0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
23 tayangan13 halaman

Hakikat Manusia Dan Pendidikan Dalam Perspektif Islam (Human Nature and Education in Islamic Perspective)

Dokumen ini membahas hakikat manusia dan pendidikan dalam perspektif Islam, menekankan bahwa manusia adalah inti dari proses pendidikan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif untuk mengeksplorasi pemahaman tentang hakikat manusia, potensi dasar, dan implikasinya dalam pendidikan. Berbagai aliran pemikiran tentang hakikat manusia, termasuk materialisme, idealisme, dualisme, dan eksistensialisme, juga dianalisis dalam konteks pendidikan.

Diunggah oleh

sitihabibah110804
Hak Cipta
© © All Rights Reserved
Kami menangani hak cipta konten dengan serius. Jika Anda merasa konten ini milik Anda, ajukan klaim di sini.
Format Tersedia
Unduh sebagai PDF, TXT atau baca online di Scribd
0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
23 tayangan13 halaman

Hakikat Manusia Dan Pendidikan Dalam Perspektif Islam (Human Nature and Education in Islamic Perspective)

Dokumen ini membahas hakikat manusia dan pendidikan dalam perspektif Islam, menekankan bahwa manusia adalah inti dari proses pendidikan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif untuk mengeksplorasi pemahaman tentang hakikat manusia, potensi dasar, dan implikasinya dalam pendidikan. Berbagai aliran pemikiran tentang hakikat manusia, termasuk materialisme, idealisme, dualisme, dan eksistensialisme, juga dianalisis dalam konteks pendidikan.

Diunggah oleh

sitihabibah110804
Hak Cipta
© © All Rights Reserved
Kami menangani hak cipta konten dengan serius. Jika Anda merasa konten ini milik Anda, ajukan klaim di sini.
Format Tersedia
Unduh sebagai PDF, TXT atau baca online di Scribd
Anda di halaman 1/ 13

JEM: Jurnal Edumatika (Jurnal Pendidikan Matematika dan Ilmu Matematika)

1 (2) Januari 2025 94-106


Tersedia secara online di https://ojs.unitas-pdg.ac.id/index.php/edumatika/index

Hakikat Manusia dan Pendidikan dalam Perspektif Islam


(Human Nature and Education in Islamic Perspective)

Muhammad Yahya 1, Noviani Herdianti2, Liza Novelia3, Desti Nora Nazar4,


Hendrizal5*
1,2,3,4,5 Prodi Pendidikan Dasar, Universitas Adzkia – Jl. Raya Taratak Paneh No.7 Korong Gadang,
Kalumbuk, Kec. Kuranji, Kota Padang, Sumatera Barat, Indonesia, 25175
* email penulis korespondensi: [email protected]

Abstrak
Pendidikan secara sederhana dikatakan sebagai sebuah proses “memanusiakan manusia”,
Abdurrahman Shalih (t.th;47) mengatakan “man is the core of the educational process”,
bahwa manusia adalah inti dari sebuah proses pendidikan. Hal tersebut menunjukkan
bahwa manusia adalah obyek dan sekaligus pelaku pendidikan. Sebab itu sejauh mana
pendidikan itu diformulasikan dan diimplementasikan harus selalu disandarkan pada
konsepsi tentang hakekat manusia. Merumuskan dan mengembangkan tujuan pendidikan,
materi pendidikan, metode, kurikulum, evaluasi pendidikan, dan seterusnya harus selalu
dikonsultasikan pada filsafat dan pemahaman tentang hakekat manusia itu sendiri.
Pembahasan ini berusaha memahami hakekat manusia sebagai sebuah kajian ontologi
Pendidikan Islam. Ada beberapa hal yang dikaji dalam tulisan ini yaitu; 1) pemahaman
tentang hakekat manusia; 2) proses kejadian manusia; 3) potensi-potensi dasar manusia; 4)
tugas dan fungsi penciptaan manusia; serta 5) implikasinya dalam pendidikan.
Kata kunci: Manusia; Pendidikan Islam

Abstract
Education is simply said to be a process of "humanizing people", Abdurrahman Shalih
(t.th; 47) says "man is the core of the educational process", that man is the core of an
educational process. This shows that humans are objects and at the same time actors of
education. Therefore, the extent to which education is formulated and implemented must
always be based on the conception of human nature. Formulating and developing
educational goals, educational materials, methods, curriculum, educational evaluation,
and so on must always be consulted on philosophy and understanding of human nature
itself. This discussion seeks to understand human nature as an ontological study of Islamic
Education. There are several things that are studied in this paper, namely; 1)
understanding of human nature; 2) proces human events; 3) basic human potentials;4) the
task and function of human creation; and 5) its implications in education.
Keywords: Human; Islamic of Education

Cara mengutip dengan APA 7 style: Yahya, M., dkk. (2025). Hakikat Manusia dan Pendidikan
dalam Perspektif Islam. JEM: Jurnal Edumatika (Jurnal Pendidikan Matematika dan Ilmu
Matematika), 1(2), 94-106. https://ojs.unitas-pdg.ac.id/index.php/edumatika/issue/view/123 .

PENDAHULUAN
Allah SWT memang tidaklah menciptakan ‟Manusia‟ di atas dunia ini sebagai
aksesoris belaka dan secara kebetulan saja, melainkan dengan tugas pokok untuk
menyembah Sang Khaliknya. Di samping itu, manusia juga bertugas untuk mengelola dan

Hakikat Manusia dan Pendidikan dalam Perspektif Islam 94


JEM: Jurnal Edumatika (Jurnal Pendidikan Matematika dan Ilmu Matematika) dengan lisensi CC BY
Yahya, M., dkk. 1 (2) Januari 2025 94-106

