BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tuberkulosis Paru merupakan penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
kuman TB Paru (mycobacterium tuberculosis). Gejala utama adalah batuk selama 2
minggu atau lebih, batuk disertai dengan gejala tambahan yaitu dahak, dahak
bercampur darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan
menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam lebih dari 1
bulan. Penyakit TB Paru ditanyakan pada responden untuk kurun waktu ≤ 1 tahun
berdasarkan diagnosis yang ditegakkan oleh tenaga kesehatan melalui pemeriksaan
dahak, foto toraks atau keduanya (Alsagaff H, dan Mukty H.A. 2015). Menurut WHO
2020, Tuberkulosis sendiri merupakan penyebab kematian no 13 terbanyak di dunia
dengan kasus kematian mencapai 1,5 juta orang pada tahun 2020, dan kasus kematian
kedua dengan kematian yang disebabkan oleh virus setelah kematian akibat covid 19.
Penyakit tuberkulosis paru yang diderita oleh individu akan memberi dampak yang
sangat besar bagi kehidupanya baik secara fisik, mental maupun kehidupan sosial.
Secara fisik penyakit tuberkulosis paru jika tidak diobati dengan benar akan
menimbulkan berbagai komplikasi bagi organ lain , seperti penyebaran infeksi ke
organ lain, kekurangan nutrisi, batuk darah yang berat, resistensi terhadap banyak
obat dan komplikasi lainya. Tuberkulosis paru merupakan salah satu penyakit yang
membutuhkan waktu pengobatan yang panjang dan memerlukan banyak obat-obatan
yang dikonsumsi (Smeltzer & Bare, 2001).
Data World Health Organization (WHO) melalui laporan tb yang terbit pada 14
oktober 2021 pada tahun 2020 menunjukkan penurunan 18 % dari 7.1 juta yang
terinfeksi menjadi 5,8 juta yang terinfeksi. Data ini terjadi karena disebebkan oleh
pandemic covid 19 yang terjadi diseluruh dunia sehingga menurunkan laporan
insiden tb sendiri. Sedangkan Negara dengan penderita tuberculosis pada tahun 2019
hingga 2020 terbanyak terdapat dinegara India sebanyak 41% dari total penderita tb,
dan disusul Indonesia dengan 14 % , Philipina 12 % dan China 8 % .
Di Indonesia sendiri menurut data kementrian kesehatan 2021 yang dikeluarkan pada
4 Oktober 2021 terdapat kasus tb pada tahun 2020 sebanyak 393,323 yang
terkonnfirmasi tb dan 824,000 kasus suspek tb, pada dasarnya data ini lebih sedikit
dari pada tahun sebelum nya pada 2019 sebanyak 570,289 kasus, tetapi data ini
dipengaruhi oleh pandemic covid 19 sehingga banyak kasus tb yang tidak terlapor
pada akun program tb nasional. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di
Indonesia yang terdiri dari 26 kabupaten/kota. Di tingkat nasional, Provinsi Jawa
Barat menduduki peringkat pertama penyumbang jumlah penderita Tuberculosis.
Total jumlah kasus sebanyak 127,000 orang dengan jumlah kesembuhan hanya
sebanyak 89.572 orang (Dinas Kesehatan Jawa Barat 2020)
Sedangkan menurut Badan pusat Statistik Kabupaten Karawang pada 2019 Kasus
Tuberkulosis (TBC) di Kabupaten Karawang masih terbilang cukup tinggi. Hasil
deteksi dini di masyarakat yang dilakukan pemerintah setempat bulan Maret 2019
menemukan 3,221 orang diduga menderita TBC. Oleh sebab itu diperlukan berbagai
faktor yang mendukung untuk keberhasilan program tb hingga tuntas.
Pengobatan TBC diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis obat, dalam
jumlah cukup dan dosis tepat selama 6 – 8 bulan. Apabila tidak dapat menyelesaikan
pengobatannya secara tuntas maka resiko terjadi resistensi kuman TB terhadap obat
TB semakin besar(Nofriyanda, 2010). Ketidakpatuhan pasien terhadap ketentuan dan
lamanya pengobatan secara teratur untuk mencapai kesembuhan sebagai akibat
tingkat pengetahuan masyarakat yang rendah. Proses kesembuhan pasien tuberculosis
cepat terwujud, jika kerja sama antara pasien dan keluarganya dengan penyedia
layanan kesehatan, khususnya dokter harus terjalin dengan baik. Ada beberapa faktor
yang dapat mempengaruhi tingkat kepatuhan seseorang untuk meminum obat, yaitu
antara lain: usia, pekerjaan, waktu luang, pengawasan, jenis obat, dosis obat, dan
penyuluhan dari petugas kesehatan
Badan kesehatan dunia menetapkan standar keberhasilan pengobatan sebesar 85%.
Angka keberhasilan pada tahun 2017 sebesar 87,8% (WHO, 2018) Keberhasilan
terapi ini tergantung pada kepatuhan pasien dan dukungan dari keluarga. Tidak ada
upaya dari diri sendiri atau motivasi dari keluarga yang kurang memberikan
dukungan untuk berobat secara tuntas akan adalah munculnya kuman TB paru
yang resisten terhadap obat jika ini terus terjadi dan kuman tersebut terus
menyebar dan pengendalian obat TB paru akan semakin sulit dilaksanakan yang
berdampak pada meningkatnya angka kematian terus bertambah akibat penyakit TB
paru (WHO, 2017).
Faktor – faktor yang memengaruhi perilaku seseorang saat pengobatan TB yaitu
faktor predisposing, faktor enabling, dan faktor reinforcing. Teori tersebut merupakan
teori perubahan perilaku yang dikemukakan oleh Lawrence Green (Nursalam, 2015).
Predisposing factors atau faktor predisposisi terdiri dari pengetahuan, sikap,
kepercayaan, keyakianan dan nilai – nilai. Enabling factors atau faktor pendukung
terdiri dari hal – hal yang terwujud dalam lingkungan fisik, antara lain sarana maupun
prasarana kesehatan yang meliputi puskesmas, obat, alat, perundangan-undangan, dan
keterampilan terkait kesehatan. Sedangkan reinforcing factors atau faktor pendorong
seperti petugas kesehatan, keluarga , maupun pengambil keputusan (Nursalam, 2015)
Untuk meningkatkan ketaatan dalam berobat , respon penderita terhadap sistem
pelayanan kesehatan adalah hal yang penting (Sunaryo, 2004). Keberhasilan dalam
pengobatan TB adalah hasil dari ketaatan penderita TB dalam pengonsumsian
obatnya. Menurut Notoatmodjo (2010), domain perilaku ada 3, yaitu pengetahuan;
sikap; dan tindakan. Oleh karena itu menurut peneliti untuk menumbuhkan perilaku
yang patuh dalam berobat dipengaruhi oleh ketiga hal tersebut, sehingga mencegah
terjadinya TB resisten obat yang dikenal dengan TB RO di Indonesia, estimasi TB
RO adalah 2,4% dari seluruh pasien TB baru dan 13% dari pasien TB yang pernah
diobati dengan total perkiraan insiden kasus TB RO sebesar 24.000 atau 8,8/100.000
penduduk. Pada tahun 2019, sekitar 11.500 pasien TB RR ditemukan dan dilaporkan,
sekitar 48% pasien yang memulai pengobatan TB lini kedua, dengan angka
keberhasilan pengobatan 45% (WHO Global TB Report 2020).
Berdasarkan data tersebut peneliti ingin melakukan penelitian tentang Hubungan
Tingkat Pengetahuan Dengan Tingkat Kepatuhan Pengobatan Pasien
Tuberkulosis di Rumah Sakit Proklamasi
B. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan dapat diketahui Hubungan Tingkat Pengetahuan
Terhadap kepatuhan pengobatan pada pasien TB di RS Proklamasi
2. Tujuan Khusus
a. Untuk diketahui distribusi frekuensi karakteristik responden berdasarkan
usia, pendidikan, dan pekerjaan pasien dengan pengobatan TB di RS
Proklamasi.
b. Untuk diketahui distribusi frekuensi kepatuhan pengobatan pasien di RS
Proklamasi
c. Untuk diidentifikasi distribusi frekuensi tingkat pengetahuan terhadap
kepatuhan pengobatan TB
C. Manfaat Penlitian
1. Manfaat Bagi pelayanan Kesehatan
Penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi dan meningkatkan
pelayanan kesehatan dalam memberikan pendidikan kesehatan mengenai
pengetahuan pengobatan TB terjadinya keridakpatuhan pengobatan di RS
Proklamsi sehingga mencegah terjadi nya TB Resisten Obat
2. Bagi institusi pendidikan
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan tambahan bahan
bacaan di perpustakaan untuk mengetahui tingkat pengetahuan pengobatan TB
sehingga mencegah terjadinya putus pengobatan.
