0% found this document useful (0 votes)
39 views5 pages

Pengaruh Tingkat Penambahan Bioaktif Lidah Buaya Terhadap Produksi Telur Ayam

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1/ 5

JITV Vol. 10 No. 2 Th.

2005

Pengaruh Tingkat Penambahan Bioaktif Lidah Buaya terhadap Produksi


Telur Ayam
I.A.K. BINTANG, A.P. SINURAT dan T. PURWADARIA
Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002
(Diterima dewan redaksi 1 Maret 2005)

ABSTRACT
BINTANG, I.A.K., A.P. SINURAT and T. PURWADARIA. 2005. The effect of aloe vera bioactive level as feed additive on the egg
performances of laying hens. JITV 10(2): 85-89.
A study on the use of aloe vera bioactives as feed additive in layer ration was conducted. One hundred and twenty pullets
strain Isa Brown were allocated into 5 treatments with 6 replicates and 4 birds/replicate. The treatments were: control,
control+antibiotic (50 ppm zinc bacitracin), and control+ aloe vera at three levels (0.25; 0.50 and 1.00 g/kg). The treatments
were conducted in a completely randomized design. Parameter measured were first initial body weight, age at 1st lay, feed intake,
egg weight, hen day (%HD) and feed conversion ratio. The results showed that antibiotic and aloe vera used as additive for 9
months production did not significantly (P<0.05) affect all parameter measured, except feed intake of hens fed diet containing
0.5 g/kg aloe vera was significantly (P<0.05) higher than control. The addition of aloe vera at 1.0 g/kg significantly (P<0.05)
reduced the feed intake as compared with the control, aloe vera 0.25 and 0.50 g/kg. The used of aloe vera (1.00 g/kg) produced
egg weight significantly (P<0.05) higher than the control, and feed conversion ratio was significantly (P<0.05) better than the
control and aloe vera (0.25 g/kg). It is concluded that the best treatment was the diet with aloe vera level at 1.00 g/kg. This
treatment improved feed efficiency 8.40%.
Key Words: Bioactive, Egg Production, Layer
ABSTRAK
BINTANG, I.A.K., A.P. SINURAT dan T. PURWADARIA. 2005. Pengaruh tingkat penambahan bioaktif lidah buaya terhadap produksi
telur ayam. JITV 10(2): 85-89.
Suatu penelitian dilakukan untuk menguji tingkat penambahan bioaktif lidah buaya sebagai imbuhan pakan ayam petelur.
Seratus dua puluh (120) ekor ayam petelur strain Isa Brown dibagi 5 perlakuan x 6 ulangan masing-masing 4 ekor per ulangan.
Kelima perlakuan adalah ransum kontrol, kontrol + antibiotik (50 ppm Zn-basitrasin) serta ransum kontrol+ lidah buaya kering
pada 3 level (0,25; 0,50 dan 1,00 g/kg). Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap (RAL). Penduga yang diamati adalah
bobot hidup awal, umur pertama bertelur, konsumsi ransum, bobot telur, hen day (% HD) dan konversi ransum. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa penambahan antibiotik dan lidah buaya dalam ransum selama 9 bulan produksi tidak menunjukkan hasil
yang berbeda nyata (P>0,05) terhadap parameter yang diamati, kecuali konsumsi ransum yang mendapat lidah buaya 0,50 g/kg
nyata (P<0,05) lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Pemberian lidah buaya 1,00 g/kg nyata (P<0,05) menyebabkan
konsumsi ransum yang lebih rendah dibandingkan dengan yang diberi antibiotik, lidah buaya 0,25 dan 0,50 g/kg. Penggunaan
lidah buaya 1,00 g/kg menghasilkan bobot telur yang nyata (P<0,05) lebih tinggi daripada kontrol dan konversi ransum nyata
(P<0,05) lebih rendah dari kontrol dan lidah buaya 0,25 g/kg. Disimpulkan bahwa perlakuan terbaik adalah pemberian lidah
buaya 1,00 g/kg dengan perbaikan konversi ransum 8,40%.
Kata Kunci: Bioaktif, Produksi Telur, Ayam

PENDAHULUAN
Dalam usaha peternakan intensif, biaya pakan
merupakan komponen biaya produksi terbesar. Harga
pakan yang tinggi sudah sering dikemukakan sebagai
penyebab kerugian pada peternakan unggas, karena
sebagian besar pakan yang digunakan masih diimpor
seperti jagung 1.109.253 ton, tepung daging dan tulang
20.806 ton serta bungkil kedelai 450.340 ton (FAO,
2003). Oleh karena itu berbagai usaha dilakukan untuk
meningkatkan efisiensi pakan pada usaha peternakan.