memanfaatkan kekayaan alam yang terdapat di bumi Allah SWT ini agar manusia tersebut
dapat hidup sejahtera dan makmur lahir dan batin. Maka, untuk melaksanakan fungsinya
sebagai ‟Khalifah‟ di bumi Allah SWTini, manusia tersebut dibekali dengan seperangkat
potensi.
Di kalangan dunia tasawuf orang mencari hakikat diri manusia yang sebenarnya,
karena itu muncul kata-kata mencari sebenar-benar diri, atau sama dengan mencari hakikat
jasad, hati, roh, nyawa dan rahasia. Jadi, hakikat manusia adalah kebenaran atas diri
manusia itu sendiri sebagai makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT. Sebagaimana
firman Allah SWT dalam QS. Al- Mu’minun ayat 12.
Dalam situasi ini Ibn Arabi, misalnya lebih lanjut menjelaskan tentang hakikat
manusia degan mangatakan bahwa “Tidak ada makhluk Allah yang lebih baik selain
manusia, yang memiliki kemampuan untuk hidup, mengetahui, berhendak, berbicara,
melihat, mendengar, berpikir dan memutuskan atau memilih. Konsep manusia dalam
perspektif Islam merupakan gagasan pokok bagi sosiologis umat manusia yang menjadikan
manusia sebagai objek formal dan material. Jadi gagasan teoritis, maka pada saat itu, kita
tidak harus bertanya substansi yang membuat dan mendapatkan manusia dan mengerti dan
mengetahui segala hal tentang manusia, yaitu Allah SWT, melalui Al-Qur’an yang berisi
misteri tentang manusia.
Al-Quran dalam filsafat Islam merupakan landasan kognitif untuk menguji dan
mengelaborasi pengetahuan tentang hakikat manusia. Al-Qur'an memperlihatkan tiga kata
kunci teknis yang menggambarkan keberadaan manusia: al-Insan, al-Basyar, dan al-Nas.
Ketiga kata kunci ini merupakan bidang semantik dengan pemahaman dan makna yang
unik. Toshihiko Izutsu memperkenalkan metodologi semantik sebagai kerangka yang dapat
digunakan untuk memahami konsep dasar Al-Qur'an (Rifaldi, 2022; Rohmah, 2023).
Pertama, dipilih istilah-istilah kunci dari teks Al-Qur'an yang dianggap mendasar bagi
konsep pandangan dunia. Kedua, memetakan makna pokok (makna dasar) dan makna
terkait (makna hubungan). Ketiga, merangkum pandangan dunia Al-Quran
(weltanschauung) dengan konsep yang utuh.
Dalam beberapa tulisan atau karya juga digambarkan sangat banyak tentang
manusia. Dalam ilmu mantiq, manusia disebut dengan binatang yang berfikir atau makhluk
yang berpikir yang menyiratkan bahwa manusia menawarkan sudut pandang berdasarkan
proses berpikirnya. “manusia” adalah makhluk atau binatang yang berakal bila ditemukan
dalam rujukan kata bahasa indonesia. Berdasarkan penjelasan ini, kami memahami bahawa
manusia adalah makhluk yang diberi motivasi untuk berpikir sebelum bertindak dalam
mencapai sesuatu sehingga mereka memiliki kendali atas makhluk lain untuk keselamatan,
keamanan, dan kesejahteraan hidupnya. Manusia memiliki atribut individu, namun
manusia juga membutuhkan bantuan orang lain, menyiratkan bahwa manusia adalah
makhluk yang sifatnya monodualisme (Sumanto, 2019). Dilihat dari sudut pandang filsafat
hakikat manusia adalah ruh, jasad serta keberadaannya. Pemahaman tentang awal mula
menjadi manusia dijadikan manusia sebagai acuan atau perspektif dalam merencanakan
tujuan instruktif bagi manusia. Penciptaan manusia yang mendasari ini menjadi alasan
untuk mencari tahu pendidikan Islam. Mengkaji manusia dari satu dimensi, akan membawa
stagnasi pemikiran tentang kapasitas manusia dari satu aspek dan menjadikan obyek statis.
Manusia sendiripun sebagai pribadi keliru untuk memahaminya sendiri (Maragustam,
2018).
Allah telah menciptakan manusia sebagai makhluk yang paling sempurna, manusia
dikarunia akal, pikiran, cipta, rasa dan karsa. Dari berbagai kelebihan yang dimiliki oleh
manusia inilah, maka manusia menjadi raja di raja di muka bumi ini. Alam ini diciptakan
untuk mnusia, maka segala sesuatu yang ada disekitar manusia menjadi obyek kajian
manusia mulai dari lingkungan alam, hewan dan sebagainya.
Manusia ternyata tidak cukup hanya mengkaji alam sekitarnya, ia selanjutnya berfilsafat

Hakikat Manusia dan Pendidikan dalam Perspektif Islam 95


JEM: Jurnal Edumatika (Jurnal Pendidikan Matematika dan Ilmu Matematika) dengan lisensi CC BY
Yahya, M., dkk. 1 (2) Januari 2025 94-106

tentang Tuhan dan bidang-bidang kehidupan sosial, ekonomi, budaya, dan lain-lain. Dan
pada akhirnya manusia juga berfilsafat tentang dirinya, segala sesuatu yang berkaitan
dengan manusia dibahas, dikaji secara mendalam, yaitu mengenai siapa, bagaimana,
dimana dan untuk apa manusia itu diciptakan (Khobir, A, 1997).
Kegiatan pendidikan berkaitan erat dengan proses pemanusiaan manusia
(Humanizing Of Human Being) atau upaya untuk membantu subjek (individu) secara
normatif berkembang lebih baik. Upaya membantu manusia berkembang normatif lebih
baik dimulai dari proses merumuskan hakikat manusia. Sebab, tanpa pemahaman yang
benar tentang Apa, Siapa, Mengapa, Dan Untuk Apa Manusia, maka pendidikan akan gagal
mewujudkan manusia yang dicita-citakan. Begitu menariknya membicarakan tentang
hakikat manusia dengan potensi pendidikannya dalam pandangan Filsafat Pendidikan
Islam, maka disini akan dibahas tentang hakikat manusia, pandangan filsafat pendidikan
Islam tentang hakikat manusia dan berbagai pandangan tentang hakikat manusia dan
relasinya dengan proses kependidikan.

METODE PENELITIAN
Artikel ini didasarkan pada penelitian kualitatif, yaitu jenis penelitian kepustakaan
yang sumber utamanya adalah buku, jurnal, dan artikel ilmiah lainnya. Data yang
terkumpul dianalisis menggunakan analisis isi untuk memudahkan penulis menyaring
gagasan pokok dari berbagai sumber yang ada. Penelitian ini ialah upaya untuk menggali
dan mengkaji secara kritis mengenai hakikat manusia dan pendidikan dalam perspektif
Islam. Kajian ini menggunakan pendekatan analisis filosofis yang berfungsi untuk
menganalisis isi melalui analisis lunguistik dan analisi konsep. Analisis linguistik penulis
gunakan untuk membantu menemukan makna yang tersirat dibalik fakta, sedangkan
analisis konsep membantu penulis untuk menemukan kata-kata yang dipandang penting
atau kunci yang memiliki gagasan.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pemikiran tentang hakikat manusia, sejak zaman dahulu kala sampai zaman modern
sekarang ini belum pernah berakhir dan tak akan pernah berakhir. Memikirkan dan
membicarakan tentang hakikat manusia inilah yang menyebabkan orang tidak henti-
hentinya berusaha mencari jawaban yang memuaskan tentang pertanyaan mendasar
mengenai manusia, yaitu apa, dari mana dan kemana manusia itu. Pembicaraan mengenai
apa manusia itu melahirkan adanya empat aliran, yaitu:
1. Aliran Serba Zat
Aliran ini dapat disebut juga aliran materealisme. Menurut aliran ini bahwa yang
sungguh-sungguh ada itu adalah zat atau materi. Zat atau materi itulah hakikat dari sesuatu.
Alam ini adalah zat atau materi, dan manusia itu adalah unsur dari alam. Oleh sebab itu
hakikat manusia adalah zat atau materi (Zuhairini, dkk.,1995: 71). Karena materi berada di
dunia, maka pandangan materialisme cenderung identik dengan sifat duniawi tidak percaya
pada sifat rohani.
Dalam kaitanya dengan pendidikan, aliran ini memandang manusia adalah sebagai
makhluk reaksi yang pola reaksinya dapat disimpulkan sebagai satu stimulus respon.
Implikasi dari teori ini dalam pendidikan, manusia hanya butuh pengalaman, latihan dan
tidak mengakui adanya potensi- potensi kreativitas dan inisiatif.

