3
Dinamika Konsumsi Beras Rumah
Tangga dan Kaitannya dengan
Diversifikasi Konsumsi Pangan
Mewa Ariani
Indonesia. Menurut Sawit (2000), beras harus dipandang sebagai barang kuasi
publi, yang tidak saja berfumgsi sebagai barang privat tetapi juga barang publik.
Banyak kepentingan publik dihasilkan oleh beras, dan beras berperan penting dalam
ketahanan pangan, stabilitas ekonomi, dan lapangan kerja. Sebagian besar masyarakat
menghendaki pasokan beras yang stabil dengan harga yang terjangkau. Oleh karena
pemerintah melakukan intervensibila trjadi lonjakan harga beras di pasaran antara
lain dengan operasi pasar. Kondisi ini menunjukkan bahwa beras merupakan komoditas
strategis secara politi, sehingga peran pemerintah dalam perkembangan produksi dan
konsumsi berassangat intensif.
Untuk memenuhi kebutuhan beras dalam negeri, pemerintah menetapkan
berbagai kebijakan untuk meningkatkan produksi hingga akhimya tercapai swasembada
beras pada tahun 1984. Menurut Kasryno (2000), swasembada beras dapat dicapai
arena adanya terobosan teknologi disertai kebijakan pembangunan yang berpihak pada
sektor pertanian. Namun swasembada tersebut tidak berlangsung lama schingga impor
bras Kembali dilakukan dengan volume yang makin meningkat dengan puncaknya
pada tahun 1998, Pada tahun selanjutnye, impor beras menurun kembali yatu sekitar
3,7 juta ton tahun 1999 serta masing-masing 1,5 juta ton tahun 2000 dan 2001. Pada
‘tahun 2002, impor beras sebesar 2,5 juta ton.
Krisis ekonomi yang dimulai pada pertengahan tahun 1997 mengakibatkan harga
‘pangan dan nonpangan meningkat tajam. Laju kenaikan harga beras sejak Agustus 1997
hhingga Agustus 1998 mencapai 16 kali lipat dibandingkan dengan sebelum isis (Fanuari
1995-Agustus 1997), dari 0,4%4/bulan menjadi 6,7% (Irawan et al., 1999). Padahal
hharga pangan merupakan variabel yang sangat penting terutama bagi orang miskin karena
‘50-80% pendapatan digunakan untuk pangan. Krisis ekonomi juga telah meningkatkan
Jumlah penduduk miskin, dari 22,3 juta orang tahun 1996 menjadi 79,4 juta orang,
B= sebagai komoditas pangan pokok dikonsumsi oleh sebagian besar penduduk
Dinamika Konsumsi Beras Rumah Tangga dan Kaltanrya dengan DhersikasiKonsumsi... 544tahun 1999 (Irawan et a.,2000). Krisis juga meningkatkan proporsi pengeluaran untuk
padi-padian, sedangkan proporsi pengeluaran pangan hewani, sayuran, dan buah
‘menurun (Ariani et al, 2000). Berbagai perubahan tersebut berdampak pada perilaku
rumah tangga dalam mengkonsumsi pangan termasuk beras. Makalah ini menyajikan
dinamika perubahan konsumsi beras rumah tangga dan kaitannya dengan diversifikasi
konsumsi pangan.
Dinamika Proporsi Padi-padian dalam Struktur
Pengeluaran Pangan dan Konsumsi Energi/Protein
‘Struktur Pengeluaran Pangan
Badan Pusat Statistik (BPS) mengelompokkan pengeluaran rumah tangga menjadi dua,
yaitu pengeluaran untuk pangan dan barang-barang bukan pangan. Pengeluaran sering,
‘igunakan sebagai indikator untuk menggambarkantingkat pendapatan rumah tangga,
kkarena pengukuran dan pengumpulan data pendapatan sulit dilakukan. Proporsi
pengeluaran pangan dan bukan pangan juga digunakan sebagai indikator untuk
‘menentukan tingkat kesejahteraan atau ketabanan pangan rumah tangga atau masyarakat.
Makin tinggi proporsi pengeluaran untuk pangan berarti tingkat kesejahteraan atau
ketahanan pangan rumah tangga makin rendah atau rentan.
