formal
dan informal yang terlibat dalam pengambilan keputusan dan melaksanakan keputusan
yang telah dibuat, struktur formal dan informal yang telah ditempatkan dalam mengambil
keputusan.
4
Jurnal
Buletin
Studi
Ekonomi
Vol.19
No.1.
Februari
2014
Bayu
Kharisma.
Good Governance Sebagai Suatu Konsep
dan Mengapa Penting dalam Sektor Publik dan Swasta :
Suatu Pendekatan Ekonomi Kelembagaan
berkepentingan, dan informasi yang tersedia harus memadai agar dapat dimengerti dan
dipantau.
d. Peduli dan stakeholder : lembaga-lembaga dan seluruh proses pemerintah harus
berusaha melayani semua pihak yang berkepentingan.
e. Berorientas pada konsensus: tata pemerintahan yang baik menjembatani kepentingan-
kepentingan yang berbeda demi terbangunnya suatu konsensus menyeluruh dalam hal
apa yang terbaik bagi kelompok-kelompok masyarakat, dan bila mungkin, konsensus
dalam hal kebijakan-kebijakan dan prosedur- prosedur.
f. Kesetaraan : semua warga masyarakat mempunyai kesempatan memperbaiki atau
mempertahankan kesejahteraannya.
g. Efektifitas dan efisiensi : proses-proses pemerintahanan dan lembaga-lembaga
membuahkan hasil yang sesuai dengan kebutuhan warga masyarakat dan menggunakan
sumber-sumber daya tersebut seoptimal mungkin.
h. Akuntabilitas: para pengambil keputusan di pemerintah, sektor swasta, dan organisasi
masyarakat bertanggungjawab, baik kepada masyarakat maupun kepada lembaga-
lembaga yang berkepentingan.
i. Visi Strategis : para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan
jauh ke depan atas tata pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia, serta
kepekaan akan apa saja yang dibutuhkan untuk mewujudkan perkembangan tersebut.
Selain itu, juga harus memiliki pemahaman atas kompleksitas kesejarahan, budaya,
dan sosial yang menjadi dasar bagi perspektif tersebut.
Good governance sesungguhnya muncul dalam konteks globalisasi, khususnya setelah
runtuhnya komunisme dan atau akhir dari perang dingin. Good governance secara
sistematik telah didesain untuk merespon masalah-masalah korupsi, krisis ekonomi dan
finansial, yang dianggap sebagai permasalahan di negara-negara miskin dan berkembang.
World Bank merupakan lembaga yang untuk pertama kalinya telah memperkenalkan
konsep “public sector management programs” dalam rangka melaksanakan tata
kepemerintahan yang lebih baik, khususnya dalam konteks persyaratan bantuan
pembangunan, yang dikenal dengan Structural Adjustment (World Bank,1989). Selanjutnya,
good governance dalam konteks tersebut dipandang sebagai a sound of development.
Dalam konteks globalisasi, ideologi neo-liberalisme menjadi arus utama kebijakan politik
dan ekonomi, yang mencerminkan organisasi kapitalis yang secara jelas memaksakan
kekuatan masyarakat sipil melalui strategi dan teknologi kekuasaan, termasuk
pendayagunaan hukum sebagai media kontrol. Ini berarti bahwa neo-liberalisme menjadi
sebuah sistem yang dekstruktif dan mengeksploitasi minoritas. World Bank, Dana Moneter
Internasional (IMF) dan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) adalah pencetusnya, yang
biasa disebut sebagai institusi “Breetonwoods” yang lahir dan berbasis di Amerika Serikat
sejak 1944. Kelompok ini berupaya mendorong pertumbuhan ekonomi melalui efisiensi
produksi dan pengurangan peran negara dalam pemenuhan sektor publik, sehingga akan
tercapai suatu “kompetisi pasar bebas”.
Kebijakan ekonomi internasional yang didominasi institusi ini disebut dengan “konsensus
Washington”. Dipicu oleh kegagalan pemerintah yang semakin meluas dalam mengelola
kegiatan ekonomi, konsep Konsensus Washington berpijak pada upaya stabilisasi melalui
kebijakan penyesuaian struktural, yang direkomendasikan oleh organisasi Bretton Woods
dan Badan Ekonomi Amerika Serikat. Konsensus Washington menekankan kepada
kebijakan makro ekonomi dan keuangan yang lebih hati-hati, nilai tukar mata uang yang
lebih kompetitif, liberalisasi keuangan dan perdagangan, privatisasi, dan deregulasi.
Kebijakan-kebijakan ini secara implisit mengajak pemerintah/negara “menahan diri” untuk
5
Jurnal
Buletin
Studi
Ekonomi
Vol.19
No.1.
Februari
2014
Bayu
Kharisma.
Good Governance Sebagai Suatu Konsep
dan Mengapa Penting dalam Sektor Publik dan Swasta :
Suatu Pendekatan Ekonomi Kelembagaan
tidak turut campur langsung dalam kegiatan ekonomi, melainkan justru lebih memfokuskan
kepada kebijakan moneter, menjamin hak kepemilikan (property rights) dan menyiapkan
infrastruktur pendidikan dasar.
Amerika Serikat sebagai sponsor utama maka dengan cepat paket kebijakan tersebut
mendapatkan sambutan yang luas. Dari berbagai paket kebijakan Konsensus Washington
tersebut terlihat warna dominan perekonomian diarahkan kepada minimalitas peran negara
untuk digantikan oleh pasar (market mechanism). Kebijakan deregulasi, misalnya,
ditujukan untuk memberi ruang bagi kegiatan ekonomi secara lebih leluasa dengan
menghilangkan banyak peraturan yang justru ditengarai disinsentif bagi pertumbuhan
investasi. Kebijakan deregulasi ini diperkuat dengan kebijakan liberalisasi, baik di sektor
keuangan maupun perdagangan, sehingga semakin merangsang bagi pelaku ekonomi untuk
semakin memacu aktivitasnya.
Sementara itu, kebijakan privatisasi dan penanaman modal asing (PMA) memiliki peran
ganda, di samping meminimalisir peran negara dalam perekonomian juga dimaksudkan
untuk mengikis praktik sektor riil yang selama ini sangat tidak sehat, distortif, dan
terkonsentrasi. Akhirnya, kepastian aturan tentang hak kepemilikan merupakan harapan
bagi setiap pelaku ekonomi, baik domestik maupun asing. Berikut ini beberapa kebijakan
yang diusung dalam Washington Konsensus, yaitu : (Williamson, 1989)
1. Disiplin anggaran pemerintah
2. Pengarahan pengeluaran pemerintah dari subsidi ke belanja sektor publik, terutama di
sektor pendidikan, infrastruktur, dan kesehatan, sebagai penunjang pertumbuhan dan
pelayanan masyarakat kelas menengah ke bawah
3. Reformasi pajak dengan memperluas basis pemungutan pajak
4. Tingkat bunga yang ditentukan pasar dan harus dijaga positif secara riil
5. Nilai tukar yang kompetitif
6. Liberalisasi pasar dengan menghapus restriksi kuantitatif
7. Penerapan perlakuan yang sama antara investasi asing dan investasi domestik sebagai
insentif untuk menarik investasi asing langsung
8. Privatisasi BUMN
9. Deregulasi untuk menghilangkan hambatan bagi pelaku ekonomi baru dan mendorong
pasar agar lebih kompetitif
10. Keamanan legal bagi hak kepemilikan
2.2. Institusi
Kata institusi sering diterjemahkan secara harfiah sebagai organisasi. Namun demikian,
dalam literatur New Institutional Economics, institusi didefinisikan sebagai aturan main
(rules of the game) di dalam masyarakat dan pelaku (players) yang mengaplikasikan dan
mengimplementasikan aturan tersebut atau lebih formalnya adalah suatu alat yang
digunakan manusia sebagai batasan dalam berinteraksi antar sesama manusia. Batasan ini
bisa berupa aturan formal (sistem kontrak, undang-undang, hukum, regulasi) dan aturan
informal (konvensi, kepercayaan dan norma sosial dan budaya) beserta aturan penegakan
(enforcement) yang memfasilitasi atau membentuk perilaku (behavior) individu atau
organisasi di masyarakat (North,1990). Beberapa asumsi mengenai bentuk dari institusi
formal dan informal, yaitu:
a) Institusi informal memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap fungsional dari
organisasi formal.
b) Institusi formal mempengaruhi core dari institusi informal.
6
Jurnal
Buletin
Studi
Ekonomi
Vol.19
No.1.
Februari
2014
Bayu
Kharisma.
Good Governance Sebagai Suatu Konsep
dan Mengapa Penting dalam Sektor Publik dan Swasta :
Suatu Pendekatan Ekonomi Kelembagaan
c) Institusi formal dapat disusun dengan baik ketika institusi informal dijalankan secara
berkelanjutan.
d) Institusi formal dan informal memiliki tahapan yang berbeda dalam melakukan
perubahan.
Sementara itu, organisasi memiliki pengertian yang berbeda. Burki dan Perry (1998)
mendefinisikan organisasi sebagai sebuah kesatuan yang terdiri dari sekelompok orang
yang bertindak secara bersama-sama dalam rangka mencapai tujuan bersama. Seperti
halnya institusi, organisasi menyediakan struktur interaksi manusia. Organisasi bisa berupa
organisasi politik (partai politik, DPR, pemerintah), organisasi ekonomi (perusahaan,
serikat perdagangan, perusahaan keluarga, koperasi), organisasi sosial dan organisasi
pendidikan;
Institusi menjadi penting bagi pembangunan ketika banyak pihak berinteraksi (bertransaksi)
dalam memainkan perannya masing-masing. Permasalahan informasi dan penegakan
hukum (enforcement) menjadi penyebab tingginya biaya transaksi (transaction cost) antar
pihak tersebut. Institusi hadir untuk mengurangi ketidakpastian dalam pertukaran
(transaksi) tersebut dan bersama dengan penggunaan teknologi, institusi akan menentukan
biaya transaksi (North, 1995). Institusi yang baik akan mendorong transaksi dilakukan
dengan efektif dan efisien sehingga mampu mengurangi biaya transaksi dengan
memperbaiki akses dan kualitas informasi dan mendorong tegaknya aturan. Di dalam
masyarakat, peranan institusi adalah mengurangi ketidakpastian dengan cara membentuk
struktur interaksi masyarakat yang stabil. Tetapi kestabilan itu bukanlah hal yang mutlak,
karena dapat terjadi perubahan institusi. Perubahan institusi merupakan proses yang
komplek karena perubahan itu akan menimbulkan konsekuensi terhadap perubahan aturan.
Berikut ini keterkaitan antar 4 (empat) tingkatan institusi yang saling memiliki hubungan
timbal balik (Williamson, 2000).
7
Jurnal
Buletin
Studi
Ekonomi
Vol.19
No.1.
Februari
2014
Bayu
Kharisma.
Good Governance Sebagai Suatu Konsep
dan Mengapa Penting dalam Sektor Publik dan Swasta :
Suatu Pendekatan Ekonomi Kelembagaan
TINGKATAN Frekuensi TUJUAN
(tahun)
Tingkatan 1
Embeddedness:
institusi informal, adat 102 - 103 Nonkalkulatif:
istiadat, tradisi, norma & bersifat spontan
agama
Tingkatan 2
Lingkungan institusional: Menciptakan
aturan formal: hak lingkungan
10 - 102
kepemilikan, peraturan institusional yang baik
perundang-undangan, (first order economizing)
birokrasi,
Tingkatan 3
Tata kelola (governance): Menciptakan struktur
misalnya sistem kontraktual tata kelola (governance)
1 - 10
(penyesuaian struktur tata yang baik (second order
kelola dengan transaksi) economizing)
Tingkatan 4
Alokasi sumberdaya &
pengerjaan: terus Menciptakan syarat
pengaturan harga dan menerus marginal yang baik
kuantitas; sistem insentif (third order economizing)
(teori keagenan)
Gambar 1
Tingkatan Institusi
8
Jurnal
Buletin
Studi
Ekonomi
Vol.19
No.1.