2. Aliran serba Ruh


Aliran ini disebut juga dengan aliran idealisme. Menurut aliran ini bahwa segala
hakikat sesuatu yang ada di di dunia ini adalah ruh. Juga hakikat manusia adalah ruh.

Hakikat Manusia dan Pendidikan dalam Perspektif Islam 96


JEM: Jurnal Edumatika (Jurnal Pendidikan Matematika dan Ilmu Matematika) dengan lisensi CC BY
Yahya, M., dkk. 1 (2) Januari 2025 94-106

Adapun zat itu adalah manifestasi dari ruh di atas dunia ini. Aliran ini menganggap bahwa
ruh itu adalah hakikat manusia, sedang badan hanyalah bayangan saja. Ruh adalah sesuatu
yang tidak menempatai ruang, sehingga tidak dapat disentuh dan dilihat oleh pancaindra,
sedangkan materi adalah penjelmaan ruh.
Dasar aliran ini adalah bahwa ruh itu lebih berharga, lebih tinggi nilainya daripada
badan atau materi. Sebagai contoh seseorang yang meninggal artinya ia tanpa ruh akan
dikatakan “Dia telah pergi, dia sudah tidak ada, dan lain sebagainya. Hubungannya dengan
aliran ini maka pendidikan harus dilaksanakan berdasarkan kodrat kebutuhan rohaniah,
terutama untuk membina rasio, perasaan, kemauan dan spirit (Mohammad Noor Syam,
1988).

3. Aliran Dualisme
Aliran ini mencoba mengawinkan kedua aliran tersebut di atas. Aliran ini
menganggap manusia itu pada hakikatnya terdiri dari dua substansi yaitu jasmani dan
rohani, badan dan ruh. Kedua substansi ini masing-masing merupakan unsur asal yang
adanya tidak tergantung pada yang lain. Jadi badan tidak berasal dari ruh juga sebaliknya
ruh tidak berasal dari badan. Hanya dalam perwujudannya, manusia itu serba dua, jasad
dan ruh, yang keduanya berintegrasi membentuk yang disebut manusia. Antara badan dan
ruh terjalin hubungan yang bersifat kausal, sebab akibat. Artinya antara keduanya saling
pengaruh mempengaruhi. Apa yang terjadi di satu pihak akan mempengaruhi di pihak yang
lain. Sebagai contoh orang yang cacat jasmaninya akan berpengaruh terhadap
perkembangan jiwanya. Sebaliknya, orang yang jiwanya cacat atau kacau, akan
berpengaruh pada fisiknya.

4. Aliran Eksistensialisme
Pembicaraan tentang hakikat manusia ternyata terus berkembang dan tak kunjung
berakhir. Orang belum merasa puas dengan pandangan- pandangan di atas, baik dari aliran
serba zat, serba ruh maupun aliran dualisme. Ahli-ahli filsafat modern dengan tekun
berpikir lebih lanjut tentang hakikat manusia mana yang merupakan eksistensi atau wujud
sesungguhnya dari manusia itu. Mereka yang memikirkan manusia dari segi eksistensinya
atau wujud manusia itu sesungguhnya, disebut dengan aliran eksistensialisme.
Mereka ini pada hakikatnya mengkaji manusia dari segi apa yang menguasai
manusia secara menyeluruh. Dengan demikian aliran ini memandang manusia secara
menyeluruh tentang cara beradanya manusia di dunia ini (Zuhairini, dkk., 1995). Mereka
dihadapkan pada persoalan-persoalan seperti “Sipakah saya?” dan “Apa makna eksistensi
itu?”. Tindakan kehidupan sehari-hari adalah sebuah proses perumusan esensinya. Setelah
ia mengalami hidup, ia membuat pilihan-pilihan dan mengembangkan kesenangan dan
ketidaksenangannya. Melalui tindakan ini ia merumuskan siapa dirinya sebagai seorang
individu. Lewat proses ini ia sampai pada kesadaran bahwa ia adalah apa yang ia pilih
untuk ada dan mempertanggungjawabkan pilihan-pilihannya. Manusia dihadapkan pada
realitas-realitas senyatanya dari kehidupan, kematian dan makna, dan ia mempunyai
kebebasan yang tak terucapkan untuk bertanggung jawab atas esensi dirinya (George R.
Knight, 2007).
Islam secara tegas menyatakan bahwa badan dan ruh adalah substansi alam,
sedangkan alam adalah makhluk dan keduanya diciptakan oleh Allah, dijelaskan bahwa
proses perkembangan dan pertumbuhan manusia menurut hukum alam material (Jalaluddin
dan Abdullah Idi, 1997). Jadi, manusia itu terdiri dari dua substansi yaitu materi yang
berasal dari bumi dan ruh yang berasal dari Tuhan. Maka hakikat manusia itu adalah ruh
itu, sedangkan jasadnya hanyalah alat yang digunakan oleh ruh untuk menjalani kehidupan
material di alam material yang bersifat sekunder dan ruh adalah yang primer, karena ruh
saja tanpa jasad yang material tidak dapat dinamakan manusia (Zuhairini, dkk., 1995).

Hakikat Manusia dan Pendidikan dalam Perspektif Islam 97


JEM: Jurnal Edumatika (Jurnal Pendidikan Matematika dan Ilmu Matematika) dengan lisensi CC BY
Yahya, M., dkk. 1 (2) Januari 2025 94-106