3. Bagi penelitian yang akan datang
Penelitian ini dapat dijadikan informasi untuk mengembangkan penelitian
selanjutnya yang berkaitan dengan tingkat pengetahuan TB yang mengalami
putus obat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. TUBERKULOSIS
1. Definisi
Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh kuman
Mycobacterium tuberculosis.Terdapat beberapa spesies Mycobacterium,
antara lain: M. tuberculosis, M. africanum, M. bovis, M. Lepraedsb. Yang
juga dikenal sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA). Kelompok bakteri
Mycobacterium selainMycobacterium tuberculosis yang bisa menimbulkan
gangguan pada saluran nafas dikenal sebagaiMOTT (Mycobacterium Other
Than Tuberculosis) yang terkadang bisa mengganggu penegakandiagnosis dan
pengobatan TBC (Kementerian Kesehatan RI, 2016)
Gejala utama pasien TBC paru yaitu batuk berdahak selama 2 minggu atau
lebih. Batuk dapat diikutidengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur
darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsumakan menurun, berat
badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik,
demammeriang lebih dari satu bulan. Pada pasien dengan HIV positif, batuk
sering kali bukan merupakangejala TBC yang khas, sehingga gejala batuk
tidak harus selalu selama 2 minggu atau lebih (Kementerian Kesehatan RI,
2016)
2. Epidiomology
Di Indonesia, penderita TB paru masih sangat banyak. Terdapat total 393.323
kasus baru TB paru terkonfirmasi bakteriologi di Indonesia 33,366 diantara
nya merupakan penderita TB anak berdasarkan Data dan Informasi data
pustaka TB Indonesia dengan estimasi kasus TB sebanyak 824.000,
sedangkan TB yang disertai HIV sebanyak 8,003 kasus dan kasus kematian
sebanyak 13.110 kasus. Meskipun angka kejadian yang tinggi tetapi angka ini
juga diikuti oleh kesuksesaan pengobatan TB yang mencapai 83 % pada tahun
2020.
3. Etiologi
4. Tanda dan Gejala
Kondisi yang umumnya yang dialami pasien adalah batuk berdahakselama 2-3
minggu atau bahkan lebih. Kondisi batuk yang dialami oleh pasienyang
mengidap penyakit tuberculosis biasanya disertai dengan gejala lainnya
yaitubatuk berdahak dengan adanya dahak/slem bercampur darah, batuk
berdarah(haemaptoe), nafas terasa sesak (dyspneu), badan terasa lemas
(myalgia),menurunnya nafsu makan (anoreksia), penurunan berat badan,
malaise, kondisisering berkeringat di malam hari walaupun tanpa beraktifitas,
dan kondisi demammeriang pada pasien lebih dari sebulan atau biasa disebut
dengan istilah prolongfever ( Badan Pusat Statistik, 2017)
5. Patofisiologi
Bila terinplantasi Mycobacterium tuberculosis melalui saluran nafas, maka
mikroorganisme akan membelah diri dan terus berlangsung walaupun cukup
pelan. Nekrosis jaringan dan klasifikasi pada daerah yang terinfeksi dan nodus
limfe regional dapat terjadi, menghasilkan radiodens area menjadi kompleks
Ghon. Makrofag yang terinaktivasi dalam jumlah besar akan mengelilingi
daerah yang terdapat Mycobacterium tuberculosis sebagai bagian dari
imunitas yang dimediasi oleh sel. Hipersensitivitas tipe tertunda, juga
berkembang melalui aktivasi dan perbanyakan limfosit T. Makrofag
membentuk granuloma yang mengandung organisme (Sukandar dkk., 2009).
Setelah kuman masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernafasan, bakteri TB
paru tersebut dapat menyebar dari paru kebagian tubuh lainnya, melalui
system peredaran darah, sistem saluran limfa, saluran nafas, atau penyebaran
langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya (Depkes RI, 2008). Patofisiologi TB
paru dibagi menjadi dua proses antara lain :
1) Infeksi TB Paru Primer
Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan
bakteri Mycobacterium tuberculosis. Droplet nuclei yang terhirup
sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati sistem pertahanan
muskuler bronkus, dan terus berjalan sehingga sampai di alveolus dan
menetap di sana. Infeksi dimulai saat kuman Tuberkulosis berhasil
berkembang biak dengan cara pembelahan diri di paru, yang
mengakibatkan peradangan di dalam paru. Saluran limfe akan
membawa kuman Tuberkulosis ke kelenjar limfe di sekitar hilus paru,
dan ini disebut sebagai komplek primer yang memakan waktu sekitar
4-6 minggu. Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya
perubahan reaksi tuberculin dari negatif menjadi positif (Depkes RI,
2008)
Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung dari banyaknya kuman
yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler).
Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan
perkembangan kuman TB Paru. Meskipun demikian ada beberapa
kuman akan menetap sebagai kuman persister atau dormant (tidur).
Kadang-kadang daya tahan tubuh tidak mampu menghentikan
perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan, yang
bersangkutan akan menjadi penderita TB paru. Masa inkubasi yaitu
waktu yang diperlukan mulai terinfeksi sampai menjadi
sakit, diperkirakan sekitar 6 bulan (Depkes RI, 2008).
2) TB paru Post Primer
TB paru Post Primer biasanya muncul beberapa bulan ataupun
beberapa tahun setelah infeksi TB paru primer. TB paru inilah yang
yang menjadi masalah utama kesehatan masyarakat karena dapat
menjadi sumber penularan penyakit TB paru. Infeksi akan muncul
apabila terdapat banyak kuman TB paru di dalam tubuh baik yang
aktif ataupun yang dormant (tidur). Saat tubuh memiliki daya tahan
yang menurun terkadang tubuh tidak mampu menghentikan
perkembangan Mycobacterium tuberculosis sehingga terjadilah infeksi
kembali oleh bakteri TB paru tersebut. Infeksi tersebut akan
menyebabkan kerusakan paru yang luas karena terjadi kavitas atau
efusi pleura (PDPI, 2006).TB paru Post Primer biasanya muncul
beberapa bulan ataupun beberapa tahun setelah infeksi TB paru
primer. TB paru inilah yang yang menjadi masalah utama kesehatan
masyarakat karena dapat menjadi sumber penularan penyakit TB paru.
Infeksi akan muncul apabila terdapat banyak kuman TB paru di dalam
tubuh baik yang aktif ataupun yang dormant (tidur). Saat tubuh
memiliki daya tahan yang menurun terkadang tubuh tidak mampu
menghentikan perkembangan Mycobacterium tuberculosis sehingga
terjadilah infeksi kembali oleh bakteri TB paru tersebut. Infeksi
tersebut akan menyebabkan kerusakan paru yang luas karena terjadi
kavitas atau efusi pleura (PDPI, 2006).
6. Klasifikasi TB
Klasifikasi penyakit tuberkulosis paru berdasarkan pemeriksaan dahak
menurut Depkes RI (2014), dibagi dalam:
1) Tuberkulosis paru BTA positif.
a) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak Sewaktu Pagi
Sewaktu (SPS) hasilnya BTA positif.
b) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks
dada menunjukkan gambaran tuberculosis
c) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman
Tuberkulosis positif.
d) 1 atau lebih spesimen dahak hasinya positif setelah 3 spesimen
dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA
negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika
non OAT.
2) Tuberkulosis paru BTA negatif.
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada Tuberkulosis paru BTA
positif. Kriteria diagnostik Tuberkulosis paru BTA negatif harus
meliputi:
a) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya negatif.
b) Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran Tuberkulosis.
c) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
d) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi
pengobatan.
Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya menurut
Depkes RI (2011) dibagi menjadi beberapa tipe pasien, yaitu:
a) Kasus baru
Pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah
pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
b) Kasus kambuh (Relaps)
Pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat
pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA
positif (apusan atau kultur).
c) Kasus setelah putus berobat (Default )
Pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau
lebih dengan BTA positif.
d) Kasus setelah gagal (Failure)
Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau
kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama
pengobatan.
e) Kasus pindahan (Transfer In)
Pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register
TBlain untuk melanjutkan pengobatannya.
f) Kasus lain
Semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan di atas. Dalam
kelompok ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan
hasil pemeriksaan masih BTA (+) setelah selesai pengobatan
ulangan
7. Manisfestasi Klinis
Tanda dan gejala tuberkulosis menurut Wong (2008) adalah sebagai
berikut:
1) Demam
2) Malaise
3) Anoreksia
4) Penurunan berat badan
5) Batuk ada atau tidak (berkembang secara perlahan selama
berminggu-minggu sampai berbulan-bulan)
6) Peningkatan frekuensi pernapasan
7) Ekspansi buruk pada tempat yang sakit
8) Bunyi napas hilang dan ronkhi kasar, pekak pada saat perkusi
9) Demam persisten
10) Manifestasi gejala yang umum: pucat, anemia, kelemahan, dan
penurunan berat badan
Gejala klinis pasien tuberkulosis paru menurut Depkes RI (2018),
adalah:
1) Batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih.
2) Dahak bercampur darah.
3) Batuk berdarah.
4) Sesak napas.
5) Badan lemas.
6) Nafsu makan menurun.
7) Berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik.
8) Demam meriang lebih dari satu bulan.
Dengan strategi yang baru Directly Observed Treatment Shortcourse
(DOTS) gejala utamanya adalah batuk berdahak dan/atau terus-
menerus selama tiga minggu atau lebih. Berdasarkan keluhan
tersebut, seseorang sudah dapat ditetapkan sebagai tersangka. Gejala
lainnya adalah gejala tambahan. Dahak penderita harus diperiksa
dengan pemeriksaan mikroskopis (Widoyono, 2011).
8. Diagnosa TB
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu
atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak
bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan
menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa
kegiatan fisik, demam, meriang lebih dari satu bulan. Mengingat
prevalensi TB paru di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang
yang datang ke UPK dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai
seorang tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan
dahak secara mikroskopis langsung pada pasien dewasa, serta skoring
pada pasien anak (Kemenkes RI, 2014).
a. Pemeriksaan Dahak
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai
keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan.
Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis pada semua suspek
TB dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang
dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa dahak
Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS) (Permenkes, 2014) :
1) S (sewaktu) : Dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang
berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa
sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari
kedua.
2) P (pagi) : Dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua,
segera setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri
kepada petugas di UPK.
3) S (sewaktu) : Dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat
menyerahkan dahak pagi. Diagnosis TB Paru pada orang dewasa
ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB (BTA). Pada
program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan
dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan
lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan
sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan
indikasinya. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya
berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak
selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga
sering terjadi overdiagnosis. Gambaran kelainan radiologik paru
tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit (Kemenkes RI,
2014).
Alur diagnosis dan tindak lanjut TB paru pada pasien dewasa (Kemenkes RI, 2014)
b. Pemeriksaan TCM
Pemeriksaan TCM dengan Xpert MTB/RIF merupakan metode
deteksi molekuler berbasis nested real-time PCR untuk diagnosis TB.
Primer PCR yang digunakan mampu mengamplifikasi sekitar 81 bp
daerah inti gen rpoB MTB kompleks, sedangkan probe dirancang
untuk membedakan sekuen wild type dan mutasi pada daerah inti
yang berhubungan dengan resistansi terhadap rifampisin.
Pemeriksaan tersebut dilakukan dengan alat GeneXpert, yang
menggunakan sistem otomatis yang mengintegrasikan proses
purifikasi spesimen, amplifikasi asam nukleat, dan deteksi sekuen
target. Sistem tersebut terdiri atas alat GeneXpert, komputer dan
perangkat lunak. Setiap pemeriksaan menggunakan katrid sekali
pakai dan dirancang untuk meminimalkan kontaminasi silang. Katrid
Xpert MTB/RIF juga memiliki Sample Processing Control (SPC) dan
Probe Check Control (PCC). Sample processing control berfungsi
sebagai control proses yang adekuat terhadap bakteri target serta
untuk memonitor keberadaan penghambat reaksi PCR, sedangkan
PCC berfungsi untuk memastikan proses rehidrasi reagen, pengisian
tabung PCR pada katrid, integritas probe, dan stabilitas dye.
Pemeriksaan Xpert MTB/RIF dapat mendeteksi MTB kompleks dan
resistansi terhadap rifampisin secara simultan dengan
mengamplifikasi sekuen spesifik gen rpoB dari MTB kompleks
menggunakan lima probe molecular beacons (probe A – E) untuk
mendeteksi mutasi pada daerah gen rpoB. Setiap molecular beacon
dilabel dengan dye florofor yang berbeda. Cycle threshold (Ct)
maksimal yang valid untuk analisis hasil pada probe A, B dan C
adalah 39 siklus, sedangkan pada probe D dan E adalah 36 siklus.
Hasil dapat diinterpretasikan sebagai berikut:
1) MTB terdeteksi apabila terdapat dua probe memberikan nilai Ct
dalam batas valid dan delta Ct min (selisih/perbedaan Ct terkecil
antar pasangan probe) < 2.0
2) Rifampisin Resistan tidak terdeteksi’ apabila delta Ct maks
(selisih/perbedaan antara probe yang paling awal muncul dengan
paling akhir muncul) ≤ 4.0
3) Rifampisin Resistan terdeteksi apabila delta Ct maks > 4.0
4) Rifampisin Resistan indeterminate’ apabila ditemukan dua
kondisi sebagai berikut :
Nilai Ct pada probe melebihi nilai valid maksimal (atau nilai
0)
Nilai Ct pada probe yang paling awal muncul > (nilai Ct
valid maksimal – delta Ct maksimal cut-off 4.0)
5) Tidak terdeteksi MTB’ apabila hanya terdapat satu atau tidak
terdapat probe yang positif. Pemeriksaan Xpert MTB/RIF sudah
diatur secara otomatis sesuai dengan protokol kerja Xpert
MTB/RIF dan tidak dapat dimodifikasi oleh pengguna.
TERDUGA TB
Pemeriksaan tambahan pada semua pasien TB yang terkonfirmasi baik secara
bakteriologis maupun klinis adalahpemeriksaan HIV dan gula darah. Pemeriksaan
lain dilakukan sesuai indikasi misalnya fungsi hati, fungsi ginjal, dll)
pemeriksaan HIV dan gula darah. Pemeriksaan lain dilakukan sesuai indikasi
misalnya fungsi hati, fungsi ginjal, dll)
Keterangan alur:
Prinsip penegakan diagnosis TB:
• Diagnosis TB Paru pada orang dewasa harus ditegakkan terlebih dahulu
dengan pemeriksaan bakteriologis. Pemeriksaan bakteriologis yang
dimaksud adalah pemeriksaan mikroskopis, TCM, dan biakan.
• Pemeriksaan TCM digunakan untuk penegakan diagnosis TB, sedangkan
pemantauan kemajuan pengobatan tetap dilakukan dengan pemeriksaan
mikroskopis.
9. Pengobatan TB
Pengobatan pada pasien TB paru sering dikenal dengan Anti Tuberkulosis
(OAT). OAT dapat dibagi menjadi dua yakni pada lini pertama yang terdiri
dari Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pyrazinamide (Z), Ethambutol (E),
Streptomisin (S). Sementara pada obat lini kedua terdiri dari Fluoroquinolone,
Kanamycin, Amikasin, Capreomycin, Viomycin, Etionamid, Asam Para
amino salicylate, Cycloserine, Tioasetazon, Macrolides, Klofazimin, dan
Linezolid (Palomino JC dan Martin, 2014).
Baris kedua diberikan kepada pasien yang telah resisten terhadap obat lini
pertama. Untuk OAT lini pertama, perawatan dapat dibagi menjadi 3 kategori
yakni kategori 1, kategori 2, dan kategori anak. Pengobatan TB paru oleh
kategori 1 ditargetkan pada pasien baru dengan TB paru (+), pasien TB paru
(-) radiografi dada (+) dan pasien TB paru ekstra. Untuk kategori 2
ditujukan kepada penderita kambuh, gagal pengobatan dengan bimbingan
OAT kategori 1 dan tindak lanjut yang hilang (Depkes RI, 2008).
Terapi standar TB paru terdiri dari empat obat diantaranya rifampisin,
isoniazid, pirazinamid, dan ethambutol selama 2 bulan dan diikuti dengan
pengobatan rifampisin dan isoniazid selama 4 bulan. Terapi ini
direkomendasikan untuk semua pasien TB paru baik TB paru maupun ekstra
paru (Mandal dkk., 2008).
1. Isoniazid (H)
Isoniazid dikenal dengan H atau INH, bersifat bakterisid, dapat membunuh
90% populasi kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan, obat ini
sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif yaitu kuman
yang sedang berkembang (Depkes RI, 2011).
Gambar 2.3 Struktur Isoniazid (Brennan dkk., 2008)
2. Rifampisin (R)
Rifampisin merupakan obat yang terutama bekerja pada sel yang sedang
tumbuh, tetapi juga memperlihatkan efek pada sel yang sedang tidak aktif
(resting cell). Rifampisin bekerja dengan cara menghambat sintesis
Ribonucleic Acid (RNA). Mycobacterium tuberculosis sehingga menekan
proses awal pembentukan rantai dalam sintesa RNA (Meiyanti, 2007).
Efek samping yang ditimbulkan rifampisin antara lain warna merah-jingga
pada urin; tinja; sputum; air mata; dan keringat, gangguan saluran cerna
(mual, muntah, kolik, dan diare), dan hepatitis. Rifampisin
dikontraindikasikan dengan pasien porphyria, dan pasien dengan kelainan
fungsi hati. Absorbsi rifampisin dalam tubuh menurun apabila digunakan
bersamaan dengan antasida (Kemenkes RI, 2002).
Gambar 2.4 Struktur Rifampisin (Brennan dkk., 2008)
3. Pirazinamid (Z)
Pirazinamid merupakan OAT bakterisidal yang dapat membunuh kuman yang
berbeda dalam suasana asam. Mekanisme kerja obat pirazinamid belum
diketahui secara jelas. Efek samping dari penggunaan pirazinamid yaitu
gangguan saluran cerna, hepatotoksik, demam, mual, muntah, hepatitis,
anemia, dan dapat menghambat ekskresi asam urat. Kontra indikasi dari
pemakaian obat pirazinamid yaitu pasien Porphyria dan pasien kelainan
fungsi hati (Kemenkes RI, 2002).
Gambar 2.5 Struktur Pirazinamid (Brennan dkk., 2008)
4. Streptomisin (S)
Streptomisin adalah turunan aminoglikosida dan merupakan OAT bakterisidal yang
dapat membunuh kuman TB. Efek samping streptomisin diantaranya adalah
kerusakan ginjal, demam, dan parastesi di sekitar mulut (Kemenkes RI, 2002).
Gambar 2.6 Struktur Streptomisin (Brennan dkk., 2008)
5. Ethambutol (E)
Ethambutol adalah obat bakteriostatik esensial dengan mekanisme kerja
menghambat sintesis dinding sel mikobakteria. Etambutol dapat berfungsi
untuk menekan pertumbuhan bakteri TB yang telah resisten terhadap
isoniazid dan streptomisin. Beberapa efek samping ethambutol antara lain :
neuropati optik, buta warna sebagian, neuropati perifer, dan gangguan
penglihatan. Etambutol di kontraindikasikan untuk anak-anak dibawah umur 6
tahun (Kemenkes RI, 2002).