Februari
2014
Bayu
Kharisma.
Good Governance Sebagai Suatu Konsep
dan Mengapa Penting dalam Sektor Publik dan Swasta :
Suatu Pendekatan Ekonomi Kelembagaan
tingkatan ini membutuhkan waktu sekitar 10 sampai 100 tahun untuk mengalami
perubahan.
3. Tingkatan ketiga adalah transaction cost economics (ekonomi biaya transaksi) dimana
dalam tingkatan ini ditempatkan fungsi sistem penegakan hukum untuk mendefinisikan
kontrak dan penegakannya yang tidak terlepas dari biaya transaksi, yaitu biaya yang
diperlukan mulai dari biaya mencari informasi, melakukan kontrak dan memonitoring
kontrak. Biaya transaksi akan efisien kalau infomasi sempurna, penegakan aturan formal
dan informal berjalan degan baik. Institusi dalam tingkatan ini membutuhkan waktu
sekitar 1 sampai 10 tahun untuk mengalami perubahan.
4. Tingkatan keempat adalah neoclassical economics atau agency theory yang terkait
dengan pengaturan sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Pada tingkatan ini
analisis neoklasik bekerja. Pemerintah merupakan hubungan antara pemilik power
(principal) dan perwakilan (agent). Hubungan antara constituent dengan legislatif,
hubungan antara legislatif dengan esekutif, dan hubungan antara esekutif dan pihak
ketiga. Hubungan akan berjalan efisien kalau ada sistem insentif (reward dan
punishment). Hubungan principal-agent ini menggambarkan alokasi sumber daya dan
pekerjaan. Institusi dalam tingkatan ini membutuhkan waktu secara terus menerus untuk
mengalami perubahan.
Institusi dikatakan efisien jika biaya transaksi rendah, adanya kepastian aturan main
(certainty) dan hubungan yang sepadan antara principal dan agent (equal relationship).
Institusi dapat dikatakan efektif apabila dapat menginvestasikan keterampilan dan ilmu
pengetahuan dengan tujuan efisiensi biaya dalam rangka meningkatkan produktivitas. Para
pelaku dari organisasi tersebut sangat mempengaruhi perubahan yang terjadi pada institusi
atau kelembagaan jika melihat adanya peluang baru. Peluang baru atau perubahan tersebut
mungkin dirasakan sebagai hasil perubahan pada organisasi atau konsekwensi dari
kompetisi diantara organisasi yang ada.
Institusi yang baik haruslah memiliki aturan yang jelas, dikenal secara luas, masuk akal
atau logis, dapat diterima secara luas, dapat diperkirakan (predictable), dapat dipercaya,
disusun dengan benar dan juga dilaksanakan dengan benar. Walaupun stabilitas institusi
sangat penting dalam meningkatkan investasi, memacu pertumbuhan ekonomi dan
mengurangi kemiskinan dan ketimpangan, tetapi adaptasi dan perubahan merupakan hal
yang tidak boleh dilupakan. Kemampuan untuk menyesuaikan terhadap perubahan didapat
dalam struktur insentif yang mengakomodasi perubahan teknologi, preferensi sosial, faktor
eksternal maupun inovasi institusional. Adanya perubahan insitusi membawa pada
pertanyaan seberapa mungkin perubahan itu terjadi, bagaimana terjadinya dan bagaimana
menghadapinya. Faktor ekonomi politik sering menjadi penyebab yang menentukan sifat
dan tingkat perubahan institusional dalam waktu dan siklus yang berbeda.
Sementara itu, ADB (Asian Development Bank) menjelaskan bahwa GCG mengandung 4
(empat) nilai utama yaitu: accountability, transparency, predictability dan participation.
Pengertian lainnya datang dari Finance Committee on Corporate Governance of Malaysia,
9
Jurnal
Buletin
Studi
Ekonomi
Vol.19
No.1.
Februari
2014
Bayu
Kharisma.
Good Governance Sebagai Suatu Konsep
dan Mengapa Penting dalam Sektor Publik dan Swasta :
Suatu Pendekatan Ekonomi Kelembagaan
dimana GCG merupakan suatu proses serta struktur yang digunakan untuk mengarahkan
sekaligus mengelola bisnis dan urusan perusahaan ke arah peningkatan pertumbuhan bisnis
dan akuntabilitas perusahaan. Adapun tujuan akhirnya adalah menaikkan nilai saham dalam
jangka panjang tetapi tetap memperhatikan berbagai kepentingan para stakeholder lainnya.
Kemudian, “GCG” ini didefinisikan sebagai suatu pola hubungan, sistem, dan proses yang
digunakan oleh organ perusahaan (BOD, BOC, RUPS) guna memberikan nilai tambah
kepada pemegang saham secara berkesinambungan dalam jangka panjang, dengan tetap
memperhatikan kepentingan stakeholder lainnya, berlandaskan peraturan perundangan dan
norma yang berlaku. Berikut adalah prinsip yang dikandung dalam GCG. Secara umum ada
4 (empat) prinsip utama good corporate governance (Asian Development Bank, 2000)
yaitu :
1. Transparency (keterbukaan informasi), yaitu keterbukaan dalam melaksanakan proses
pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengemukakan informasi materiil dan
relevan mengenai perusahaan.
2. Accountability (akuntabilitas), yaitu kejelasan fungsi, struktur, sistem dan
pertanggungjawaban perusahaan sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara
efektif.
3. Responsibility (pertanggungjawaban), yaitu kesesuaian (kepatuhan) di dalam
pengelolaan perusahaan terhadap prinsip korporasi yang sehat serta peraturan
perundangan yang berlaku.
4. Fairness (kesetaraan dan kewajaran), yaitu perlakuan yang adil dan setara di dalam
memenuhi hak-hak stakeholder yang timbul berdasarkan perjanjian serta peraturan
perundangan yang berlaku.
Arti penting good corporate governance (GCG) diperlukan untuk mendorong terciptanya
pasar yang efisien, transparan dan konsisten dengan peraturan perundang-undangan.
Penerapan GCG perlu didukung oleh tiga pilar yang saling berhubungan, yaitu negara dan
perangkatnya sebagai regulator, dunia usaha sebagai pelaku pasar, dan masyarakat sebagai
pengguna produk dan jasa dunia usaha. Prinsip dasar yang harus dilaksanakan oleh masing-
masing pilar adalah:
1. Negara dan perangkatnya menciptakan peraturan perundang-undangan yang menunjang
iklim usaha yang sehat, efisien dan transparan, melaksanakan peraturan perundang-
undangan dan penegakan hukum secara konsisten (consistent law enforcement) .
2. Dunia usaha sebagai pelaku pasar menerapkan GCG sebagai pedoman dasar
pelaksanaan usaha.
3. Masyarakat sebagai pengguna produk dan jasa dunia usaha serta pihak yang terkena
dampak dari keberadaan perusahaan, menunjukkan kepedulian dan melakukan kontrol
sosial (social control) secara obyektif dan bertanggung jawab.
Sementara itu, dalam upaya meningkatkan kualitas tata kelola pengurus perusahaan dan
meningkatkan akuntabilitas perusahaan kepada pemegang saham serta meningkatkan
efektifitas sistem corporate governance, maka dibentuklah konsep codes of governance.
Menurut Aguilera dan Cuervo-Cazurra 2004, dua tujuan utama dibentuknya kode
kepemerintahan (codes of governance) adalah : (1) meningkatkan kualitas tata kelola
pengurus perusahaan dan (2) meningkatkan akuntabilitas perusahaan kepada pemegang
saham.
10
Jurnal
Buletin
Studi
Ekonomi
Vol.19
No.1.
Februari
2014
Bayu
Kharisma.
Good Governance Sebagai Suatu Konsep
dan Mengapa Penting dalam Sektor Publik dan Swasta :
Suatu Pendekatan Ekonomi Kelembagaan
lainnya. Dalam hal ini, aktor-aktor yang terlibat dalam mengeluarkan kode pemerintahan
dibagi dalam empat kelompok besar: (a) pembuat aturan (lawmakers), (b) Pembuat model
(model makers), (c) pembuat pasar (market makers) dan (d) pemegang peran dalam
kepemerintahan (governance enactors).
Pembuat aturan (lawmakers) mencakup semua aktor yang memberikan dan menyediakan
hukum, peraturan, dan aturan yang diperlukan suatu organisasi mencapai status hukum
yang diperlukan untuk beroperasi secara sah. Kelompok ini harus mencakup peraturan
organisasi internasional, pemerintah dan organisasi pemerintah, dan otoritas pasar modal.
Organisasi-organisasi internasional menetapkan peraturan kode dan peraturan dengan
bidang lintas perbatasan nasional. Otoritas pasar modal biasanya instansi pemerintah yang
menetapkan peraturan untuk operasi di dalam pasar tertentu atau pasar di mana
perdagangan organisasi (misalnya, US Securities and Exchange Commission [SEC] atau
UK. Financial Services Authority (FSA).
Pembuat pasar (market makers) terdiri dari penyedia sumber daya keuangan dan penyedia
faktor produksi. Tugasnya adalah menyediakan organisasi dengan sumber daya kunci yang
disalurkan ke pasar yang sudah mapan. Pembuat pasar relatif pasif dalam fungsi
pemerintahan. tetapi penyediaan sumber dayanya memiliki syarat untuk kepatuhan
menerima organisasi untuk standar tertentu. Pembuat model (market makers) termasuk
semua aktor, meskipun di luar struktur organisasi perusahaan, namun memiliki suara dalam
menetapkan norma-norma informal dan model mental anggota dewan. Model ini tidak
hanya mendefinisikan minimum hurdles yang dihadapi untuk mengakses sumber daya di
pasar tetapi juga menyajikan contoh untuk aktivitas perusahaan. Kelompok ini meliputi
assesor pasar, konsultan, dan pendidik bisnis. Pemegang peran dalam kepemerintahan
(governance enactors) adalah orang-orang yang memiliki peran langsung terhadap proses
kepemerintahan, seperti pemegang saham pengendali dan pemegang saham aktif besar,
CEO dan manajer puncak dan anggota dewan masing-masing.
Proses institusionalisasi telah menjadi salah satu objek utama dari penelitian dalam
pendekatan teori kelembagaan organisasi baru (NIS). Dibangun berlandaskan pada studi
penting Zucker (1977) tentang faktor-faktor penentu kegigihan budaya, proses
institusionalisasi biasanya dipandang mengarah pada konvergensi (perubahan non
isomorfik di tingkat lapangan). Namun, deskripsi dari proses pelembagaan sering
mengungkapkan bagaimana praktek yang dilembagakan telah melegitimasi munculnya
aktor baru atau me-redefinisi batas lapangan (perubahan nonisomorfik pada tingkat
lapangan). Selain itu, Barley dan Tolbert (1997) mengatakan bahwa proses pelembagaan ini
juga terkait dengan strukturasi bidang. Greenwood et al. (2002) mengidentifikasi enam
tahap menuju pelembagaan penuh suatu praktek dan selanjutnya terhadap perubahan
kelembagaan di tingkat lapangan, baik isomorfik atau nonisomorfik yaitu : (a) goncangan,
(b) deinstitusionalisasi, (c) preinstitusionalisasi, (d) teorisasi, (e) difusi, dan (f)
reinstitusionalisasi.
