Filsafat Manusia - KE 4 DAN 5
Filsafat Manusia - KE 4 DAN 5
FILSAFAT MANUSIA
4 Hal ini seiring dengan pengertian harafiah dari kata individu itu sendiri. Kata individu berasal dari bahasa
Latin yang terdari dari dua kata, yakni in, artinya tidak, dan divider artinya membagi. Kata individu secara
harafiah berarti tidak terbagikan. Bagi manusia pengertian ini dikaitkan dengan kesatuan badan dan jiwa. Dengan
kata lain, individualitas mengandung arti keutuhan diri.
Untuk tuntutan ini seorang pemain harus mempelajari lebih dahulu watak dari tokoh
5
yang ingin dimainkan. Ia bahkan harus bisa “menjadi” diri tokoh yang dilakonkan.
Dalam perkembangan selanjutnya, “persona” tidak lagi dimengerti sebagai sebuah
topeng, melainkan kualitas-kualitas pribadi yang ada dalam diri seseorang. Dengan
demikian, arti “persona” tidak lagi menunjuk pada topeng, melainkan pada makna
yang ada dibaliknya, yakni jati diri.
Dalam kaidah psikologi, kata persona dikaitkan dengan penjelasan yang dibuat
oleh Carl Jung, yakni : “social face the individual presented to the world – a kind of
mask, designed on the hand to make a definite impression upon others, and on the
other to conceal the true nature of the individual” ( wajah yang ditampilkan oleh
seseorang kepada dunia, atau dalam pengertian yang lebih kompleks dapat juga
dikatan sebagai topeng yang dibuat oleh seseorang tersebut untuk memberi kesan
kepribadiaan tertentu pada sekitar, atua menyembunyikan sifat asli orang tersebut
dari dunia). Setiap orang di dunia ini hanya menampilkan sebagian dari kepribadiaan
aslinya, sebagian lain tersembunyi dalam topeng, sehingga mungkin tak ada
seorangpun yang tahu. Pembentukan persona dimulai sejak kecil, saat seorang anak
mulai belajar membentuk kepribadiaannya, dan belajar menjadi seseorang yang
diterima oleh sekitarnya, kemudiaan seseorang akan belajar untuk membuat suatu
lambing identitas tertentu yang sesuai dengan personanya
Dalam filsafat manusia pribadi dihubungkan dengan keunikan seseorang. Setiap
orang adalah unik. Ia unik karena ia tidak ada duanya. Kalau ini benar, pertanyaan
berikut tentunya bisa dimunculkan, bagaimana dengan anak yang kembar? Apakah
keduanya sungguh-sungguh berbeda? Jawabnya secara substansial adalah “ya”.
Kendati secara fisik, wajah keduanya mirip dan mereka sering menginginkan hal-hal
yang sama, misanya pakaian berwarna dan bermodel yang sama, namun masing-
masing memiliki kepribadiaan yang unik. Mereka memiliki cara yang berbeda dalam
menjalani hidup. Karena itu, keduanya tidak pernah identik.
Dalam butir sebelumnya sudah sedikit disinggung bahwa sebagai individu,
manusia adalah makhluk yang utuh. Dengan pengertian seperti ini, maka
5 Bdk. Film Persona. Film ini mengisahkan bagaimana pengaruh negatif topeng bagi kaum remaja di Jepang.
Digambarkan dalam film itu bahwa anak-anak muda menggunakan topeng untuk menutupi segala kenakalannya
serta masalah yang dialaminya dalam keluarga. Ketika penggunaan topeng dilarang di sekolah, para siswa yang
menggenakan topeng melakukan bunuh diri. Bunuh diri ini dilakukan karena eksistensi mereka tidak diberi ruang
gerak dan tidak diakui oleh pihak sekolah dan murid-murid yang lain. Film ini berakhir dengan keberhasilan
seoran gadis bernama Yukie untuk membongkar siapa pembuat topeng dan maksud penggunaannya.
individualitas seseorang tidak terpisah dari persona. Dengan kata lain, persona dan
individualitas mengandung makna yang sama, yakni keutuhan. Manusia menjadi
pribadi atau individu karena jiwa dan badannya bersatu. Ia adalah jiwa yang
berbadan atau badan yang berjiwa.