Gambar 2.7 Struktur Ethambutol (Brennan dkk., 2008)
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) lini pertama dan kisaran dosisnya pada penyakit TB
paru diuraikan sebagai berikut (Kemenkes RI, 2014):
Tabel 2.1 OAT lini pertama (Kemenkes RI, 2014) :
Jenis Sifat Efek Samping
Isoniazid (H) Bakterisidal Neuropati perifer, prikosis toksis,
gangguan fungsi hati, kejang
Rifampisin (R) Bakterisidal Flu syndrome, gangguan gastrointestinal, urin
berwarna merah, gangguan fungsi
hati, trombositopeni, demam, skin rash, sesak
napas
Pirazinamid (Z) Bakterisidal Ganguan gastrointestinal, gangguan fungsi hati,
gout artritis
Streptomisin (S) Bakterisidal Nyeri ditempat suntikan, gangguan
keseimbangan dan pendengaran, renjatan
anafilaksis, anemia, agranulositosis
Etambutol (E) Bakteriostatik Gangguan penglihatan, buta warna,
neuritis perifer
Tabel 2.2 Kisaran dosis OAT lini pertama (Kemenkes RI, 2014) :
Dosis
Harian 3 x / minggu
OAT
Kisaran dosis Maksimum Kisaran dosis Maksimum/
(mg/kg BB) (mg) (mg/kg BB) hari (mg)
Isoniazid 5 (4-6) 300 10 (8-12) 900
Rifampisin 10 (8-12) 600 10 (8-12) 600
Pirazinamid 25 (20-30) - 35 (30-40) -
Etambutol 15 (15-20) - 30 (25-35) -
Streptomisin 15 (15-12) - 15 (12-18) 1000
\\\
Panduan OAT yang digunakan di Indonesia
1. Sediaan OAT Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam
bentuk paket berupa Fixed-Dose Combination (OAT-FDC). Tablet OAT-FDC terdiri
dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Akan tetapi dosis
penggunaannya harus disesuaikan dengan berat badan pasien. Keuntungan dari FDC
yakni antara lain:
a. Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan untuk menjamin efektifitas
obat dan mengurangi efek samping.
b. Tidak menggunakan obat tunggal sehingga menurunkan resiko resistensi obat
ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep.
c. Jumlah tablet yang dikonsumsi lebih sedikit daripada obat tunggal sehingga
kepatuhan pasien meningkat (Kemenkes RI, 2014).
Kategori OAT
Pengobatan TB paru bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,
mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya
resistensi kuman terhadap OAT (Depkes RI, 2011). Pengobatan TB paru terbagi
menjadi dua tahap yaitu tahap intensif (2-3 bulan) dan tahap lanjutan 4 atau 7 bulan,
diantaranya sebagai berikut (Konsensus, 2013) :
Tahap Intensif
Pada tahap intensif, pasien mendapat obat setiap hari dan perlu pengawasan secara
langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tahap intensif
tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam
kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB paru BTA positif menjadi BTA
negatif dalam 2 bulan (Depkes RI, 2007). Fase ini bertujuan untuk membunuh kuman
sebanyak-banyaknya dan secepat-cepatnya, karenanya digunakan 4-5 obat sekaligus
(Tjandra Yoga, 2008).
Tahap intensif diberikan setiap hari selama 2 bulan (2 HRZE)
(Kemenkes RI, 2014):
a. Isoniazid (H) : 300 mg – 1 tablet
b. Rifampisin (R) : 450 mg – 1 kaplet
c. Pirazinamid (Z) : 1500 mg – 3 kaplet @ 500 mg
d. Ethambutol (E) : 750mg – 3 kaplet @ 250 mg
Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka
waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister
atau dormant (tidur) sehingga mencegah terjadinya kekambuhan. Pada fase ini
bertujuan menghilangkan sisa-sisa kuman yang ada, untuk mencegah kekambuhan
(Depkes RI, 2007).
1. Isoniazid (H) : 600 mg – 2 tablet @ 300mg
2. Rifampisin (R) : 450 mg – 1 kaplet
Obat TB paru diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis, dalam jumlah
cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan, supaya semua kuman dapat dibunuh. Dosis
tahap intensif dan dosis tahap lanjutan ditelan sebagai dosis tunggal pada saat perut
kosong. Apabila paduan obat yang digunakan tidak adekuat (jenis, dosis dan jangka
waktu pengobatan), kuman TB paru akan berkembang menjadi kuman kebal obat
(resisten). Pengobatan dilakukan dengan pengawasan langsung (DOTS = Directly
Observed Treatment Shortcourse) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO),
untuk menjamin kepatuhan penderita menelan obat (Depkes RI, 2011)
Terdapat dua kategori obat OAT yang digunakan di Indonesia yaitu untuk pasien
kategori 1 dan kategori 2 sebagai berikut (Kemenkes RI, 2014):
1. Kategori-1 (2 HRZE/4H3R3)
Paduan OAT kategori 1 diberikan untuk pasien TB paru/ekstra paru baru
yang terkonfirmasi bakteriologis dan terdiagnosis klinis. Kategori ini
terdiri dari beberapa obat OAT yang juga dibagi berdasarkan tahap
pengobatan intensif dan lanjutan. Berikut ini merupakan obat-obat yang
digunakan pada tahap intensif pengobatan TB paru:
• H (INH/Isoniazid)
• R (Rifampisin)
• Z (Pirazinamid)
• E (Etambutol)
Obat-obat tersebut dikonsumsi setiap hari selama 2 bulan pengobatan.
Sedangkan untuk tahap lanjutan terdiri dari dua obat OAT yang
dikonsumsi 3 kali seminggu selama 4 bulan (Depkes RI, 2005):
• H (INH/Isoniazid)
• R (Rifampisin) Berikut ini merupakan tabel dosis paduan OAT
KDT/FDC untuk kategori 1:
Tabel 2.3 Dosis panduan OAT FDC kategori 1 (Kemenkes RI, 2014) :
Tahap Intensif Tahap Lanjutan
Berat Badan tiap hari selama 56 hari 3 kali seminggu selama 16
RHZE (150/75/400/275) minggu RH (150/150)
30 - 37 kg 2 tablet 4 FDC 2 tablet 2 FDC
38 – 54 kg 3 tablet 4 FDC 3 teblet 2 FDC
55 – 70 kg 4 tablet 4 FDC 4 tablet 2 FDC
≥ 71 kg 5 tablet 4 FDC 5 tablet 2 FDC
Tabel 2.4 Dosis panduan OAT kombipak kategori 1 (Kemenkes RI,
2014) :
Tahap Lam Dosis per hari / kali Jumlah hari
Pengobat a Tablet Kaplet Tablet Tablet /kali
an Peng Isoniazi Rifampi Pirazina Etambut menelan
obat d @300 sin @ mid ol @250 obat
an mg 450 mg @500 mg
mg
Intensif 2 Bulan 1 1 3 3 56
Lanjutan 4 Bulan 2 1 - - 48
2. Kategori-2 (2 HRZES/HRZE/5 H3R3E3)
Paduan OAT kategori 2 diberikan untuk pasien TB yang sebelumnya
pernah mengonsumsi OAT tetapi kambuh, gagal atau drop-out. Kategori
ini terdiri dari beberapa obat OAT yang juga dibagi berdasarkan tahap
pengobatan intensif dan lanjutan. Berikut ini merupakan obat-obat yang
digunakan pada tahap intensif :
• H (INH/Isoniazid)
• R (Rifampisin)
• Z (Pirazinamid)
• E (Etambutol)
• S (Streptomisin)
Obat-obat tersebut dikonsumsi setiap hari selama 2 bulan pengobatan.
Sedangkan untuk tahap lanjutan terdiri obat anti tuberkulosis sebagai
berikut (Depkes RI, 2005) :
• H (INH/Isoniazid)
• R (Rifampisin)
• E (Etambutol)
Dosis paduan OAT FDC dan kombipak untuk kategori 2, diantaranya
sebagai berikut:
Berat Tahap Intensif Tahap Lanjutan
Badan Tiap hari 3 kali seminggu
RHZE (150/75/400/275) + S RH (150/150) + E (400)
Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu
30 – 37 kg 2 tablet 4FDC 2 tablet 4FDC 2 tablet 4FDC
+ 500 mg Streptomisin inj. + 2 tab Ethambutol
38 – 54 kg 3 tablet 4FDC 3 tablet 4FDC 3 tablet 4FDC
+ 750 mg Streptomisin inj. +3 tab Ethambutol
55 – 70 kg 4 tablet 4FDC 4 tablet 4FDC 4 tablet 4FDC
+ 1000 mg Streptomisin inj. + 4 tab Ethambutol
≥ 71 kg 5 tablet 4FDC 5 tablet 4FDC 5 tablet 4FDC
+ 1000 mg Streptomisin inj. (>dosis + 5 tab Ethambutol
maksimal)
Tabel 2.5 Dosis paduan OAT FDC kategori 2 (Kemenkes RI, 2014) :
Table Kaplet Etambutol Jumlah
Tablet
t
Pirazin
Tahap Lama Isonia- Rifampi Tabl Tabl Strepto hari / kali
a- mid
Pengobatan Peng- zid -sin et et -misin menela
@500
Obata @30 @ @25 @40 injeksi n obat
mg
n 0 450 0 0
Mg Mg Mg mg
Tahap Awal 2 bulan 1 1 3 3 - 0,75 56
(dosi 1 bulan 1 1 3 3 - - 28
s
haria
n)
Tahap
Lanjutan
(dosis 3x 5 bulan 2 1 - 1 2 - 6
seminggu)
Tabel 2.6 Dosis paduan OAT kombipak kategori 2 (Kemenkes RI, 2014) :
Catatan :
• Perempuan hamil yang mengidap TB diberikan pengobatan TB
keadaan khusus
• Streptomisin vial 1 gram dilarutkan dalam 3,7 ml aquabidest sehingga
volume total yaitu 4 ml
• Penggunaan OAT lini kedua seperti golongan aminoglikosida
(contoh : kanamisin) dan golongan kuinolon tidak dianjurkan untuk
diberikan kepada pasien baru tanpa indikasi yang jelas. Hal ini karena
potensi OAT lini kedua jauh lebih rendah daripada OAT lini pertama.