Adapun Hakikat penciptaan manusia adalah untuk beribadah kepada Allah


Subhanahu Wa Taala dengan ibadah yang sebenar-benarnya, tampa kesyirikan. Ketika
hidup didunia Islam mengajarkan lewat ayat-ayat al qur’an dan sunnah rasul-Nya agar kita
senantiasa menjaga lisan dengan hanya berkata yang baik-baik saja atau jika tidak mampu
sebaiknya bayak diam, hidup sederhana tidak hedon, berkata jujur jangan suka berbohong,
memiiki toleransi yang tinggi terhadap sesama. Al-Qur`an didalmnya juga tertuang
penjelasan mengenai manusia yaitu manusia sebagai makhluk yang berlapis-lapis yang
memiliki posisi yang penting dan terhormat. Bagaimanapun sebelum menganalisis terkait
dengan kedudukan, terlebih dahulu kita harus mengetahui tentang manusia dan keberadaan
dan tugasnya. Manusia memiliki tugas dan kewajiban yang diberikan Allah SWT sebagai
hamba dan khalifah di muka bumi, dalam hal ini harus berhubungan dengan sejarah dan
menghasilkan keinginan yang membuat mereka untuk berimajinasi dengan nilai-nilai
transendensi.
Manusia mempunyai kedudukan sebagai hamba dan khalifah yang di dalamnya
terdapat nilai-nilai ketuhanan sebagai hamba Allah di muka bumi. Setiap manusia memiliki
hubungan yang seimbang dan memiliki rasa tanggung jawab dan bekerja sama untuk
merawat bumi. Manusia dengan alam merupakan sarana untuk meningkatkan pengetahuan
dan rasa syukur terhadap apa yang telah diperoleh dan yang telah diberikan Allah SWT,
dan menjadikan alam sebagai sajadah atau tempat ibadah untuk mendekatkan diri kepada
sang pencipta (Sutoyo, A, 2008). Membahas tentang mansuia, di dalam Al-Qur’an terdapat
pada QS.al-Baqarah (2) ayat 30, dalam ayat ini menggambarkan percakapan atau dialog
antara Allah dan malaikat pada waktu Allah akan menciptakan Nabi Adam As: Ingatlah
ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan
seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan
(khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan
darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?
Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui
(Departemen Agama RI, 2014).
M. Quraish Shihab juga memberikan penejelasan terkait dengan kata khalifah yang
terdapat pada QS.al- Baqarah (2) ayat 30, Ia mengungkapkan bahwa kata khalifaf pada
dasarnya adalah yang menggantikan atau ada yang datang sesudah siapa yang datang.
Dengan demikian, sebagian orang memahami kata khalifah disini adalah orang yang
menggantikan Allah dalam menegakkan dan memutuskan sesuatu hal, bukan berarti dalam
hal ini Allah SWT tidak mampu atau memposisikan manusia sebagai Tuhan. Tidak!
Maksud dari hal terseburt Allah adalah untuk menguji manusia dengan memposisikan
manusia sebagai makhluk yang terhormat. Jadi Allah menciptakan manusia dan
memnberikan manusia dengan tugas sebagai kghalifah dan untuk megembankan perintah
sesuai dengan penjuk-Nya.
Hal tersebut memilki dua unsur yang berkaitan yaitu unsur internal atau unsur
horizontal artinya unsur yang mengarah dan yang berkaitan antara manusia, alam semesta
dan sesama manusia. Dalam hubungan horizontal ini mengacu pada hubungan antara
sesama manusia, dan alam semesta, bahwa Allah telah memberikan kehidupan di dunia
sehingga upaya dan semua dari upaya itu dijadikan sebagai ibadah kepada Allah, karena
Allah tidak melarang manusia untuk melakukan kegiatan dan tidak hanya mengejar akhirat
semata, namun antara dunia dan akhirat harus berjalan beriringan (Sutoyo, A, 2008).
Firman Allah dalam Surah Qashashas (28) ayat 77: Dan carilah pada apa yang telah
dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu
melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain)
sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan
di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan
(Departemen Agama RI, 2014). Dan unsur vertikal yang merupakan unsur yang berkaitan

Hakikat Manusia dan Pendidikan dalam Perspektif Islam 98


JEM: Jurnal Edumatika (Jurnal Pendidikan Matematika dan Ilmu Matematika) dengan lisensi CC BY
Yahya, M., dkk. 1 (2) Januari 2025 94-106

atau berhubungan dengan seperti menjalankan tugas sebagai khlaifah dan menjalankan
sesuia dengan apa yang telah diperintahkan.
Dalam konteks sebagai hamba Allah, manusia harus memahami betul terhadap status
dirinya sebagai hamba. Dalam hal ini menusia harus memposisikan dan menyadari bahwa
dirinya dimilki, tunduk dan patuh serta mengetahui bahwa dirinya hanyalah seorang hamba
yang menjalakan perintah yang diberikan Allah. Manusia sebagai hamba Allah adalah
tujuan utama Allah menciptakan manusia, maksud dari pernyataan tersebut ialah manusia
berkewajiban untuk menguraikan setiap usaha dan kegiatannya sebagai penyerahan diri
kepada Allah, melalui kegiatan untuk mengelolah alam semesta dengan potensi yang
dimilkinya. Hal tersebut dikuatkan dengan penjelasan di dalam QS. al-Dzariyat (51) ayat
56: Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahku
(mengabdi kepada-Ku).

Ada beberapa Dimensi Manusia Dalam Pandangan Islam:


1. Manusia Sebagai Hamba Allah (Abdi Allah)
Sebagai hamba Allah, manusia wajib mengabdi dan taat kepada Allah selaku
Pencipta karena adalah hak Allah untuk disembah dan tidak disekutukan.9 Bentuk
pengabdian manusia sebagai hamba Allah tidak terbatas hanya pada ucapan dan perbuatan
saja, melainkan juga harus dengan keikhlasan hati, seperti yang diperintahkan dalam surah
Bayyinah: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama yang lurus …,” (QS: 98:5).
Dalam surah adz- Dzariyat Allah menjelaskan: “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia,
melainkan supaya mereka menyembah Aku.” (QS: 51:56).
Dengan demikian manusia sebagai hamba Allah akan menjadi manusia yang taat, patuh
dan mampu melakoni perannya sebagai hamba yang hanya mengharapkan ridha Allah.

2. Manusia Sebagai al- Nas


Manusia, di dalam al- Qur’an juga disebut dengan al- nas. Konsep al- nas ini
cenderung mengacu pada status manusia dalam kaitannya dengan lingkungan masyarakat
di sekitarnya. Berdasarkan fitrahnya manusia memang makhluk sosial. Dalam hidupnya
manusia membutuhkan pasangan, dan memang diciptakan berpasang-pasangan seperti
dijelaskan dalam surah An- Nisa’, “Hai sekalian manusia, Bertaqwalah kepada Tuhan-mu
yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan
istirinya, dan dari pada keduanya Alah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan
yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah dengan (mempergunakan) namanya kamu
saling meminta satu sama lain dan peliharalah hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah
selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS: 4:1).
Selanjutnya dalam surah al- Hujurat dijelaskan: “Hai manusia sesungguhnya Kami
menciptakan kamu dari seorng laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya
yang paling mulia di antara kamu disisi Allah adalah yang paling taqwa di antara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS: 49:13).
Dari dalil di atas bisa dijelaskan bahwa manusia adalah makhluk sosial, yang dalam
hidupnya membutuhkan manusia dan hal lain di luar dirinya untuk mengembangkan
potensi yang ada dalam dirinya agar dapat menjadi bagian dari lingkungan soisal dan
masyarakatnya.

