Hakikat Manusia Dan Pendidikan Dalam Perspektif Islam (Human Nature and Education in Islamic Perspective)
Hakikat Manusia Dan Pendidikan Dalam Perspektif Islam (Human Nature and Education in Islamic Perspective)
Abstrak
Pendidikan secara sederhana dikatakan sebagai sebuah proses “memanusiakan manusia”,
Abdurrahman Shalih (t.th;47) mengatakan “man is the core of the educational process”,
bahwa manusia adalah inti dari sebuah proses pendidikan. Hal tersebut menunjukkan
bahwa manusia adalah obyek dan sekaligus pelaku pendidikan. Sebab itu sejauh mana
pendidikan itu diformulasikan dan diimplementasikan harus selalu disandarkan pada
konsepsi tentang hakekat manusia. Merumuskan dan mengembangkan tujuan pendidikan,
materi pendidikan, metode, kurikulum, evaluasi pendidikan, dan seterusnya harus selalu
dikonsultasikan pada filsafat dan pemahaman tentang hakekat manusia itu sendiri.
Pembahasan ini berusaha memahami hakekat manusia sebagai sebuah kajian ontologi
Pendidikan Islam. Ada beberapa hal yang dikaji dalam tulisan ini yaitu; 1) pemahaman
tentang hakekat manusia; 2) proses kejadian manusia; 3) potensi-potensi dasar manusia; 4)
tugas dan fungsi penciptaan manusia; serta 5) implikasinya dalam pendidikan.
Kata kunci: Manusia; Pendidikan Islam
Abstract
Education is simply said to be a process of "humanizing people", Abdurrahman Shalih
(t.th; 47) says "man is the core of the educational process", that man is the core of an
educational process. This shows that humans are objects and at the same time actors of
education. Therefore, the extent to which education is formulated and implemented must
always be based on the conception of human nature. Formulating and developing
educational goals, educational materials, methods, curriculum, educational evaluation,
and so on must always be consulted on philosophy and understanding of human nature
itself. This discussion seeks to understand human nature as an ontological study of Islamic
Education. There are several things that are studied in this paper, namely; 1)
understanding of human nature; 2) proces human events; 3) basic human potentials;4) the
task and function of human creation; and 5) its implications in education.
Keywords: Human; Islamic of Education
Cara mengutip dengan APA 7 style: Yahya, M., dkk. (2025). Hakikat Manusia dan Pendidikan
dalam Perspektif Islam. JEM: Jurnal Edumatika (Jurnal Pendidikan Matematika dan Ilmu
Matematika), 1(2), 94-106. https://ojs.unitas-pdg.ac.id/index.php/edumatika/issue/view/123 .
PENDAHULUAN
Allah SWT memang tidaklah menciptakan ‟Manusia‟ di atas dunia ini sebagai
aksesoris belaka dan secara kebetulan saja, melainkan dengan tugas pokok untuk
menyembah Sang Khaliknya. Di samping itu, manusia juga bertugas untuk mengelola dan
memanfaatkan kekayaan alam yang terdapat di bumi Allah SWT ini agar manusia tersebut
dapat hidup sejahtera dan makmur lahir dan batin. Maka, untuk melaksanakan fungsinya
sebagai ‟Khalifah‟ di bumi Allah SWTini, manusia tersebut dibekali dengan seperangkat
potensi.
Di kalangan dunia tasawuf orang mencari hakikat diri manusia yang sebenarnya,
karena itu muncul kata-kata mencari sebenar-benar diri, atau sama dengan mencari hakikat
jasad, hati, roh, nyawa dan rahasia. Jadi, hakikat manusia adalah kebenaran atas diri
manusia itu sendiri sebagai makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT. Sebagaimana
firman Allah SWT dalam QS. Al- Mu’minun ayat 12.