Seperti sudah dikatakan bahwa unsur rohani merupakan sumber keunikan
manusia. Dalam arti ini, kerohaniaan memiliki arti penting, karena unsur ini
memperkaya setiap pribadi sekaligus membuat setiap pribadi unik. Karena dimensi
rohani inilah, maka setiap pribadi mampu menentukan pilihan yang berbeda, memiliki
watak yang berlainan, serta menghasilkan ide-ide dan pikiran yang mengagumkan.
Kerohanian ini pula membuat manusia mampu berkreasi dan berprestasi serta
menghasilkan hal-hal baru dan berbeda sama sekali. Jadi, pribadi manusia berakar
pada keunikannya. Dengan alasan ini, maka manusia tidak bisa diurutkan dalam
bentuk nomor-nomor seperti dilakukan pada makhluk infrahuman. Ia juga tidak
pernah boleh dikotak-kotakkan. Kendati manusia secara fisik merupakan spesies yang
sama, namun secara pribadi dan individual, ia tetap serba berbeda. Dan dimensi
rohani menjadi dasar dari keunikan itu.
Sebagai pribadi, hidup manusia bersifat dinamis. Sifat dinamis ini membuat
manusia berkembang terus-menerus. Hidup manusia tidak bersifat statis, melainkan
berproses. Selain dasar terhadap perkembangan, sifat dinamis itu membuat manusia
berbeda satu sama lain. Persona dan individualitas setiap orang adalah unik. Dengan
karakter dinamis sebagai bagian dari hakikat manusia, maka ada tuntutan untuk
membiarkan proses perkembangan setiap individu terjadi dan mengakui keunikan
setiap pribadi. Dengan kata lain, menghentikan perkembangan setiap pribadi dan
menyangkal keunikan masing-masing pribadi adalah tindakan yang bertentangan
dengan hakikat manusia yang unik.
b) Tiga Pandangan
Pandangan Ontologis
Untuk menambah cara pandang kita tentang pribadi baiklah kita
menyinggung berbagai pendekatan yang digunakan untuk menjelaskan
personalitas manusia. Baptista Mondin mengelompokkan tiga pendekatan
yang pada umumnya dipakai untuk tujuan tersebut, yakni pendekatan
ontologisme, pendekatan psikologis, dan pendekatan dialogis.
Dalam pandangan ontologis, tekanan manusia sebagai pribadi diletakkan
pada rasionalitas dan individualitas. Artinya, manusia dilihat sebagai makhluk
yang rasional dan bersifat individual. Dengan demikian, substansi manusia
dipandang dalam dua hal, yaitu pertama, manusia adalah makhluk yang
berpikir (animal rationale); dan kedua, manusia memiliki kodrat sebagai
individu. Jadi, substansi persona manusia ada pada akal budi dan
individualitas.
Para filsuf seperti Anicius Severinus Manlius Boethius (480-524), dan Thomas
Aquinas (1225-1274) mengaitkan hakikat pribadi pada dua elemen di atas.
Severinus Boethius dengan jelas menunjukkan hakikat manusia itu dalam
definisinya yang bertuliskan, “persona est rationalis naturae individual
substantia”. Dalam ungkapan ini kepribadiaan manusia diletakkan pada
kodratnya sebagai individu dan makhluk berpikir.
Thomas Aquinas, seorang filsuf sekaligus teolog Kristiani pada abad
pertengahan mengembangkan pandangan Boethius. Bagi Thomas Aquinas,
pribadi adalah manusia yang nyata dan individual dalam segala keunikannya,
serta yang tidak bisa terulang dalam dirinya. Pribadi adalah totalitas dari
eksistensi individu. Sementara kodrat memiliki cakupan yang lebih sempit dari
pribadi. Kodrat merupakan bagian dari pribadi. Kualitas pribadi ditentukan
oleh tindakan sebagai makhluk ciptaan. Lebih lanjut, Thomas Aquinas
menambahkan bahwa kualitas tindakan manusia sebagia pribadi terletak
dalam cara-cara hidup di tengah masyarakat. Itu berarti bagi filsuf dan
sekaligus teolog ini, pemaknaan pribadi berkaitan dengan bagaimana seorang
individu bertindak dalam kehidupan yang nyata. Jadi, aktualitasasi diri di
tengah komunitas merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari hidup
seorang pribadi. Cara berada berkaitan dengan cara bertindak. Karena itu,
menurut Thomas Aquinas, setiap pribadi hanya mengungkapkan diri melalui
perbuatan konkret (the act of being).