11
Jurnal
Buletin
Studi
Ekonomi
Vol.19
No.1.
Februari
2014
Bayu
Kharisma.
Good Governance Sebagai Suatu Konsep
dan Mengapa Penting dalam Sektor Publik dan Swasta :
Suatu Pendekatan Ekonomi Kelembagaan
menjadi tidak stabil atau memunculkan praktik baru. Sejalan dengan Hoffman dan Ocasio
(2001), membuat hipotesa bahwa ini terjadi seiring peristiwa peristiwa didefinisikan sesuai
dengan kepentingan, dan representasi peristiwa berubah menjadi kontes institusionalisasi
dimana kepentingan-kepentingan yang berbeda bersaing untuk membentuk proses
institusionalisasi.
Seiring dengan praktik-praktik yang ada sekarang mulai goyah, pemain institusional baru
dapat memasuki lapangan, atau pelaku yang telah ada mendapatkan legitimasi dengan
mengajukan ide dan praktik baru. Tekanan yang terkait menurun dan organisasi dapat
menjalankan langkah otonom menuju inovasi berdasarkan kemungkinan teknis dan bukan
berdasarkan tunduk pada suatu norma sosial dan mitos tertentu. Penciptaan inovasi
selanjutnya mengarah pada pembuatan teori untuk inovasi yang berbeda masih dalam
bentuk abstrak untuk mendeskripsikan properti dan hasil yang diperkirakan. Selama masa
teorisasi, praktik inovatif yang muncul dibingkai dan disusun agar memenuhi prasyarat
sosial yang ada. Dengan cara ini, inovasi dibuat sebanding atau memiliki kekuatan setara
antara kecakapan teknis (legitimasi pragmatis) dan konsisten atau sejalan dengan norma
yang ada (legitimasi moral).
Adanya teorisasi yang sukses diyakini akan memuluskan jalan ke arah proses difusi. Suatu
praktik yang inovatif bisa dikatakan sepenuhnya telah terlembagakan jika densitas atau
cakupan adopsinya atau implementasi dan penerapannya di lapangan sudah sedemikian
tinggi sehingga orang mau melakukannya begitu saja; yang mana artinya hal tersebut telah
menjadi sesuatu gagasan yang diterima secara sosial dan mendunia. Adopsi praktik yang
telah terlembagakan sepenuhnya menjadi suatu prasarat bagi organisasi untuk menunjukkan
legitimasi sosial.
3. PEMBAHASAN
3.1. Konteks Sejarah
Kondisi di negara-negara mencari bantuan hutang dan bantuan keuangan dalam bentuk
pinjaman dan bantuan pembangunan bukanlah sesuatu yang baru. Beberapa dekade yang
lalu, International Monetery Fund (IMF) dan World Bank telah menerapkan program
penyesuaian struktural (structural adjusment programs) untuk memaksakan kondisi
tertentu terhadap suatu negara yang menderita disebabkan oleh neraca pembayaran defisit,
inflasi tinggi, dan melambatnya GDP. Langkah-langkah awal jangka pendek yang
ditetapkan oleh international financial institutions (IFI) umumnya bertujuan secara umum
untuk memastikan disiplin fiskal dan moneter. Hal ini termasuk membatasi tindakan dan
penghematan belanja, devaluasi, liberalisasi perdagangan, kebijakan berorientasi pasar dan
privatisasi, dan insentif untuk tabungan swasta dan investasi. langkah-langkah jangka
panjang termasuk restrukturisasi peran negara ditujukan untuk pasar dalam mengalokasikan
sumber daya.
Berdasarkan hasil studi yang telah dilakukan menunjukkan bahwa dampak sosial ekonomi
dan politik muncul dari program penyesuaian struktural (SAP) yang ditetapkan oleh IFI
untuk pelaksanaannya pada banyak negara berkembang sejak 1980-an, khususnya di Sub-
Sahara Afrika. Salah satu contoh misalnya program reformasi sektor pertambangan di
Ghana, dimana formulasi Kebijakan di Ghana ditentukan oleh IMF dan dilaksanakan
dengan keterlibatan aktif dari pemerintah sejak 1983 telah mengakibatkan negara dalam
mencapai pertumbuhan ekonomi negara terus menerus dan keuntungan dalam ekonomi
makro. Namun, Ghana terus menghadapi permasalahan sosial ekonomi yang sangat buruk.
Penderitaan masyarakat miskin ini semakin memburuk karena masyarakat telah mengalami
12
Jurnal
Buletin
Studi
Ekonomi
Vol.19
No.1.
Februari
2014
Bayu
Kharisma.
Good Governance Sebagai Suatu Konsep
dan Mengapa Penting dalam Sektor Publik dan Swasta :
Suatu Pendekatan Ekonomi Kelembagaan
marjinalisasi lebih lanjut, perpindahan penduduk yang besar telah terjadi, sebagian besar
ekonomi mineral negara itu dimiliki oleh perusahaan multinasional asing, dan di sana telah
terjadi pencemaran tambang berlanjut dan pencemaran sumber daya air tawar. Dengan
demikian, berdasarkan kondisi yang terjadi di Ghana menunjukkan bahwa program
penyesuaian struktural yang dicetuskan oleh IMF maupun World Bank tidak berjalan
efektif.
3.1.1. World Bank dan Good Governance
Secara tradisional, awalnya World Bank tidak mempertimbangkan masalah isu-isu politik
dan pemerintahan dalam menentukan program bantuan di negara penerima serta tidak
mempunyai motif dan hubungan politis tertentu, dimana mandat utama World Bank tidak
mencakup reformasi pemerintahan yang tidak terkait dengan agenda pertumbuhan ekonomi.
Sebagai penasihat umum World Bank, Ibrahim Shihata menyatakan bahwa World Bank
hanya dapat mempromosikan reformasi layanan hukum dan sipil dan transparansi dan
akuntabilitas dalam disiplin anggaran dan pengelolaan fiskal dalam melakukan agenda
tersebut.
Reformasi sektor publik yang ditetapkan oleh kebijakan World Bank yang bertujuan untuk
efisiensi dan pertumbuhan ekonomi telah mengalami pergeseran pada 1990-an, dimana
semenjak terjadinya krisis di Afrika. World Bank melaporkan bahwa terjadinya "krisis tata
kepemerintahan" di Sub-Sahara Afrika dikarenakan kurang efektifnya penggunaan bantuan
pembangunan (World Bank, 1989). Selanjutnya, World Bank mengindentifikasikan bahwa
hal tersebut disebabkan karena buruknya kinerja kepemerintahan (governance) di negara
tersebut. Selain itu, sebagai kepala ekonom mantan World Bank Joseph Stiglitz mengakui
pada tahun 1999, telah terjadi pergeseran menuju "tujuan yang lebih luas, memiliki
instrumen yang lebih dari kasus sebelumnya," terjadi dengan perubahan pandangan tentang
pembangunan di World Bank serta dalam pengembangan masyarakat.
Meskipun World Bank menyajikan tujuan yang lebih luas seperti yang disebutkan oleh
Stiglitz (1999) dalam hal ekonomi, namun pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari aspek
politik. Sebagai ilustrasi, World Bank yang bertindak sebagai sekretariat konsorsium pada
beberapa negara donor menetapkan beberapa kondisi politik dalam memberikan bantuan
dan menyampaikan kondisi tersebut ke negara-negara penerima bantuan serta melakukan
pemantauan terhadap pelaksanaannya (Gibbon,1993). Selanjutnya, wacana tata kelola
kepemerintahan yang dicetuskan World Bank mencerminkan ketegangan antara aspek
ekonomi dan politik pemerintahan untuk memberikan kriteria yang tepat untuk digunakan
dalam menentukan tata pemerintahan yang baik dan untuk mengevaluasi sebuah negara
penerima untuk kondisi yang tepat untuk alokasi bantuan.
Sebagai syarat atau kondisi untuk meminjam bantuan pembangunan, World Bank
mensyaratkan pemerintah penerima bantuan untuk menunjukkan kinerja yang efektif dan
mempromosikan reformasi lebih lanjut. Alasan utamanya adalah bahwa dengan
melaksanakan tata kepemerintahan yang baik, yaitu memberantas korupsi, nepotisme,
birokrasi, dan mismanagement dan transparansi, akuntabilitas, dan prosedur yang tepat
maka bantuan akan efektif digunakan untuk mencapai tujuan, khususnya untuk mengurangi
kemiskinan.
World Bank menekankan pada dimensi ekonomi dari kepemerintahan yang baik (good
governance) dan kapasitas negara untuk secara efektif menggunakan bantuan pembangunan.
Hal ini menggunakan pendekatan yang tidak berhubungan dengan politik untuk pembaruan
tata pemerintahan dalam alokasi bantuan pembangunan dengan berfokus pada efisiensi
13
Jurnal
Buletin
Studi
Ekonomi
Vol.19
No.1.
Februari
2014
Bayu
Kharisma.
Good Governance Sebagai Suatu Konsep
dan Mengapa Penting dalam Sektor Publik dan Swasta :
Suatu Pendekatan Ekonomi Kelembagaan
dalam administrasi publik, supremasi hukum, dan gagasan transparansi dan akuntabilitas
pemerintahan sebagai unsur penting untuk menjamin pertumbuhan ekonomi dan
pembangunan. Akibatnya, hal itu tidak secara eksplisit mempertanyakan bagaimana
pemerintah yang sah dan struktur kekuasaan perusahaan, apa yang proses pengambilan
keputusan, bagaimana kebijakan publik dirumuskan dan diimplementasikan atau
bagaimana sistem ekonomi berjalan dengan adil.
Harrison (2004) menegaskan bahwa meskipun World Bank menunjukkan perhatian utama
dengan efisiensi ekonomi, pertumbuhan ekonomi dan administrasi reformasi, agenda
kepemerintahan ini adalah "tunduk pada pengaruh politik dan ideologi dan bagaimana
reformasi tata pemerintahan dapat memiliki berbagai efek pada pengaruh kekuasaan." ini
pernyataan ini didasarkan pada analisis sebelumnya oleh beberapa pengamat (Harris et al,
2002). Setelah mempelajari secara ekstensif intervensi World Bank di Sub-Sahara Afrika,
Harrison (2004) menyimpulkan bahwa Bank memiliki pandangan liberal, yang telah
dikenakan pada negara-negara Afrika dalam mempromosikan reformasi tata pemerintahan
melalui intervensi-pinjaman dan bantuan teknis. Selanjutnya, bahwa negara-negara Afrika
telah menjadi subjek sebagian besar pembaruan tata pemerintahan yang didanai Bank.
Harrison memandang hal ini adalah dunia liberal baru, direndam dalam kombinasi budaya
Barat dan sejarah dan pemikiran politik Amerika, untuk membentuk strategi Bank
mengurangi kapasitas dan ruang lingkup negara penerima untuk aksi publik.
Harrison menemukan bahwa teori World Bank mengenai perubahan politik mempunyai
keyakinan bahwa World Bank yang bertanggung jawab untuk perubahan dalam tindakan
negara penerima dengan pilihan rasional, bahwa negara harus campur tangan sesedikit
mungkin dalam perekonomian, insentif bagi agen negara akan bekerja, dan negara harus
bertindak sebagai pasar melengkapi institusi tidak berjalan dengan efektif. Selanjutnya,
Harrison menemukan pandangan dunia liberal-kapitalis bertentangan dengan pandangan
dunia dan teori perubahan politik yang terjadi di beberapa negara Afrika, khususnya di
Tanzania dan Uganda. Selanjutnya adanya jaringan berbasis klientalisme dalam hubungan
etnis-sosial yang kental dengan tradisi budaya dan sejarah di Afrika yang tidak dipahami
oleh World Bank.