Dalam situasi ini Ibn Arabi, misalnya lebih lanjut menjelaskan tentang hakikat
manusia degan mangatakan bahwa “Tidak ada makhluk Allah yang lebih baik selain
manusia, yang memiliki kemampuan untuk hidup, mengetahui, berhendak, berbicara,
melihat, mendengar, berpikir dan memutuskan atau memilih. Konsep manusia dalam
perspektif Islam merupakan gagasan pokok bagi sosiologis umat manusia yang menjadikan
manusia sebagai objek formal dan material. Jadi gagasan teoritis, maka pada saat itu, kita
tidak harus bertanya substansi yang membuat dan mendapatkan manusia dan mengerti dan
mengetahui segala hal tentang manusia, yaitu Allah SWT, melalui Al-Qur’an yang berisi
misteri tentang manusia.
Al-Quran dalam filsafat Islam merupakan landasan kognitif untuk menguji dan
mengelaborasi pengetahuan tentang hakikat manusia. Al-Qur'an memperlihatkan tiga kata
kunci teknis yang menggambarkan keberadaan manusia: al-Insan, al-Basyar, dan al-Nas.
Ketiga kata kunci ini merupakan bidang semantik dengan pemahaman dan makna yang
unik. Toshihiko Izutsu memperkenalkan metodologi semantik sebagai kerangka yang dapat
digunakan untuk memahami konsep dasar Al-Qur'an (Rifaldi, 2022; Rohmah, 2023).
Pertama, dipilih istilah-istilah kunci dari teks Al-Qur'an yang dianggap mendasar bagi
konsep pandangan dunia. Kedua, memetakan makna pokok (makna dasar) dan makna
terkait (makna hubungan). Ketiga, merangkum pandangan dunia Al-Quran
(weltanschauung) dengan konsep yang utuh.
Dalam beberapa tulisan atau karya juga digambarkan sangat banyak tentang
manusia. Dalam ilmu mantiq, manusia disebut dengan binatang yang berfikir atau makhluk
yang berpikir yang menyiratkan bahwa manusia menawarkan sudut pandang berdasarkan
proses berpikirnya. “manusia” adalah makhluk atau binatang yang berakal bila ditemukan
dalam rujukan kata bahasa indonesia. Berdasarkan penjelasan ini, kami memahami bahawa
manusia adalah makhluk yang diberi motivasi untuk berpikir sebelum bertindak dalam
mencapai sesuatu sehingga mereka memiliki kendali atas makhluk lain untuk keselamatan,
keamanan, dan kesejahteraan hidupnya. Manusia memiliki atribut individu, namun
manusia juga membutuhkan bantuan orang lain, menyiratkan bahwa manusia adalah
makhluk yang sifatnya monodualisme (Sumanto, 2019). Dilihat dari sudut pandang filsafat
hakikat manusia adalah ruh, jasad serta keberadaannya. Pemahaman tentang awal mula
menjadi manusia dijadikan manusia sebagai acuan atau perspektif dalam merencanakan
tujuan instruktif bagi manusia. Penciptaan manusia yang mendasari ini menjadi alasan
untuk mencari tahu pendidikan Islam. Mengkaji manusia dari satu dimensi, akan membawa
stagnasi pemikiran tentang kapasitas manusia dari satu aspek dan menjadikan obyek statis.
Manusia sendiripun sebagai pribadi keliru untuk memahaminya sendiri (Maragustam,
2018).
Allah telah menciptakan manusia sebagai makhluk yang paling sempurna, manusia
dikarunia akal, pikiran, cipta, rasa dan karsa. Dari berbagai kelebihan yang dimiliki oleh
manusia inilah, maka manusia menjadi raja di raja di muka bumi ini. Alam ini diciptakan
untuk mnusia, maka segala sesuatu yang ada disekitar manusia menjadi obyek kajian
manusia mulai dari lingkungan alam, hewan dan sebagainya.
Manusia ternyata tidak cukup hanya mengkaji alam sekitarnya, ia selanjutnya berfilsafat
tentang Tuhan dan bidang-bidang kehidupan sosial, ekonomi, budaya, dan lain-lain. Dan
pada akhirnya manusia juga berfilsafat tentang dirinya, segala sesuatu yang berkaitan
dengan manusia dibahas, dikaji secara mendalam, yaitu mengenai siapa, bagaimana,
dimana dan untuk apa manusia itu diciptakan (Khobir, A, 1997).
