Tradisi Sedekah Bumi Cirebon
Tradisi Sedekah Bumi Cirebon
Masyarakat pantai utara Cirebon, yang terkenal dengan udang dan petisnya, bermata
pencaharian utama bertani dan melaut sejak zaman dulu sudah berkembang. Dalam usaha
bertani dan melaut pada zaman sebelum Islam, mereka terikat keparcayaan agama nenek
moyang. Pada masa itu masyarakat percaya kepada dewa penguasa bumi, dewa penguasa
laut, dan sebagainya. Mereka menganggap para dewa itu sebagai sesembahan. Keyakinan
atas adanya dewa tersebut ditunjukkan dengan penyiapan sesaji di tempat-tempat yang
mereka percaya. Dengan begitu mereka berharap terhindar dari malapetaka alam yang
murka dan mendapatkan kemudahan mencapai hasil-hasil usahanya.
Ketika Islam masuk, tradisi itu sangat mendapatkan perhatian. Kepercayaan akan dewa-
dewa digantikan dengan iman kepada Tuhan. Menurut Islam, hanya Allah yang patut
disembah. Sesembahan kepada dewa pada masa pra-Islam tidak dibuang sama sekali
caranya, tetapi diubah substansinya. Dalam usaha-usaha mengalihkan keparcayaan itulah
terbentuk upacara baru, sedekah bumi. Upacara baru ini pertama kali dilaksanakan pada
pemerintahan Kanjeng Susuhan Syekh Syarif Hidayatullah (1482–1568 M), tempatnya di
Puser Bumi.
Puser Bumi adalah sebutan untuk pusat kegiatan atau pusat pemerintahan Wali Sanga.
Mengenai kedudukan Puser Bumi, ada penjelasan bahwa setelah Sunan Ampel wafat
pada 1478 M, dipindahkan dari Ampel (Jawa Timur) ke Cirebon yang letaknya di
Gunung Sembung—sekarang disebut Astana Gunung Jati.
De nika susuhan jati, hana ta sira maka purohitaning sakwehnya Dang Accaryagameslam
rat jawa kulwam, mwang para wali ing jawa dwipa, muwah ta sira susuhan jati rajarsi.
Susuhan jati adalah pimpinan para guru agama islam di Jawa Barat dan pimpinan para
wali di Pulau Jawa, beliau adalah raja resi (PNK oleh P. Wangsakerta 1677 M sarga IV
halaman 2). Upacara adat sedekah bumi dilaksanakan pada cawu ke 4 (bulan oktober)
setiap tahunnya.
Tradisi ini dilaksanakan hampir di seluruh desa-desa di Cirebon, misalnya yang masih
kuat melaksanakan tradisi ini adalah Desa Astana Gunung Jati yang termasuk kedalam
kecamatan Gunung Jati sekarang. Sebagai pelaksananya adalah Ki Penghulu serta Ki
Jeneng Astana Gunung Jati berikut para kraman. Pelaksana adat juga didukung oleh para
pemuka masyarakat dan tokoh agama di desa-desa yang berkaitan dengan Keraton
Cirebon, mereka disebut Prenata. Pelaksanaannya dimulai dengan Buka Balong dalem
yaitu mengambil ikan dari balong milik keraton di beberapa daerah (masih ada di desa
Pegagan) oleh Ki Penghulu bersama Ki Jeneng atas restu Sinuhun. Selanjutnya Ki
Penghulu bersama Ki Jeneng Ngaturi Pasamon (mengadakan pertemuan) para Prenata
dan para pemuka adat lainnya, dalam Pasamon ditetapkan hari pelaksanaan sedekah
bumi.
Maka sejak ditetapkannya hari pelaksanaan itu, disebarkanlah secara getok tular kepada
seluruh penduduk bahwa akan diadakan Sedekah Bumi, melalui para pemuka adat
penduduk mengirimkan “Gelondong Pengareng-areng”. Gelondong Pengareng-areng
adalah penyerahan secara sukarela, sebagai rasa syukur atas keberhasilan yang telah
diusahakannya. Biasanya berupa hasil bumi seperti Sura Kapendem (hasil tanaman yang
terpendam di tanah seperti ubi kayu, kembili, kentang, dsb). Sura gumantung, yaitu hasil
tanaman di atas tanah seperti buah-buahan, sayur mayur, dsb. Hasil ternak seperti Ayam,
Itik, Kambing, Kerbau, Sapi, dsb. Juga bagi mereka yang yang berusaha sebagai nelayan,
mengirimkan hasil tangkapannya dari laut sebagai rasa syukur dan berbakti kepada
kanjeng sinuhun. Penyerahan-penyerahan itu terjadi bukan karena paksaan atau peraturan
tertentu, tetapi karena kesadaran penduduk itu sendiri dan kemudian dijadikan hukum
adat yang aturan-aturan tidak tertulis.