Penggunaan OAT lini kedua pada pasien baru juga dapat meningkatkan
resiko terjadinya resistensi pada OAT lini kedua
3. Paket OAT Kategori Anak
Paket OAT kategori anak disediakan dalam bentuk tablet kombinasi dosis
tetap. Tablet kombinasi tersebut terdiri dari 3 jenis obat. Dosis yang
digunakan pada OAT jenis ini adalah sesuai dengan berat badan pasien.
Panduan ini dikemas dalam 1 paket untuk 1 pasien (Kemenkes RI, 2014).
B. Kepatuhan
Kepatuhan merupakan kecenderungan penderita melakukan instruksi
medikasi yang dianjurkan (Gough, 2011). Kepatuhan minum obat sendiri
kembali kepada kesesuaian penderita dengan rekomendasi pemberi pelayanan
yang berhubungan dengan waktu, dosis, dan frekuensi pengobatan untuk
jangka waktu pengobatan yang dianjurkan (Petorson, 2012). Perilaku
kepatuhan lebih rendah pengobatan yang kompleks, dan pengobatan dengan
efek samping. Penderita TB paru yang patuh berobat adalah yang
menyesuaikan pengobatan secara teratur dan lengkap tanpa terputus selama 6
bulan (Depkes RI, 2011).
Salah satu indikator kepatuhan dalam pengobatan TB adalah datang atau
tidaknya penderita setelah mendapat anjuran untuk kontrol kembali.
Seseorang penderita akan dikatakan patuh jika dalam proses pengobatan
penderita meminum obat sesuai dengan aturan paket obat dan tepat waktu
dalam pengambilan obat. Tipe-tipe ketidakpatuhan pasien antara lain:
(1) Tidak meminum obat sama sekali;
(2) Tidak meminum obat dalam dosis yang tepat (terlalu kecil/ terlalu
besar);
(3) Meminum obat untuk alasan yang salah;
(4) Jarak waktu meminum obat yang kurang tepat;
(5) Meminum obat lain di saat yang bersamaan sehingga menimbulkan
interaksi obat (Khoiriyah, 2009).
Tidak patuh, tidak hanya diartikan sebagai tidak minum obat, namun bisa
memuntahkan obat atau mengkonsumsi obat dengan dosis yang salah sehingga
menimbulkan Multi Drug Resistance (MDR). Perbedaan secara signifikan antara
patuh dan tidak patuh belum ada, sehingga banyak peneliti yang mendefinisikan
patuh sebagai berhasil tidaknya suatu pengobatan dengan melihat hasil, serta
melihat proses dari pengobatan itu sendiri. Hal-hal yang dapat meningkatkan
faktor ketidakpatuhan bisa karena sebab yang disengaja dan yang tidak disengaja.
Ketidakpatuhan yang tidak disengaja terlihat pada penderita yang gagal mengingat
keyakinan tentang pengobatan antara manfaat dan efek samping yang dihasilkan
(Chambers, 2010).
1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan
Menurut penelitian yang di lakukan oleh Lestari dan Chairil pada tahun 2017,
kepatuhan minum obat antituberkulosis (OAT) dipengaruhi oleh beberapa
faktor yaitu :
1. Motivasi Ingin Sembuh
Motivasi merupakan respon terhadap tujuan. Penderita TB paru
menginginkan kesembuhan pada penyakitnya. Hal tersebut yang menjadi
motivasi dan mendorong penderita untuk patuh minum obat dan
menyelesaikan program pengobatan.
2. Dukungan Keluarga
Keluarga memiliki peran penting untuk kesembuhan penderita karena
keluarga mampu memberikan dukungan emosional dan mendukung
penderita dengan memberikan informasi yang adekuat. Dengan adanya
keluarga, pasien memiliki perasaan memiliki sebuah tempat yang aman
dan damai untuk istirahat dan pemulihan serta membantu penguasaaan diri
terhadap emosi pasien.
3. Pengawasan dari PMO
Pengawas Minum Obat (PMO) adalah seseorang yang dengan sukarela
membantu pasien TB paru selama dalam masa pengobatan. PMO biasanya
adalah orang yang dekat dengan pasien dan lebih baik apabila tinggal satu
rumah bersama dengan pasien. Tugas dari seorang PMO adalah
mengawasi dan memastikan pasien agar pasien menelan obat secara rutin
hingga masa pengobatan teratur. Pengawasan dari seorang PMO adalah
faktor penunjang kepatuhan minumobat karena pasien sering lupa minum
obat pada tahap awal pengobatan. Namun, dengan adanya PMO pasien
dapat minum obat secara teratur sampai selesai pengobatan dan berobat
secara teratur sehingga program pengobatan terlaksanakan dengan baik.
4. Pekerjaan
Status pekerjaan berkaitan dengan kepatuhan dan mendorong individu
untuk lebih percaya diri dan bertanggung jawab dalam menyelesaikan
masalah kesehatan sehingga keyakinan diri mereka meningkat. Pasien TB
yang bekerja cenderung memiliki kemampuan untuk mengubah gaya
hidup dan memiliki pengalaman untuk mengetahui tanda dan gejala
penyakit. Pekerjaan membuat pasien TB lebih bisa memanfaatkan dan
mengelola waktu yang dimiliki untuk dapat mengambil OAT sesuai
jadwal di tengah waktu kerja.
5. Tingkat Pendidikan
Pendidikan pasien dapat meningkatkan kepatuhan, sepanjang bahwa
pendidikan tersebut merupakan pendidikan yang aktif dan dapat juga
dilakukan dengan penggunaan buku-buku oleh pasien secara mandiri.
Usaha-usaha ini sedikit berhasil dan membuat seorang dapat menjadi taat
dan patuh dalam proses pengobatannya.
2. Morisky Medication Adherence Scale-8 (MMAS-8)
Morisky Medication Adherence Scale-8 / MMAS-8 merupakan kuesioner
standar yang dibuat pada awal tahun 1986 oleh Donald E. Morisky dari
Universitas California dan merupakan kuesioner untuk mengukur kepatuhan
pengobatan pasien. Instrumen penelitian dari MMAS-8 yang dilakukan oleh
Morisky, dkk. (2011) telah dikembangkan ke dalam berbagai versi bahasa,
seperti versi Thailand, Perancis, Malaysia, dan Korea yang telah teruji validitas
dan reliabilitasnya. Pengembangan instrumen ke dalam berbagai versi bahasa
ini dilakukan karena penggunaan kuesioner MMAS-8 yang luas dan banyak
digunakan sebagai alat ukur kepatuhan (Al-Qazaz dkk., 2010).
Pengukuran kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat anti tuberkulosis di
Asia, kuesioner MMAS-8 merupakan metode yang paling sering digunakan
untuk menilai kepatuhan pasien TB paru (Culig dkk., 2014). Menurut laporan
World Health Organization (2017) kepatuhan rata-rata pasien pada terapi
jangka panjang terhadap penyakit kronis di negara maju sebesar 50% dan di
negara berkembang diperkirakan akan lebih rendah (Kearney dkk., 2014).
Perbedaan tersebut terjadi karena ada beberapa faktor yang menyebabkan
ketidakpatuhan pasien, pada umumnya diklasifikasikan ke dalam lima kategori:
faktor sosial ekonomi, faktor faktor yang berhubungan dengan terapi
pengobatan yang dijalani pasien, faktor perilaku pasien, faktor kondisi pasien,
dan faktor yang berasal dari regulasi ataupun sistem pelayanan kesehatan dalam
populasi tersebut (Lam dkk., 2015).
Di Indonesia, kuesioner MMAS-8 banyak digunakan untuk menilai tingkat
kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat. Hal ini dilakukan karena
kuesioner MMAS-8 yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia yang
digunakan merupakan kuesioner MMAS-8 versi Indonesia yang sudah baku,
maka tidak perlu melakukan uji validitas lagi, sedangkan kuesioner yang belum
baku perlu dilakukan uji validitas (Nasir dkk., 2015). Pengukuran tingkat
kepatuhan pasien TB paru dengan instrumen yang telah valid dan reliabel perlu
dilakukan di fasilitas kesehatan terutama rumah sakit/puskesmas yang menjadi
fasilitas kesehatan pertama agar tercapai efektifitas dan efisiensi pengobatan,
serta untuk monitoring keberhasilan dari pengobatan.