Salah satu cara yang umum dilakukan untuk


meningkatkan efisiensi produksi adalah dengan
menambahkan imbuhan dalam pakan seperti antibiotik.
Sekitar 30 jenis antibiotik sudah disetujui
penggunaannya untuk ternak oleh negara maju seperti
American Food and Drug Administration, dan beberapa
diantaranya digunakan untuk pakan unggas (GILL dan
BEST, 1998). Meskipun penggunaan antibiotik diijinkan
secara legal sebagai imbuhan pakan untuk unggas,
perkembangan baru di negara maju mulai
mempertanyakan resiko penggunaan antibiotik terhadap
kesehatan manusia (MELLOR, 2000; BARTON dan HART,

85

BINTANG et al.: Pengaruh tingkat penambahan bioaktif lidah buaya terhadap produksi telur ayam

2001). Penggunaan antibiotik yang berlebihan dapat


menyebabkan adanya residu pada produk yang
dihasilkan sehingga kemungkinan dapat membahayakan
konsumen. Dengan perkataan lain ada kecenderungan
penggunaan antibiotik sebagai imbuhan pakan akan
ditinggalkan (LEE et al., 2001). Bahkan beberapa
negara seperti Swedia dan Denmark telah melarang
penggunaan antibiotik sebagai imbuhan pakan.
Thailand salah satu negara di ASEAN sedang
mempelajari kemungkinan menerapkan pelarangan
penggunaan antibiotik dalam pakan sebagai pemacu
pertumbuhan (HERTRAMPT, 2001; MELLOR, 2000).
Oleh karena itu perlu dicari bahan pengganti antibiotik
yang dapat berfungsi sebagai imbuhan pakan untuk
meningkatkan efisiensi produksi dan aman bagi
konsumen.
Tanaman yang terdapat di Indonesia sudah banyak
dimanfaatkan sebagai obat-tradisional untuk manusia
bahkan sudah digunakan untuk ternak. Hal ini
membuktikan bahwa tanaman (herbs) mengandung
suatu zat berkhasiat atau bioaktif. Bioaktif ini ada yang
dapat berfungsi sebagai antibakteri (GILL, 1999). Lidah
buaya salah satu tanaman yang sudah banyak digunakan
untuk kesehatan. Tanaman ini mengandung antrakinon
yang dapat berfungsi sebagai antibakteri. Penelitian
terdahulu menunjukkan bahwa gel lidah buaya dapat
meningkatkan efisiensi penggunaan pakan pada ayam
broiler. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti pengaruh
penggunaan bioaktif lidah buaya dalam pakan terhadap
produktivitas ayam petelur.
MATERI DAN METODE
Penelitian ini dilakukan di Balai Penelitian Ternak
Ciawi, Bogor. Sebanyak 120 ekor ayam strain Isa
Brown umur 18 minggu dibagi ke dalam 5 perlakuan
dengan 6 ulangan, dan setiap 4 ekor merupakan 1 unit
ulangan dengan satu tempat pakan. Kelima perlakuan
terdiri dari ransum kontrol, kontrol + antibiotik (50 ppm
Zn-basitrasin) dan kontrol + lidah buaya (0,25; 0,50 dan
1,00 g/kg). Penelitian dilakukan hingga ayam mencapai
9 bulan produksi. Bioaktif lidah buaya dibuat dalam
bentuk kering, seperti penelitian terdahulu (BINTANG et
al., 2001).
Parameter yang diamati meliputi: bobot hidup awal,
umur pertama bertelur, konsumsi ransum setiap
minggu, produksi telur atau hen day (%HD) dan bobot
telur (g/butir) dicatat setiap hari. Komposisi ransum
penelitian terdiri dari: dedak (15,00%), jagung
(54,25%), bungkil kedelai (17,22%), tepung ikan
(3,00%), minyak (1,00%), tepung kapur (8,01%),
dikalsium fosfat (0,71), metionina (0,06%), premix
(0,55) dan garam (0,20%) dengan kandungan gizi
berdasar hasil perhitungan: protein 16%, energi
metabolis 2750 kkal/kg, air 8,94%, lemak 6,00%,