‘Dengan membandingkan data pangsa pengeluaran antara kota dan desa diketahui
bbahwa tingkat Kesejahteraan masyarakat perkotaan lebih baik daripada masyarakat
pedesaan (Tabel 1). Pangsa pengeluaran untuk pangan makin kecil seiring dengan
‘meningkatnya pendapatan. Hal ini sesuai dengan hukum Engel yang menyatakan,
proporsi pengeluaran rumah tangga untuk pangan makin kecil seiring dengan
‘meningkatnyapendapatan.
‘Tingkat kesejahteraan masyarakat menurun sejak krisis ekonomi melanda Indo-
nesia pada pertengahan 1997. Hal ini terlihat dari perubahan proporsi pengeluaran
untuk pangan antara tahun 1996 (sebelum krisis) dan 1999 (saat krisis). Perubahan
penurunan proporsi pengeluaran di kota mencapai 8,2% dan di desa 6,9% (Tabel 1).
‘Dengan demikian, risis ekonomi memberikan dampak yang lebih besar pada masyarakat
‘kota dibandingkan masyarakat pedesaan Ini juga berarti dampak krsis ekonomi terhadap
‘sektor pertanian sebagai sumber pendapatan utama masyarakat desa lebih kecil daripada
sektor nonpertanian yang merupakan sumber pendapatan masyarakat kota. Pada periode
pemulihan (1999-2002), tingkat kesejahteraan masyarakat kota dan desa meningkat
kembali terlihat dari menurunnya pangsa pengeluaran pangan meskipun kondisinya
‘masih lebih buruk dibandingkan sebelum krisis.
‘Tabel | juga memperlihatkan, pada kelompok padi-padian (meliputi beras, jagung
dan terigo, proporsi pengeluaran untuk beras cukup dominan karena beras merupakan
pangan pokok. Pada tahun 1999, proporsi pengeluaran padi-padian di desa mencapai
30% dari total pengeluaran pangan lebih besardibandingkan di kota (20%). Sebaliknya,
proporsi pengeluaran pangan hewani dan makanan/minuman jadi di kota lebih tinggi
5a2 ‘ian‘Tabet 1. Perkembangan pengeluaran pangan menurut kelompok pangan (%)-
ote
etompsk pangan —___
19931996 3999 20021998
Pade pecan is1 477 21a 184 290
Unoruraion 09 08 08 09 19
Pangan neva mB 2B 93 2168 470
acang-kacangan 4134 38 33 38
Sayursuan a7 147 330 130 a3
Mima eras 39 38 43 34a
ataranranuman jos 482 192 202 212 100
Temoatau sm 82 71 (19 407 ‘92
Laine 101104 9595109
Total pengeuranpangan
- Roveptabuan 31908 48.278 101394 144382 21228 39.345 Tease s0L692
is 408 430 S62 528 636 63,3702 666
Sumber Suteras(1989,1896,1998,2002, dol.
120 11 NAD, Sumut, Sumbar, ‘3 NAD, Sumut, NTB
Jambi, Beng, Jabar,
Bal, NTB,Kateng, Suse,
sulta
1100-120 9 au, Sumsel, Lampung, 15 Sumbar, Riau, Jambi,
INT, Kalba, alse, Katim, ‘Sumsel, Bengkul,
Sulut, Suteng, Lampung, Jabar, NTT,
atbar, Katong, Kalsel,
Sulu, Suteng, Suse,
‘Suita
< 100 6 DAG, Joteng, DI, Jatim, 8 KL, Jateng, ry, Jatin,
‘Maluku, Papua Ball, Katin, Maluku,
Papua
‘Sumber: Susenas (1996,1999, cola.
pisang, sedangkan masyarakat perkotaan cenderung memilih mi sebagai pengganti beras.
Tingkat partisipasi konsumsi beras tidak berbeda di pulau lain, yaitu hampir 100%
beras, Kecuali di pedesaan Maluku dan Papua yang hanya mencapai sekitar 80%.
Masyarakat di Maluku dan Papua terkenal mempunyai pola pangan pokok sagu.
Perubahan konsumsi dari sagu ke beras diduga disebabkan banyaknya pendatang atau
transmigran yang sebelumnya mempunyaipola pangan pokok beras.
Perkembangan tingkat partisipasi konsumsi beras tahun 1990-1996 menunjukkan
bahwa pada umumanya jumlah orang yang mengkonsumsi beras relatif tetap
(perubahannya di bawah 1%), baik di kota maupun di desa dan kecenderungantersebut
sama untuk semua pulau. Perbedaannya, tingkat partsipasi Konsumsi beras di kota
pada kurun waktu 1990-1996 sedikit menurun, sebaliknya di desa masih meningkat.