Upacara adat Sedekah Bumi ditandai dengan Srakalan, pembacaan kidung, pencungkilan
tanah, kemudian diadakan arak-arakan yang diikuti oleh seluruh lapisan masyarakat
dengan segala bentuk pertunjukan yang berlangsung di Alun-alun Gunung Sembung,
misalnya kesenian rentena, reog, genjring, terbang, brahi, berokan, barongan, angklung
bungko, wayang, bahkan sekarang ini ado pertunjukan tarling modern organ tunggal.
Dalam pertunjukan wayang kulit lakon yang dibawakan dalam acara sedekah Bumi ini
adalah Bhumi Loka, kemudian pada dipagi harinya diadakan ruwatan. Dalam lakon
Bhumi Loka diceritakan tentang dendam Arjuna atas kematian ayahnya yaitu prabhu
Nirwata Kwaca. Terjadilah peperangan dengan putra Pandawa yang dipimpin Gatotkaca.
Prabu Kresna dan Semar mengetahui putra Gatotkaca mendapat kesulitan untuk dapat
mengalahkan mereka, bahwa para putra manik Iman-imantaka tidak dapat mati selama
menyentuh bumi. Maka semar menasehatkan agar dibuatkan Anjang-anjang di angkasa,
dan menyimpan mereka yang telah mati agar tidak dapat menenyentuh bumi. Prabu
Kresna memerintahkan Gatotkaca untuk membuat Anjang-anjang tersebut di angkasa dan
menyerang mereka dengan ajian Bramusti. Mereka semua akhirnya terbunuh oleh
Gatotkaca , diatas Anjang-anjang yang telah dipersiapkannya. Bhumi Loka mati terbunuh
kemudian menjadi Gludug lor dan Gludug kidul. Lokawati terbunuh menjadi Udan
Grantang. Loka Kusuma terbunuh menjadi Kilap, loka sengara mati terbunuh menjadi
Gledeg dan Lokaditya mati terbunuh menjadi Gelura. Habislah para putra Manik
Imantaka terbunuh oleh Gatotkaca dan kematian mereka menjadi penyebab datangnya
musim penghujan.
Dari mitos cerita di ataslah maka Sedekah Bumi dijadikan oleh kepercayaan masyarakat
untuk menyambut datangnya musim penghujan.
Namun dasawarsa terakhir ini nampaknya makna dari Sedekah Bumi sudah bergeser dari
makna awal. Selain menjadi upacara Ceremony rutinitas biasa sekarang Sedekah Bumi
menjadi daya tarik pariwisata oleh pemerintah. Terbukti dari banyaknya pengunjung
yang datang setiap diadakaanya Sedekah Bumi, yang maksud dan tujuannya pun berbeda
pula. Namun, paling tidak tradisi ini masih tetap dipertahankan sampai sekarang.
Menurut Plato tata masyarakat yang terbaik adalah masyarakat yang tidak mengalami
perubahan terhadap pengaruh luar yang bisa merubahnya. Plato lebih mendambahkan
konservasi dari pada perubahan.
Tradisi dan budaya merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam membangun
kehidupan yang ideal. Seperti halnya dengan ilmu dan agama. Ilmu dan Budaya juga
berproses dari belahan otak manusia. Ilmu berkembang dari otak kiri yang berfungsi
membangun kemampuan berpikir ilmiah, kritis, dan teknologi. Seperti halnya dengan
tradisi, termasuk kedalam salah satu kebudayaan daerah yang harus kita lestarikan. Oleh
karena, salah satu upaya yang bisa dikembangkan pemerintah dalam mengatasi persoalan
ini adalah dengan menjadikan sejarah dan budaya sebagai muatan lokal dalam kurikulum,
mulai dari tingkat SD, SMP, bahkan sampai ketingkat SMA. Harapannya adalah agar
tidak membiarkan dinamika kebudayaan itu berlangsung tanpa arah, bisa jadi akan
ditandai munculnya budaya-sandingan (Sub Culture) atau bahkan budaya tandingan
(Counter-Culture) yang tidak sesuai dengan apa yang dicita-citakan, sebab dengan
terbengakalainya pengembanagan kebudayaan bisa berakibat terjadinya kegersangan
dalam proses pengalihannya dari satu generasi kegenarasi bangsa selanjutnya. Selain itu
juga tujuan lain dari pelestarian ini paling tidak akan melahirkan generasi yang tidak
hanya cerdas dan unggul tapi juga berjiwa humanis serta merasa memiliki bahwa Cirebon
sebagai pusat peradaban sejarah dan budaya Islam ditanah jawa.