Dalam studi yang dirilis pada bulan Mei 2005, World Bank menyajikan update terbaru
mengenai indikator agregat pemerintahan untuk tahun 2004-2009 negara dan wilayah, yang
dirancang untuk mengukur enam dimensi berikut tata-suara dan akuntabilitas, stabilitas
politik dan kekerasan, efektivitas pemerintah, kualitas peraturan, supremasi hukum, dan
kontrol korupsi (Kaufmann et al, 2005). Dokumen-dokumen studi ini menunjukkan bahwa
"ada sedikit bukti dari setiap tren-untuk lebih baik atau lebih buruk dalam rata-rata global
14
Jurnal
Buletin
Studi
Ekonomi
Vol.19
No.1.
Februari
2014
Bayu
Kharisma.
Good Governance Sebagai Suatu Konsep
dan Mengapa Penting dalam Sektor Publik dan Swasta :
Suatu Pendekatan Ekonomi Kelembagaan
governance". Selain itu, berpendapat bahwa berdasarkan bukti yang ada "sebagian besar
hubungan antara kepemerintahan dan pendapatan per kapita mencerminkan penyebab dari
terdahulu dan yang terakhir," dan bahwa ketiadaan tata kelola kepemerintahan di suatu
negara atau wilayah menyebabkan pendapatan rendah.
Berdasarkan pengalaman masa lalu dan kondisi saat ini maka untuk keberhasilan reformasi
good governance maka faktor sejarah dan budaya negara penerima merupakan masalah
yang harus diberikan prioritas utama. World Bank dalam menerapkan konsep good
governance tampaknya tidak menunjukkan kepekaan yang cukup untuk permasalahan di
negara-negara berkembang dan program yang selama ini ditetapkan mungkin tidak dapat
berhasil dalam mencapai hasil yang diharapkan.
3.1.2. IMF dan Good Governance
IMF didirikan untuk bertindak sebagai forum dalam memfasilitasi kerjasama moneter
internasional dan meregulasi hubungan moneter. Namun peran IMF secara tradisional
adalah sebagai koordinator internasional dan regulator mengenai masalah moneter untuk
negara-negara yang berada pada tekanan berat karena kombinasi dari kenaikan arus modal
dan rincian kewajiban nilai tukar internasional. Pada tahun 1980, jumlah negara-negara
berkembang yang mencari bantuan mulai tumbuh, instrumen World Bank atau IMF untuk
mencampuri kebijakan negara mulai nampak. Dengan demikian, program penyesuaian
struktural (structural adjusment programs) mulai menjadi norma dan persyaratan yang
terus berkembang.
Pada awalnya IMF hanya terlibat dalam masalah transaksi modal karena perannya dalam
menyikapi krisis utang tetapi kemudian mulai membenarkan persyaratan rasional dalam
mendorong arus modal. Dengan demikian, peranannya adalah meningkatkan kepercayaan
pasar dan bertindak sebagai katalis. Namun, Selama tahun 1980-an, lebih dari setengah dari
program yang diusung IMF telah gagal dalam pelaksanaannya (Killick, 1995). Meskipun
bahwa persyaratan yang selama ini diusung oleh IMF tidak bekerja, namun program
penyesuaian struktural selama tahun 1990-an terus mengalami peningkatan yang cukup
signifikan, dari 60 sampai 100 persen selama periode 1989-1999, dan jumlah rata-rata
kondisi struktur per program meningkat 3-12 persen.
Seiringnya dengan waktu tepatnya pada tahun 1980-an, mulai memperlihatkan bahwa
dengan adanya konsekuensi politik tertentu, budaya, preferensi, dan kepekaan yang kuat
dari negara penerima bantuan menyebabkan program penyesuaian struktural sangat sulit
diadopsi (Thirkell, 2003) meskipun pedoman kebijakan telah dikemas dalam konteks
ekonomi. Setelah secara eksplisit menyatakan bahwa IMF harus berfokus pada perbaikan
dan dukungan dari "pengembangan dan pemeliharaan lingkungan ekonomi dan regulasi
yang transparan dan stabil", namun tetap dokumen tersebut memberikan alasan atas
kepedulian dengan isu-isu governance. Governance yang buruk akan memiliki dampak saat
ini atau akan mempunyai potensi signifikan terhadap kinerja makroekonomi dalam jangka
pendek dan menengah dan pada kemampuan pemerintah kredibel untuk melanjutkan
kebijakan yang ditujukan pada kelangsungan hidup eksternal.
Sama seperti halnya World Bank, timbul adanya ketegangan antara agenda ekonomi dan
agenda politik kepemerintahan, terutama ketika tujuan IMF dalam governance tidak jelas
dan tidak dapat diartikulasikan. Selanjutnya, yang menjadi perhatian bahwa agenda
ekonomi governance yang diusung oleh IMF berkaitan dengan pengelolaan ekonomi
tradisional dan agenda kepemerintahan secara politis bertujuan untuk meningkatkan
kepercayaan pasar. Namun, pengambilan keputusan di IMF tentang arah agenda
15
Jurnal
Buletin
Studi
Ekonomi
Vol.19
No.1.
Februari
2014
Bayu
Kharisma.
Good Governance Sebagai Suatu Konsep
dan Mengapa Penting dalam Sektor Publik dan Swasta :
Suatu Pendekatan Ekonomi Kelembagaan
kepemerintahan di setiap negara harus responsif terhadap tradisi politik, budaya, preferensi,
dan kepekaan negara penerima bantuan.
3.1.3. Amerika Serikat dan Good Governance
Strategi Keamanan Nasional Amerika Serikat yang diumumkan oleh Presiden George W.
Bush pada bulan September 2002 memberikan pemikiran dan kerangka kerja mengenai
bantuan pembangunan baru (U.S. Development assistance) dibawah koordinasi Millenium
Challenge Account (MCA) (Strategi Keamanan Nasional Amerika Serikat 2002).
Millenium Challenge Corporation (MCC) menggunakan lima (5) dari enam (6) aturan
indikator World Bank, yaitu hukum, efektivitas pemerintah, suara dan akuntabilitas,
pengendalian korupsi, dan kualitas peraturan sebagai bagian dari himpunan enam belas
indikator untuk memilih negara untuk memenuhi syarat untuk mengajukan proposal untuk
pendanaan Millenium Challenge Account (MCA) (Radelet, Siddiqi, dan Dizolele 2005).
Sebuah negara harus skor lebih baik daripada nilai rata-rata dalam kelompok di setengah
indikator di masing-masing dari tiga berkuasa luas daerah adil, investasi pada orang,
membangun kebebasan ekonomi-untuk lulus uji indikator, dan harus melampaui rata-rata
pada korupsi sebagai bagian dari "peraturan hukum yang adil" indikator.
Dalam sebuah diskusi tentang masa depan MCA pada bulan Mei 2005, fokusnya pada
pertumbuhan ekonomi, kepemilikan donor, dan pasar bebas ada konsensus yang
mengaitkan bantuan terhadap kinerja, pengukuran hasil, monitoring dan evaluasi, dan
"kepemilikan" sebagai arah yang diambil oleh MCA dalam pemilihan negara-negara
penerima. Selanjutnya, fakta menunjukkan bahwa negara yang memiliki kemitmen kuat
16
Jurnal
Buletin
Studi
Ekonomi
Vol.19
No.1.
Februari
2014
Bayu
Kharisma.
Good Governance Sebagai Suatu Konsep
dan Mengapa Penting dalam Sektor Publik dan Swasta :
Suatu Pendekatan Ekonomi Kelembagaan
untuk melakukan perubahan dan alokasi sumber daya yang efisien merupakan faktor
penting untuk menjamin penggunaan efektif bantuan dalam mengurangi kemiskinan.
Namun untuk melakukan hal tersebut banyak dipengaruhi oleh norma dan budaya dan
kondisi politik yang ada di negara penerima bantuan tersebut.
3.1.4. Studi Kasus di Beberapa Negara Asia (Korea Selatan, Indonesia dan Thailand)
Thirkell (2003) yang mempelajari respon kebijakan IMF untuk masalah krisis keuangan
pada 1990-an di Korea dan Indonesia, telah menunjukkan bahwa reformasi utama yang
terjadi di Korea dalam upaya meningkatkan, akuntabilitas, dan kompetisi, dan
mendisiplinkan serta penataan konglomerat chaebols, untuk mendukung usaha kecil dalam
mnegatasi krisis ekonomi bukan sebagai intervensi menurut mandat IMF, meskipun pusat
krisis adalah kurangnya kepercayaan pasar. Namun, pada dasarnya hal ini adalah intervensi
agenda politik yang diadopsi Presiden Kim Dae Jung dan orang-orang Korea, bukan
sebagai langkah-langkah yang dirancang untuk meningkatkan efisiensi ekonomi oleh IMF
tetapi lebih kepada proses nasionalisme lebih lanjut dan demokratisasi.
Hal serupa terjadi di Indonesia, yang menderita pemulihan kepercayaan pasar terutama
disebabkan oleh korupsi dan nepotisme dan tata kelola yang buruk oleh rezim Suharto telah
menyebabkan terjadi krisis keuangan. Program reformasi struktural IMF awalnya ditujukan
untuk mengatasi korupsi dan bank yang mengalami salah pengelolaan. Selanjutnya,
pemerintah Soeharto setuju dengan IMF untuk reformasi tata kelola kepemerintahan,
termasuk kebangkrutan baru, konsumen, dan hukum tata kelola perusahaan, modal dan
liberalisasi giro, modifikasi beberapa subsidi, berakhirnya kartel dan monopoli, dan audit
independen dari pemerintah dan badan usaha milik negara (Pemerintah Indonesia 1998),
namun, program tersebut tidak efektif diimplementasikan dan karena itu tidak berhasil
dalam membangun kepercayaan pasar. Menurut beberapa kritikus (Radelet dan Sachs
1998).
Ada beberapa hal yang menyebabkan kegagalan tersebut, antara lain yaitu dana yang
seharusnya langsung ditujukan beban utang Indonesia gagal dilakukan. Hal itu,
bagaimanapun, terlambat mengambil tindakan untuk memberikan keringanan utang yang
dibutuhkan. Sementara itu, faktor lainnya yang krusial adalah berkaitan dengan masalah-
masalah politik yang terjadi di Indonesia. Kasus serupa terjadi di Thailand, dimana
program IMF awalnya ditujukan untuk mengatasi krisis ekonomi tidak efektif, justru
dengan adanya reformasi politik yang terjadi di Thailand dapat memecahkan masalah krisis
yang dihadapi (Haggard, 2000).
17
Jurnal
Buletin
Studi
Ekonomi
Vol.19
No.1.
Februari
2014
Bayu
Kharisma.
Good Governance Sebagai Suatu Konsep
dan Mengapa Penting dalam Sektor Publik dan Swasta :
Suatu Pendekatan Ekonomi Kelembagaan
Salah satu negara yang antusias dalam mengadopsi reformasi berbasis pasar ini adalah
Singapura. Dalam mempelajari transformasi berorientasi bisnis kepemerintahan dan
birokrasi ini, Singapura memiliki keunikan tertentu. Pertama, meskipun Singapura
mewarisi model Inggris yang memiliki governance relatif sama dengan negara
persemakmuran lainnya, namun sistem pemerintahannya telah dikenal secara luas dalam
masalah efisiensi dan kompetensi terutama peranannya dalam kinerja terhadap
perekonomian. Kedua, sementara sebagian besar negara mengadopsi reformasi tersebut
karena adanya dugaan inefisiensi dan mismanagement dalam tata kelola sektor publik,
namun pemerintah Singapura telah mengadopsi reformasi tersebut meskipun efisiensi dan
sektor publik yang dikelolanya cukup baik. Selain itu, meskipun banyak negara
berkembang dengan utang luar negeri yang tinggi telah mengadopsi privatisasi dan
deregulasi, liberalisasi perdagangan dan investasi, dan restrukturisasi birokrasi negara
sesuai dengan prinsip-prinsip dari "Publik Manajemen Baru" (NPM), seringkali hal tersebut
dipaksakan oleh bantuan internasional lembaga (Chung, 2001; Walton, 2001), sedangkan
Singapura hampir bebas dari utang luar negeri dan dengan demikian bebas dari tekanan
untuk menerapkan reformasi tersebut.