‘Laju tingkat partisipasi konsumsi beras secara agregat untuk kota adalah -0,1% dan
untuk desa 1,1% per tiga tahun, Seharusnya tingkatpartisipasi konsumsi pada rumah
tangga perkotaan menurun secara signifikan, karena di wilayah ini tersedia berbagai
produk alternatif subsitusi beras, baik dalam bentuk mentah maupun olahan, dalam
‘kemasan yang praktis dan mudah dihidangkan, Pada masyarakat pedesaan, peningkatan
partisipasi konsumsi beras mungkin karena mereka banyak yang memproduksi beras,
sehingga selain sebagai produsen sekaligus konsumen beras, seperti pada masyarakat
bberpendapatan rendah di Jawa Tengah dan NTB (Ariani etal, 2000).
Krisis ekonomi mengakibatkan menurunnya tingkat konsumsiberas di berbagai
daerah dengan laju yang berbeda-beda (Tabel 5), Secara agregat, penurunan partsipasi
di kota mencapai 4,4% dan di desa hanya 0,5%. Kecenderungan serupa terjadi di
beberapa pulau dan tertinggi di Jawa yang mencapai 7,1%. Hal ini mengindikasikan,
Mibasan : 02 Ot 02
= Miakso/ebusfocal pors) = : 13.6 12,7 13.2
Miinstan (pors) : : 08 8 10
‘Sumber: Susenas (1990, 1993, 1996, 1999, 2002; lat.
‘Tingkat partisipasi konsumsi mi memang masih rendah dibandingkan dengan
beras, namun di masa mendatang, mi diperkirakan akan menjai pesaing beras. Tingginya
‘tingkat partisipasi konsumsi mi didorong oleh kebijakan impor gandum untuk diproses
‘menjadi tepung di dalam negeri yang berlangsung lama. Monopoli impor gandum oleh
Bulog dan proses penggilingannyaoleh PT Bogasari Flour Mills serta kebijakan yang
Dinamika Konsumsi Beres Rumah Tangga dan Kaltannya dengan Diversifkasi Konsumsi.. 553lain, mengakibatkan tepung terigu dapat dijumpai dimana-mana dalam jumlah yang
‘melimpah dan harga yang terjangkau masyarakat. Jeni, bent, dan cara memasak mi
yang beragam ikut memacu masyarakat, baik kalangan atas maupun bawab, untuk
‘mengkonsumsi mi
‘Dari fakta datas, apabila diversfikasi konsumsi pangan diatikan hanya terbatas
pada pangan sumber karbohidrat, maka arah diversfikasi konsumsi pangan masih
bertumpu pada beras dan cenderung ocal pangan tunggal. Sebaliknya, peran ubi kay
ddan jagung sebagai pangan pokok telah tergeser oleh mi. Kebijekan pangan pemerintah
yang kurang memperhatikan budaya masing-masing wilayah telah merusak budaya
‘makan setempat. Pemerintah telah menggiring budaya makan ocal ke budaya makan
nasional melalui “berasisasi", kemudian juga memberi kesempatan untuk tereiptanya
‘budaya makan global berupa aneka mi melalui kebijakan gandumdan olahannya.
Antisipasi tethadap pangan baru seperti mi yang bahan bakunya harus diimpor
perlu diperhatikan dalam mengembangkan industri dan menerapkan jenis teknologi
yang akan dipilih. Pengembangan teknologi seyogianya mampu mengembangkan
‘enggunaan jenis serealia atau umbi-umbian yang dapat digunakan sebagai subsitusi
‘atau campuran sehinggaketergantungan terhadap impor terigu dapat ditekan,
ermasalahan konsumsi pangan tidak hanya belum terpenuhinya kecukupan gizi
‘etapi juga ketidakseimbangan komposisi pangan. Penganekaragam konsumsi pangan
seharusnya tidak diarahkan pada pangan pokok saj tetapi juga 4 pangan lain seperti
lauk-pauk, sayur dan buah dalam jumlah yang cukup. Dengan demikian, tujuan
diversfikasi konsumsi pangan adalah untuk meningkatkan mutu gizi konsumsi pangan
ddan mengurangi ketergantungan pada salah satu jenis atau kelompok pangan. Makan
beragam jenis pangan dapat meningkatkan konsumsi antioksidan dan serat serta
‘menurunkan risiko hiperkolesterol, hipertensi, dan penyakit jantung koroner
(Hardinsyah, 1996). FAO-RAPA (1989) memperkenalan konsep pola pangan harapan
(PPH) yang didefinisikan sebagai komposisi kelompok pangan utama yang dapat
dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan energi dan akan mencukupi semua zat gizi
in digunakan untuk mengevaluasi tingkat
ia, Konsep tersebut dikembangkan oleh
lokakarya bekerja sama dengan FAO (Suhardjo, 1992),
dan kemudian mengalami penyesuaian sebagai respons terhadap perbedaan situasi
konsumsi pangan, budaya dan kondisi ocal ekonomi masyarakat. Komposisi energi
yang dianjurkan untuk penduduk Indonesia sesuai konsep PPH seperti pada Tabel 9
‘dengan skor PH 100 (Hardinsyah etal, 2000).