Pengenalan terhadap beberapa situs dan benda cagar budaya dikalangan pemuda juga
sangat memperihatinkan, padahal Cirebon sangat kaya sekali akan situs dan
kebudayaannya seperti, situs keraton, situs makam Sunan Gunung Jati dan beberapa situs
yang menjadi petunjuk akan perkembangan Islam di tatar Jawa. Apalagi Cirebon sebagai
kota budaya dan pariwisata diharapkan mampu mengaktualisasikan nilai-nilai tradisi dan
budaya khas Cirebon baik yang melekat pada masyarakat Cirebon, untuk dikemas
menjadi komoditi pariwisata dalam skala regional, nasional maupun internasional. Selain
itu juga Cirebon sebagai kota industri, yang berlatar belakang sejarah budaya dan tradisi
diharapkan akan berkembang menjadi industri kecil padat kaya (kerajinan, tradisional)
yang berorientasi ekspor, sehingga berkembang industri pariwisata sebagai pendukung
kota budaya dan pariwisata.
Pelestarian tradisi ini akan menjadikan kehidupan masyarakat yang masih menghormati
tradisi leluhur dan tetap akan melestarikannya seperti kata ini Ketahuilah, bahwa yang
terpenting bukan hanya “bagaimana belajar sejarah”, melainkan “bagaimana belajar dari
sejarah”. Soekarno menegaskannya dengan istilah: “Jasmerah” (Jangan Sekali-kali
Melupakan Sejarah). Bahkan, seorang Cicero begitu menghargai sejarah dengan
menyebutnya sebagai “Historia Vitae Magistra” (Sejarah adalah Guru Kehidupan),
sedangkan Castro berteriak dengan lantang di pengadilan: “Historia Me Absolvera !!!”
(Sejarah yang akan Membebaskanku!!!). Haruskah kita menyingkirkan sejarah?, bored
with history?, hated social scientific history?….
Keraton ini memiliki museum yang cukup lengkap dan berisi benda pusaka dan lukisan
koleksi kerajaan. Salah satu koleksi yang dikeramatkan yaitu kereta Singa Barong. Kereta
ini saat ini tidak lagi dipergunakan dan hanya dikeluarkan pada tiap 1 Syawal untuk
dimandikan.
Bagian dalam keraton ini terdiri dari bangunan utama yang berwarna putih. Didalamnya
terdapat ruang tamu, ruang tidur dan singgasana raja.
Keraton Kasepuhan didirikan pada tahun 1529 oleh [[Pangeran Mas Mochammad Arifin
II] (cicit dari Sunan Gunung Jati) yang menggantikan tahta dari Sunan Gunung Jati pada
tahun 1506. Ia bersemayam di dalem Agung Pakungwati Cirebon. Keraton Kasepuhan
dulunya bernama Keraton Pakungwati, sedangkan Pangeran Mas Mochammad Arifin
bergelar Panembahan Pakungwati I. Sebutan Pakungwati berasal dari nama Ratu Dewi
Pakungwati binti Pangeran Cakrabuana yang menikah dengan Sunan Gunung Jati. Ia
wafat pada tahun 1549 dalam Mesjid Agung Sang Cipta Rasa dalam usia yang sangat tua.
Nama beliau diabadikan dan dimuliakan oleh nasab Sunan Gunung Jati sebagai nama
Keraton yaitu Keraton Pakungwati yang sekarang bernama Keraton Kasepuhan.
Di depan Keraton Kesepuhan terdapat alun-alun yang pada waktu zaman dahulu bernama
Alun-alun Sangkala Buana yang merupakan tempat latihan keprajuritan yang diadakan
pada hari Sabtu atau istilahnya pada waktu itu adalah Saptonan. Dan di alun-alun inilah
dahulunya dilaksanakan berbagai macam hukuman terhadap setiap rakyat yang
melanggar peraturan seperti hukuman cambuk. Di sebelah barat Keraton kasepuhan
terdapat Masjid yang cukup megah hasil karya dari para wali yaitu Masjid Agung Sang
Cipta Rasa.
Sedangkan di sebelah timur alun-alun dahulunya adalah tempat perekonomian yaitu pasar
— sekarang adalah pasar kesepuhan yang sangat terkenal dengan pocinya. Model
bentuk Keraton yang menghadap utara dengan bangunan Masjid di sebelah barat dan
pasar di sebelah timur dan alun-alun ditengahnya merupakan model-model Keraton pada
masa itu terutama yang terletak di daerah pesisir. Bahkan sampai sekarang, model ini
banyak diikuti oleh seluruh kabupaten/kota terutama di Jawa yaitu di depan gedung
pemerintahan terdapat alun-alun dan di sebelah baratnya terdapat masjid.
Sebelum memasuki gerbang komplek Keraton Kasepuhan terdapat dua buah pendopo, di
sebelah barat disebut Pancaratna yang dahulunya merupakan tempat berkumpulnya para
punggawa Keraton, lurah atau pada zaman sekarang disebut pamong praja. Sedangkan
pendopo sebelah timur disebut Pancaniti yang merupakan tempat para perwira keraton
ketika diadakannya latihan keprajuritan di alun-alun.