MMAS-8 (Morisky Medication Adherence Scale) merupakan skala kuesioner
dengan butir pertanyaan sebanyak 8 butir menyangkut dengan kepatuhan
minum obat. Kuesioner ini telah tervalidasi pada tuberkulosis tetapi dapat
digunakan pada pengobatan lain secara luas.
a. Kepatuhan tinggi memiliki nilai 8
b. Kepatuhan sedang memiliki nilai 6 - < 8
c. Kepatuhan rendah memiliki nilai 0-<6
A.
B.
C. Teori Perilaku
Perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus
(rangsangan dari luar). Oleh karena perilaku ini terjadi melalui proses adanya
stimulus terhadap organisme, dan kemudian organisme tersebut merespons
(Notoatmodjo, 2007). Perilaku kesehatan adalah suatu respons seseorang
(organisme) terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit dan
penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, dan minuman, serta
lingkungan. Dalam perkembangannya, teori Bloom ini dimodifikasi untuk
pengujuran hasil pendidikan kesehatan yakni:
1. Pengetahuan (Knowledge)
Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang
terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan
sebagainya). Dengan sendirinya, pada waktu penginderaan sampai
menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas
perhatian dan persepsi terhadap objek. Sebagian besar pengetahuan
seseorang diperoleh melalui indera pendengaran (telinga), dan indera
penglihatan (mata). Pengetahuan seseorang terhadap objek mempunyai
intensitas atau tingkat yang berbeda-beda. Secara garis besarnya dibagi
dalam 6 tingkat pengetahuan, yaitu:
a. Tahu (Know)
Tahu diartikan hanya sebagai recall (memanggil) memori yang telah
ada sebelumnya setelah mengamati sesuatu. Untuk mengetahui atau
mengukur bahwa orang tahu sesuatu dapat menggunakan pertanyaan –
pertanyaan.
b. Memahami
(Comprehension) Memahami suatu objek bukan sekedar tahu terhadap
objek tersebut, tidak sekedar dapat menyebutkan, tetapi orang tersebut
harus dapat menginterpresentasikan secara benar tentang objek yang
diketahui tersebut.
c. Aplikasi (Application)
Aplikasi diartikan apabila orang yang telah memahami objek yang
dimaksud dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang
diketahui tersebut pada situasi yang lain.
d. Analisis
(Analysis) Analisis adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan
atau memisahkan, kemudian mencari hubungan antara komponen–
komponen yang terdapat dalam suatu masalah atau objek yang
diketahui. Indikasi bahwa pengetahuan seseorang itu sudah sampai
pada tingkat analisis adalah apabila orang tersebut telah dapat
membedakan, atau memisahkan, mengelompokkan, membuat diagram
(bagan) terhadap pengetahuan atas objek tersebut.
e. Sintesis (Synthesis)
Sintesis menunjukkan suatu kemampuan seseorang untuk merangkum
atau meletakkan dalam satu hubungan yang logis dari komponen-
komponen pengetahuan yang dimiliki. Dengan kata lain, sintesis
adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari
formulasi-formulasi yang telah ada.
f. Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan
justifikasi atau penilaian terhadap suatu objek tertentu. Penilaian ini
dengan sendirinya didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan
sendiri atau norma yang berlaku di masyarakat. Indikator yang dapat
digunakan untuk mengetahui tingkat pengetahuan atau kesadaran
terhadap kesehatan, dapat dikelompokkan menjadi:
a. Pengetahuan tentang sakit dan penyakit yang meliputi:
1. Penyebab penyakit
2. Gejala atau tanda-tanda penyakit
3. Bagaimana cara pengobatan, atau kemana mencari pengobatan
4. Bagaimana cara penularannya
5. Bagaimana cara pencegahannya
b. Pengetahuan tentang cara pemeliharaan kesehatan dan cara hidup
sehat, meliputi:
1. Jenis makanan yang bergizi
2. Manfaat makanan yang bergizi bagi kesehatannya
3. Pentingnya olahraga bagi kesehatan
4. Penyakit atau TB Paru
5. Pentingnya istirahat cukup, relaksasi, rekreasi, dan sebagainya
bagi kesehatan
c. Pengetahuan tentang kesehatan lingkungan:
1. Manfaat air bersih
2. Cara pembuangan limbah yang sehat, termasuk pembuangan
kotoran yang sehat, dan sampah
3. Manfaat pencahayaan dan penerangan rumah yang sehat
4. Akibat polusi (polusi air, udara, dan tanah) bagi kesehatan,
dan sebagainya.
2. Sikap (Attitude)
Sikap adalah juga respons tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek
tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang
bersangkutan (senang - tidak senang, setuju - tidak setuju, baik - tidak
baik, dan sebagainya). Sikap itu suatu sindroma atau kumpulan gejala
dalam merespons stimulus atau objek, sehingga sikap itu melibatkan
pikiran, perasaan, perhatian, dan gejala kejiwaan yang lain. Sikap
merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan
merupakan pelaksanaan motif tertentu. Fungsi sikap belum merupakan
tindakan (reaksi terbuka) atau aktivitas, akan tetapi merupakan
predisposisi perilaku (tindakan) atau reaksi tertutup).
Sikap itu terdiri dari 3 komponen pokok, yaitu :
a. Kepercayaan atau keyakinan ide dan konsep terhadap objek.
Artinya bagaimana keyakinan dan pendapat atau pemikiran seseorang
terhadap objek. Sikap orang terhadap objek. Sikap orang terhadap
penyakit TB Paru misalnya, bagaimana pendapat atau keyakinan orang
tersebut terhadap penyakit Tuberkulosis Paru.
b. Kehidupan emosional atau evaluasi orang terhadap objek.
Artinya bagaimana penilaian (terkandung di dalamnya faktor emosi)
orang tersebut terhadap objek. Seperti contoh butir a tersebut, berarti
bagaimana orang menilai terhadap penyakit TB Paru, apakah penyakit
yang biasa saja atau penyakit yang membahayakan.
c. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave).
Artinya sikap adalah merupakan komponen yang mendahului tindakan
atau perilaku terbuka. Sikap adalah ancang-ancang untuk bertindak
atau berperilaku terbuka (tindakan). Misalnya, tentang contoh sikap
terhadap penyakit TB Paru di atas, adalah yang dilakukan seseorang
bila menderita penyakit TB Paru. Seperti halnya pengetahuan, sikap
juga mempunyai tingkat-tingkat berdasarkan intensitasnya, sebagai
berikut :
a) Menerima (receiving)
Seseorang diartikan bahwa seseorang atau subjek mau menerima
stimulus yang diberikan (objek).
b) Menanggapi (responding)
c) Menghargai (valuing)
Subjek atau Seseorang memberikan nilai yang positif terhadap
objek atau stimulus, dalam arti membahasnya dengan orang lain
dan bahkan mengajak atau mempengaruhi atau menganjurkan
orang lain merespon.
d) Bertanggungjawab (responsible) Bertanggungjawab terhadap apa
yang telah diyakininya. Seseorang yang telah mengambil sikap
tertentu berdasarkan keyakinannya dia harus berani mengambil
resiko kalau ada orang lain yang mencemoohkannya atau adanya
resiko lain.
Indikator untuk sikap kesehatan juga sejalan dengan pengetahuan
kesehatan, antara lain:
a. Sikap terhadap sakit dan penyakit
1. Bagaimana penilaian atau pendapat seseorang terhadap
gejala atau tanda penyakit,
2. Penyebab penyakit
3. Cara penularan penyakit
4. Cara pencegahan penyakit
b. Sikap cara pemeliharaan dan cara hidup sehat Penilaian atau
pendapat seseorang terhadap cara memelihara dan cara
berperilaku hidup sehat. Dengan perkataan lain pendapat atau
penilaian terhadap makanan, minuman, olahraga, rekreasi
(istirahat) atau istirahat cukup bagi kesehatannya.
c. Sikap terhadap kesehatan lingkungan Pendapat atau penilaian
seseorang terhadap lingkungan dan pengaruhnya terhadap
kesehatan. Misalnya: pendapat atau penilaian terhadap air bersih,
pembuangan limbah, polusi.
3. Tindakan atau Praktik (Practice)
Sikap adalah kecenderungan untuk bertindak. Sikap belum tentu terwujud
dalam tindakan, sebab untuk terwujudnya tindakan perlu faktor lain, yaitu
adanya fasilitas atau sarana dan prasarana. Misalnya : Penderita
Tuberkulosis harus rajin minum obat supaya berhasil sembuh dan
diperlukan petugas PMO selain di Puskesmas juga di rumah.
a. Praktik terpimpin (guided response) Seseorang telah melakukan
sesuatu tetapi masih tergantung pada tuntutan menggunakan panduan.
b. Praktik secara mekanisme (mechanism) Seseorang telah melakukan
sesuatu hal secara otomatis maka disebut praktik.
c. Adopsi (adoption) Adopsi adalah suatu tindakan praktik yang sudah
berkembang. Artinya, apa yang dilakukan tidak sekedar rutinitas tetapi
sudah perilaku yang berkualitas.