Kegiatan pendidikan berkaitan erat dengan proses pemanusiaan manusia
(Humanizing Of Human Being) atau upaya untuk membantu subjek (individu) secara
normatif berkembang lebih baik. Upaya membantu manusia berkembang normatif lebih
baik dimulai dari proses merumuskan hakikat manusia. Sebab, tanpa pemahaman yang
benar tentang Apa, Siapa, Mengapa, Dan Untuk Apa Manusia, maka pendidikan akan gagal
mewujudkan manusia yang dicita-citakan. Begitu menariknya membicarakan tentang
hakikat manusia dengan potensi pendidikannya dalam pandangan Filsafat Pendidikan
Islam, maka disini akan dibahas tentang hakikat manusia, pandangan filsafat pendidikan
Islam tentang hakikat manusia dan berbagai pandangan tentang hakikat manusia dan
relasinya dengan proses kependidikan.
METODE PENELITIAN
Artikel ini didasarkan pada penelitian kualitatif, yaitu jenis penelitian kepustakaan
yang sumber utamanya adalah buku, jurnal, dan artikel ilmiah lainnya. Data yang
terkumpul dianalisis menggunakan analisis isi untuk memudahkan penulis menyaring
gagasan pokok dari berbagai sumber yang ada. Penelitian ini ialah upaya untuk menggali
dan mengkaji secara kritis mengenai hakikat manusia dan pendidikan dalam perspektif
Islam. Kajian ini menggunakan pendekatan analisis filosofis yang berfungsi untuk
menganalisis isi melalui analisis lunguistik dan analisi konsep. Analisis linguistik penulis
gunakan untuk membantu menemukan makna yang tersirat dibalik fakta, sedangkan
analisis konsep membantu penulis untuk menemukan kata-kata yang dipandang penting
atau kunci yang memiliki gagasan.
Adapun zat itu adalah manifestasi dari ruh di atas dunia ini. Aliran ini menganggap bahwa
ruh itu adalah hakikat manusia, sedang badan hanyalah bayangan saja. Ruh adalah sesuatu
yang tidak menempatai ruang, sehingga tidak dapat disentuh dan dilihat oleh pancaindra,
sedangkan materi adalah penjelmaan ruh.
Dasar aliran ini adalah bahwa ruh itu lebih berharga, lebih tinggi nilainya daripada
badan atau materi. Sebagai contoh seseorang yang meninggal artinya ia tanpa ruh akan
dikatakan “Dia telah pergi, dia sudah tidak ada, dan lain sebagainya. Hubungannya dengan
aliran ini maka pendidikan harus dilaksanakan berdasarkan kodrat kebutuhan rohaniah,
terutama untuk membina rasio, perasaan, kemauan dan spirit (Mohammad Noor Syam,
1988).
3. Aliran Dualisme
Aliran ini mencoba mengawinkan kedua aliran tersebut di atas. Aliran ini
menganggap manusia itu pada hakikatnya terdiri dari dua substansi yaitu jasmani dan
rohani, badan dan ruh. Kedua substansi ini masing-masing merupakan unsur asal yang
adanya tidak tergantung pada yang lain. Jadi badan tidak berasal dari ruh juga sebaliknya
ruh tidak berasal dari badan. Hanya dalam perwujudannya, manusia itu serba dua, jasad
dan ruh, yang keduanya berintegrasi membentuk yang disebut manusia. Antara badan dan
ruh terjalin hubungan yang bersifat kausal, sebab akibat. Artinya antara keduanya saling
pengaruh mempengaruhi. Apa yang terjadi di satu pihak akan mempengaruhi di pihak yang
lain. Sebagai contoh orang yang cacat jasmaninya akan berpengaruh terhadap
perkembangan jiwanya. Sebaliknya, orang yang jiwanya cacat atau kacau, akan
berpengaruh pada fisiknya.
4. Aliran Eksistensialisme
Pembicaraan tentang hakikat manusia ternyata terus berkembang dan tak kunjung
berakhir. Orang belum merasa puas dengan pandangan- pandangan di atas, baik dari aliran
serba zat, serba ruh maupun aliran dualisme. Ahli-ahli filsafat modern dengan tekun
berpikir lebih lanjut tentang hakikat manusia mana yang merupakan eksistensi atau wujud
sesungguhnya dari manusia itu. Mereka yang memikirkan manusia dari segi eksistensinya
atau wujud manusia itu sesungguhnya, disebut dengan aliran eksistensialisme.