Pandangan Psikologis
Pendekatan psikologis meletakkan pribadi manusia pada aspek psikis. Fokus
perhatian psikologi adalah emosi dan afeksi. Ini berbeda dengan pandangan
ontologis. Kalau pandangan ontologis meletakkan inti pribadi manusia pada
esensi dan eksistensinya, yakni kodrat rasio serta keunikan dan kebebasan,
sedangkan psikologi meletakkan pribadi manusia pada kejiwaan. Pintu bagi
pemahaman psikologis dibukakan oleh Rene Descartes (1596-1650).
Ungkapan yang terkenal dari tokoh ini adalah “ cogito ergo sum”, artinya,
saya berpikir, maka saya ada”. Dalam ungkapan ini konsep persona
diletakkan pada animus atau jiwa. Jaminan tentang keberadaan manusia ada
pada kejiwaannya.
Seorang pemikir yang sangat berpengaruh serta pemikirannya disebut
revolusioner dalam psikologi adalah Sigmund Freud (1856-1938). Melalui teori
psikoanalisanya Freud memetakan manusia dalam tiga bagian, yaitu
6
superego, ego dan Id. Freud menyatakan bahwa kepribadiaan manusia
sangat tergantung pada alam bawah sadar ( Id), bukan pada kesadaran
sebagaimana dikatakan oleh Aristoteles dan Rene Descartes. Alam bawah
sadar memiliki porsi yang jauh lebih besar dibandingkan dengan alam sadar.
Dengan pendekatan psikoanalisanya, Freud mengafirmasikan bahwa untuk
memahami pribadi manusia secara memadai wilayah alam bawah sadar perlu
diperhatikan, karena alam ini turut membentuk perilaku manusia.
Pengalaman masa lalu dan naluri-naluri manusia merupakan perwujudan dari
alam bawah sadar itu. Dengan itu, Freud ingin menegaskan bahwa manusia
bukan hanya memiliki pikiran, melainkan juga memiliki insting.
Dalam bidang filsafat, Freud memberikan paradigm baru bagi masyarakat
modern tentang keakuan. Paradigma keakuan yang baru itu dapat
dirumuskan dengan kalimat berikut, “Aku bukan hanya aku yang sadar, tetapi
juga aku adalah aku yang dikuasai alam bawah sadar.” Pemikiran Freud ini
menambah pemahaman yang lebih kaya tentang pribadi, yakni eksistensi
manusia tidak saja berkaitan dengan kesadaran, melainkan juga berkaitan
dengan dunia alam bawah sadar. Gagasan Freud ini sebagaimana diakui oleh
John W.M. Verhaar, memberikan empat gagasan berikut ini, yakni Pertama,
adanya dalam setiap orang suatu pusat kepribadiaan yang disebabkan “aku”
dan yang dianggap sebagai sesuatu yang positif untuk keseimbangan psikis;
6 Tiga struktur kepribadiaan manusia menurut Sigmund Freud dijelaskan sebagai berikut : (1) Id yang
berfungsi untuk menggerakkan seseorang untuk memuaskan kebutuhannya; (2) Ego berfungsi untuk
menjembatani antara keinginan id dg lingkungan yang realistis; (3)Super ego berfungsi untuk mengawasi
dan mengontrol tingkah laku seseorang agar sesuai dengan aturan dan nilai-nilai moral.