86

kalsium 3,44%, serat kasar 4,45% dan total fosfor


0,755%.
Data penampilan ternak yang diperoleh dianalisa
dengan menggunakan sidik ragam pola rancangan acak
lengkap (RAL). Bila sidik ragam menunjukkan ada
pengaruh nyata dari perlakuan maka perbedaan di
antara perlakuan dilanjutkan dengan uji beda nyata
terkecil (STEEL dan TORRIE, 1980).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Bobot hidup awal dan umur pertama bertelur
Bobot hidup ayam pada awal penelitian cukup
seragam atau tidak berbeda nyata (P>0,05) pada setiap
perlakuan. Rataan bobot hidup awal berkisar dari 1,55
1,56 kg. Rataan umur pertama bertelur berkisar dari
133-136 hari. Hal ini menggambarkan bahwa materi
yang digunakan dalam penelitian ini cukup seragam.
Konsumsi ransum
Perlakuan tidak menunjukkan hasil yang berbeda
nyata (P>0,05) terhadap konsumsi ransum selama 9
bulan produksi, kecuali konsumsi ransum yang
mendapat lidah buaya 0,50 g/kg nyata (P<0,05) lebih
tinggi dibandingkan dengan kontrol. Konsumsi ransum
yang mendapat lidah buaya level tinggi (1,00 g/kg)
nyata (P<0,05) lebih rendah dibandingkan dengan yang
mendapat antibiotik, lidah buaya 0,25 dan 0,50 g/kg.
Sementara konsumsi ransum ternak yang mendapat
antibiotik dan lidah buaya 0,25 serta 0,50 g/kg tidak
berbeda nyata. Pendapat ini sesuai dengan yang
dilaporkan SINURAT et al. (2002) bahwa konsumsi
ransum nyata (P<0,05) menurun dengan pemberian 1,00
g/kg gel lidah buaya. Sementara itu, BINTANG et al.
(2001) melaporkan konsumsi ransum ayam pedaging
nyata (P<0,05) menurun dengan pemberian 0,5 g/kg.
Berbeda dengan yang dilaporkan SINURAT et al. (2003)
bahwa tidak ada indikasi lidah buaya dapat
meningkatkan konsumsi ransum meskipun pada dosis
yang rendah.
Rataan konsumsi ransum selama 9 bulan produksi
pada penelitian ini berkisar dari 101-107 g ekor-1 hari-1
(Tabel 1). Jumlah konsumsi ini lebih rendah
dibandingkan dengan yang dilaporkan PASARIBU et al.
(2004) yaitu konsumsi ransum ayam petelur yang
mendapat ransum mengandung lidah buaya dan
antrakinon selama 29 minggu produksi berkisar dari
109,1-113,7 g ekor-1 hari-1. SINURAT et al. (1996) juga
melaporkan bahwa konsumsi ransum ayam petelur yang
mendapat ransum mengandung batuan fosfat selama 14
minggu produksi berkisar dari 113,5-119,9 g ekor-1
hari-1.

JITV Vol. 10 No. 2 Th. 2005

Tabel 1. Performans ayam petelur selama 9 bulan produksi


Uraian

Kontrol

Kontrol + antibiotik

Bobot hidup awal (kg/ekor)

1,55

1,55

Umur pertama bertelur (hari)

135

Konsumsi ransum (g/ekor/hari)


Produksi telur (%HD)

136
bc

0,25

0,50

1,00

1,55

1,55

1,56

136
ab

103,06

105,93

78,82

83,31

(100)

(106)

Lidah buaya (g/kg)

ab

133

133

107,38

100,58c

80,45

82,09

81,15

(102)

(104)

(103)

104,61

ab

ab

ab

57,66a

Bobot telur (g/butir)

55,28

56,17

Konversi ransum

2,38a

2,29ab

2,30a

2,29ab

2,18b

(100)

(96,22)

(96,64)

(96,22)

(91,60)

56,67

57,40

Angka dalam kurung menyatakan persentase nilai terhadap kontrol


Superskrip berbeda pada baris yang sama berbeda nyata (P<0,05)

Produksi telur atau hen day (%HD)