Mereka ini pada hakikatnya mengkaji manusia dari segi apa yang menguasai
manusia secara menyeluruh. Dengan demikian aliran ini memandang manusia secara
menyeluruh tentang cara beradanya manusia di dunia ini (Zuhairini, dkk., 1995). Mereka
dihadapkan pada persoalan-persoalan seperti “Sipakah saya?” dan “Apa makna eksistensi
itu?”. Tindakan kehidupan sehari-hari adalah sebuah proses perumusan esensinya. Setelah
ia mengalami hidup, ia membuat pilihan-pilihan dan mengembangkan kesenangan dan
ketidaksenangannya. Melalui tindakan ini ia merumuskan siapa dirinya sebagai seorang
individu. Lewat proses ini ia sampai pada kesadaran bahwa ia adalah apa yang ia pilih
untuk ada dan mempertanggungjawabkan pilihan-pilihannya. Manusia dihadapkan pada
realitas-realitas senyatanya dari kehidupan, kematian dan makna, dan ia mempunyai
kebebasan yang tak terucapkan untuk bertanggung jawab atas esensi dirinya (George R.
Knight, 2007).
Islam secara tegas menyatakan bahwa badan dan ruh adalah substansi alam,
sedangkan alam adalah makhluk dan keduanya diciptakan oleh Allah, dijelaskan bahwa
proses perkembangan dan pertumbuhan manusia menurut hukum alam material (Jalaluddin
dan Abdullah Idi, 1997). Jadi, manusia itu terdiri dari dua substansi yaitu materi yang
berasal dari bumi dan ruh yang berasal dari Tuhan. Maka hakikat manusia itu adalah ruh
itu, sedangkan jasadnya hanyalah alat yang digunakan oleh ruh untuk menjalani kehidupan
material di alam material yang bersifat sekunder dan ruh adalah yang primer, karena ruh
saja tanpa jasad yang material tidak dapat dinamakan manusia (Zuhairini, dkk., 1995).
atau berhubungan dengan seperti menjalankan tugas sebagai khlaifah dan menjalankan
sesuia dengan apa yang telah diperintahkan.
Dalam konteks sebagai hamba Allah, manusia harus memahami betul terhadap status
dirinya sebagai hamba. Dalam hal ini menusia harus memposisikan dan menyadari bahwa
dirinya dimilki, tunduk dan patuh serta mengetahui bahwa dirinya hanyalah seorang hamba
yang menjalakan perintah yang diberikan Allah. Manusia sebagai hamba Allah adalah
tujuan utama Allah menciptakan manusia, maksud dari pernyataan tersebut ialah manusia
berkewajiban untuk menguraikan setiap usaha dan kegiatannya sebagai penyerahan diri
kepada Allah, melalui kegiatan untuk mengelolah alam semesta dengan potensi yang
dimilkinya. Hal tersebut dikuatkan dengan penjelasan di dalam QS. al-Dzariyat (51) ayat
56: Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahku
(mengabdi kepada-Ku).
hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji engkau dan
mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang kamu
tidak ketahui.” (QS: 2:30), dan surah Shad ayat 26, “Hai Daud, sesungguhnya Kami
menjadikan kamu khalifah (peguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan di antara
manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu. Karena ia akan
menyesatkan kamu dari jalan Allah. …” (QS: 38:26).
Dari kedua ayat di atas dapat dijelaskan bahwa sebutan khalifah itu merupakan
anugerah dari Allah kepada manusia, dan selanjutnya manusia diberikan beban untuk
menjalankan fungsi khalifah tersebut sebagai amanah yang harus dipertanggungjawabkan.