Kedua, adanya lebih dari satu “instansi identitas”; dari instansi tersebut,
hanya akulah yang dianggap positif; Ketiga, identitas manusia dengan aku
sebagai salah satu instansi daripadanya berkembang menurut “ genetic
individual”, menurut hokum-hukum perkembangan umum; Keempat,
hubungan orang dengan sesama dapat menyebabkan adanya kekacauan
antara identitas dirinya sendiri dan identitas sesama, sehingga dapat
menimbulkan krisis identitas.
Pandangan Dialogis
Pandangan dialogis mengkaitkan pribadi manusia dengan hubungan antara
satu manusia dengan manusia yang lain. Dalam pandangan ini, manusia
adalah makhluk relasional. Pribadi setiap manusia terbentuk melalui relasi,
yakni relasi jiwa dan badan, relasi individu dengan masyarakat, sebaliknya
relasi masyarakat dengan individu. Jadi, konsep “Aku berpusat pada relasi”.
Konsep dialogis dikembangkan oleh sejumlah pemikir. Kita menyebut dua
nama di sini, yakni Mounier (1758-1806) dan Martin Buber (1878-1965).
Mounier menyatakan bahwa pribadi manusia melekat dalam tiga hal berikut,
yakni:
Pertama, ia dipanggil untuk melakukan sesuatu untuk dunianya. Artinya,
panggilan untuk berbuat sesuatu pada orang lain adalah bagian dari persona.
Panggilan untuk melakukan tindakan yang baik tidak bisa digantikan oleh
siapapun. Setiap orang justru diminta untuk itu.
Kedua, tindakan. Menjadi pribadi menuntut perbuatan yang tidak bisa
ditunda-tunda. Artinya, pribadi menjadi pribadi kalau dia bertindak. Ia harus
merealisasikan apa yang dipikirkannya. Jadi, menjadi pribadi tidak hanya
berpikir, melainkan juga melakukan apa yang dipikirkan. Sependapat dengan
Thomas Aquinas, Mounier menegaskan bahwa pribadi adalah the act of
being. Orang yang tidak pernah merealisasikan pikirannya bukanlah pribadi
yang utuh. Ia adalah pribadi yang terpecah. Tanpa tindakan, ia tidak bisa
menunjukkan kualitas pribadinya. Jadi, kualitas pribadi seseorang dilihat dari
perbuatan sehari-hari.
Ketiga, komunikasi. Pribadi terkait dengan perjumpaan dengan yang
lain. Mounier melihat bahwa kebersamaan merupakan wadah pengungkapan
eksistensi pribadi. Dalam bingkai berpikir seperti ini, manusia hanya menjadi
pribadi kalau ia berhubungan dengan orang lain. Dengan demikian,
komunikasi adalah bagian eksistensi manusia. Dengan komunikasi, manusia
mengungkapkan diri, kemauan dan keunikannya. Tidak hanya itu. Menurut
Mounier, seseorang dapat menyembuhkan dirinya dengan komunikasi.
Menurut pandangan dialogis, makna hidup ini terletak pada usaha untuk
membangun komunikasi yang baik. Orang yang mengasingkan diri dari orang
lain mengalami hidup yang tidak bermakna.
Martin Buber memperkaya pemahaman dialogis dengan meletakkan
dasar dalam relasi sosial. Ia membedakan dua bentuk relasi dalam dunia
manusia, yakni relasi “Aku-Engkau” dan relasi “Aku – Itu”. Dalam hubungan
“Aku-Engkau”, manusia membentuk dirinya secara personal sekaligus turut
membentuk persona yang lain. Ia menempatkan diri dihadapan orang lain
sebagai pribadi, karena orang lain adalah bagian dari dirinya. Sebaliknya,
orang lain ditempatkan sebagai bagian dari perwujudan pribadinya.
“Engkau” mengandung makna bahwa setiap orang memiliki posisi yang
sama dengan “Aku”. “Aku” menjadi “aku” karena “engkau”, dan “engkau”
menjadi “engkau” karena “aku”. Karena itulah, “aku” tidak mungkin
menjadikan orang lain sebagai obyek baginya. “Engkau” merupakan
pengungkapan sapaan kehangatan pada orang lain. Makna pribadi “aku” ada
pada penghayatan kehadiran orang lain dalam dirinya sebagai “engkau”.