Singapura merupakan negara kota kecil dengan luas tanah 647,5 km2 dengan berpenduduk
sekitar 4,16 juta. Komposisi etnisnya campuran, dan termasuk China (76,8 persen), Melayu
(13,9 persen), India (7,9 persen), dan kelompok minoritas lainnya (1,4 persen). Setelah
mendapatkan otonomi dari pemerintahan kolonial Inggris (1819-1959), Singapura
mengadopsi bentuk pemerintahan parlementer di bawah People’s Action Party (PAP). PAP
sendiri telah memerintah negara itu sejak tahun 1959 dengan mayoritas mutlak (umumnya
92-97 persen kursi parlemen) dalam legislatif unikameral.
Sejak tahun 1959 PAP telah memimpin pembentukan “developmental state” yang
umumnya memberikan penekanan berlebihan terhadap negara berkaitan dengan
kepemilikan dan kontrol ekonomi terhadap pembangunan ekonomi nasional. Dalam
konteks unik yang ada di Singapura, di mana sektor swasta domestik relatif lemah, negara
dan birokrasi yang menjadi aktor utama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi,
menciptakan lapangan kerja, membantu perkembangan industrialisasi, pembiayaan
investasi swasta, membangun infrastruktur, memberikan berbagai layanan, dan sebagainya.
18
Jurnal
Buletin
Studi
Ekonomi
Vol.19
No.1.
Februari
2014
Bayu
Kharisma.
Good Governance Sebagai Suatu Konsep
dan Mengapa Penting dalam Sektor Publik dan Swasta :
Suatu Pendekatan Ekonomi Kelembagaan
mengatur sistem pasar dan merupakan fitur lain perkembangan negara Singapura (Lee,
2001). Namun, perlu dicatat bahwa menurut Low (2000), berbeda dengan perkembangan
negara-negara lain di Asia, Singapura mengandalkan kemitraan antara birokrasi ekonomi
dan perusahaan-perusahaan transnasional daripada sektor swasta atau modal domestik yang
berkembang dalam persaingan dengan perusahaan asing.
Namun, konteks global saat ini, di mana peran negara dalam perekonomian umumnya
menurun, menimbulkan tantangan bagi legitimasi dan kredibilitas negara di Asia Timur dan
negara-negara Asia Tenggara, termasuk Singapura. Menurut Low dan Haggard (2000),
meskipun ada beberapa perubahan manajerial negara di Singapura, peran dominan negara
sebagian besar masih utuh, terutama untuk menangani krisis keuangan dan ekonomi di Asia.
Namun, telah terjadi perubahan yang cukup besar dalam sektor publik di Singapura sebagai
respon terhadap tekanan internal dan eksternal yang terjadi. Selanjutnya, yang perlu
ditekankan bahwa meskipun dibidang ekonomi, negara telah mengalami reformasi market-
driven, bidang politik negara tidak berubah dalam hal pergeseran ke arah partisipasi yang
lebih besar dari partai oposisi dan kelompok masyarakat sipil dalam pengambilan
keputusan kebijakan (Low, 2000; Thompson, 1996).
Sejak Singapura muncul sebagai “developmental state”, sektor publik menjadi dominan
dalam perekonomian nasional. Hal ini terus berkembang karena pemerintah menciptakan
perusahaan-perusahaan negara, terkait dengan perumahan, listrik, air, pelabuhan,
penerbangan, perbankan, telekomunikasi, manufaktur, media, transportasi, dan seterusnya
(Yeung, 2000a). Temasek Holdings telah memainkan peran penting dalam mengelola dan
memantau investasi pemerintah (senilai S $ 70 milyar) di perusahaan negara dan
perusahaan lain. Justifikasi utama pemerintah untuk sebuah peran aktif dan intervensi
sektor publik telah menggantikan sektor swasta yang lemah, menjamin industrialisasi yang
pesat, dan menjaga stabilitas politik dan ekonomi.
Selama dua dekade terakhir, peran utama sektor publik menjadi berkurang, misalnya
pemerintah mulai mengizinkan perusahaan swasta lokal dan asing untuk bersaing di sektor-
sektor yang telah secara tradisional diperuntukkan bagi monopoli negara. Sebagai contoh,
kompetisi lebih terbuka dengan sektor swasta telah diizinkan di sektor telekomunikasi.
Sektor perbankan dan asuransi sekarang memungkinkan peran yang lebih besar bagi bank
asing dan perusahaan. Selain itu, kompetisi sektor swasta telah diperkenalkan di listrik,
pelayanan kesehatan, dan firma hukum (Shameen, 2000). Terlepas dari skala yang tepat
dari perubahan ke arah kompetisi yang lebih besar, itu merupakan perubahan yang
signifikan terjadinya pergeseran dalam peran sektor publik tradisional yang dominan. Hal
ini juga terlihat adanya kecenderungan mengubah lembaga-lembaga publik dari "regulator
kelas pertama" untuk efisien "fasilitator" (Low, 2000).
Meskipun sektor publik sudah berkurang, namun masih cukup dominan, perannya kini
untuk mendukung sektor swasta dengan menciptakan suasana kondusif untuk bisnis, dalam
hal menguntungkan tarif pajak penghasilan badan, infrastruktur fasilitas, peraturan
perdagangan, dan izin usaha (Lim, 1996; Haque, 2004). Meskipun perubahan dalam peran
intervensi dan peraturan dari otoritas publik terjadi di Singapura, ada fakta yang
menunjukkan bahwa dibandingkan dengan wilayah hukum seperti Hong Kong, suasana
bisnis di Singapura tetap mencekik, terutama yang berkaitan dengan peraturan tentang
penggunaan lahan, pengelolaan kawasan, perumahan publik, dan media lokal (Shameen,
2000).
19
Jurnal
Buletin
Studi
Ekonomi
Vol.19
No.1.
Februari
2014
Bayu
Kharisma.
Good Governance Sebagai Suatu Konsep
dan Mengapa Penting dalam Sektor Publik dan Swasta :
Suatu Pendekatan Ekonomi Kelembagaan
Kebijakan nasionalisasi dan perluasan BUMN telah mengalami reformasi selama beberapa
dekade terakhir, ketika negara-negara diperkenalkan kebijakan market-driven seperti
privatisasi, deregulasi, liberalisasi, korporatisasi, outsourcing, penarikan subsidi, dan
pemotongan anggaran (Haque, 2004). Sejalan dengan kecenderungan tersebut, pemerintah
Singapura telah secara bertahap merangkul beberapa kebijakan ini, yang mewakili
perubahan yang signifikan dari sikap kebijakan yang sebelumnya dalam mendukung
perusahaan publik dan peraturan pemerintah. Setelah mengikuti rekomendasi dari Komite
Divestasi Sektor Publik pada tahun 1987, pemerintah memutuskan untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi melalui persaingan pasar dengan privatisasi BUMN dan perusahaan-
perusahaan. Secara khusus, Temasek Holdings memulai kebijakan divestasi yang
menyebabkan kapitalisasi pasar sebesar US $ 88.2 milyar pada perusahaan yang terdaftar
selama 1985-1999 (Low, 2000). Menurut Low (2000) menyatakan bahwa kebijakan
privatisasi melambangkan realisasi pemerintah untuk menciptakan lingkungan yang
kondusif bagi sektor swasta di Singapura.
Pemerintah juga telah bergerak menuju deregulasi hukum administrasi dan kontrak
pelayanan (misalnya, pencetakan, pelatihan, kantor-pembersih, dan pelayanan administrasi
dan teknis) untuk meningkatkan efektivitas biaya (Sekretariat Persemakmuran, 1998).
Selain itu, ada trend yang berkembang menuju liberalisasi pada berbagai sektor di
Singapura, khususnya keuangan, telekomunikasi, dan utilitas, sebagai tanggapan terhadap
trend global saat ini dan pengaruh eksternal. Di sektor telekomunikasi, banyak pembatasan
terhadap kepemilikan asing telah dihapus, dan Otoritas Moneter Singapura telah
membatalkan batas yang sebelumnya dikenakan pada kepemilikan asing di bank dan
melonggarkan pembatasan sebelumnya atas penggunaan dolar Singapura oleh orang asing
(Low, 2000).
Sejalan dengan perubahan tersebut, ada muncul pergeseran dalam struktur organisasi dan
gaya manajemen pelayanan publik di Singapura. Selama dekade sebelumnya, di bawah
perkembangan dan intervensi negara di sektor publik, sistem administrasi sebagian besar
didasarkan pada asumsi dari model birokrasi, mempromosikan meritokrasi, impersonalitas,
hirarki, kekakuan struktural dan sebagainya. Namun dalam beberapa tahun terakhir,
pemerintah Singapura telah mengadopsi beberapa komponen utama administrasi publik
berorientasi bisnis (new public management) yang telah berkembang di negara-negara
kapitalis maju selama tahun 1980 dan 1990. Secara umum, dua komponen utama dari
manajemen publik berorientasi bisnis adalah disagregasi berbagai kementerian, departemen,
dan lembaga-lembaga ke lembaga eksekutif otonom dengan otonomi yang lebih besar dan
mendelegasikan otoritas keuangan dan manajerial untuk merumuskan dan menerapkan
program-program berbasis hasil akhir atau hasil, bukan masukan (input) dan proses.
Pemerintah Singapura baru-baru ini mengkonversi berbagai departemen dan badan hukum
ke badan otonom dengan tingkat fleksibilitas operasional tertentu. Hal ini dapat diamati
dalam kasus departemen pekerjaan umum, prasarana umum papan, papan perumahan dan
pembangunan, otoritas pendapatan pedalaman, otoritas pelabuhan, otoritas penyiaran, dan
otoritas transportasi darat (Haque, 2004), dimana badan-badan otonom, para eksekutif
dibagi dengan otonomi yang cukup besar dalam keuangan, personalia, dan hal-hal
manajerial lainnya. Sebagai contoh, dibandingkan dengan anggaran sebelumnya dan sistem
akuntansi dengan kontrol kaku atas masukan dan hal-hal prosedural, baru-baru ini diadopsi
penganggaran untuk hasil dan sistem akuntansi manajemen yang menyediakan fleksibilitas
signifikan bagi manajer publik untuk menentukan perkiraan anggaran dari masing-masing
instansi berdasarkan target kinerja dan hasil akhir.
20
Jurnal
Buletin
Studi
Ekonomi
Vol.19
No.1.
Februari
2014
Bayu
Kharisma.
Good Governance Sebagai Suatu Konsep
dan Mengapa Penting dalam Sektor Publik dan Swasta :
Suatu Pendekatan Ekonomi Kelembagaan
Demikian pula, pada 1990-an, pemerintah Singapura mendesentralisasikan sistem personel
untuk personil yang baru pada kementerian dan hukum yang dapat merekrut karyawan
lebih rendah dan tingkat menengah serta memperkenalkan peluang baru untuk eksekutif
sektor bisnis untuk bergabung dengan layanan publik di setiap tingkat yang tergantung
pada kemampuan dan kualifikasi (Haque, 2004). Ada inisiatif untuk memperkenalkan
kontrak tetap panjang bukan kepemilikan permanen bagi karyawan di sektor publik (Lee,
2001). Selain itu, pejabat publik paling atas, seperti sekretaris permanen, kini sedang
didorong untuk berperilaku seperti eksekutif bisnis dalam mengelola sumber daya manusia
dan menentukan kinerja karyawan.