10 Sebagai khalifah di bumi manusia mempunyai wewenang untuk memanfaatkan alam
(bumi) ini untuk memenuhi Kebutuhan hidupnya sekaligus bertanggung jawab terhadap
kelestarian alam ini. seperti dijelaskan dalam surah al- Jumu’ah, “Maka apabila telah
selesai shalat, hendaklah kamu bertebaran di muka bumi ini dan carilah karunia Allah, dan
ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung.” (QS: 62:10), selanjutnya dalam surah
Al- Baqarah disebutkan: “Makan dan minumlah kamu dari rezeki yang telah diberikan
Allah kepadamu, dan janganlah kamu berbuat bencana di atas bumi.” (QS: 2:60).
darah, lalu menjadi segumpal daging, dan segumpal daging itu kemudian Kami jadikan
tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami
jadikan dia makhluk berbentuk lain, maka Maha Sucilah Allah, Pencipta yang paling baik.”
(QS: 23:12-14).
Manusia merupakan makhluk Allah yang unik serta unggul di bandingkan dengan
makhluk lainnya. penciptaan manusia bukan hanya sebagai pelengkap atau kebetulan saja,
melainkan tugas utama diciptakan manusia adalah untuk menyembah sang khalik-Nya.
Selain itu, manusia diciptakan untuk mengolah serta memanfaatkan kekayaan alam dan
isinya yang ada di dunia, agar manusia hidup makmur dan sejahtera.Manusia diciptakan
meliputi unsur jasad (materi) dan ruh (immateri). Keduanya saling keterkaitan dan tidak
mungkin dipisahkan antar satu sama lain dan kemudian Allah berikan potensi.
Pendidikan itu sendiri secara praktis memainkan peran utama dalam perubahan
keberadaan atau kehidupan manusia. Sedikit menyinggung rangkaian pengalaman umat
manusia, tentu sangat terlihat perkembangan yang terjadi pada manusia. Potensi manusia
berupa akal yang baik digunakan untuk berpikir, bernalar dan memecahkan suatu masalah
dalam kehidupan, tentunya membuat manusia untuk membuat dan menemukan solusi yang
tepat dalam menangani masalah tersebut. Hal ini merupakan indikasi yang nyata dari akal
manusia dalam memperoleh informasi setiap saat, manusia memiliki komponen yang tepat
dalam memperoleh informasi dari seseorang seseorang yang digunakan sebagai sumber
perspektif informasi kepada masyarakat luas khususnya sistem pendidikan. Pendidikan
berarti bimbingan manusia dewasa kepada anak- anak, orang-orang yang lebih tua kepada
yang lebih muda dan sebaliknya untuk dapat memberikan arahan, pengajaran, peningkatan
moral dan pelatihan intelektual sesama manusia baik itu secara individu dan kelompok
(Ayu Lika Rahmadani & Ghufran Hasyim Achmad, 2022).
Pendidikan Islam dalam merumuskan teori harus berdasarkan konsep hakikat
tentang manusia. Hal ini penting dalam pendidikan islam, karena jika belum jelas tentang
hakikat manusia, pendidikan islam tidak ada arah tujuannya. Bahkan pendidikan Islam
tidak bisa dipahami secara sempurna sebelum memahami hakikat manusia terlebih
dahulu.Jika pendidikan Islam menekankan pada pembentukan pribadi manusia yang
beribadah, berakhlakul karimah.Maka yang terbentuk adalah manusia yang taat beribadah
dan mengabaikan kemajuan dan ilmu teknologi. Begitu juga sebaliknya, jika pendidikan
Islam memfokuskan pembentukan khalifah, bisa menguasai ilmu pengetahuan, namun
tidak mengibangi dengan fungsi sebagai hamba Allah, maka manusia bisa pandai dalam
hal ilmu pengetahuan tetapi dia lupa akan fungsinya sebagai hamba Allah yaitu mengabdi
kepada Allah.
Implikasi penting konsep tersebut sebagai berikut: pertama, hakikat manusia terdiri
dari unsur materi dan immateri. Maka pendidikan islam harus dibangun pada
pengembangan pendidikan qalbiah dan aqliah sehingga bisa melahirkan makhluk pintar
secara intelektual dan terpuji secara perilaku atau moral. Kedua, Al- Qur’an sudah
menyebutkan fungsi penciptaan manusia sebagai khalifah. Dalam hal ini maka pendidikan
Islam harus melakukan suatu usaha pengembangan potensi secara maksimal. Ketiga,
pendidikan Islam harus menjadi sarana bagi proses transformasi ilmu dan budaya (Miftah
Syarif, 2017).