Selain itu, “aku” menunjukkan cinta pada “engkau” karena “engkau” memiliki
arti penting dalam membentuk pribadinya. “Aku” dan “engkau” selalu hidup
dalam dialog. Hubungan keduanya bersifat dua arah. Suatu saat orang lain
adalah menjadi “engkau” bagi “aku”. Pada saat yang lain “aku” menjadi
“engkau” bagi “aku” yang lain. Menurut Martin Buber, perspektif dialogis ini
memberikan makna bagi pribadi manusia. Dalam relasi ini, setiap pribadi
menghadirkan diri bagi orang lain, dan mengakui kehadiran orang lain dalam
dirinya. Karena itu, bagi Martin Buber, kehadiran memiliki nilai penting dalam
membangun relasi interpersonal.
Model relasi “aku-itu” adalah hubungan yang pada umumnya terjadi
dengan benda-benda. “Itu” adalah obyek-obyek. Dalam hubungan ini “Aku”
dan “Itu” tidak merupakan subjek yang sama. Yang menjadi subyek hanyalah
“Aku”, sementara “itu” adalah objek. “Itu”diperlakukan oleh “Aku” secara
sewenang-wenang. Bagi “Aku”, “itu” hanyalah objek. Dan “Itu” tidak pernah
aktif bagi “Aku”. Yang aktif hanyalah “Aku”. Karena itu, di sini tidak terjadi
hubungan interpersonal. Buber menegaskan bahwa relas ini juga berlangsung
dalam hidup manusia.
Akan tetapi, menurut Martin Buber, yang membentuk pribadi manusia
sesungguhnya adalah relasi “Aku-Engkau”. Dikatakan demikian karena dalam
model hubungan seperti ini, keunikan setiap individu mendapat perhatian.
Setiap orang mengakui siapa saja yang dijumpainya sebagai subyek yang
sama dengan dirinya. Ia juga sadar bahwa hanya dengan subjek yang lain, ia
menjadi “Aku”. Dalam relasi ini, ada pengakuan keunikan setiap pribadi.
2.4. Nilai-Nilai Absolut Pribadi
Berdasarkan deskripsi di atas, dapat disimpulkan bahwa esensi manusia sebagai
pribadi menyangkut empat hal mendasar, yakni : kesadaran akan diri, bersifat otonom
dan transendental, serta komunikatif. Sebagai pribadi, manusia adalah makhluk yang
sadar akan diri sendiri. Kesadaran ini bersumber pada aspek kerohaniannya. Dengan
kesadaran, manusia mempertimbangkan kualitas tindakannya. Manusia tahu apa yang
harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Dengan kesadaran pula, manusia
mengenal siapa dirinya, dan bagaimana ia berpartisipasi membangun dunianya. Selain
itu, melalui kesadaran, ia mengakui dirinya sebagai makhluk yang unik.
Selain kesadaran, manusia juga memiliki kemampuan untuk menentukan dirinya.
Itu berarti, sifat otonom menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pribadi manusia.
Tidak seperti makhluk infrahuman yang terdeterminasi oleh kondisi internalnya seperti
naluri dan kondisi eksternalnya seperti lingkungan, manusia adalah makhluk yang
bebas. Kebebasan adalah kondisi yang melekat di dalam diri manusia. Karena adanya
ruang untuk bergerak, manusia bisa secara maksimal mengembangkan dirinya dan
berpartisipasi membangun dunianya menurut keunikannya. Otonomi ini pula
7
memungkinkan manusia mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Transendensi diri sebagai pribadi memampukan manusia untuk mengatasi ruang
dan waktu. Dan hakikat diri ini bersumber dari kesadaran. Sifat transendental
merupakan modal bagi manusia untuk mengatasi persoalan-persoalan hidup serta
memungkinkannya masuk dalam dunia abadi dan absolut, yakni kehidupan religius.
7 Franz Magnis Suseno, Etika Dasar : Masalah-masalah pokok Filsafat Moral, Kanisius, Yogyakarta,
1987, hal. 43.