Perlakuan tidak menunjukkan hasil yang berbeda
nyata (P>0,05) terhadap persentase HD selama 9 bulan
produksi. Persentase HD selama 9 bulan produksi yang
mendapat ransum antibiotik maupun lidah buaya
cenderung lebih tinggi dibandingkan kontrol dengan
peningkatan berkisar 2-6% (Tabel 1). Persentase HD
dalam penelitian ini berkisar dari 78,82-83,31% lebih
tinggi dibandingkan dengan yang dilaporkan SINURAT
et al. (1996) dan PASARIBU et al. (2004) masing-masing
74,6-84,9 dan 72,28-77,35%.
Bobot telur
Perlakuan tidak menunjukkan hasil yang berbeda
nyata (P>0,05) terhadap bobot telur selama 9 bulan
produksi, kecuali yang mendapat lidah buaya tingkat
tinggi 1,00 g/kg nyata (P<0,05) lebih tinggi
dibandingkan dengan kontrol, tetapi ada kecenderungan
bobot telur yang mendapat ransum perlakuan lebih
tinggi dibandingkan dengan kontrol. Hal ini disebabkan
gel lidah buaya mempunyai banyak senyawa aktif
seperti lignin, antrakinon, saponin, mineral, vitamin,
asam amino dan enzim (SURYOWIDODO, 1988). GILL
(1999) menyatakan bahwa tanaman berkhasiat
umumnya mengandung satu atau lebih senyawa bioaktif
seperti: alkaloid, bitters, flavonoids, glikosida, saponin
dan tanin. Disamping itu tanaman herbal ada juga yang
mengandung senyawa yang berfungsi sebagai anti
bakteri (DIREKBUSARAKOM et al., 1998; TAYLOR dan
TOWERS, 1998).
Pemberian antibiotik dan lidah buaya dalam ransum
dapat meningkatkan % HD berkisar dari 2-6% lebih
tinggi dibandingkan kontrol (Tabel 1). Hasil ini sesuai
dengan yang dilaporkan SINURAT et al. (2004) bahwa
pemberian antibiotik maupun 0,5 g/kg lidah buaya

kering dapat meningkatkan pertambahan bobot hidup


(PBH) masing-masing 6,1 dan 6,3% lebih tinggi
daripada kontrol. Berbeda dengan yang dilaporkan
BINTANG et al. (2001) dan SINURAT et al. (2003) bahwa
pemberian lidah buaya hanya memperbaiki nilai
konversi pakan tanpa meningkatkan pertambahan bobot
hidup (PBH) pada ayam broiler. Pada penelitian ini
ayam dipelihara pada sistem baterai bukan sistem litter.
Pada pemeliharaan sistem baterai kontaminasi
mikroorganisme pengganggu lebih sedikit dibandingkan
dengan sistem litter sehingga antibiotik yang diberikan
kurang berfungsi, sebagai konsekuensinya belum
menghasilkan perbedaan yang nyata terhadap bobot
telur dan produksi telur.
Rataan bobot telur selama 9 bulan produksi dalam
penelitian ini berkisar dari 55,28-57,66 g/butir (Tabel 1)
masih dalam kisaran yang dilaporkan SINURAT et al.
(1996) dan PASARIBU et al. (2004), yakni masingmasing 55,1-57,6 dan 56,42-58,56 g/butir.
Konversi ransum
Perlakuan tidak menunjukkan hasil yang berbeda
nyata (P>0,05) terhadap konversi ransum selama 9
bulan produksi, kecuali yang mendapat lidah buaya 1,0
g/kg nyata (P<0,05) lebih rendah dibandingkan kontrol
dan lidah buaya 0,25 g/kg. Rataan konversi ransum
selama 9 bulan produksi yang mendapat ransum
antibiotik maupun lidah buaya (0,25; 0,50 dan 1,00
g/kg) lebih rendah atau lebih efisien dengan perbaikan
masing-masing 3,78; 3,36; 3,78 dan 8,40% (Tabel 1)
dibandingkan dengan kontrol. Perbaikan konversi
ransum tertinggi terdapat pada pemberian lidah buaya
tingkat tinggi (1,00 g/kg). Hal ini disebabkan ransum
yang dikonsumsi lebih rendah diikuti bobot telur yang
dihasilkan lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan
lainnya. Hal ini menunjukkan masih ada kecenderungan