Selanjutnya, pemerintah mendukung adanya jaminan sosial bagi warga yang dikelola oleh
negara dalam bentuk Central Provident Fund (CPF), yang dimulai pada tahun 1955 di
bawah pemerintahan kolonial, tetapi diperluas dan dilembagakan di bawah PAP pada tahun
1959. Di bawah sistem ini, baik karyawan (warga negara dan penduduk tetap) dan
pengusaha (organisasi sektor publik dan swasta) mengkontribusikan persentase tetap dari
gaji atau kompensasi ke CPF sebagai tabungan wajib dan dapat digunakan sebagai
keamanan pasca pensiun, untuk membiayai rumah kepemilikan (terutama untuk flat HDB)
dan untuk dibelanjakan pada perawatan kesehatan (Browning, 2000; Lee, 2001). Tingkat
kontribusi CPF meningkat, baik pengusaha dan karyawan dari hanya 5 persen dari gaji di
tahun-tahun awal, dan lebih dari 20 persen pada pertengahan 1980-an (Lam, 2000). Akun
CPF (yang dimiliki oleh sekitar 50 persen dari total penduduk) memiliki tiga komponen:
rekening medisave (untuk perawatan kesehatan), rekening biasa (untuk membeli rumah),
dan rekening khusus (untuk pensiun pembiayaan). Faktor-faktor utama terjadinya reformasi
dalam kepemerintahan dan birokrasi disebabkan faktor internal dan pengaruh eksternal.
• Faktor internal
Adanya intervensi dan kontrol negara yang lebih besar di Singapura (seperti
memastikan kelangsungan hidup ekonomi dan mengelola konflik etnis dan ketidakstabilan
politik) terus mengalami penurunan, sejalan dengan pencapaian sukses yang luar biasa pada
sisi ekonomi, keharmonisan ras, dan stabilitas politik yang dicapai selama dekade terakhir.
Sementara itu, penduduk di Singapura telah menjadi lebih terdidik, informatif, dan
menuntut adanya limitasi intervensi terhadap pemerintahan (Lam, 2000; Lee, 2001).
Dengan kata lain, tidak relevannya lagi kontrol negara dan meningkatnya tuntutan serta
21
Jurnal
Buletin
Studi
Ekonomi
Vol.19
No.1.
Februari
2014
Bayu
Kharisma.
Good Governance Sebagai Suatu Konsep
dan Mengapa Penting dalam Sektor Publik dan Swasta :
Suatu Pendekatan Ekonomi Kelembagaan
permintaan publik terhadap pembatasan intervensi telah menyebabkan munculnya gaya
governance yang lebih "konsultatif", khususnya di bawah pimpinan Perdana Menteri Goh
Chok Tong (Lam, 2000).
Namun ada kritik terhadap negara yang cenderung untuk menjalankan beberapa derajat
"paternalisme" dan menolak demokrasi liberal model barat (Lee, 2001; Low, 2000). Selain
itu, Gan (2003) dan Ibrahim (2003) menunjukkan fakta bahwa kesempatan untuk ekspresi
publik bebas dan diskusi tentang isu-isu kebijakan sering dibatasi oleh adanya peraturan
yang berlaku. Dengan demikian, demokrasi parlementer di Singapura pada dasarnya
merupakan bentuk demokrasi "otoriter lunak" atau "semi-otoriter". Di sisi lain, laju
pembangunan ekonomi dan munculnya kelas pendapatan menengah terdidik, telah
menyebabkan situasi yang membutuhkan politik jenis baru (new kind of politics) serta
pengakuan yang lebih besar dari masyarakat sipil (Low, 2000). Dalam hal ini, Low (2000)
menemukan bahwa dalam beberapa tahun terakhir, partai yang berkuasa telah menyadari
kebutuhan untuk beberapa pengakuan masyarakat sipil, yang melibatkan aktor-aktor non-
negara dan isu-isu nonekonomi seperti lingkungan hidup dan pertumbuhan yang
berkelanjutan, yang mungkin menunjukkan tertentu pergeseran dalam pandangan
pemerintah terhadap kontrol negara.
Menyadari hal ini sebagai realitas yang menantang maka pemerintah Singapura telah
memperkenalkan insentif lebih lanjut, termasuk infrastruktur yang relevan (terutama di
22
Jurnal
Buletin
Studi
Ekonomi
Vol.19
No.1.
Februari
2014
Bayu
Kharisma.
Good Governance Sebagai Suatu Konsep
dan Mengapa Penting dalam Sektor Publik dan Swasta :
Suatu Pendekatan Ekonomi Kelembagaan
bidang teknologi informasi), tenaga kerja terampil tapi lebih murah dan dominasi peran
pemerintah yang dibatasi dan liberalisasi ekonomi, agar tetap menarik bagi pasar global dan
investor (Low, 2000). Dalam hal ini, mantan Menteri Keuangan, Richard Hu, disebutkan
sebagai berikut: ''kami tidak memiliki pilihan selain untuk terbuka dan bersaing di pasar
dunia untuk bertahan hidup dan kesejahteraan (Yeung, 2000).
Dalam menghadapi tantangan dan tekanan eksternal tersebut, pemerintah telah mengambil
inisiatif utama untuk meningkatkan daya saing ekonomi Singapura dengan mendorong
perusahaan negara, perusahaan pemerintah terkait, dan pengusaha swasta lokal untuk
berinvestasi di negara-negara lain, terutama di Asia. Diperkirakan bahwa jumlah investasi
langsung asing dari Singapura dalam ekonomi daerah meningkat dari US $ 2,6 miliar pada
tahun 1986 menjadi US $ 36,8 miliar pada tahun 1995 (Yeung, 2000b: 143). Selain itu,
adanya restrukturisasi negara dan pemerintahan yang mendukung fleksibilitas manajerial
dan budaya berorientasi bisnis di sektor publik untuk membuat pejabat publik lebih ramah
pasar dan inovatif dalam berinteraksi dan berurusan dengan pengusaha lokal dan regional.
3.2.1. Studi Kasus di Beberapa Negara Asia Lainnya
Globalisasi tak hanya menuntut peningkatan peran sektor swasta, tetapi juga menuntut
sektor publik untuk memperbaiki kinerjanya dalam rangka melayani kebutuhan pasar
global. Berikut ini beberapa contoh reformasi birokrasi yang terjadi di beberapa negara
Asia Tenggara.
Hal yang sama juga dilakukan Filipina. Kondisi ini dengan jelas menunjukkan bahwa
perubahan birokrasi itu menekankan perlunya keterbukaan struktural untuk memungkinkan
terjadinya pertukaran gagasan dan perubahan inovasi. Meski demikian, tidak semua negara
berhasil melakukan perubahan birokrasi. Singapura dan Malaysia tergolong cukup efektif
mewujudkan beberapa reformasi administrasi, antara lain karena stabilitas politik dan kerja
sama yang baik antara birokrasi dan pemimpin politik. Sementara itu, Indonesia, Thailand,
dan Filipina kurang efektif dalam mewujudkan perubahan administrasi karena dominannya
aparat birokrasi dan adanya konflik atau kolusi antara birokrasi dan elite politik.
Berdasarkan hasil Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang berbasis di
23
Jurnal
Buletin
Studi
Ekonomi
Vol.19
No.1.
Februari
2014
Bayu
Kharisma.
Good Governance Sebagai Suatu Konsep
dan Mengapa Penting dalam Sektor Publik dan Swasta :
Suatu Pendekatan Ekonomi Kelembagaan
Hongkong meneliti pendapat para eksekutif bisnis asing (expatriats), menunjukkan bahwa
birokrasi Indonesia dinilai termasuk terburuk dan belum mengalami perbaikan berarti
dibandingkan keadaan di tahun 1999, meskipun lebih baik dibanding keadaan Cina,
Vietnam dan India. Di tahun 2000, Indonesia memperoleh skor 8,0 atau tak bergerak dari
skor 1999, dari kisaran skor yang dimungkinkan, yakni nol untuk terbaik dan 10 untuk
terburuk. Skor 8,0 atau jauh di bawah rata-rata ini diperoleh berdasarkan pengalaman dan
persepsi expatriats yang menjadi responden bahwa antara lain menurutnya masih banyak
pejabat tinggi pemerintah Indonesia yang memanfaatkan posisinya untuk memperkaya diri
sendiri dan orang terdekat.
Peringkat Thailand dan Korea Selatan tahun 2000 membaik, meskipun di bawah rata-rata,
yakni masing-masing 6,5 dan 7,5 dari tahun lalu masing-masing sebesar 8,1 dan 8,7. Tahun
1999. Hasil penelitian PERC menempatkan Indonesia sebagai negara dengan tingkat
korupsi tertinggi dan sarat kronisme dengan skor 9,9 untuk korupsi dan 9,1 untuk kroniisme
dengan skala penilaian yang sama antara nol yang terbaik hingga sepuluh yang terburuk.
Sedangkan pada tahun 2002 Indonesia ditempatkan sebagai negara yang cukup tinggi
tingkat korupsinya di Asia. Angka, yang diperoleh dari hasil survey tersebut sebesar 9,92.
Angka ini sangat fantastis karena merupakan angka yang hampir mendekati paling
sempurna. Artinya, korupsi sudah sedemikian parahnya (mendekati angka 10).
Berdasarkan survey eksekutif bisnis ekspatriat yang dilakukan Political and Economic Risk
Consultancy (PERC) tahun 2010, menunjukkan bahwa Pusat finansial Regional Singapura
dan Hong Kong memiliki birokrasi paling efisien. Singapura berada di tempat pertama
dengan skor 2,53 dan Hong Kong dengan 3,49. Survey tersebut meranking 12 negara kunci
dan kawasan dalam skala satu sampai sepuluh, dimana sepuluh merupakan nilai terburuk
dan semakin dekat dengan nilai 1 menunjukkan nilai terbaik. Para eksekutif bisnis dalam
survey tersebut menilai India sebagai negara dengan birokrasi paling tidak efisien di
kawasan tersebut. India memiliki nilai 9,41 diikuti Indonesia dengan 8,59, kemudian
Filipina dengan 8,37, Vietnam 8,13, dan China 7,93. Malaysia menempati peringkat
keenam dengan skor 6,97, diikuti Taiwan 6,60, Jepang 6,57, Korea Selatan 6,13 dan
Thailand 5,53. Selengkapnya mengenai hasil survey eksekutif bisnis ekspatriat Political
and Economic Risk Consultancy (PERC) pada tahun 1999, 2000, 2002 dan 2010 dapat
dilihat pada Tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1. Skor Survey Eksekutif Bisnis Ekspatriat
Political and Economic Risk Consultancy (PERC) tahun 1999, 2000, 2002 dan 2010*
No Negara 1999 2000 2002 2010
1 Indonesia 8,0 8,0 9,9 8,6
2 Singapura n.a n.a n.a 2,5
3 Thailand 8,1 6,5 n.a 5,5
4 Filipina n.a n.a n.a 8,4
5 China n.a n.a n.a 7,9
6 Malaysia n.a n.a n.a 7,0
7 Jepang n.a n.a n.a 6,6
8 Korea Selatan 8,7 7,5 n.a 6,1
9 India n.a n.a n.a 9,4
10 Hongkong n.a n.a n.a 3,5
11 Vietnam n.a n.a n.a 8,1
12 Taiwan n.a n.a n.a 6,6
Sumber : Political and Economic Risk Consultancy (PERC) 1999, 2000, 2002 dan 2010
*Survey tersebut meranking 12 negara kunci dan kawasan dalam skala 1 sampai 10, dimana 10 merupakan nilai terburuk
dan semakin dekat dengan nilai 1 menunjukkan nilai terbaik.