Dengan demikina, transendensi diri merupakan perwujudan dari partisipasi manusia
dalam keilahian Sang Pencipta.
Melalui komunikasi, setiap pribadi sadar bahwa ia merupakan bagian dari orang
lain. Ia menyadari bahwa keberadaannya bermakna berkat kehadiran orang lain dan
karena berpartisipasi dalam pengakuan eksistensi yang lain. Ia sadar bahwa dalam
berhubungan dengan orang lain ada cinta di samping kebencian, ada persahabatan di
sisi permusuhan, ada kepedulian disamping keacuhan . Jadi, nilai-nilai absolute
personalitas manusia terungkap dalam empat hal mendasar ini, yakni ia memiliki
kesadaran diri, otonomi, memiliki transendensi diri serta mampu berkomunikasi.
Dengan kata lain, manusia sebagai pribadi adalah a subsistent gifted with self-
consciousness, communication and self-trancendence . Semua ini merupakan nilai-nilai
universal dan mutlak bagi manusia sebagai pribadi.
2.5. Elemen- Elemen Persona
Pribadi manusia bukan konsep yang abstrak. Ia adalah makhluk yang konkret.
Sifat konkret itu terungkap dalam berbagai elemen yang ada dalam dirinya. Ada enam
elemen dasar yang mengungkapkan pribadi seseorang.
Pertama, karakter. Setiap pribadi memiliki karakter yang unik. Kata “karakter”
berasal dari bahasa Yunani, yakni “character”, artinya “alat untuk memberi tanda atau
cap” atau “tanda atau capnya sendiri”. Dalam psikologi Belanda dan Jerman kata
“karakter” sering diartikan sebagai pribadi. Karakter merupakan kebiasaan hidup
seseorang. Kebiasaan ini melekat dalam diri seseorang dan tidak bisa diubah dengan
8
mudah, yang oleh Martin Buber di sebut karakter alamiah. Karakter alamiah
terbentuk melalui lingkungan di mana seseorang hidup. Pembentukan karakter ini
dipengaruhi oleh berbagai macam factor eksternal seperti latar belakang budaya dan
pendidikan.
Dalam etika, pengertian karakter dihubungkan dengan perilaku yang baik. Orang
yang berwatak adalah orang yang berperilaku baik. Di sini ada itikad untuk melakukan
hal-hal baik yang dikehendaki. Orang yang memiliki niat baik, tetapi tidak mampu
mewujudkan niat baiknya, tidak disebut sebagai orang yang berkarakter. Sebaliknya,
seseorang yang tidak menunjukkan tindakan yang bernilai, seperti berkelakuan
menyimpang, tidak dapat dikatakan mempunyai karakter. Jadi, karakter, sebagaimana
8Martin Buber membedakan karakter alamiah dan karakter etis. Karakter etis adalah sifat-sifat baik yang
bisa dididik dan dibentuk melalui proses pendidikan baik di rumah maupun di sekolah.
diakui oleh William McDougall 9 1822-1905), merupakan penjelmaan kehidupan
pribadi. Karakter memberikan kestabilan, kemantapan, harmoni pada seseorang.
Dengannya seseorang menjadi lebih mantap untuk mencapai tujuan-tujuannya yang
penting dan membangkitkan kemauan dan kekuatan dalam mengambil keputusan.
Kedua, akal budi. Akal budi merupakan elemen persona yang paling hakiki.
Dibandingkan dengan makhluk lainnya, akal budi merupakan keistimewaan manusia.
Pengakuan ini pertama muncul di Yunani. Aristoteles adalah orang pertama
menempatkan akal budi sebagai wujud kodrat manusia melalui definisinya tentang
manusia bertuliskan, homo est animal rationale . Artinya, manusia adalah binatang
yang berakal budi. Akal budi memiliki multiperan. Akal budi merupakan dasar untuk
melahirkan ide-ide. Dan itu tidak sama dalam setiap orang. Artinya, akal budi
membuat manusia memiliki pengertian yang berbeda tentang suatu hal. Apa yang
diungkapkan pikiran melalui kata-kata adalah ungkapan pribadi yang mendalam dari
seseorang. Oleh karena itu, buah pikiran juga merupakan perwujudan dari hakikat
pribadi.