87

BINTANG et al.: Pengaruh tingkat penambahan bioaktif lidah buaya terhadap produksi telur ayam

suatu perbaikan efisiensi pakan dengan adanya


penambahan antibiotik maupun lidah buaya. Pada ayam
broiler perbaikan konversi ransum terjadi melalui
penurunan jumlah total bakteri aerob di dalam saluran
pencernaan (SINURAT et al., 2003). Faktor lain yang
menyebabkan perbaikan konversi pakan pada ayam
akibat pemberian lidah buaya diduga karena adanya
senyawa bioaktif. Salah satu dari senyawa ini adalah
antrakinon, suatu senyawa yang larut di dalam
khlorofom, yang dapat menghambat pertumbuhan
bakteri patogen di dalam usus. Hal ini ditunjang hasil
penelitian yang dilakukan secara in vitro, dimana
ekstrak khlorofom dari gel lidah buaya mempunyai
pengaruh menghambat pertumbuhan bakteri E. coli dan
Salmonella (PURWADARIA et al., 2001).
Rataan konversi ransum selama 9 bulan produksi
dalam penelitian ini berkisar dari 2,18-2,38. SINURAT et
al. (2004) melaporkan bahwa pemberian antibiotik
maupun lidah buaya kering dosis rendah (0,5 g/kg)
dalam ransum broiler dapat memperbaiki nilai konversi
pakan masing-masing 5,55 dan 5,2% lebih baik
daripada kontrol meskipun perbaikan ini tidak nyata
secara statistik. Sementara itu, lidah buaya kering dosis
lebih tinggi (1,0 g/kg), semi likuid maupun antrakinon
tidak menyebabkan adanya perbaikan konversi pakan,
dan mendekati hasil penelitian ini.
Hasil ini berbeda dengan penelitian sebelumnya
yang telah dilaporkan BINTANG et al. (2001); SINURAT
et al. (2002) dan SINURAT et al. (2003) bahwa
mekanisme perbaikan efisiensi penggunaan ransum
dengan pemberian bioaktif tidak melalui peningkatan
pertumbuhan seperti pada umumnya dengan growth
promoter lainnya. Dilaporkan juga bahwa gel lidah
buaya dapat memperbaiki efisiensi penggunaan ransum
masing-masing 10,55; 8,42 dan 3,47%. Peningkatan
konversi ransum dalam penelitian ini masih dalam
kisaran tersebut.
Penggunaan antibiotik menghasilkan perbaikan
konversi ransum 3,78% dibandingkan dengan kontrol,
meskipun penggunaan antibiotik dapat memperbaiki
konversi ransum, penggunaannya mulai kurang disukai
karena adanya kekhawatiran dapat membahayakan
konsumen sebagai akibat residu pada produk yang
dihasilkan apabila digunakan secara berlebihan.
SINURAT et al. (2003) melaporkan bahwa konversi
ransum terbaik diperoleh pada perlakuan pemberian
antibiotik dan lidah buaya kering 0,50 g/kg +
temulawak 0,50 g/kg ransum dengan nilai masingmasing 8% lebih baik daripada kontrol dan hasil
tersebut mendekati hasil pada penelitian ini.
SINURAT et al. (1996) dan PASARIBU et al. (2004)
melaporkan nilai konversi ransum ayam petelur masingmasing berkisar (2,47-2,67) dan (2,70-3,20) lebih tinggi
dibandingkan dengan hasil penelitian ini yakni berkisar
2,18-2,38. Perbedaan nilai konversi ransum tersebut
disebabkan perbedaan ransum yang dikonsumsi.