3. Manusia Sebagai Khalifah Allah


Hakikat manusia sebagai khalifah Allah di bumi dijelaskan dalam surah al- Baqarah
ayat 30: “Ingatlah ketika Tuhan-mu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku
hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: ”Mengapa Engkau

Hakikat Manusia dan Pendidikan dalam Perspektif Islam 99


JEM: Jurnal Edumatika (Jurnal Pendidikan Matematika dan Ilmu Matematika) dengan lisensi CC BY
Yahya, M., dkk. 1 (2) Januari 2025 94-106

hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji engkau dan
mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang kamu
tidak ketahui.” (QS: 2:30), dan surah Shad ayat 26, “Hai Daud, sesungguhnya Kami
menjadikan kamu khalifah (peguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan di antara
manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu. Karena ia akan
menyesatkan kamu dari jalan Allah. …” (QS: 38:26).
Dari kedua ayat di atas dapat dijelaskan bahwa sebutan khalifah itu merupakan
anugerah dari Allah kepada manusia, dan selanjutnya manusia diberikan beban untuk
menjalankan fungsi khalifah tersebut sebagai amanah yang harus dipertanggungjawabkan.
10 Sebagai khalifah di bumi manusia mempunyai wewenang untuk memanfaatkan alam
(bumi) ini untuk memenuhi Kebutuhan hidupnya sekaligus bertanggung jawab terhadap
kelestarian alam ini. seperti dijelaskan dalam surah al- Jumu’ah, “Maka apabila telah
selesai shalat, hendaklah kamu bertebaran di muka bumi ini dan carilah karunia Allah, dan
ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung.” (QS: 62:10), selanjutnya dalam surah
Al- Baqarah disebutkan: “Makan dan minumlah kamu dari rezeki yang telah diberikan
Allah kepadamu, dan janganlah kamu berbuat bencana di atas bumi.” (QS: 2:60).

4. Manusia Sebagai Bani Adam


Sebutan manusia sebagai bani Adam merujuk kepada berbagai keterangan dalam al-
Qur’an yang menjelaskan bahwa manusia adalah keturunan Adam dan bukan berasal dari
hasil evolusi dari makhluk lain seperti yang dikemukakan oleh Charles Darwin. Konsep
bani Adam mengacu pada penghormatan kepada nilai-nilai kemanusiaan. Konsep ini
menitikbertakan pembinaan hubungan persaudaraan antar sesama manusia dan
menyatakan bahwa semua manusia berasal dari keturunan yang sama. Dengan demikian
manusia dengan latar belakang sosia kultural, agama, bangsa dan bahasa yang berbeda
tetaplah bernilai sama, dan harus diperlakukan dengan sama. Dalam surah al- A’raf
dijelaskan: “Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian
untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian taqwa itulah yang
paling baik. Yang demikian itu adalah sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, semoga
mereka selalu ingat. Hai anak Adam janganlah kamu ditipu oleh syaitan sebagaimana ia
telah mengeluarkan kedua ibu bapamu dari surga, …” (QS : 7; 26-27).

5. Manusia Sebagai al- Insan


Manusia disebut al- insan dalam al- Qur’an mengacu pada potensi yang diberikan
Tuhan kepadanya. Potensi antara lain adalah kemampuan berbicara (QS: 55:4),
kemampuan menguasai ilmu pengetahuan melalui proses tertentu (QS: 6:4-5), dan lain-
lain. Namun selain memiliki potensi positif ini, manusia sebagai al- insan juga mempunyai
kecenderungan berprilaku negatif (lupa). Misalnya dijelaskan dalam surah Hud: “Dan jika
Kami rasakan kepada manusia suatu rahmat, kemudian rahmat itu kami cabut dari padanya,
pastilah ia menjadi putus asa lagi tidak berterima kasih.” (QS: 11:9).

6. Manusia Sebagai Makhluk Biologis (al- Basyar)


Hasan Langgulung mengatakan bahwa sebagai makhluk biologis manusia terdiri
atas unsur materi, sehingga memiliki bentuk fisik berupa tubuh kasar (ragawi). Dengan
kata lain manusia adalah makhluk jasmaniah yang secara umum terikat kepada kaedah
umum makhluk biologis seperti berkembang biak, mengalami fase pertumbuhan dan
perkembangan, serta memerlukan makanan untuk hidup, dan pada akhirnya mengalami
kematian. Dalam al- Qur’an surah al- Mu’minūn dijelaskan: “Dan sesungguhnya Kami
telah menciptakan manusia dari sari pati tanah. Lalu Kami jadikan saripati itu air mani yang
disimpan dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal

Hakikat Manusia dan Pendidikan dalam Perspektif Islam 100


JEM: Jurnal Edumatika (Jurnal Pendidikan Matematika dan Ilmu Matematika) dengan lisensi CC BY
Yahya, M., dkk. 1 (2) Januari 2025 94-106