Dengan membandingkan antara komposisi energi anjuran dan konsumsi energi
ri, maka konsumsi padi-padian telah melebihistandar anjuran, dan sebaliknya untuk
kelompok pangan yang lain masih di bawah anjuran. Hal ini juga membuktikan bahwa
diversifikasi konsumsi pangan Indonesia masih bias pada pangan sumber karbohidrat,
‘Oleh karena itu, peningkatan konsumsi pangan secara kuantitas dan kualitas (berancka
‘agam) harus dilakukan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan pada akhirnya
kualitas sumber daya manusia. Karena jenis pangan adalah beragam, maka diperlukan
koordinasi antardepartemen terkait untuk menyediakan pangan dan produk olahanny@
554 aniTabel 9. Propors! konsumsi energi yang dianjurkan dan konsumsl energ!
‘ill menurut konsep pola pangan harapan (PPH), 1996-2002.
Ketompok pangan Aran | ——_____
1096 19992002
~ Padkpadian 500 596 564 569
+ Umbéumbian 60 31 0 34a
= Pangan hewani 2000 «54 OB
+ Minyakc+lemakt0,0 go 7888
‘Bualvoifberminyak 30 23 18 (2a
Kacang-kacangan 5028 4 28
> Gula 5045 4a
© Sayur+buah 60 40 32 35
+ Laintain 30.43 42a
‘kor PPH 100708 62,486
‘Sumber: Departernen Pertanian (2003); Susenas (1996, 1999, 2002, lah.
dengan harga yang terjangkau masyarakat Iuas. Pengembangan teknologi pangan
‘hendaknya berbasis pangan ocal, schingga tidak saja menghasilkan produk pangan yang,
beraneka ragam tetapi juga meningkatkan pendapatan petani penghasil bahan baku,
‘yang pada gilirannya akan meningkatkan daya beli mereka terhadap pangan. Belajar
‘ari kasus beras dan mi, political will dan political power pemerintah sangat menentukan
dalam mewujudkan tercapainya diversifikasi konsumsi pangan. Diperlukan langkah-
langkah opersional yang lebih terarah dan Komprehensif serta kesatuan gerak dari
ppemerintah, swasta, LSM, dan masyarakat.
Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan
‘Tingkat kesejahteraan yang diproksi dari proporsi pengeluaran pangan penduduk makin
membaik, namun mengalami penurunan dengan adanya krisis ekonomi. Proporsi
pengeluaran untuk padi-padian masih palin tinggi, yaitusekitar 30% di desa dan 20%
i kota. Konsumsi tembakau dan siri tetap meningkat secara konsisten dari tahun ke
tahun, walaupun pada krisis ekonomi, sedangkan komoditas yang lain mengalami
penurunan,
Tingkat konsumsi energi penduduk Indonesia baru mencapai sekitar 90% dari
‘angka kecukupan yang dianjurkan, sebaliknya konsumsi protein sudah melebihi anjuran
sejak tahun 1996, Namun demikian, kualitas konsumsi pangan masih rendah karena
sebagian besar energi dan protein berasal dari padi-padian terutama beras, yaitu mencapai
50-60% untuk energi dan 40-50% untuk protein.
Jenis pangan pokok yang dikonsumsi penduduk adalah beras, jagung, umbi-
‘umbian, sagu dan pisang, Dari 11 jenis pola pangan pokok di Indonesia, beras menjadi
pangan pokok utama dan cenderung ke arah tunggal, termasuk di Maluku, NTT, dan
Dinamika Konsumst Beras Rumah Tangga dan Kaltannya dengan Diversifkasi Konsums!... 555Papua. Pada tahun 1979, wilayah KTI yang mempunyai pola pangan beras tuniggal
hanya satu propinsi, menjadi delapan propinsi pada tahun 1996. Pada masyarakat
berpendapatan rendah, beras juga merupakan indikator ketahanan pangan mereka.