Para pakar pendidikan Islam sepakat bahwa teori kependidikan Islam harus
didasarkan pada konsepsi dasar tentang manusia. Pembicaraan yang berkaitan dengan hal
ini dirasakan sangat mendasar dan perlu dijadikan pijakan dalam melakukan aktivitas
pendidikan. Tanpa adanya kejelasan mengenai konsep manusia, pendidikan Islam akan
berjalan tanpa arah yang jelas, bahkan pendidikan Islam tidak akan dapat dipahami secara
jelas tanpa terlebih dahulu memahami hakikat manusia seutuhnya (Ali Ashraf, 1989).
Pendidikan Islam berpandangan bahwa pada dasarnya potensi dasar manusia adalah
baik dan sekaligus juga buruk. Potensi manusia dalam pandangan pendidikan Islam
beragam jenisnya, berupa fitrah, ruh, dan kalbu adalah baik. Sementara potensi yang berupa
akal adalah netral dan yang berbentuk nafsu dan jasad bersifat buruk (Baharudin, 2005).
Berdasarkan pandangan di atas, berikut ini akan dijelaskan implikasi potensi dasar
manusia dalam Proses pendidikan Islam.
a. Implikasi Potensi Jasmani (fisik) dalam Proses Pendidikan Islam Aspek jasmani (fisik)
merupakan sesuatu yang hakiki untuk manusia.
Hal ini menunjukkan bahwa dalam pendidikan Islam jasmani adalah bagianpenting
dalam proses pendidikan manusia untuk menjadi pribadi yang utuh. Perhatian pendidikan
Islam pada aspek jasmani ini membawa dampak bahwa dalam proses belajar mengajar dan
mencari pengetahuan, pancaindra perlu dilatih untuk peka, teliti dan terintegrasi dengan
kegiatan akal budi. Penghargaan terhadap pentingnya jasmani mengakibatkan penghargaan
terhadap pekerjaan tangan sebagai bagian integral dari pendidikan Islam.
Aspek jasmani harus dikembangkan menjadi manusia yang memiliki jasmani yang
sehat dan kuat serta berketerampilan melalui pendidikan Islam. Jasmani yang sehat dan
kuat akan berkaitan dengan pola manusia mencari rizki dan keterampilannya mencari rizki
dengan jalan yang halal dalam kehidupan ini. Fisik jasmani ini berkaitan dengan jasad-
jasad indrawi manusia yang bisa melihat, mendengar, serta mampu berbuat secara lahiriah
(Abdullah, A, 2002).
Dimensi kejasmaniaan sangat penting diperhatikan agar proses belajar mengajar dan
mencari pengetahuan, pancaindra perlu dilatih untuk bisa digunakan secara seksama. Daya
observasi atau pengamatan inderawi kita perlu dilatih untuk jadi peka, teliti, dan
terintegrasi dengan kegiatan budi. Kalau ini terjadi, maka pengamatan inderawi akan
menjadikan sentral yang menjadi awal dan operator untuk pengetahuan akal budi.
Dalam proses kependidikan, penghargaan terhadap pentingnya badan juga perlu
dilakukan pada penghargaan terhadap pekerjaan tangan sebagai bagian integral dari
pendidikan. Peserta didik perlu dilatih dan dikembangkan keterampilannya untuk
melakukan pekerjaan tangan. Kegiatan prakarya merupakan bagian yang signifikan dari
kegiatan pendidikan. Sikap priyayi yang cenderung merendahkan nilai pekerjaan tangan
sebagai pekerjaan kasar merupakan suatu sikap yang masih ada dalam masyarakat kita
dewasa ini, harus digugat kembali (Ismail Thoib, 2008).
b. Implikasi Potensi Ruhani Manusia dalam Proses Pendidikan Islam Ruhani adalah
aspek manusia yang bersifat spiritual dan trasendental.