darah, lalu menjadi segumpal daging, dan segumpal daging itu kemudian Kami jadikan
tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami
jadikan dia makhluk berbentuk lain, maka Maha Sucilah Allah, Pencipta yang paling baik.”
(QS: 23:12-14).
Manusia merupakan makhluk Allah yang unik serta unggul di bandingkan dengan
makhluk lainnya. penciptaan manusia bukan hanya sebagai pelengkap atau kebetulan saja,
melainkan tugas utama diciptakan manusia adalah untuk menyembah sang khalik-Nya.
Selain itu, manusia diciptakan untuk mengolah serta memanfaatkan kekayaan alam dan
isinya yang ada di dunia, agar manusia hidup makmur dan sejahtera.Manusia diciptakan
meliputi unsur jasad (materi) dan ruh (immateri). Keduanya saling keterkaitan dan tidak
mungkin dipisahkan antar satu sama lain dan kemudian Allah berikan potensi.
Pendidikan itu sendiri secara praktis memainkan peran utama dalam perubahan
keberadaan atau kehidupan manusia. Sedikit menyinggung rangkaian pengalaman umat
manusia, tentu sangat terlihat perkembangan yang terjadi pada manusia. Potensi manusia
berupa akal yang baik digunakan untuk berpikir, bernalar dan memecahkan suatu masalah
dalam kehidupan, tentunya membuat manusia untuk membuat dan menemukan solusi yang
tepat dalam menangani masalah tersebut. Hal ini merupakan indikasi yang nyata dari akal
manusia dalam memperoleh informasi setiap saat, manusia memiliki komponen yang tepat
dalam memperoleh informasi dari seseorang seseorang yang digunakan sebagai sumber
perspektif informasi kepada masyarakat luas khususnya sistem pendidikan. Pendidikan
berarti bimbingan manusia dewasa kepada anak- anak, orang-orang yang lebih tua kepada
yang lebih muda dan sebaliknya untuk dapat memberikan arahan, pengajaran, peningkatan
moral dan pelatihan intelektual sesama manusia baik itu secara individu dan kelompok
(Ayu Lika Rahmadani & Ghufran Hasyim Achmad, 2022).
Pendidikan Islam dalam merumuskan teori harus berdasarkan konsep hakikat
tentang manusia. Hal ini penting dalam pendidikan islam, karena jika belum jelas tentang
hakikat manusia, pendidikan islam tidak ada arah tujuannya. Bahkan pendidikan Islam
tidak bisa dipahami secara sempurna sebelum memahami hakikat manusia terlebih
dahulu.Jika pendidikan Islam menekankan pada pembentukan pribadi manusia yang
beribadah, berakhlakul karimah.Maka yang terbentuk adalah manusia yang taat beribadah
dan mengabaikan kemajuan dan ilmu teknologi. Begitu juga sebaliknya, jika pendidikan
Islam memfokuskan pembentukan khalifah, bisa menguasai ilmu pengetahuan, namun
tidak mengibangi dengan fungsi sebagai hamba Allah, maka manusia bisa pandai dalam
hal ilmu pengetahuan tetapi dia lupa akan fungsinya sebagai hamba Allah yaitu mengabdi
kepada Allah.
Implikasi penting konsep tersebut sebagai berikut: pertama, hakikat manusia terdiri
dari unsur materi dan immateri. Maka pendidikan islam harus dibangun pada
pengembangan pendidikan qalbiah dan aqliah sehingga bisa melahirkan makhluk pintar
secara intelektual dan terpuji secara perilaku atau moral. Kedua, Al- Qur’an sudah
menyebutkan fungsi penciptaan manusia sebagai khalifah. Dalam hal ini maka pendidikan
Islam harus melakukan suatu usaha pengembangan potensi secara maksimal. Ketiga,
pendidikan Islam harus menjadi sarana bagi proses transformasi ilmu dan budaya (Miftah
Syarif, 2017).
Para pakar pendidikan Islam sepakat bahwa teori kependidikan Islam harus
didasarkan pada konsepsi dasar tentang manusia. Pembicaraan yang berkaitan dengan hal
ini dirasakan sangat mendasar dan perlu dijadikan pijakan dalam melakukan aktivitas
pendidikan. Tanpa adanya kejelasan mengenai konsep manusia, pendidikan Islam akan
berjalan tanpa arah yang jelas, bahkan pendidikan Islam tidak akan dapat dipahami secara
jelas tanpa terlebih dahulu memahami hakikat manusia seutuhnya (Ali Ashraf, 1989).

Pendidikan Islam berpandangan bahwa pada dasarnya potensi dasar manusia adalah

Hakikat Manusia dan Pendidikan dalam Perspektif Islam 101


JEM: Jurnal Edumatika (Jurnal Pendidikan Matematika dan Ilmu Matematika) dengan lisensi CC BY
Yahya, M., dkk. 1 (2) Januari 2025 94-106

baik dan sekaligus juga buruk. Potensi manusia dalam pandangan pendidikan Islam
beragam jenisnya, berupa fitrah, ruh, dan kalbu adalah baik. Sementara potensi yang berupa
akal adalah netral dan yang berbentuk nafsu dan jasad bersifat buruk (Baharudin, 2005).
Berdasarkan pandangan di atas, berikut ini akan dijelaskan implikasi potensi dasar
manusia dalam Proses pendidikan Islam.
a. Implikasi Potensi Jasmani (fisik) dalam Proses Pendidikan Islam Aspek jasmani (fisik)
merupakan sesuatu yang hakiki untuk manusia.
Hal ini menunjukkan bahwa dalam pendidikan Islam jasmani adalah bagianpenting
dalam proses pendidikan manusia untuk menjadi pribadi yang utuh. Perhatian pendidikan
Islam pada aspek jasmani ini membawa dampak bahwa dalam proses belajar mengajar dan
mencari pengetahuan, pancaindra perlu dilatih untuk peka, teliti dan terintegrasi dengan
kegiatan akal budi. Penghargaan terhadap pentingnya jasmani mengakibatkan penghargaan
terhadap pekerjaan tangan sebagai bagian integral dari pendidikan Islam.
Aspek jasmani harus dikembangkan menjadi manusia yang memiliki jasmani yang
sehat dan kuat serta berketerampilan melalui pendidikan Islam. Jasmani yang sehat dan
kuat akan berkaitan dengan pola manusia mencari rizki dan keterampilannya mencari rizki
dengan jalan yang halal dalam kehidupan ini. Fisik jasmani ini berkaitan dengan jasad-
jasad indrawi manusia yang bisa melihat, mendengar, serta mampu berbuat secara lahiriah
(Abdullah, A, 2002).
Dimensi kejasmaniaan sangat penting diperhatikan agar proses belajar mengajar dan
mencari pengetahuan, pancaindra perlu dilatih untuk bisa digunakan secara seksama. Daya
observasi atau pengamatan inderawi kita perlu dilatih untuk jadi peka, teliti, dan
terintegrasi dengan kegiatan budi. Kalau ini terjadi, maka pengamatan inderawi akan
menjadikan sentral yang menjadi awal dan operator untuk pengetahuan akal budi.
Dalam proses kependidikan, penghargaan terhadap pentingnya badan juga perlu
dilakukan pada penghargaan terhadap pekerjaan tangan sebagai bagian integral dari
pendidikan. Peserta didik perlu dilatih dan dikembangkan keterampilannya untuk
melakukan pekerjaan tangan. Kegiatan prakarya merupakan bagian yang signifikan dari
kegiatan pendidikan. Sikap priyayi yang cenderung merendahkan nilai pekerjaan tangan
sebagai pekerjaan kasar merupakan suatu sikap yang masih ada dalam masyarakat kita
dewasa ini, harus digugat kembali (Ismail Thoib, 2008).

b. Implikasi Potensi Ruhani Manusia dalam Proses Pendidikan Islam Ruhani adalah
aspek manusia yang bersifat spiritual dan trasendental.
Potensi ruhani yang dimiliki manusia memiliki kecenderungan-kecenderungan
tertentu. Oleh karena itu, tugas pendidikan Islam adalah melestarikan, serta
menyempurnakan kecenderungan-kecenderungan yang baik dan menggantikan atau
mengendalikan kecenderungan-kecenderungan jahat menuju kecenderungan-
kecenderungan positif.
1) Dimensi al-Nafsu
Nafsiah dalam diri manusia memiliki beberapa dimensi diantaranya adalah dimensi
al-Nafsu. Dimensi al-Nafsu adalah termasuk salah satu potensi yang dimiliki manusia dan
berimplikasi dalam proses pendidikan Islam yang harus ditumbuhkembangkan. Agar
potensi tersebut dapat ditumbuhkembangkan dan diaktualisasikan dengan baik, maka perlu
adanya upaya melaksanakan pendidikan Islam sebaik-baiknya dengan cara sebagai berikut:
a) Mengembakan nafsu peserta didik pada aktivitas yang positif, misalnya nafsu agresif,
yaitu dengan memberikan sejumlah tugas harian yang dapat memperoleh kesempatan
berbuat yang berguna.
b) Menanamkan rasa keimanan yang kuat dan kokoh. Sehingga dimanapun berada,
peserta didik tetap dapat menjaga diri dari perbuatan amoral.
c) Menghindarkan diri dari pendidikan yang bercorak materialistik, karena nafsu