‘Kalaupun ada perubahan pangan pokok, hanya terjadi diantara pangan non beras, seperti
Jjagung dengan umbi-umbian.
‘Sema penduduk Indonesia telah mengkonsumsi beras dengan tingkat partisipasi
hampir 100%, baik di kota maupun di desa. Namun, laju tingkat patisipasi konsumsi
beras di kota mulai menurun, sedangkan di desa masih berilai positip (1,1 %), kecuali
sejak krisis ekonomi, Tingkat konsumsi beras i Indonesia menunjukkan kecenderungan
‘menurun. Jumlah propinsi dengan tingkat konsumsi di atas 120 ke/Kapita/tahun pada
tahun 1996 mencapai 11 propinsi, dan menjadi hanya tiga propinsi (NAD, Sumut, NTB)
pada tahun 1999,
Program diversifikasi konsumsi pangan sudah dicanangkan sejak tahun 1974
masih terkesan berjalan di tempat. Kebijakan pangan yang bias pada beras
‘mengakibatkan pola konsumsi pangan pokok yang semula beragam menjadi ke arah
‘tunggal beras. Akibatnya,tingkat partisipasi dan tingkat konsumsi beras tinggi (termasuk
pada wilayah yang semula mempunyai ekologi sagu, jagung dan umbi-umbian),
sebaliknya untuk jagung dan ubikayu menurun drastis. Kualitas konsumsi pangan
penduduk masih belum baik, yang ditunjukkan oleh skor PPH yang baru mencapai
68,6. Fenomena yang perlu perhatian khusus adalah tergesemnya pangan lokal dan
semakin meningkatnya permintaan konsumsi mie dengan berbagai bentuk dan olahannya.
Dengan semakin sulitnyamemenuhikebutuhan beras dari produksi dalam negri
‘maka upaya penurunan konsumsi beras terus dilakukan dengan memantapkan program
diversifikasi produksi dan konsumsi pangan berbasis budaya dan pangan local untuk
‘meningkatkan ketahanan pangan, pendapatan petani serta pengembangan agroindustri
dan menghemat devisa. Belajar dari kasus konsumsi beras dan mi, diperlukan political
will dan political power dari pemerintah untuk mewujudkan hal tersebut. Kebijakan
pangan yang komprehensif, tidak saling bertentangan antara satu kebijakan dengan
kebijakan lain dan dengan era otonomi daerah, kebijakan dapat bersifatspesifiklokasi
Sosialisasi program pangan dan gizi melalui penyuluhan di berbagai media harus
dlintensifKan untuk meningkatkan kesadaran penduduk akan kebutuhan pangan yang
beraneka ragam, bergizi untuk mencapai kesehatan dan kecerdasan yang prima.
Daftar Pustaka
Ariani, MHP. Saliem, S, Hastuti, Wahida, dan M.H. Sawit: 2000. Dampak Krisis
‘Ekonomi terhadap Konsumsi Pangan Rumah Tangga. Laporan Penelitian. Pusat
Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
Enwidodo, T. Sudaryanto, A. Purwoto, M. Ariani, dan K.S. Indraningsih. 1996. Telaahan
‘Trend Konsumsi Beras Di Indonesia. Kerja sama Pusat Penelitian Sosial Ekonomi
Pertanian dengan Proyek DPG Pusat-Departemen Pertanian, Bogor.
556 oniFAO-RAPA. 1989. Report of the Regional Expert Consultation of the Asian Network
‘for Food and Nutirion on Nutrition Urbanization, Bangkok, 2-5 May 1989.
Hardinsyah, 1996, Measurement and Determinant of Food Diversity: Implications for
Indonesia's Food and Nutrition Policy. Ph.D. Disertation. Medical School, Uni-
versity of Queensland, Brisbane.
Hardinsyah, N. Sinulingga, dan D. Martianto. 2000. Konsep dan Pengukuran Mutu
Gizi Pangan dan Aneka Ragam Konsumsi Pangan. Makalah disajikan pada
Pertemuan Koordinasi Lintas Sektor dan Subsektor Terkait Pangan. Dalam
Review Pola Pangan Harapan dan Perencanaan Pangan. Badan Bimas Ketahanan
Pangan, Jakarta,
Hardjana, A.A. 1994. Orientasi Perilaku Konsumen Tentang Masalah Pangan dan Gi
dari Sumber Hayati Kelautan. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi V, Jakarta,
20-22 April 1993. LIPI, Jakarta
Institut Pertanian Bogor. 2000. Laporan Seminar-Lokakarya Penyusunan Kebijakan
Perberasan. LP-IPB bekerjas ama dengan Ditjen Tanaman Pangan dan
Hortikultura, Bogor.