Memasuki jalan kompleks Keraton di sebelah kiri terdapat bangunan yang cukup tinggi
dengan tembok bata kokoh disekelilingnya. Bangunan ini bernama Siti Inggil atau dalam
bahasa Cirebon sehari-harinya adalah lemah duwur yaitu tanah yang tinggi. Sesuai
dengan namanya bangunan ini memang tinggi dan nampak seperti kompleks candi pada
zaman Majapahit. Bangunan ini didirikan pada tahun 1529, pada masa pemerintahan
Syekh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati).
Di pelataran depan Siti Inggil terdapat meja batu berbentuk segi empat tempat bersantai.
Bangunan ini merupakan bangunan tambahan yang dibuat pada tahun 1800-an. Siti Inggil
memiliki dua gapura dengan motif bentar bergaya arsitek zaman Majapahit. Di sebelah
utara bernama Gapura Adi sedangkan di sebelah selatan bernama Gapura Banteng.
Dibawah Gapura Banteng ini terdapat Candra Sakala dengan tulisan Kuta Bata Tinata
Banteng yang jika diartikan adalah tahun 1451.
saka yang merupakan tahun pembuatannya (1451 saka = 1529 M). Tembok bagian utara
komplek Siti Inggil masih asli sedangkan sebelah selatan sudah pernah mengalami
pemugaran/renovasi. Di dinding tembok kompleks Siti Inggil terdapat piring-piring dan
porslen-porslen yang berasal dari Eropa dan negeri Cina dengan tahun pembuatan 1745
M. Di dalam kompleks Siti Inggil terdapat 5 bangunan tanpa dinding yang memiliki
nama dan fungsi tersendiri. Bangunan utama yang terletak di tengah bernama Malang
Semirang dengan jumlah tiang utama 6 buah yang melambangkan rukun iman dan jika
dijumlahkan keseluruhan tiangnya berjumlah 20 buah yang melambangkan 20 sifat-sifat
Allah SWT. Bangunan ini merupakan tempat sultan melihat latihan keprajuritan atau
melihat pelaksanaan hukuman. Bangunan di sebelah kiri bangunan utama bernama
Pendawa Lima dengan jumlah tiang penyangga 5 buah yang melambangkan rukun islam.
Bangunan ini tempat para pengawal pribadi sultan.Bangunan di sebelah kanan bangunan
utama bernama Semar Tinandu dengan 2 buah tiang yang melambangkan Dua Kalimat
Syahadat. Bangunan ini adalah tempat penasehat Sultan/Penghulu. Di belakang bangunan
utama bernama Mande Pangiring yang merupakan tempat para pengiring Sultan,
sedangkan bangunan disebelah mande pangiring adalah Mande Karasemen, tempat ini
merupakan tempat pengiring tetabuhan/gamelan. Di bangunan inilah sampai sekarang
masih digunakan untuk membunyikan Gamelan Sekaten (Gong Sekati), gamelan ini
hanya dibunyikan 2 kali dalam setahun yaitu pada saat Idul Fitri dan Idul Adha. Selain 5
bangunan tanpa dinding terdapat juga semacam tugu batu yang bernama Lingga Yoni
yang merupakan lambing dari kesuburan. Lingga berarti laki-laki dan Yoni berarti
perempuan. Bangunan ini berasal dari budaya Hindu. Dan di atas tembok sekeliling
kompleks Siti Inggil ini terdapat Candi Laras untuk penyelaras dari kompleks Siti Inggil
ini.
Sebagai Keraton Kesultanan Cirebon yang pertama, Keraton Kasepuhan memiliki sejarah
yang paling panjang dibanding ketiga keraton lainnya. Keraton ini juga memiliki wilayah
kekeratonan yang terluas, wilayah kekeratonannya mencapai lebih dari 10 Ha. Keraton
ini terletak di selatan alun-alun dengan Masjid Agung Sang Cipta Rasa di sebelah barat
alun-alun.
Pada masa awal didirikannya yang pertama kali dibangun adalah bangunan Keraton
Pakungwati I. Keraton Pakungwati dibangun menghadap ke arah Laut Jawa dan
membelakangi Gunung Ciremai. Bangunan ini terdapat disebelah timur bangunan
Keraton Pakungwati II.
Banyak sejarah penting yang tersimpan di dalam keraton ini, serta benda peninggalan
yang terdapat didalamnya seperti: sebuah tandu berbentuk makhluk berkepala burung dan
berbadan ikan. Hal ini melambangkan “Setinggi-tingginya seorang pemimpin dalam
kepemimpinannya tetap harus mampu melihat dan menyelami keadaan setiap rakyat yang
berada dibawahnya”.
Rentetan perjalanan panjang dalam membangun sebuah pemerintahan pada masa itu.