Hakikat Manusia dan Pendidikan dalam Perspektif Islam 102


JEM: Jurnal Edumatika (Jurnal Pendidikan Matematika dan Ilmu Matematika) dengan lisensi CC BY
Yahya, M., dkk. 1 (2) Januari 2025 94-106

mempunyai kecenderungan serba kenikmatan tanpa mempertimbangkan potensi


lainnya. Dengan demikian, dalam diri peserta didik, terbentuk dengan sendirinya suatu
kepribadiaan yang Islami, atau setidak-tidaknya dapat mengurangi dorongan nafsu
serakah.

2) Dimensi al-Aql
Potensi akal merupakan karunia Allah untuk mengetahui hakikat segala sesuatu,
maka upaya pendidikan Islam dalam mengembangkan potensi akal adalah sebagai berikut:
a) Membawa dan mengajak peserta didik untuk menguak hukum alam dengan dasar dan
teori serta hipotesis ilmiah melalui kekuatan akal pikiran.
b) Mengajar peserta didik untuk memikirkan ciptaan Allah sehingga memperoleh
kekuatan untuk membuat kesimpulan bahwa alam diciptakan dengan tidak sia-sia.
c) Mengenalkan peserta didik dengan materi logika, filsafat, matematika, kimia, fisika
dan sebagainya serta materi-materi yang dapat menumbuhkan daya kreativitas dan
produktivitas daya nalar.
d) Memberikan ilmu pengetahuan menurut kadar kemampuan akalnya dengan cara
memberikan materi yang lebih mudah dahulu lalu beranjak pada materi yang sulit, dari
yang konkret menuju abstrak.
e) Melandasi pengetahuan aqliah dengan jiwa agama dalam arti peserta didik dibiasakan
untuk menggunakan kemapuan akalnya semaksimal mungkin sebagai upaya ijtihad
dan bila ternyata akal belum mampu memberikan konklusi tentang suatu masalah,
masalah tersebut dikembalikan kepada wahyu.
f) Berusaha mencetak peserta didik untuk menjadi seseorang yang berpredikat “ulul
albab” yaitu seorang muslim yang cendikiawan dan muslim intelektual dengan cara
melatih daya intelek, daya pikir dan daya nalar serta memiliki keterikatan moral,
memiliki komitmen sosial dan melaksanakan sesuatu dengan cara yang baik
(Muhaimin dan Abdul Mujib, 1993).

3) Dimensi al-Qalb
Al-Qalb adalah pusat aktivitas manusia sesuai yang diperintahkan oleh Allah. Qalb
berperan sebagai sentral kebaikan dan kejahatan manusia, walaupun pada hakikatnya
cenderung kepada kebaikan. Sentral aktivitas manusia bukan ditentukan oleh badan yang
sehat. Upaya-upaya yang harus dilakukan dalam pendidikan al-Qalb adalah:
a) Teknis pendidikan diarahkan agar menyentuh dan merasuk dalam kalbu dan dapat
memberikan bekas yang positif, misalnya dengan menggunakan cara yang lazim
digunakan Rasulullah SAW dalam berdakwah yang didalam dirinya tercermin sifat
lemah lembut, penuh kasih sayang dan tidak kasar (QS. 3: 159).
b) Materi pendidikan Islam tidak hanya berisikan materi yang dapat mengembangkan
daya intelek peserta didik tetapi lebih dari itu, juga berisi materi yang dapat
mengembangkan daya intuisi atau daya perasaan sehingga bentuk pendidikan Islam
diarahkan pada pengembangan daya pikir dan dzikir.
c) Aspek moralitas dalam pendidikan Islam tetap dikembangkan karena aspek ini dapat
menyuburkan perkembangan qalb. Dengan demikian, akan terbentuk suatu tingkah
laku yang baik bagi anak.
d) Proses pendidikan Islam dilakukan dengan cara membiasakan peserta didik untuk
berkepribadian utuh, dengan cara menyadarkan akan peraturan atau rasa hormat
terhadap peraturan yang berlaku serta melaksanakan peraturan tersebut (Muhaimin dan
Abdul Mujib, 1993).

4) Dimensi al-Ruh

Hakikat Manusia dan Pendidikan dalam Perspektif Islam 103


JEM: Jurnal Edumatika (Jurnal Pendidikan Matematika dan Ilmu Matematika) dengan lisensi CC BY
Yahya, M., dkk. 1 (2) Januari 2025 94-106

Al-Ruh (ruh) merupakan amanah Allah yang diberikan kepada manusia.


Selanjutnya, tugas manusia untuk memelihara dan mengembangkan ruhani manusia
tersebut dengan berbagai pendidikan ruhaniah. Pendidikan ruhaniah adalah pendidikan
yang dapat memenuhi ruhaniah sebagai substansi manusia, agar manusia senantiasa berada
di jalan Allah. Pendidikan ruhani juga dapat mengantarkan manusia pada kesucian di
hadapan Allah. Jalan yang harus ditempuh pendidikan ruhani adalah sebagai berikut:
a) Memberikan pendidikan Islam untuk mengenalAllah SWT. Dengan berbagai
pendekatan dan dimensi.
b) Kurikulum pendidikan Islam ditetapkan dengan mengacu pada petunjuk Allah yang
tertuang dalam Al-Qur‘an dan As-Sunnah, sehingga wahyu merupakan sumber utama
kurikulum pendidikan Islam.
c) Karena manusia ciptaan Allah yang terbesar dan diberikan berbagai potensi ruhaniah,
dan juga atribut baik, mengenal dan memahami tujuan Allah menciptakannya, serta
melaksanakan tugasnya sebagai hamba dan khalifah Allah. Tugas itu pada akhirnya
dibebankan pada pendidikan dan bagaimana pendidikan Islam dapat menciptakan
manusia ke arah yang mampu melaksanakan tugasnya.
d) Pendidikan tidak akan berakhir sampai usia kapanpun, tetapi berakhir setelah ruh
meninggalkan jasad manusia. Untuk itu, pendidikan diarahkan pada pendidikan
seumur hidup (Muhaimin dan Abdul Mujib, 1993).