Pikiran hanya dapat dibicarakan dalam kerangka individu. Tidak pernah ada
pikiran bersama. Yang ada secara bersama adalah kesepakatan, yang merupakan
buah dari pikiran sejumlah individu. Implikasi logis dari pandangan ini ialah bahwa
pendapat dan gagasan setiap orang pasti berbeda. Justru karena itu keanekaragaman
itu harus dihargai. Penghargaan ini merupakan tanda pengakuan terhadap
personalitas setiap individu.
Akal budi merupakan dasar bagi manusia untuk mencari kebenaran, kebenaran
tentang diri manusia dan kebenaran tentang alam melalui ilmu pengetahuan (Bdk.
Adelbert Snijders. Manusia dan Kebenaran, Kanisius, Yogyakarta, 2006, hal 1-2). Akal
budi juga merupakan modal untuk mengadakan refleksi dan penyelidikan. Sejak
zaman pra-skolastik orang-orang Yunani sangat menyadari hal ini, yang kemudian
diakui sebagai cikal bakal lahirnya filsafat dalam sejarah umat manusia. Francis Bacon
(1909-1992) telah menempatkan akal budi sebagai sarana utama untuk menguasai
alam dengan penemuan-penemuan baru. Ungkapan terkenal Bacon adalah knowledge
is power. Alfred North Whitehead (1861-1947), menunjukkan akal budi sebagai
pemandu pengalaman dan kesadaran manusia. Menurut Whitehead, akal budi
berfungsi membawa manusia sampai pada kesadaran tentang kualitas hidup.
Dengannya manusia mampu menghayati hidup sebagai seni ( the art of life).
Ketiga, kebebasan. Wacana mengenai kebebasan juga bersifat personal.
Mengapa? Karena yang dapat menentukan diri seseorang, bukan orang lain melainkan
dirinya sendiri. Dalam proses pengambilan keputusan, seseorang harus menentukan
pilihan menurut suara hatinya. Memang ia menerima masukan dari luar pada saat
sebelum mengambil keputusan agar keputusannya jernih. Tetapi peran orang lain
hanyalah memberikan masukan padannya. Subjek pengambil keputusan hanyalah dia
sendiri. Itu berarti keputusan tetap hanya ada di tangannya. Disinilah sifat personal
kebebasan terlibat. John Dewey (1859-1952) bahkan mengatakan bahwa kebebasan
merupakan bagian dari martabat kemanusiaan yang tidak bisa dibungkam oleh
siapapun. Berdasarkan penegasan John Dewey ini pemaksaan pendapat, pandangan
dan ideology serta gagasan dalam bentuk apapun terhadap seseorang merupakan
pemerkosaan dan pelanggaran terhadap individualitas seseorang.
Keempat, nama. Kendati ada ungkapan yang mengatakan “apalah artinya
sebuah nama”, namun nama mempunyai makna bagi setiap pribadi. Setiap orang
memiliki nama. Nama merupakan perwujudan dan pengejawantahan sekaligus
menjadi identitas pribadi seseorang. Seseorang dipanggil dengan namanya. Menyebut
nama tidak sekedar mengeluarkan bunyi melalui huruf-huruf yang tersusun,
melainkan mengandung makna pengakuan terhadap eksistensi pemilik nama.
Pengakuan ini bersifat utuh. Artinya, menyebut nama seseorang dengan baik adalah
mengakui eksistensi orang yang bersangkutan. Sebaliknya, melecehkan nama
seseorang sama dengan melecehkan pribadi pemilik nama.
Dalam berbagai kebudayaan, nama mengandung arti yang penting. Banyak suku
mempertahankan sebagian tradisi dengan salah satunya melalui nama-nama yang
diberikan pada anggota keluarganya. Dalam berbagai etnis, bahkan pemberian nama
selalu disertai dengan kegiatan ritual baik bersifat agamis maupun bersifat cultural.