Keraton Kasepuhan sebagai keraton yang pertama ada di Cirebon. Hal ini menunjukan
betapa besar peran serta pengaruh budaya Cirebon dalam membangun ekonomi pada
masa pemerintahan Kesultanan saat itu.
Keraton Kasepuhan memang saat ini tidak lagi memegang dan menjalankan tampuk
pemerintahan di Cirebon
seperti pada masa Kesultanan. Namun sebagai peninggalan budaya, Keraton Kasepuhan
memiliki arti dan peran yang sangat penting dalam perjalanan panjangnya membangun
budaya dan ekonomi Cirebon.
Keraton Kanoman – Cirebon
Kebesaran Islam di Jawa Barat tidak lepas dari Cirebon. Sunan Gunung Jati adalah orang
yang bertanggung Jawab menyebarkan agama Islam di Jawa Barat, sehingga berbicara
tentang Cirebon tidak akan lepas dari sosok Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati.
Sunan Gunung Jati juga meninggalkan jejaknya yang hingga kini masih berdiri tegak,
jejak itu bernama Kraton Kanoman. Keraton Kanoman masih taat memegang adat-
istiadat dan pepakem, di antaranya melaksanakan tradisi Grebeg Syawal,seminggu
setelah Idul Fitri dan berziarah ke makam leluhur, Sunan Gunung Jati di Desa Astana,
Cirebon Utara. Peninggalan-peninggalan bersejarah di Keraton Kanoman erat kaitannya
dengan syiar agama Islam yang giat dilakukan Sunan Gunung Jati, yang juga dikenal
dengan Syarif Hidayatullah.
Kompleks Keraton Kanoman yang mempunyai luas sekitar 6 hektar ini berlokasi di
belakang pasar Di Kraton ini tinggal sultan ke dua belas yang bernama raja Muhammad
Emiruddin berserta keluarga. Kraton Kanoman merupakan komplek yang luas, yang
terdiri dari dua puluh tujuh bangunan kuno. salah satunya saung yang bernama bangsal
witana yang merupakan cikal bakal Kraton yang luasnya hampir lima kali lapangan
sepakbola.
Di keraton ini masih terdapat barang barang Sunan Gunung Jati, seperti dua kereta
bernama Paksi Naga Liman dan Jempana yang masih terawat baik dan tersimpan di
museum. Bentuknya burak, yakni hewan yang dikendarai Nabi Muhammad ketika ia Isra
Mi’raj. Tidak jauh dari kereta, terdapat bangsal Jinem, atau Pendopo untuk Menerima
tamu, penobatan sultan dan pemberian restu sebuah acara seperti Maulid Nabi. Dan di
bagian tengah Kraton terdapat komplek bangunan bangunan bernama Siti Hinggil.
Hal yang menarik dari Keraton di Cirebon adalah adanya piring-piring porselen asli
Tiongkok yang menjadi penghias dinding semua keraton di Cirebon. Tak cuma di
keraton, piring-piring keramik itu bertebaran hampir di seluruh situs bersejarah di
Cirebon. Dan yang tidak kalah penting dari Keraton di Cirebon adalah keraton selalu
menghadap ke utara. Dan di halamannya ada patung macan sebagai lambang Prabu
Siliwangi. Di depan keraton selalu ada alun alun untuk rakyat berkumpul dan pasar
sebagai pusat perekonomian, di sebelah timur keraton selalu ada masjid.
Keraguan menyergap ketika mulai memasuki kawasan keraton. Lengang, sepi. Di bagian
luar, bangunan-bangunan seperti pagar yang menjadi pembatas kawasan keraton, pintu
gerbang, hingga bangsal paseban, tampak tak terawat. Rerumputan tumbuh meninggi di
beberapa tempat di halaman.
Tak terbayangkan tempat itu menyimpan sejarah panjang tentang kepahlawanan, juga
syiar Islam, jika tidak menatap baik-baik bangunan utama. Memang tidak sebesar
bangunan-bangunan di Keraton Yogyakarta, atau Surakarta, namun masih memancarkan
kharisma tersendiri. Pagi itu, di Bangsal Jinem, tempat yang dulu acap dipakai petinggi
keraton menerima tamu penting, sedang ada acara keluarga.
Daya tarik utama Keraton Kanoman baru bisa dinikmati ketika memasuki museum yang
terletak di sisi kanan bangunan utama. Di bangunan yang tidak terlalu besar itu tersimpan
peninggalan-peninggalan keraton, mulai dari kereta kerajaan, peralatan rumah tangga,
hingga senjata kerajaan.
Beberapa koleksi tampak tidak utuh. Perhatian langsung tertuju kepada jajaran kereta.