Irawan, B., G S. Budhi, dan Supriyati. 1999. Penyesuaian Harga Komoditas Pangan
dan Sarana Produksi pada Periode Krisis Ekonomi. Pusat Penelitian Sosial
Ekonomi Pertanian, Bogor.
Jawan, PB. dan H. Romdiati, 2000. Dampak Krisis Ekonomi Terhadap Kemiskinan
dan Beberapa Implikasinya untuk Strategi Pembangunan. Widyakarya Nasional
Pangan dan Gizi VIL, 29 Februari-2 Maret 2000. LIPI, Jakarta.
Kasryno, F. 2000. Menempatkan Pertanian Sebagai Basis Ekonomi Indonesia:
‘Memantapkan Ketahanan Pangan dan Mengurangi Kemiskinan. Widyakarya
‘Nasional Pangan dan Gizi VII, 29 Februari-2 Maret 2000. LIPI, Jakarta.
Kasryno, F. 2003. Produksi Padi dan Diversifikasi Tanaman Pangan: Mencari suatu
solusi. Makalah Intern Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi
Pertanian, Bogor.
Nikijuluw,V.PH., A.K. Seta, dan G.D.H. Yusuf, 2000. Reorientasi Kebijakan
‘Pembangunan Perikanan Pascakrisis Ekonomi. Widyakarya Nasional Pangan
ddan Gizi VIL, 29 Februari-2 Maret 2000. LIPI, Jakarta.
Pambudy, R., T.E.H. Basuki, dan S. Mardianto. 2002. Resume Pertemuan Kebijakan
Perberasan Asia. Kebijakan Perberasan di Asia. Hasil Pertemuan Regional di
Bangkok, Thailand, Oktober 2002.
Pusat Penelitian Agro Ekonomi. 1989. Pola Konsumsi Pangan, Proporsi dan Ciri Rumah
‘Tangga dengan Konsumsi Energi di bawah Standar Kebutuhan. Kerja sama
Direktorat Bina Gizi Masyarakat, Depkes dengan PAE, Bogor.
Rachman, H.PS. 2001. Kajian Pola Konsumsi dan Permintaan Pangan di Kawasan
‘Timur Indonesia. Disertasi. Program Pascasarjana, IPB, Bogor.
Dinamika Konsumsi Beras Rumah Tangga dan Kaitannya dengan DiversikasiKonsumsi.. S57SSadjad, S.2002. Ketahanan Pangan dan Gandum. Kompas, 10 September 2002, Jakarta.
Sawit, MH. 2000. Arah Kebijakan Distribusi Perdagangan Beras dalam Mendukung,
Ketahanan Pangan: Aspek Perdagangan Dalam Negeri. Makalah pada Semiloka
Penyusunan Kebijakan Perberasan, 14-15 Maret 2000. Kerja sama LP-IPB
dengan Ditjen. Tanaman Pangan dan Hortikultura, Bogor.
‘Sudaryant, T, LW. Rusastra, P, Simatupang, dan M. Ariani. 2000, Reorientasi Kebijakan
Pembangunan Tanaman Pangan Pascakrisis Ekonomi. Widyakarya Nasional
Pangan dan Gizi VII, 29 Februari-2 Maret 2000. LIPI, Jakarta.
‘Suhardjo, 1992. Peranan Pertanian dalam Upaya Mengatasi Masalah Pangan dan Gizi.
(Orasi Penerimaan Jabatan Guru Besar Faperta IPB, 15 Februari 1992. Bogor.
‘Suhardjo. 1995, Mewaspadai pergeseran pola konsumsi pangan penduduk perkotaan.
‘Majalah Pangan VI (2).
‘Suryana, A. 2002. Bingkai Diskusi Pengelolaan Kebijakan Perberasan di Asia. Kebijakan
Perberasan di Asia. R. Pambudy et al. (Ed.) Hasil Pertemuan Regional di
Bangkok, Thailand, Oktober 2002.
Wirakartakusumah, M.A. dan Suhardjo. 1991. Pola pangan penduduk Indonesia.
‘Majalah Pangan II (9).
558 ian