Tujuannya adalah untuk keselamatan jiwa si pemilik nama. Tidak jarang pula ketika
nama yang diberikan pada seseorang tidak cocok, nama itu membawa malapetaka,
misalnya pemilik nama sakit-sakitan. Tidak hanya dalam konteks budaya nama
memiliki arti penting, dalam konteks religius juga terlihat betapa nama itu memiliki
arti yang penting. Hubungan Sang Pencipta dengan manusia dan sebaliknya terjadi
9
dengan menyebut nama sebagaimana dialami musa.
9 Ini terlihat dengan jelas dalam hubungan Musa dengan Tuhan. Kutipan perikop tentang ini adalah
sebagai berikut : (13) Lalu Musa berkata kepada Allah, “tetapi apabila aku mendapatkan orang Israel dan berkata
keapda
Kelima, suara hati. Suara hati merupakan bagian hakiki dari kepribadiaan
seseorang. Suatu hati ada dalam diri setiap orang. Karena itu, suara hati tidak bersifat
massal. Hati nurani selalu bersifat personal, karena ia melekat dengan pribadi
seseorang. Tidak ada pihak luar yang pernah bisa mengetahui kedalaman suara hati
seseorang, selain orang yang bersangkutan. Dalam masyarakat sering terdengar
ungkapan “dalamnya laut dapat diduga, tapi dalamnya hati siapa yang tahu”.
Ungkapan ini menunjukkan bahwa suara hati merupakan urusan pribadi.
Pembentukan mutu suara hati terkait dengan latarbelakang, pendidikan dan budaya
seseorang. Semua ini menunjukkan bahwa suara hati bersifat personal.
Apa peranan suara hati? Suara hati merupakan pedoman hidup bagi setiap orang
dalam mengambil keputusan untuk menentukan perilaku hidupnya. Jika akal budi
membuat seseorang mampu berefleksi, mencari kebenaran dan menemukan sesuatu
demi pengembangan hidup manusia, maka suara hati berfungsi etis karena
mengarahkan manusia untuk mampu membedakan mana yang baik dan mana yang
buruk dalam tindakannya.
Selain itu, suara hati juga menjadi dasar bagi setiap pribadi dalam mengambil
keputusan. Karena itu, hati nurani merupakan lambing martabat dan hakikat
kemanusiaan yang paling dalam dari seorang individu. Sutan Takdir Alsyahbana
bahkan mengaitkan suara hati itu dengan harga diri. Ketika seseorang mengingkari
bisikan hati nuraninya, saat itulah ia mengingkari martabatnya sebagai manusia.
Orang seperti ini telah kehilangan harga dirinya. Ia adalah individu yang gagal sebagai
makhluk yang bebas. Sebaliknya, jika seseorang selalu mendasarkan seluruh gerakan
hidupnya pada suara hati, saat itu pula ia memperlihatkan diri hidup menurut
martabat kemanusiaannya. Suara hati sejalan dengan kesadaran. Artinya, kesadaran
etis sejalan dengan proses kognitif dan volutif yang bertumbuh dalam diri pribadi.
Apabila persona bertindak sesadar-sadarnya, yaitu pada tingkat yang setinggi-
tingginya dengan rancangan hidup, ia sejalan dengan kata hatinya. Itu berarti dalam
kata hati yang berasal dari perasaan etis dan ikut merasa pada tingkat hati, perasaan-
perasaan ini bersintesis dengan ego volutif dan kognitif.
mereka : Allah nenek moyangmu telah mengutus aku kepadamu dan mereka bertanya kepadaku, bagaimana
tentang namaNya? Apakah yang harus kujawab kepada mereka? (14) Firman Allah kepada Musa : AKU
ADALAH AKU”. Lagi firman-Nya, Beginilah kaukatakan kepada orang Israel itu “ AKULAH AKU telah
mengutus aku kepadamu” (15) Selanjutnya berfirmanlah Allah kepada Musa : “Beginilah kaukatakan kepada oran
Israel : Tuhan, Allah nenek moyangmu, Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakup telah mengutus aku
padamu: Itulah nama-Ku untuk selamanya dan itulah sebutan-Ku turun-temurun (Bdk Keluaran 3:13-15).