Paling menonjol adalah kereta Paksi Naga Liman. Kereta itu, seperti tertera dalam
keterangan, dibuat dari kayu sawo pada tahun 1350 Saka atau tahun 1428 Masehi oleh
Pangeran Losari. Rais menyebutnya sebagai kereta kebesaran Sunan Gunung Jati, leluhur
Kesultanan Cirebon, yang memerintah 1479 – 1568.
Pemberian nama itu berkaitan dengan pahatan kayu di bagian depan yang
menggambarkan gabungan bentuk paksi (burung), naga, dan liman (gajah) memegang
senjata. Paduan bentuk itu melambangkan persatuan tiga unsur kekuatan di darat, laut,
udara, menyimbolkan keutuhan wilayah.
Keistimewaannya terletak pada bagian sayap patung yang bisa membuka-menutup saat
sedang berjalan, juga bentuk rodanya yang berbeda dengan roda pedati biasa. Roda kereta
dibuat cekung ke dalam. Rais menjelaskan, konstruksi roda seperti itu sangat berguna jika
melewati jalanan berlumpur yang basah. Kotoran tidak akan menciprat mengotori
penumpangnya.
Kereta yang lain adalah Jempana, kereta kebesaran untuk permaisuri dengan hiasan
bermotif batik Cirebon. Kereta berbahan kayu sawo itu juga dirancang dan dibuat atas
arahan Pangeran Losari pada tahun yang sama.
Kompleks bangunan yang didirikan pada 1852 di areal seluas 1,5 hektare itu, dulu
merupakan tempat peristirahatan dan tempat menyepi Sultan Kasepuhan dan kerabatnya.
Letaknya di Kelurahan Sunyaragi, 5 km sebelah barat pusat kota.
Banyak yang bisa dilihat, banyak yang bisa dipelajari. Sayang, bahkan pada hari Minggu
pun peninggalan budaya leluhur itu sepi pengunjung
Keraton Kacirebonan.
Keraton Kecirebonan dibangun pada tanggal 1800, Keraton ini banyak menyimpan
benda-benda peninggalan sejarah seperti Keris Wayang perlengkapan Perang, Gamelan
dan lain-lain.
Seperti halnya Keraton Kesepuhan dan Keraton Kanoman, Keraton Kecirebonan pun
tetap menjaga, melestarikan serta melaksanakan kebiasaan dan upacara adat seperti
Upacara Pajang Jimat dan sebagainya.
Taman Gua Sunyaragi ini sebenarnya merupakan komplek bangunan kuno yang apabila
dibagi-bagi akan terdapat 12 bangunan inti terdiri dari satu bangunan tambahan yaitu :
1. Gua Pengawal
2. Gua Pande Kemasan
3. Gua Simayang
4. Bangsal Jinem
5. Gua Pawon
6. Mande Beling
7. Gua Lawa
8. Gua Padang Ati
9. Gua Kelanggengan
10. Gua Peteng
11. Bale Kambang
12. Gua Arga Jumut
Kereta Kencana Singa Barong milik Sunan Gunung Jati. Kereta hias, dulunya dipakai
sebagai kendaraan Sunan. Ornamen Kereta Kencana penuh dengan perpaduan budaya,
Jawa Kuno, Tiongkok, India, dan Mesir. Kereta Kencana Singa Barong ini juga menjadi
simbol persahabatan.
Dulu, sebuah istana megah bernama Keraton Kasepuhan, kediaman Raja Sunan
Gunung Jati atau Syekh Syarief Hidayat berdiri kokoh di atas tanah seluas 185.500
meter persegi. Keraton Kasepuhan yang terletak di Cirebon, Jawa Barat ini pernah
menjadi tempat sakral bagi masyarakat sekitar. Dari keraton inilah penyebaran
agama Islam bermula.
Kini, istana megah itu tak ubahnya seperti rerun- tuhan bebatuan. Sebagian besar ruangan
di Keraton Kasepuhan tidak berbentuk lagi. Hanya tumpukan batu bata merah dan
bebatuan yang ada di keraton ini. Kabarnya, untuk merenovasi Keraton Kasepuhan
dibutuhkan biaya sekitar Rp 50 juta per bulan.
Sayangnya, biaya renovasi tidak mampu diberikan Pemerintah Kota (Pemkot) Cirebon.
Kepala Unit Pelaksana Teknis Pusat Informasi Pariwisata, Yatna Supriyatna menuturkan,
dana cagar budaya untuk Kota Cirebon hanya Rp 70 juta per bulan. Dana digunakan
untuk semua tempat bersejarah di Cirebon. Jadi, tidak mungkin bila Rp 50 juta diberikan
khusus untuk renovasi Keraton Kasepuhan saja.
“Keraton Kasepuhan memang tempat bersejarah utama di Kota Cirebon. Namun, kami
belum mampu melakukan renovasi total. Dananya belum cukup,” ujar Yatna saat ditemui
di Keraton Kasepuhan, Cirebon, Jawa Barat, pada 14 Oktober lalu.