Potensi ruhani yang dimiliki manusia memiliki kecenderungan-kecenderungan
tertentu. Oleh karena itu, tugas pendidikan Islam adalah melestarikan, serta
menyempurnakan kecenderungan-kecenderungan yang baik dan menggantikan atau
mengendalikan kecenderungan-kecenderungan jahat menuju kecenderungan-
kecenderungan positif.
1) Dimensi al-Nafsu
Nafsiah dalam diri manusia memiliki beberapa dimensi diantaranya adalah dimensi
al-Nafsu. Dimensi al-Nafsu adalah termasuk salah satu potensi yang dimiliki manusia dan
berimplikasi dalam proses pendidikan Islam yang harus ditumbuhkembangkan. Agar
potensi tersebut dapat ditumbuhkembangkan dan diaktualisasikan dengan baik, maka perlu
adanya upaya melaksanakan pendidikan Islam sebaik-baiknya dengan cara sebagai berikut:
a) Mengembakan nafsu peserta didik pada aktivitas yang positif, misalnya nafsu agresif,
yaitu dengan memberikan sejumlah tugas harian yang dapat memperoleh kesempatan
berbuat yang berguna.
b) Menanamkan rasa keimanan yang kuat dan kokoh. Sehingga dimanapun berada,
peserta didik tetap dapat menjaga diri dari perbuatan amoral.
c) Menghindarkan diri dari pendidikan yang bercorak materialistik, karena nafsu
2) Dimensi al-Aql
Potensi akal merupakan karunia Allah untuk mengetahui hakikat segala sesuatu,
maka upaya pendidikan Islam dalam mengembangkan potensi akal adalah sebagai berikut:
a) Membawa dan mengajak peserta didik untuk menguak hukum alam dengan dasar dan
teori serta hipotesis ilmiah melalui kekuatan akal pikiran.
b) Mengajar peserta didik untuk memikirkan ciptaan Allah sehingga memperoleh
kekuatan untuk membuat kesimpulan bahwa alam diciptakan dengan tidak sia-sia.
c) Mengenalkan peserta didik dengan materi logika, filsafat, matematika, kimia, fisika
dan sebagainya serta materi-materi yang dapat menumbuhkan daya kreativitas dan
produktivitas daya nalar.
d) Memberikan ilmu pengetahuan menurut kadar kemampuan akalnya dengan cara
memberikan materi yang lebih mudah dahulu lalu beranjak pada materi yang sulit, dari
yang konkret menuju abstrak.
e) Melandasi pengetahuan aqliah dengan jiwa agama dalam arti peserta didik dibiasakan
untuk menggunakan kemapuan akalnya semaksimal mungkin sebagai upaya ijtihad
dan bila ternyata akal belum mampu memberikan konklusi tentang suatu masalah,
masalah tersebut dikembalikan kepada wahyu.
f) Berusaha mencetak peserta didik untuk menjadi seseorang yang berpredikat “ulul
albab” yaitu seorang muslim yang cendikiawan dan muslim intelektual dengan cara
melatih daya intelek, daya pikir dan daya nalar serta memiliki keterikatan moral,
memiliki komitmen sosial dan melaksanakan sesuatu dengan cara yang baik
(Muhaimin dan Abdul Mujib, 1993).
3) Dimensi al-Qalb
Al-Qalb adalah pusat aktivitas manusia sesuai yang diperintahkan oleh Allah. Qalb
berperan sebagai sentral kebaikan dan kejahatan manusia, walaupun pada hakikatnya
cenderung kepada kebaikan. Sentral aktivitas manusia bukan ditentukan oleh badan yang
sehat. Upaya-upaya yang harus dilakukan dalam pendidikan al-Qalb adalah:
a) Teknis pendidikan diarahkan agar menyentuh dan merasuk dalam kalbu dan dapat
memberikan bekas yang positif, misalnya dengan menggunakan cara yang lazim
digunakan Rasulullah SAW dalam berdakwah yang didalam dirinya tercermin sifat
lemah lembut, penuh kasih sayang dan tidak kasar (QS. 3: 159).
b) Materi pendidikan Islam tidak hanya berisikan materi yang dapat mengembangkan
daya intelek peserta didik tetapi lebih dari itu, juga berisi materi yang dapat
mengembangkan daya intuisi atau daya perasaan sehingga bentuk pendidikan Islam
diarahkan pada pengembangan daya pikir dan dzikir.