88

KESIMPULAN
Penambahan antibiotik dan bioaktif lidah buaya
dalam ransum selama 9 bulan produksi dapat
meningkatkan produksi telur dan bobot telur sehingga
menghasilkan konversi ransum yang lebih rendah atau
lebih efisien dibandingkan dengan kontrol. Perlakuan
yang mendapat lidah buaya 1,0 g/kg memberikan nilai
terbaik dengan perbaikan konversi ransum 8,4% lebih
rendah (lebih efisien) dibandingkan dengan kontrol.
DAFTAR PUSTAKA
BARTON, M.D. and W.S. HART. 2001. Public health risks:
Antibiotic Resistance-A Review. Asian Aust. J. Anim.
Sci. 14: 414-422.
BINTANG, I.A.K., A.P. SINURAT, T. PURWADARIA, M.H.
TOGATOROP, J. ROSIDA, H. HAMID dan SAULINA. 2001.
Pengaruh pemberian bioaktif dalam lidah buaya (Aloe
vera) terhadap penampilan ayam broiler. Pros. Seminar
Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner.
Bogor.17-18 September 2001. Puslitbang Peternakan
Bogor. hlm. 574-581.
DIREKBUSARAKOM, S., Y. EZURA, M. YOSHIMIZU and A.
HERUNSALEE. 1998. Efficacy of Thai traditional herbs
extracts against fish and shrimp pathogen bacteria. Fish
Pathol. 33: 347-441.
FAO. 2003. FAO Year Book Trade. Roma Italy.
GILL, S. and P. BEST. 1998. Antibiotic resistance in USA:
Scientist to look more closely. Feed Intern. 19: 16-17.
GILL, C. 1999. More science behind botanicals: Herbs and
plant extract as growth enhancers. Feed Intern. 20: 2023.
HERTRAMPF, J. 2001. Alternative anti bacterial performance
promoters. Poult. Int. 40: 50-55.
LEE, M.H., H.J. LEE and P.D. RYU. 2001. Public health risks.
Chemical and antibiotic residues. Asian Aust. J. Anim.
Sci. 14: 297-446.
MELLOR, S. 2000. Alternative to antibiotics. Feed Mix.
Special Edition. Nopember 2000. hlm. 6-8.
PASARIBU, T., A.P. SINURAT, T. PURWADARIA, S. SITOMPUL, J.
ROSIDA dan S.I.W. RAKHMANI. 2004. Pengaruh
pemberian bioaktif lidah buaya (Aloe vera) dan
antrakinon terhadap produksi ayam petelur. Pros.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner.
Bogor 4-5 Agustus 2004. Puslibang Peternakan, Bogor.
hlm. 486-490.
PURWADARIA, T., M.H. TOGATOROP, A.P. SINURAT, J. ROSIDA,
S. SITOMPUL, H. HAMID dan. T PASARIBU. 2001.
Identifikasi zat aktif beberapa tanaman (lidah buaya,
nimba dan bangkudu) yang potensial. Laporan Balai
Penelitian Ternak, Bogor.

JITV Vol. 10 No. 2 Th. 2005

SINURAT, A.P., R. DHARSANA, T. PASARIBU, T. PANGGABEAN


dan A. HABIBIE. 1996. Penggunaan batuan fosfat
(Natural deflourinated calcium phospate atau NDCP)
sebagai pengganti dicalcium phosphate dalam ransum
ayam petelur. JITV 2: 102-109.

SINURAT, A.P., T. PURWADARIA, T. PASARIBU, S.I.W


RAKHMANI, J. DHARMA, J. ROSIDA, S. SITOMPUL dan
UJIANTO. 2004. Efektifitas bioaktif lidah buaya sebagai
imbuhan pakan untuk ayam broiler yang dipelihara di
atas litter. JITV 9: 145-150.

SINURAT, A.P., T. PURWADARIA, M.H. TOGATOROP, T.


PASARIBU, I.A.K. BINTANG, S. SITOMPUL dan J. ROSIDA.
2002. Respon ayam pedaging terhadap penambahan
bioaktif tanaman lidah buaya dalam ransum: Pengaruh
berbagai bentuk dan dosis bioaktif dalam tanaman lidah
buaya terhadap performans ayam pedaging. JITV 7: 8975.

STEEL, R.G.D. and J.H. TORRIE. 1980. Principles and


Procedure of Statistics. 2nd Ed. Mc Graw Hill, New
York.

SINURAT, A.P., T. PURWADARIA, M.H. TOGATOROP dan T.


PASARIBU. 2003. Pemanfaatan bioaktif tanaman sebagai
feed additive pada ternak unggas: Pengaruh pemberian
gel lidah buaya atau ekstraknya dalam ransum terhadap
penampilan ayam broiler. JITV 8: 139-145.

TAYLOR, R.S.L. and G.H.N. TOWERS. 1998. Antibacterial


constituents of the Nepalese herb, Centipeda minima.
Phytochemistery 4: 631-634.

SURYOWIDODO. C.W. 1988. Lidah buaya (Aloe vera, Linn)


sebagai bahan baku industri. Warta IHP J. Agro-based
Indust. 5(2): 66-71.

89

You might also like