Manusia tidak hanya sebagai makhluk yang berbadan tetapi juga berjiwa. Maka dari
itu, dalam ranah pendidikan kita perlu mengusahakan agar peserta didik dapat
mengembangkan kecakapan-kecakapan emosionalnya: cipta, rasa, dan karsa; sadar,
mengerti, merasa, dan menghendaki, tetapi juga menjadi mampu mencintai sesama dan
berbakti kepada Allah. Bermodal kecakapan- kecakapan seperti ini, manusia mampu
melakukan karya atau kegiatan-kegitan yang mengatasi makhluk-makhluk yang lainnya,
seperti kegiatan berbahasa baik lisan maupun tertulis, berhitung, berkesenian, berilmu,
bekerja, beriman, dan bertakwa kepada Allah. Kemampuan-kemampuan tersebut mesti
diperhatikan dan ditumbuhkembangkan dalam pendidikan.
Sebagai makhluk jasmani, manusia tidak akan lepas dari dorongan- dorongan
naluriah dan nafsu-nafsu. Namun karena manusia adalah sekaligus juga makhluk ruhaniah,
maka dorongan-dorongan tersebut biasa diatur dan dikuasai oleh daya-daya jiwa. Di sini
terletak pentingnya penanaman disiplin dalam pendidikan yang dilakukan secara teratur
dan objektif. Dalam pendidikan, peserta didik perlu diberi pengertian dan pencerahan agar
keberadaannya ditegakkan di atas bimbingan dan pengaturan akal budinya. Itu berarti, ia
tidak membiarkan dirinya dikuasai oleh nafsu, perasaan, dan emosinya yang buta. Dalam
kaitannya dengan ini, pendidikan budi pekerti dalam bentuk pendidikan moral dan agama
merupakan bagian penting dalam suatu kegiatan Pendidikan.

KESIMPULAN DAN SARAN


Peran guru profesional di Indonesia perlu mengikuti beberapa tahapan melalui
Dalam Islam Manusia meliputi unsur Jasad (materi) dan Ruh (immateri). Al- Qur’an
menyebutkan dalam berbagai istilah seperti Al-Basyar, Al- Insan, Al-Nas, Bani Adam, dan
Al- Ins. Penamaan tersebut merujuk pada tanggung yang seharusnya dipikul manusia.
Manusia sebagai makhluk individu konsep setiap manusia itu unik dan berbeda- beda. Hal
ini dikarenakan bakat dan potensi yang dimilikinya sejak lahir. Manusia sebagai makhluk
sosial selalu memerlukan satu sama lain. Karena semua manusia cenderung berkomunikasi,
berinteraksi, dan bersosialisasi sesamanya. Implikasinya, pendidikan islam harus dibangun
dasar pengembangan pendidikan qalbiah dan aqliah sehingga bisa menjadikan manusia
pintar secara intelektual dan terpuji secara perilaku atau moral, pendidikan Islam

Hakikat Manusia dan Pendidikan dalam Perspektif Islam 104


JEM: Jurnal Edumatika (Jurnal Pendidikan Matematika dan Ilmu Matematika) dengan lisensi CC BY
Yahya, M., dkk. 1 (2) Januari 2025 94-106

melakukan usaha dalam pengembangan potensi manusia.Manusia pada hakikatnya adalah


makhluk yang terdiri dari unsur jasmani dan ruhani. Manusia lahir dengan membawa
potensi fitrah. Potensi-potensi yang dimiliki oleh manusia tersebut dapat dikembangkan
dengan baik dan produktif melalui proses pendidikan. Selain itu, manusia dalam
pertumbuhan dan perkembangannya juga dipengaruhi oleh faktor-faktor hereditas dan
lingkungan.
Proses pendidikan Islam berusaha mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki
oleh manusia secara keseluruhan dan berusaha untuk mengembangkannnya dengan sebaik
mungkin tanpa ada yang terabaikan sedikitpun. Dengan demikian Proses pendidikan Islam
yang dijalankan diharapkan mampu mengembangkan potensi-potensi yang ada dalam diri
manusia sehingga lahirlah manusia yang berkepribadian Muslim dan Manusia yang selalu
menghambakan dirinya kepada Allah SWT.

DAFTAR RUJUKAN
A. Kholil. (2006). Manusia Di Muka Cermin Ibn. Arabi (Memahami Hakikat Manusia
Dengan Kacamata.Ibn Arabi). Jurnal El-Harakah, 8(3).

Abdullah, Abdurrahman. (2002). Aktualisasi Konsep Dasar Pendidikan Islami, Kontruksi


Pemikiran dalam Tinjauan Filsafat Pendidikan Islam. Yogayakarata: UII Press.

Alimatus Sa’diyah Alim. (2019). Hakikat Manusia, Aalam Semesta, dan Masyarakat
Dalam Konteks Pendidikan islam. Jurnal Penelitian Keislaman, 15(2), 144–160.

Anas, Fathul. (2010). The Miracle of Quranic Motivation Intisari 114 surat
Inspriratif dalam al- Qur’an. Yogyakarta: Citra Risalah.

Anwar Sutoyo. (2008). Manusia Dalam Perspektif Alqur`an. Pustaka Pelajar.

Arifin, M. (1994). Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.

Ashraf, Ali. ( 1989). Horison Baru Pendidikan Islam. Jakarta: Pustaka Progresif.

Ayu Lika Rahmadani & Ghufran Hasyim Achmad. (2022). Pemikiran Pendidikan Ikhwan
Al-Shafa Tentang Religius-Rasional dan Relevansi di Era Modern. Edukatif:
Jurnal Ilmu Pendidikan, 4(2), 1804–1814.

Baharudin. 2005. Aktualisasi Psikologi Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Desmit. (2007). Psikologi Perkembangan. Bandung: Rosda Karya.

Djamarah, Syaiful Bahri. (2010). Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Educatif
Suatu pendekatan Psikologis. Jakarta: Rineka Cipta.

Drijarkara. (1978). Percikan Filsafat, Semarang: Kanisius.

Jalaluddin dan Abdullah Idi. (1997). Filsafat Pendidikan Manusia, Filsafat dan Pendidikan.
Jakarta: Gaya Media Pratama.

Khobir, Abdul. (1997). Filsafat Pendidikan Islam (Landasan Teoritis dan Praktis).
Pekalongan: STAIN Pekalongan Press.

Hakikat Manusia dan Pendidikan dalam Perspektif Islam 105


JEM: Jurnal Edumatika (Jurnal Pendidikan Matematika dan Ilmu Matematika) dengan lisensi CC BY
Yahya, M., dkk. 1 (2) Januari 2025 94-106

Khobir, Abdul. (2010). Hakikat Manusia dan Implikasinya dalam Proses


PendidikanHakikat Manusia dan Implikasinya dalam Proses Pendidikan. Forum
Tarbiyah, 8(1), 3.

Hakikat Manusia dan Pendidikan dalam Perspektif Islam 106


JEM: Jurnal Edumatika (Jurnal Pendidikan Matematika dan Ilmu Matematika) dengan lisensi CC BY

Anda mungkin juga menyukai