c) Aspek moralitas dalam pendidikan Islam tetap dikembangkan karena aspek ini dapat
menyuburkan perkembangan qalb. Dengan demikian, akan terbentuk suatu tingkah
laku yang baik bagi anak.
d) Proses pendidikan Islam dilakukan dengan cara membiasakan peserta didik untuk
berkepribadian utuh, dengan cara menyadarkan akan peraturan atau rasa hormat
terhadap peraturan yang berlaku serta melaksanakan peraturan tersebut (Muhaimin dan
Abdul Mujib, 1993).
4) Dimensi al-Ruh
Manusia tidak hanya sebagai makhluk yang berbadan tetapi juga berjiwa. Maka dari
itu, dalam ranah pendidikan kita perlu mengusahakan agar peserta didik dapat
mengembangkan kecakapan-kecakapan emosionalnya: cipta, rasa, dan karsa; sadar,
mengerti, merasa, dan menghendaki, tetapi juga menjadi mampu mencintai sesama dan
berbakti kepada Allah. Bermodal kecakapan- kecakapan seperti ini, manusia mampu
melakukan karya atau kegiatan-kegitan yang mengatasi makhluk-makhluk yang lainnya,
seperti kegiatan berbahasa baik lisan maupun tertulis, berhitung, berkesenian, berilmu,
bekerja, beriman, dan bertakwa kepada Allah. Kemampuan-kemampuan tersebut mesti
diperhatikan dan ditumbuhkembangkan dalam pendidikan.
Sebagai makhluk jasmani, manusia tidak akan lepas dari dorongan- dorongan
naluriah dan nafsu-nafsu. Namun karena manusia adalah sekaligus juga makhluk ruhaniah,
maka dorongan-dorongan tersebut biasa diatur dan dikuasai oleh daya-daya jiwa. Di sini
terletak pentingnya penanaman disiplin dalam pendidikan yang dilakukan secara teratur
dan objektif. Dalam pendidikan, peserta didik perlu diberi pengertian dan pencerahan agar
keberadaannya ditegakkan di atas bimbingan dan pengaturan akal budinya. Itu berarti, ia
tidak membiarkan dirinya dikuasai oleh nafsu, perasaan, dan emosinya yang buta. Dalam
kaitannya dengan ini, pendidikan budi pekerti dalam bentuk pendidikan moral dan agama
merupakan bagian penting dalam suatu kegiatan Pendidikan.
DAFTAR RUJUKAN
A. Kholil. (2006). Manusia Di Muka Cermin Ibn. Arabi (Memahami Hakikat Manusia
Dengan Kacamata.Ibn Arabi). Jurnal El-Harakah, 8(3).
Alimatus Sa’diyah Alim. (2019). Hakikat Manusia, Aalam Semesta, dan Masyarakat
Dalam Konteks Pendidikan islam. Jurnal Penelitian Keislaman, 15(2), 144–160.
Anas, Fathul. (2010). The Miracle of Quranic Motivation Intisari 114 surat
Inspriratif dalam al- Qur’an. Yogyakarta: Citra Risalah.
Ashraf, Ali. ( 1989). Horison Baru Pendidikan Islam. Jakarta: Pustaka Progresif.
Ayu Lika Rahmadani & Ghufran Hasyim Achmad. (2022). Pemikiran Pendidikan Ikhwan
Al-Shafa Tentang Religius-Rasional dan Relevansi di Era Modern. Edukatif:
Jurnal Ilmu Pendidikan, 4(2), 1804–1814.
Djamarah, Syaiful Bahri. (2010). Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Educatif
Suatu pendekatan Psikologis. Jakarta: Rineka Cipta.
Jalaluddin dan Abdullah Idi. (1997). Filsafat Pendidikan Manusia, Filsafat dan Pendidikan.
Jakarta: Gaya Media Pratama.
Khobir, Abdul. (1997). Filsafat Pendidikan Islam (Landasan Teoritis dan Praktis).
Pekalongan: STAIN Pekalongan Press.