Keraton Kasepuhan, adalah sebuah tempat bersejarah di Kota Cirebon. Dari Jakarta, kota
kecil ini hanya berjarak tiga jam perjalanan dengan kereta api. Sementara itu, bila
menggunakan mobil dari Jakarta-Cirebon sekitar empat-lima jam. Cirebon juga kaya
ragam budaya, karena menjadi persimpangan lalu lintas niaga. Letak Cirebon persis
berada di perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Masuk ke wilayah Keraton Kasepuhan, para wisatawan lokal dan mancanegara harus
membayar uang masuk Rp 3.000 per orang. Keraton dibuka untuk umum mulai pukul
08.00-16.00 WIB. Setiap wisatawan mendapat seorang pemandu, yang sehari-hari
bertugas sebagai abdi dalem keraton.
Keraton yang dikenal paling tua di Cirebon ini, awalnya bukan bernama Keraton
Kasepuhan. Asal usul nama Keraton Kasepuhan terbilang panjang. Bangunan yang
terletak di Kelurahan Kasepuhan, Kecamatan Lemahwungkuk, dibangun oleh Pangeran
Cakrabuwana, yakni putra mahkota Pajajaran. Keraton berdiri pada abad ke-15 atau
tahun 1430. Keraton kemudian diserahkan kepada putrinya, Ratu Ayu Pakungwati.
Mulanya, keraton diberi nama Keraton Pakungwati atau Dalem Agung Pakungwati.
Pakungwati kemudian menikah dengan sepupunya, Sunan Gunung Jati. Kehadiran Sunan
Gunung Jati ternyata membawa sejarah baru di Jawa Barat. Nama Keraton Pakungwati
berganti menjadi Keraton Kasepuhan. Pergantian nama dikarenakan sebutan Pakungwati
dimuliakan. Sedangkan, nama Keraton Kasepuhan artinya tempat sepuh atau paling tua di
Cirebon.
Kondisi Keraton Kasepuhan sekarang, memang sesuai dengan namanya. Bangunan tua
itu tampak rapuh. Saat masuk ke pelataran Keraton Kasepuhan, jangan berharap bisa
melihat kemewahan atau kemegahan sebuah istana. Kediaman para raja dan putri ini tak
ubahnya seperti bangunan tua bersejarah, yang hanya menyimpan kenangan saja.
Memasuki pelataran keraton, terdapat podium bernama Siti Inggil yang berarti tanah
tinggi. Siti Inggil dikelilingi tembok bata merah berupa Candi Bentar. Bentuk dari Siti
Inggil memiliki makna spritual. Semisal, terdapat 20 tiang dalam Siti Inggil yang
melambangkan 20 sifat Tuhan.
Dulu, Siti Inggil dipakai oleh Sunan Gunung Jati untuk melihat pertandingan. Dalam
bangunan tersebut, Sunan juga kerap menggelar sidang bagi warga yang melanggar
aturan. Sidang bisa langsung dilihat oleh seluruh warga Cirebon.
Keraton Kasepuhan memiliki banyak bagian, di antaranya Jinem Pangrawit tempat Sunan
bertemu dengan tamu kehormatannya. Jinem Pangrawit terbagi dua bagian, yakni ruang
tamu untuk para menteri dan bupati. Ruang tamu di desain unik. Corak budaya Jawa
tidak tampak di ruangan tersebut. Jinem Pangrawit dipenuhi dengan hamparan keramik
dan porselin dari Portugis, Tiongkok, dan Belanda.
Sunan Syekh Syarief, konon sangat mencintai perpaduan budaya Tiongkok, Portugis,
India, dan Jawa. Jadi, semua barang-barang dan peralatan di Keraton Kasepuhan banyak
bersentuhan dengan tiga negara tersebut. Keramik Tiongkok yang ada di Keraton, adalah
hadiah dari kaisar Tiongkok kepada Sunan. Hadiah diterima saat Sunan menikah dengan
putri kaisar bernama Tan Hong Tien Nio.
Keramik dan porselin dari Tiongkok ada sejak abad ke-15, sementara keramik dari
Belanda baru ada pada abad ke-17. Kecintaan Sunan terhadap keramik dan porselin
memang sangat besar. Terbukti, dinding dan lantai di ruang Jinem Pangrawit dipenuhi
dengan keramik.
Sebuah ruang tamu di Keraton Kasepuhan bernama Jinem Pangrawit. Ruang tamu
dipakai untuk menerima tamu kehormatan, yakni bupati dan para Menteri.
Pemisahan
Pada masa pemerintahan Sunan Syeh Syarief, juga diterapkan aturan yang tegas
mengenai lelaki dan perempuan. Keraton atau tempat kediaman untuk perempuan tidak
boleh bercampur dengan lelaki. Bahkan, di dalam area keraton terdapat satu tempat
khusus yang tidak boleh dikunjungi kaum perempuan, termasuk istri Sunan sekalipun.