24
Jurnal
Buletin
Studi
Ekonomi
Vol.19
No.1.
Februari
2014
Bayu
Kharisma.
Good Governance Sebagai Suatu Konsep
dan Mengapa Penting dalam Sektor Publik dan Swasta :
Suatu Pendekatan Ekonomi Kelembagaan
3.3. Penerapan good governance Tingkat Perusahaan Melalui Konsep codes of
governance
Good governance pada awalnya lebih difokuskan pada reformasi sektor publik, namun
sejalan dengan globalisasi dan era persaingan maka banyak diaplikasikan ke dalam konteks
perusahaan dengan bertujuan untuk menjamin efektivitas pencapaian target yang ditetapkan
oleh perusahaan yang dikenal dengan istilah corporate governance (Enrique et all, 2006).
Selain itu, salah satu topik utama dalam tata kelola perusahaan (corporate governance)
adalah menyangkut masalah akuntabilitas dan tanggung jawab mandat, khususnya
implementasi pedoman dan mekanisme untuk memastikan perilaku yang baik dan
melindungi kepentingan pemegang saham. Fokus utama lainnya adalah efisiensi ekonomi
yang menyatakan bahwa sistem tata kelola perusahaan harus ditujukan untuk
mengoptimalisasi hasil ekonomi, dengan penekanan kuat pada kesejahteraan para
pemegang saham. Ada pula sisi lain yang merupakan subjek dari tata kelola perusahaan,
seperti sudut pandang pemangku kepentingan, yang menuntuk perhatian dan akuntabilitas
lebih terhadap pihak-pihak lain selain pemegang saham, misalnya karyawan atau
lingkungan. Selanjutnya, dalam upaya meningkatkan kualitas tata kelola pengurus
perusahaan dan meningkatkan akuntabilitas perusahaan kepada pemegang saham serta
meningkatkan efektifitas sistem corporate governance, maka dibentuklah konsep codes of
governance. Menurut Aguilera dan Cuervo-Cazurra (2004), dua tujuan utama dibentuknya
kode kepemerintahan (codes of governance) adalah : (1) meningkatkan kualitas tata kelola
pengurus perusahaan dan (2) meningkatkan akuntabilitas perusahaan kepada pemegang
saham.
Studi ini dimulai dengan 150 negara yang dilaporkan oleh World Bank; hanya 78 yang
dipilih berdasarkan kriteria dan kelengkapan data. Semua negara-negara pada sampel
memiliki perusahaan perdagangan, ukuran kapitalisasi pasar, investasi luar negeri langsung
(foreign direct investment). Pada akhir tahun 2004, hanya 49 dari 78 negara telah
menerbitkan setidaknya satu kode. Kode pemerintahan pada awalnya hanya dikembangkan
di Amerika Serikat pada tahun 1978, forum bisnis menerbitkan sebuah laporan berjudul
The Role And Composition Of The Board Of Directors Of The Large Publicly Corporations.
Laporan tersebut merupakan reaksi terhadap gelombang pengambil alihan dan konglomerat
besar di Amerika Serikat.
25
Jurnal
Buletin
Studi
Ekonomi
Vol.19
No.1.
Februari
2014
Bayu
Kharisma.
Good Governance Sebagai Suatu Konsep
dan Mengapa Penting dalam Sektor Publik dan Swasta :
Suatu Pendekatan Ekonomi Kelembagaan
Gambar 2
Evolusi Codes of Good Governance
Kode tata kelola dikembangkan di negara lain pada akhir tahun 1980an (lihat pada Gambar
2) banyak guncangan terjadi pada dekade itu. Pertama, model bisnis berubah dari
konglomerasi ke kompetensi inti. Perubahan ini menandai penurunan kinerja pada banyak
perusahaan besar di Amerika Serikat dan Eropa. Selain itu, deinstitusionalisasi
konglomerasi diiring oleh kemunculan pergerakan nilai pemegang saham : fokus kinerja
perusahaan beralih dari pendapatan operasional ke nilai saham dengan memenuhi
ekspektasi profit tiap kuarter. Pada saat bersamaan, pasar stock exchange mengalami
penyelewengan besar-besaran terhadap pemegang saham minoritas sebagai basis skandal
finansial lebih besar yang terjadi belakangan di awal 1990an. Dalam konteks ini, para
pembuat peraturan mencoba untuk merumuskan suatu respon terhadap tuntutan sosial yang
muncul seputar akuntabilitas di level perusahaan.
Guncangan-guncangan ini mengubah jaringan pelaku yang beroperasi didalam domain tata
kelola perusahaan. Deinstitusionalisasi dari setting lembaga yang ada pada tahun 1980-an
terjadi oleh kemunculan pelaku pelaku baru yang secara langsung terlibat dalam perumusan
aturan aturan tata kelola perusahaan. Diantaranya, investor lembaga dan pembuat aturan
pasar mencoba untuk memberi aturan baru pada bidang bisnis. Lebih jauh lagi, beberapa
lembaga tertentu (seperti institutional shareholders service (ISS) secara progresif
mengasumsikan peranan pengawas pasar, dan asosiasi profesional mulai memproduksi
aturan aturan yang memiliki dampak pada fungsi internal dari dewan direksi.
Konsisten dengan aturan lembaga baru, Aguilera dan Cuervo-Cazurra (2004) berpendapat
bahwa institusionalisasi kode didorong oleh kebutuhan untuk meningkatkan legitimasi dan
keefektifan sistem tata kelola perusahaan. Legitimasi sistem tata kelola didefinisikan sesuai
dengan praktik tata kelola yang telah menyebarluas. Tekanan isomorfik ini lebih efektif
bagi negara-negara yang terintegrasi dengan ekonomi global. Keefektifan sistem tata kelola
didefinisikan berdasarkan pada perlindungan terhadap pemegang saham minoritas. Level
proteksi seiring waktu utamanya bergantung pada karakter sistem legal. Sistem common
law lebih baik dalam melindungi pemegang saham minoritas dengan juga memungkinkan
kode untuk dibawa ke pengadilan. Selanjutnya, tuntutan akan adanya kode kian menguat,
dan pelaku institusional didorong untuk menghasilkan kode-kode.
26
Jurnal
Buletin
Studi
Ekonomi
Vol.19
No.1.
Februari
2014
Bayu
Kharisma.
Good Governance Sebagai Suatu Konsep
dan Mengapa Penting dalam Sektor Publik dan Swasta :
Suatu Pendekatan Ekonomi Kelembagaan
Selama tahun 1980-an, banyak negara-negara yang membuka debat signifikan seputar tata
kelola perusahaan dan aturan-aturan praktis untuk meningkatkan akuntabilitas perusahaan.
Pada tahapan preinstitusionalisasi ini, aturan-aturan yang bersaing dikemukakan dan
dianalisa. Tahap preinstitusionalisasi ini menghasilkan upaya teorisasi yang dibuat oleh
Komite Aspek Finansial Tata Kelola Perusahaan pada tahun 1992 yang berjudul report
with code of best practice (cadbury report). Laporan Cadbury menandai akhir eksperimen
seputar kode dan menegakkan semacam fondasi untuk peraturan yang efektif tentang tata
kelola perusahaan.
Laporan Cadbury menarik perhatian pembuat undang undang dan pembuat model di
seluruh dunia. Dengan mendorong adopsi kode retorik, laporan Cadbury memberikan pada
pembuat undang undang dan pembuat model di seluruh negara dengan suatu bahasa dasar
yang dapat diaplikasikan pada aturan pengelolaan. Agar dapat menjadi suatu gagasan
global, kode tata kelola perlu suatu standar yang dibagikan secara luas, disepakati oleh
jaringan pelaku yang memiliki legitimasi. Setelah penerbitan laporan Cadbury, tingkat
adopsi kode tata kelola di seluruh dunia meningkat secara signifikan.
Peningkatan pada tingkat adopsi menandai mulainya tahap difusi pada proses pelembagaan.
Difusi tidak hanya memiliki karakteristik puncak aktivitas dalam mengeluarkan kode tata
kelola tetapi juga oleh tindakan pelaku yang berbeda pada domain tata kelola perusahaan.
Khususnya, diantara pembuat model, firma yang berkonsultasi, telah mendifusi gagasan
kode tata kelola melalui elaborasi kode dan lewat pengaruh pada investor institusional yang
menuntut peraturan baru, pada regulator yang menyusun kode, dan pada perusahaan yang
mengadopsinya (misal, McKinsey sangat berpengaruh dalam penciptaan suatu Director’s
Institute di Korea dan belahan dunia lainnya). Universitas-universitas telah menawarkan
sejumlah program pendidikan bagi pada anggota dewan dan angka ini (jumlah program
pendidikan) terus naik, dan sebagian besar dari program ini mencakup mata pelajaran
seperti tata kelola dan akuntabilitas perusahaan. Para peneliti telah berkontribusi dengan
mencoba mendemonstrasikan manfaat dari aturan-aturan baru, seperti memiliki mayoritas
anggota independen, heterogenitas dewan, ukuran dewan, dan selanjutnya.
Pada tahap difusi, mengikuti pendekatan NIS, diperkirakan bahwa negara-negara yang
lebih awal dalam mengadopsi akan menerapkan suatu rasional ekonomi. Dalam kasus ini,
negara-negara mengadopsi kode tata kelola di bawah premis bahwa negara tersebut akan
mampu mempengaruhi kerja internal dewan dan melindungi hak-hak pemegang saham
minoritas. Negara-negara yang mengadopsi belakangan diasumsikan akan mengaplikasikan
rasional instrumental, dimana imitasi adalah pendorong utama untuk mengadopsi kode-
kode tersebut. Dalam kasus ini, pembuat model dan pasar diharapkan untuk memainkan
peranan utama karena lebih cenderung untuk beroperasi untuk penyesuaian negara dan
pasar dengan aturan dan norma yang memiliki legitimasi. Meskipun demikian, pada
negara-negara seperti Italia, dimana perubahan peraturan besar-besaran terjadi pada tahun
1990an untuk menghadapi adanya gelombang skandal pada politik dan bisnis yang
signifikan, para pembuat undang-undanglah yang menjadi pelaku untuk mereproduksi
pengaturan tata kelola negara lain.
Gagasan terjadinya perbedaan rasional antara negara yang terlebih dahulu mengadopsi dan
negara yang belakangan mengadopsi mendapatkan sejumlah dukungan dalam waktu
intervensi yang berbeda dari grup yang mengeluarkan kode tata kelola. Sebagaimana
ditunjukkan pada Gambar 2, para pembuat undang-undang terlibat dalam mengeluarkan
kode tata kelola yang baik pada tahap yang lebih awal daripada kelompok pelaku lainnya.
27
Jurnal
Buletin
Studi
Ekonomi
Vol.19
No.1.
Februari
2014
Bayu
Kharisma.