Indikator praktik kesehatan dibagi menjadi 3 sebagai berikut:
a. Tindakan (praktik) sehubungan dengan penyakit
1) Pencegahan penyakit
2) Penyembuhan penyakit
b. Tindakan (praktik) pemeliharaan dan peningkatan kesehatan
1) Mengkonsumsi makanan dengan gizi seimbang
2) Melakukan olahraga secara teratur
c. Tindakan (praktik) kesehatan lingkungan
1) Membuang air besar di jamban (WC)
2) Membuang sampah ditempat sampah
3) Menggunakan air bersih untuk mandi, cuci, masak (Notoatmojo,
2007)
BAB III
KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS DAN DEFINISI OPERASIONAL
A. Kerangka Konsep
Kerangka konsep merupakan kerangka yang menggambarkan satu atau lebih
variabel independen dengan satu variabel dependen. Variabel independen
adalah faktor yang dapat di operasionalkan, sedangkan variabel dependen
adalah situasi masalah yang dapat di operasionalkan dalam penelitian
kuantitatif (Lapau, 2013). Sebuah penelitian sangat memerlukan sebuah
kerangka konsep yaitu suatu model pendahuluan dari sebuah maslaah
penelitian yang akan dilakukan dan menjadi refleksi dari hubungan variabel-
variabel yang akan diteliti. Kerangka konsep dibuat sesuai dengan literatur
dan teori yang sudah ada (Swarjana.2015).
Variabel dalam penelitian ini meliputi variabel independen dan dependen.
Independen yaitu pengetahuan dan variabel dependen yaitu Tingkat
Kepatuhan Pengobatan Pasien Tubercuosis Paru. Untuk lebih jelasnya dapat
di gambarkan sebagai berikut:
Bagan 3.1 Kerangka konsep
Variabel Independen Variabel Dependen
Tingkat Kepatuhan
Pengetahuan Pengobatan Pasien
Tubercuosis Paru
A. Variabel Penelitian
Dalam penelitian ini terdapat dua variabel, diantaranya :
1. Varabel Independen
Variabel independen merupakan variabel yang menjadi sebab perubahan
atau timbulnya variabel dependen (terikat), variabel ini disebut bebas
artinya variabel yang bebas mempengaruhi variabel yang lain (Sugiyono,
2017). Variabel independen dalam penelitian ini adalah pengetahuan.
2. Variabel Dependen
Variabel dependen merupakan variabel yang dipengaruhi menjadi akibat
karena variabel bebas(Sugiyono, 2017). Variabel dependen dalam
penelitian ini adalah Tingkat Kepatuhan Pengobatan Pasien Tubercuosis
Paru.
B. Hipotesis
Menurut Sugiyono, (2017) Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap
rumusan masalah penelitian, dimana rumusan masalah dalam bentuk kalimat
pertanyaan.
Hipotesis pada penelitian ini:
1. Ada Hubungan Pengetahuan Dengan Tingkat Kepatuhan Pengobatan
Tuberculosis Paru di RS Proklamasi Tahun 2022.
C. Definisi operasional
Definisi operasional bermanfaat untuk mengarahkan kepada pengukuran atau
pengamatan terhadap variabel yang bersangkutan dan mengembangan
instrument (alat ukur). Atau pegertian variabel – variabel yang diamati atau
diteliti (Notoatmodjo, 2018).
Tabel 3.1 Definisi Operasional
Definisi
No. Variabel Cara ukur Alat ukur Hasil ukur Skala
Operasional
1. Independen : Segala Memberi Kuesioner a. Baik, bila nilai Ordinal
Pengetahuan sesuatu yang ceklist (√)
diketahui di kolom responden
penderita perilaku >mean/median
terhadap
kepatuhan b. Kurang baik,
pengobatan bila nilai
tuberculosis
paru responden <
mean/median
2. Dependen : Proses Memberi Kuesioner a. kepatuhan Ordinal
Tingkat tindakan ceklist (√) tinggi
Kepatuhan dalam di kolom b. kepatuhan
Pengobatan melakukan tingkat sedang
Tuberculosis pengobatan kepatuhan c. kepatuhan
Paru sesuai pengobatan rendah
anjuran dari
tenaga
kesehatan.
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Desain penelitian Deskriptif analitik dengan pendekatan Crossectional yaitu
mengukur variabel perilaku ibu dalam melakukan perawatan botol susu.
Penelitian untuk mempelajari dinamika kolerasi antara faktor risiko dengan
faktor efek, dengan cara pendekatan, observasi atau pengumpulan data
sekaligus pada suatu saat (Point Time Approach). Artinya, setiap subjek
penelitian hanya diobservasi sekali saja dan pengukuran dilakukan terhadap
status karakter atau variabel subjek pada saat pemeriksaan (Notoatmodjo,
2018).
Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif yang menggunakan jenis
penelitian deskritif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Hubungan
Pengetahuan Dengan Tingkat Kepatuhan Pengobatan Tuberculosis Paru di
RS Proklamasi Tahun 2022. penelitian ini dilakukan dengan
mengumpulkan data dan menjawab kuesioner penelitian.
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
1. Lokasi
Penelitian ini dilaksanakan di RS Proklamasi
2. Waktu
Penelitian dilaksanakan pada bulan, kemudian pengambilan data akan
dilakukan pada bulan, dan melakukan pembuatan laporan penelitian pada
bulan
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek
yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh
peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. (Sugiyono,
2017).
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penderita tuberculosis paru
yang melakukan pengobatan tuberculosis paru di RS Proklamasi
2. Sampel
Menurut Notoatmodjo (2018) sampel merupakan objek yang diteliti dan
dianggap mewakili seluruh populasi. Pada penelitian ini yang menjadi
sampel adalah penderita tuberculosis paru yang melakukan pengobatan
tuberculosis paru di RS Proklamasi.
Rumus besaran sampel
Dengan menggunakan rumus Slovin:
N
n= 2
1+ N (d )
Keterangan:
n : Perkiraan sampel
d : Tingkat kesalahan (0,05)
N : Perkiraan populasi
( Notoatmodjo, 2018)
N
n=
N . ( d ) +1
2
300
n= o
300 ( 0,05 2) + 1
300
n=
300 ( 0,0025 ) +1
300
n=
1.75
n=171
Jadi sampel dalam penelitian ini adalah 171 responden.
Untuk penjelasan sampel yang akan diteliti, adapun kriteria sampel dalam
penelitian ini adalah :
a. Kriteia inklusi:
Kriteria inklusi adalah kriteria atau ciri-ciri yang perlu dipenuhi oleh
setiap anggota populasi yang dapat diambil sebagai sampel
(Notoatmodjo, 2018), adapun kriteria inklusi dalam penelitian ini
adalah :
1) Pasien tb paru yang bersedia menjadi responden dengan
menandatangani informed consent saat pengambilan data.
2) Pasien yang sedang menjalani pengobatan tb paru
3) Pasien tb paru dewasa yang berusia 20-60 tahun.
D. Etika penelitian
Masalah etika penelitian kesehatan merupakan masalah yang sangat penting
dalam penelitian, mengingat penelitian kesehatan berhubungan langsung
dengan manusia, maka segi etika penelitian harus diperhatikan
(Notoatmodjo,2012). Setiap penelitian yang menggunakan objek manusia
tidak boleh bertentangan dengan etika agar hak responden dapa terlindungi,
kemudian kuesioner dikirim ke subjek ang diteliti dengan menekankan pada
masalah etika penelitian. Untuk penelitian ini menekankan pada masalah etika
yang meliputi:
1. Informed Consent
Informed consent diberikan sebelum melakukan penelitian. Informed
consent ini berupa lembar persetujuan untuk menjadi responden.
Pemberian informed consent ini bertujuan agar subjek penelitian mengerti
maksud dan tujuan penelitian dan mengetahui dampaknya. Jika subjek
penelitian bersedia, maka mereka harus menandatangani lembar
persetujuan dan jika responden tidak bersedia, maka peneliti harus
menghormati keputusan tersebut (Notoatmodjo, 2012). Pada penelitian ini
semua responden akan diberi lembar persetujuan.
2. Anonimity (Kerahasiaan nama/identitas)
Anonimity berarti tidak perlu mencantumkan nama pada lembar
pengumpulan data (kuesioner). Peneliti hanya menuliskan kode pada
lembar pengumpulan data tersebut. Pada penelitian ini, peneliti tidak akan
mencantumkan nama subjek penelitian pada lembar pengumpulan data
(Notoatmodjo, 2012).
3. Confidentiality (kerahasiaan hasil)
Bab ini menjelaskan masalah - masalah responden yang harus
dirahasiakan dalam penelitian. Informasi yang telah dikumpulkan dijamin
kerahasiaannya oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan
dilaporkan dalam hasil penelitian (Notoatmodjo, 2012).
E. Instrumen Penelitian
Penelitian ini menggunakan instrumen berupa kuesioner tertutup atau angket
yang diisi langsung oleh responden. Kuesioner adalah sejumlah pernyataan
tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden.
Kuesioner tertutup adalah kuesioner dibuat sedemikian rupa sehingga
responden hanya tinggal memilih atau menjawab pernyataan yang sudah ada
atau disediakan jawabannya (Notoatmodjo, 2012). Kuesioner yang terdiri dari
20 yang didalamnya memuat pernyataan seputar hubungan antara variabel
independen dan variabel dependen dalam penelitian ini.
Adapun instrument yang digunakan pada variabel independen berbentuk
kuesioner dengan 1 (satu) kali ukur. Adapun kuesioner dalam variabel
independen :
1. Kuisioner pengetahuan yang terdiri dari 20 pertanyaan dengan
menggunakan skala likert. untuk jawaban sangat setuju (skor 5), setuju
(skor 4), tidak tahu (skor 3), tidak setuju (skor 2), sangat tidak setuju
(skor 1).