Tempat khusus dan sakral itu bernama Patilasan Pangeran Cakrabuwana Sunan Gunung
Jati. Pada pintu masuk patilasan, jelas tertulis Wanita tidak boleh masuk. Dalam tempat
ini, Syekh Syarief dan putra mahkota menyebarkan ajaran agama Islam kepada semua
lelaki yang tinggal di keraton.
Konon, Patilasan Pangeran Cakrabuwana ini memang tidak boleh tersentuh oleh kaki
perempuan. Apabila ada perempuan yang berani masuk, maka ia keluar membawa
petaka. Bisa-bisa, perempuan tersebut gila atau hilang kesadaran.
“Dulu sempat seorang pengunjung wanita masuk ke dalam keraton Patilasan
Cakrabuwana. Tidak lama, wanita itu hilang kesadaran. Jadi, sampai sekarang kami
melarang pengunjung wanita masuk ke tempat sakral tersebut,” ujar abdi dalam keraton
Ferry Jamaladdin.
Sayangnya, keraton Pakungwati kini tak ubahnya seperti ruang kosong yang penuh
dengan reruntuhan bebatuan. Tidak ada tanda-tanda pemeliharaan dari pemerintah daerah
atas tempat bersejarah ini. Kamar sang permaisuri dan tempat pemandian pun tinggal
puing-puing.
Bila dilihat dari kondisi keraton Kasepuhan, memang tidak jelas terbaca makna atau nilai
sejarahnya. Namun, saat melihat ke dalam tempat penyimpanan benda-benda bersejarah
barulah terasa. Ternyata, Sunan gemar mengoleksi benda berharga. Di area keraton,
terdapat dua museum, yakni Museum Benda Kuno dan Museum Kereta Kencana Singa
Barong.
Museum Benda Kuno, diisi oleh barang-barang pemberian dari kerabat Sunan. Keris
berbagai jenis dan alat debus dari Banten, masih tersimpan di museum ini. Alat musik
gamelan yang dulu dipakai oleh para penghibur Sunan juga masih tertata rapi.
Berbeda dengan Museum Benda Kuno, Museum Kereta Kencana Singa Barong diisi
dengan benda-benda milik keluarga Sunan. Kereta Kencana Singa Barong menjadi
peninggalan paling berharga di keraton tersebut. Kereta yang dibuat tahun 1549, oleh
cucu Sunan, yakni Pangeran Mas Mohammad Arifin. Konon kereta tersebut dipakai saat
kunjungan resmi.
Ornamen hias pada kereta sangat unik. Terdapat tiga perpaduan budaya pada kereta, yaitu
Tiongkok, India, dan Mesir. Ornamen perpaduan budaya dapat dilihat dari belalai gajah
yang melambangkan negara India, kepala naga artinya persahabatan dengan Tiongkok,
dan badan Buroq yang berarti bersahabat dengan mesir.
Kereta Kencana Singa Barong, kini hanya boleh dinikmati lewat pandangan mata saja.
Kereta hias resmi pensiun sejak tahun 1942. Kereta ini hanya boleh dikeluarkan setiap 1
Syawal, untuk dimandikan.
Masih berkaitan dengan Keraton Kasepuhan, terdapat sebuah taman air nan indah yang
terletak di Barat Daya Keraton. Taman air tersebut bernama Taman Gua Sunyaragi.
Taman, berdasarkan manuskrip Purwaka Caruban Nagari, didirikan oleh Pangeran
Kararangan bergelar Arya Caruban, pada 1703. Konon pembangunan gua diteruskan oleh
putra-putra Pangeran Arya, yakni Pangeran Carbon Martawijaya dan Pangeran Carbon
Adiwijaya.
Taman Gua Sunyaragi tak ubahnya seperti gua-gua besar dipenuhi dengan lorong-lorong
sempit. Lorong-lorong, dulunya dipakai sebagai tempat bertapa atau sekadar mencari
ketenangan jiwa. Ditambah lagi, suasana di taman memang sepi karena jauh dari rumah
masyarakat.
Taman Sunyaragi juga menjadi sumber pengairan utama atau irigasi ke Keraton
Kasepuhan. Bahkan, dalam taman Sunyaragi terdapat sebuah lorong bawah tanah menuju
keraton. Dilihat dari gaya, corak, dan motif-motif ragam rias dari pola-pola bangunan,
bisa disimpulkan gaya arsitektur gua Sunyaragi merupakan perpaduan gaya Indonesia
klasik atau Hindu, gaya Tiongkok kuno, gaya Timur Tengah atau Islam, dan gaya Eropa.
Sayangnya, keindahan Taman Gua Sunyaragi mulai pudar sejak pengelolaan diserahkan
kepada pemerintah.