Good Governance Sebagai Suatu Konsep
dan Mengapa Penting dalam Sektor Publik dan Swasta :
Suatu Pendekatan Ekonomi Kelembagaan
Lebih jauh lagi, para pelaku pengelolaan terlibat sebelum pembuat model dan pembuat
pasar. Berdasarkan pada pandangan ini, dinyatakan bahwa keterlibatan pelaku-pelaku
dalam mengeluarkan kode tata kelola bervariasi bergantung pada pertaruhan yang dihadapi
dalam proses institusionalisasi. Nampaknya intuitif bila menyatakan bahwa pembuat
undang-undang dan pelaku pengelolaan adalah sasaran langsung dan menjadi target utama
ketika terjadi suatu skandal perusahaan. Contohnya, skandal utamanya mempertaruhkan
legitimasi para pelaku yang berperan mengatur sistem tersebut (para pembuat undang-
undang) atau yang secara langsung terlibat dalam kecurangan (pelaku pengelolaan). Untuk
mencegah krisis legitimasi, pelaku-pelaku ini aktif dalam mengangkat gagasan kode tata
kelola untuk menunjukkan komitmennya terhadap akuntabilitas dan integritas. Selanjutnya,
diperkirakan bahwa grup pelaku yang berbeda menghadapi pertaruhan yang sama di
seluruh dunia; argumen ini dapat menjelaskan perilaku yang sama dari para pembuat kode
di seluruh dunia. Setelah berdifusi, kode tata kelola dilembagakan dengan mendapatkan
legitimasi kognitif. Jika difusi berhubungan dengan adopsi kode tata kelola di satu negara,
pelembagaan penuh didapatkan ketika kode yang diajukan digunakan tanpa syarat
(digunakan begitu saja) di dalam organisasi. Hal ini adalah esensi dari pelembagaan penuh.
Penggunaan dengan sukarela ini juga dilakukan oleh sejumlah besar pelaku pada saat
mengeluarkan kode tata kelola. Konsisten dengan pendekatan pelembagaan yang baru,
ketika suatu kode tata kelola sudah diikuti secara sukarela, pelaku yang terlibat dalam
penerbitan kode tersebut mendapatkan legitimasi. Berdasarkan Gambar 3, diketahui bahwa
pembuat model dan pembuat pasar menjadi terlibat dalam penerbitan kode setelah pembuat
undang undang dan pelaku pengelolaan, ketika kode berdifusi. Jadi, dinyatakan bahwa
peningkatan pada jumlah pelaku yang terlibat dapat dianggap suatu indikasi pelembagaan
penuh suatu kode tata kelola. Pelembagaan kode-kode secara utuh juga terkait dengan
dukungan masyarakat luas seputar isu-isu pengelolaan. Liputan media seluruh dunia
terhadap skandal perusahaan besar di Amerika Serikat dan Eropa telah memberikan dasar
untuk perhatian publik luas untuk masalah salah urus dan tata kelola. Sebuah Pencarian di
EBSCO Bisnis Premiere, untuk periode dari 1900 hingga Juli 2005, mendapati bahwa ada
total 12014 artikel untuk tata kelola perusahaan. Hampir dua pertiga dari artikel tersebut
(65%) ditulis setelah Enron runtuh pada bulan Oktober 2001.
Gambar 3
Jumlah Akumulasi Kode Berdasarkan Jenis Penerbit (data kuartalan)
28
Jurnal
Buletin
Studi
Ekonomi
Vol.19
No.1.
Februari
2014
Bayu
Kharisma.
Good Governance Sebagai Suatu Konsep
dan Mengapa Penting dalam Sektor Publik dan Swasta :
Suatu Pendekatan Ekonomi Kelembagaan
Pada Gambar 4 diperlihatkan uraian hubungan antara waktu terjadinya skandal dan waktu
codes of governance sejak diterbitkan. Skandal besar seperti Enron, Worldcom, dan
Parmalat telah menimbulkan keprihatinan di antara pelaku eksternal. Pelaku eksternal telah
meminta akuntabilitas dan tanggung jawab dari pihak yang terlibat dalam sistem bisnis.
Dengan cara ini, skandal telah mempengaruhi dinamika kelembagaan di tingkat lapangan
dan memicu perubahan. Dalam kasus kode tata kelola, diduga bahwa perhatian terhadap
skandal keuangan telah memberikan legitimasi yang diperlukan bagi kode sebagai solusi
yang tersedia.
Gambar 4
Evolusi Codes of Good Governance dengan Skandal Perusahaan Besar
29
Jurnal
Buletin
Studi
Ekonomi
Vol.19
No.1.
Februari
2014
Bayu
Kharisma.
Good Governance Sebagai Suatu Konsep
dan Mengapa Penting dalam Sektor Publik dan Swasta :
Suatu Pendekatan Ekonomi Kelembagaan
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil studi menunjukkan bahwa persyaratan yang telah ditetapkan tidak selalu
membawa reformasi kebijakan yang diharapkan. Berdasarkan sejarah kegagalan yang
terjadi di Afrika, menunjukkan bukti bahwa dukungan domestik, kepemilikan, dan
komitmen sangat penting, jika tidak, ketergantungan bantuan pembangunan memiliki
dampak negatif terhadap reformasi yang telah dilakukan, antara lain untuk pemberantasan
korupsi, penegakan supremasi hukum, dan kualitas pemerintahan. Selanjutnya, cukup sulit
menerapkan selektivitas untuk tingkat kemiskinan yang tinggi dan kepemerintahan lemah
secara simultan. Dengan demikian, agar reformasi kebijakan yang diharapkan berjalan
dengan baik, maka selain dukungan domestik, kepemilikan, dan komitmen juga harus
memahami dan memperhitungkan faktor budaya, norma, tradisi, sejarah, sensitifitas dan
juga reformasi politik negara penerima bantuan.
Sistem ekonomi terus mengalami upaya untuk memperbaiki struktur dan proses tata kelola
perusahaan. Gelombang skandal dan peningkatan pengawasan publik mendorong regulator
kelembagaan dan dewan direksi untuk membangun dan mengadopsi praktik-praktik baru.
codes of governance muncul sebagai alat utama untuk meningkatkan efektivitas sistem tata
kelola perusahaan. Ada empat kelompok aktor yang terkait dengan pembuatan kode
kepemerintahan, yaitu: pembuat hukum, pembuat model, pembuat pasar and tata pelaku
kepemerintahan. Berdasarkan hasil studi menunjukkan bahwa analisa sampel 150 kode
pemerintahan yang diperkenalkan di 78 negara selama periode 1978-2004 menggambarkan
tahap-tahap dari institusionalisasi yaitu goncangan, teorisasi. difusi, dan pelembagaan
kembali. Namun proses institusionalisasi tersebut dapat terbentuk melalui tekanan norma-
norma dan nilai-nilai yang ada.
30
Jurnal
Buletin
Studi
Ekonomi
Vol.19
No.1.
Februari
2014
Bayu
Kharisma.
Good Governance Sebagai Suatu Konsep
dan Mengapa Penting dalam Sektor Publik dan Swasta :
Suatu Pendekatan Ekonomi Kelembagaan
PENUTUP
Institusi menjadi penting bagi pembangunan ketika banyak pihak berinteraksi (bertransaksi)
dalam memainkan perannya masing-masing. Permasalahan informasi dan penegakan
hukum (enforcement) menjadi penyebab tingginya biaya transaksi (transaction cost) antar
pihak tersebut. Institusi hadir untuk mengurangi ketidakpastian dalam pertukaran
(transaksi) tersebut dan bersama dengan penggunaan teknologi, institusi akan menentukan
biaya transaksi. Institusi yang baik akan mendorong transaksi dilakukan dengan efektif dan
efisien sehingga mampu mengurangi biaya transaksi dengan memperbaiki akses dan
kualitas informasi dan mendorong tegaknya aturan. Selanjutnya, adanya institusi formal
tidak akan berjalan dengan baik jika institusi informal tidak ditegakan. Artinya,
keterbatasan aturan formal dapat dilengkapi dengan aturan informal. Misalnya menyangkut
nilai-nilai, norma, asas kepatutan dan etika sehingga seseorang tidak sembarangan
melakukan tindakan yang merugikan dan hanya memanfaatkan peraturan untuk
kepentingan diri sendiri.
31
Jurnal
Buletin
Studi
Ekonomi
Vol.19
No.1.
Februari
2014
Bayu
Kharisma.
Good Governance Sebagai Suatu Konsep
dan Mengapa Penting dalam Sektor Publik dan Swasta :
Suatu Pendekatan Ekonomi Kelembagaan
DAFTAR PUSTAKA
Burky, S.J. and Perry, G.(1998). Beyond the Washington Consensus: Institution Matter,
World Bank Latin American and Caribbean Studies: Viewpoints.
Browning, Bob (2000). Rethinking the Singapore Model. News Weekly, September 19,
URL: http://www.sprint.net.au/~rwb/singapore.htm.
Chung, Moo-Kwon (2001). Rolling Back the Korean State: How Much has Changed?.
Paper presented at the meeting of the IPSA Section of Structure of Governance,
University of Oklahoma, March 30–31.
Haggar, Stephen (2000). The Political Economy of The Asian Financial Crisis.
Washington DC. Institute For International Economics
Harriss, J. (2002). Depoliticizing development. The World Bank and social capital. London:
Anthem.
Gibbon, P. (1993). The World Bank and the new politics of aid. In Political conditionality,
ed. Georg Sorensen. London: Frank Cass
Kaufmann, D., A. Kraay, and M. Mastruzzi. (2005). Governance Matters IV: Governance
indicators for 1996-2004. Washington, DC: World Bank.
Killick, T (1995). IMF programmes in developing countries. London: Routledge and Overseas
Development Institute
Lee, Eliza W.Y. (2001). Public Sector Reform and the Changing State Form: Comparing
Hong Kong and Singapore. Paper prepared for the 97th Annual Meeting of the
American Political Science Association, San Francisco, August 30–September 2.
32
Jurnal
Buletin
Studi
Ekonomi
Vol.19
No.1.
Februari
2014
Bayu
Kharisma.
Good Governance Sebagai Suatu Konsep
dan Mengapa Penting dalam Sektor Publik dan Swasta :
Suatu Pendekatan Ekonomi Kelembagaan
Lim, Siong Guan (1996). The Public Service, in Yeo Lay Hwee (ed.), Singapore: The Year
in Review, 1995. Singapore: Times Academic Press
Low, Linda (2000). Reinventing the Singapore Developmental Corporate State. Working
Paper Series, July. Singapore: Department of Business Policy, National University of
Singapore.
Low, Linda and Haggard, Stephan (2000). State, Politics and Business in Singapore.
Working Paper Series, May. Singapore: Department of Business Policy, National
University of Singapore.
Nanda, Vep.P (2006). The Good Governance Concept Revisited. The Annals of American
Academy (603), January
Political & Economic Risk Consultancy (2010). Executive Summary of Major Risks in 2010.
Hong Kong
Shameen, Assif (2000). What Singapore has Done Right... Asia week, March 24, 26(11).
Stiglitz, J. (1999). The World Bank at the millennium. Economic Journal 109:F577-97.
U.S. AID. (2005a). International donor coordination. Washington, DC: U.S. AID.
Walton, John (2001). Globalization and Popular Movements. Paper prepared for the
conference on The Future of Revolutions in the Context of Globalization, University of
California, Santa Barbara, January 25–27.
Williamson, Oliver E (2000). The New Institutional Economics: Taking Stock, Looking
Ahead. Journal of Economic Literature Vol. XXXVIII
World Bank (1989). Sub-Saharan Africa: From Crisis to Sustainable Growth. Washington:
World Bank
33
Jurnal
Buletin
Studi
Ekonomi
Vol.19
No.1.
Februari
2014
Bayu
Kharisma.
Good Governance Sebagai Suatu Konsep
dan Mengapa Penting dalam Sektor Publik dan Swasta :
Suatu Pendekatan Ekonomi Kelembagaan
⎯⎯⎯.(1992a). Governance and Development. Washington, DC: World Bank.
Yeung, Henry Wai-chung (2000b). State Intervention and Neoliberalism in the Globalizing
World Economy: Lessons from Singapore’s Regionalization Programme, Pacific
Review 13(1): 133–62.
34