Adapun kuesioner dalam variabel dependen :
1. Kuesioner tingkat kepatuhan pengobatan tuberculosis paru yang terdiri
dari 2 item dengan pernyataan ya (1) dan tidak (0).
F. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan
kuesioner yang berisi beberapa pertanyaan penulis dengan maksud untuk
memperoleh informasi secara langsung. Menurut Sugiyono (2017) kuesioner
merupakan teknik pengumpulan data yang efesien bagi peneliti dengan
variabel yang akan diukur. Kuesioner (Angket) merupakan teknik
pengumpulan data dimana responden mengisi perntanyaan, kemudian setelah
diisi dengan lengkap akan di ambil kembali oleh peneliti.
G. Prosedur Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan
kuesioner yang berisi beberapa pertanyaan penulis dengan maksud untuk
memperoleh informasi secara langsung.
Setelah peneliti melakukan uji proposal kemudian peneliti melanjutkan untuk
memperbaiki proposal penelitian. Setelah itu peneliti mengajukan
pepermohonan izin penelitian lalu setelah mendapatkan persetujuan peneliti
melakukan penelitian kepada responden. Sebelum melakukan penelitian
dengan dilakukannya terlebih dahulu maksud dan tujuan penelitian kemudian
memberikan kuesioner kepada responden dan ketika responden selesai,
peneliti mengambil kembali kuesioner yang sudah diisi. Untuk selanjutnya,
peneliti mengumpulkan semua data yang telah didapatkan untuk menganalisis
hasil kuesioner dan diolah menggunakan perangkat lunak SPSS. Kemudian
setelah semuanya diolah peneliti segera mempersiapkan sidang skripsi.
H. Teknik Pengolahan Data
1. Penyuntingan Data (Editing)
Hasil angket yang diperoleh atau dikumpulkan melalui lembar kusioner
perlu disunting (edit) terlebih dahulu. Apabila ternyata masih ada data atau
informasi yang tidak lengkap, maka lembar kusioner tersebut dikeluarkan
(Drop Out).
2. Membuat Lembaran Kode (Coding)
Lembaran atau kartu kode adalah instrument berupa kolom-kolom untuk
merekam data secara manual. Lembaran atau kode berisi nomor responden
dan nomor-nomor pertanyaan.
3. Memasukkan Data (Data Entry)
Yaitu mengisi kolom-kolom atau kotak-kotak lembar kode atau kartu kode
sesuai dengan jawaban masing-masing pertanyaan.
4. Tabulasi
Yaitu membuat tabel data, sesuai dengan tujuan peneliti atau yang
diinginkan oleh penelitian.
I. Sumber Data
Dalam penelitian ini penulis menggunakan dua sumber data yaitu :
1. Sumber data primer yaitu data yang dikumpulkan oleh peneliti dari
responden. Adapun yang menjadi sumber data primer dalam penelitian ini
adalah penderita tuberculosis paru yang sedang melakukan pengobatan.
2. Sumber data sekunder yaitu data yang dikumpulkan oleh peneliti sebagai
data penunjang dari responden. Dapat juga dikatakan data yang tersusun
dalam bentuk dokumentasi. Dokumentasi dan angket merupakan data
sekunder dari responden.
J. Uji Validitas dan Reliabilitas
1. Uji Validitas
Uji validitas adalah suatu indek yang menunjukkan alat ukur itu benar-
benar mengukur apa yang diukur (Notoatmodjo, 2018). Uji validitas
berguna untuk mengetahui apakah ada pernyataan-pernyataan pada
kuesioner yang harus dibuang atau diganti karena dianggap tidak relevan.
Instrumen dikatakan valid apabila mampu mengukur apa yang seharusnya
diukur serta dapat mengungkap data dari variabel yang diteliti secara
tepat.
Uji validitas dilakukan bertujuan untuk menguji sejauh mana item
kuesioner yang valid dan mana yang tidak. Kemudian dilakukan dengan
mencari atau menghitung kolerasi setiap item pertanyaan dengan skor
total pertanyaan, untuk hasil jawaban responden yang menggunakan skala
pengukuran ordinal, perhitungan korelasi antara pertanyaan ke 1 dengan
total skor. Keputusan pengujian validitas item instrumen, adalah sebagai
berikut:
a. Item pertanyaan yang diteliti dikatakan valid jika r hitung> r table
b. Item pertanyaan yang diteliti dikatakan tidak valid jika r hitung < r
table
Rumusan Uji Validitas
n ( Σ )−( Σ Σ )
XY X Y
Rumus r =
√¿¿ ¿
Keterangan :
r : Koefisien Validitas yang dicari
Σ XY : Jumlah perkalian variabel X dan Y
X
Σ : Jumlah skor dalam variable X
Σ X2 : Jumlah dari kuadrat X
Y
Σ : Jumlah skor dalam variable Y
2
ΣY : Jumlah dari kuadrat Y
n : Banyak data/responden
Berdasarkan dari jumlah sampel 171 orang dengan karakteristik yang sama
memiliki hasil r-tabel 0,1255. Maka, jika r-hitung >0,1255 dianggap valid.
a. Hasil uji validitas perilaku
Tabel 4.1
Hasil uji validitas perilaku
Pernyataan Corrected Item- Keterangan
Total Correlation
Pengetahuan
Pengetahuan
Pengetahuan
Pengetahuan
Pengetahuan
Pengetahuan
Pengetahuan
Pengetahuan
Pengetahuan
Pengetahuan
Pengetahuan
Pengetahuan
Pengetahuan
Pengetahuan
Pengetahuan
Pengetahuan
Pengetahuan
Pengetahuan
Pengetahuan
Pengetahuan
Berdasarkan tabel 4.1 dapat disimpulkan bahwa setelah melakukan uji
instrument pada 171 responden
2. Uji Reliabilitas
uji reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat
pengukur dapat dipercaya atau atau diandalkan (Notoatmodjo, 2018).
Untuk menguji reliabilitas adalah dengan menggunakan metode Alpha
Cronbach.
Rumus Cronbach’s Alpha:
r 11= ( )
k
k−1
1−
ΣS b2
St
2
Keterangan :
r 11 : Reliabilitas instrument
k : Banyak butir pertanyaan
St2 : Standar deviasi total
ΣSb2 : Jumlah deviasi standard butir
Tabel 4.2
Hasil Realiabilitas
Cronbach's
Alpha N of Items
Keseluruhan kuesioner dikatakan reliabel apabila nilai Cronbach’s Alpha≥
dari r Tabel. Hasil Uji Reliabilitas : Nilai Cronbach’s Alpha
K. Analisis Data
Analisis pada variabel-variabel didalam penelitian yang dilakukan secara:
1. Analisis Univariat
Menurut Notoatmodjo, (2018) analisa univariat bertujan untuk
medeskripsikan atau menjelaskan karakteristik setiap variabel penelitian.
Pada umumya dalam analisis ini hanya menghasilkan distribusi frekuensi
dan presentasi dari setiap variabel misalnya dari distribusi frekuensi
responden penelitian ini berdasarkan
2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan
antara 2 variabel yang diduga terdapat hubungan atau berkorelasi
(Notoatmodjo, 2018). Pada penilitian ini bertujuan untuk mengetahui
hubungan pengetahuan dengan tingkat kepatuhan pengobatan di RS
Proklamasi tahun 2022. Alat yang digunakan pada analisis data adalah
korelasi Pearson Chi-Square. Adapun rumus Chi-Square sebagai
berikut :
X2 = [
∑ ( fo−fe) ]
fe
Keterangan :
X2 = Nilai Chi-square
Fe = Frekuensi yang diharapkan
Fo = Frekuensi yang diperoleh / diamati
Jika nilai p-value < a (0,05), maka Ho ditolak dan Ha diterima, artinya
terdapat hubungan yang bermakna antara perilaku ibu dalam melakukan
perawatan dan penggunaan botol susu dengan kejadian diare pada balita.
Sedangkan jika nilai p < alpha (0,05) berarti Ho gagal ditolak dan Ha
ditolak, artinya tidak terdapat hubungan yang bermakna antara perilaku
ibu dalam melakukan perawatan dan penggunaan botol susu dengan
kejadian diare pada balita (Dahlan, 2016)
Penilaian dengan Odds Ratio (OR) untuk mengetahui seberapa besar
risiko variabel independen terhadap variabel dependen dengan estimasi
Confidence Interval (CI) OR ditetapkan pada tingkat kepercayaan 95%.
Adapun rumus Odds Ratio (OR) adalah :
a b
c d
Keterangan :
OR = a.d / b.c
Keterangan :
a = kasus yang mengalami pajanan
b = kontrol yang mengalami pajanan
c = kasus yang tidak mengalami pajanan
d = kontrol yang tidak mengalami pajanan
Penyajian data pada tabel silang 2 x 2
A: nilai O pada sel A
B: nilai O pada Sel B
C: nilai O pada sel C
D: nilai O pada sel D
Adapun interpretasi Odds Ratio (OR) adalah sebagai berikut :
a. Bila OR =1 berarti tidak ada hubungan faktor risiko dengan kejadian
b. Bila OR <1 berarti hubungan faktor risiko dengan hasil jadi adalah
efek perlindungan (efek proteksi)
c. Bila OR >1 berarti hubungan faktor risiko dengan hasil jadi adalah
efek penyebab.