Tugas Makalah
Minggu III
GANGGUAN PREFERENSI SEKSUAL /
PARAFILIA
OLEH
ARSY CAHYA RAMADHANI
H1A 012 008
BLOK XVII: NEUROPSKIATRI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MATARAM
1|page
Gangguan Preferensi Seksual
2015
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur saya haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala
rahmatNya sehingga tugas makalah ini dapat terselesaikan dengan baik.
Secara keseluruhan, saya melaporkan hasil yang saya peroleh dari beberapa sumber
jurnal dan buku terkait dengan Gangguan Perkembangan Psikologis dan Assessment
Psikologis. Dan harapan saya nantinya tugas ini dapat digunakan untuk meningkatkan
pemahaman kami mengenai materi pada blok neuropsikiatri ini.
Saya menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan
serta dukungan, hingga terselesaikannya tugas ini. Saya menyadari sepenuhnya bahwa tugas ini
masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saya sangat mengharapkan kritik serta saran
yang membangun, demi penyempurnaan tugas-tugas saya selanjutnya.
Mataram, 25 April 2015
Penyusun
2|page
Gangguan Preferensi Seksual
PENDAHULUAN
Gangguan preferensi Seksual atau Parafilia mengacu menggambarkan gairah seksual
pada suatu objek, situasi, atau individu yang bukan merupakan bagian dari stimulasi normative
yang dapat menyebabkan tekanan atau masalah serius bagi penderita parafilia atau orang-orang
yang berhubungan dengan penderita. Parafilia (penyimpangan gairah) dalam bentuk yang sangat
berat merupakan penyimpangan dari norma-norma dalam hubungan seksual yang dipertahankan
secara tradisional, yang secara sosial tidak dapat diterima (McManus et al. 2013).
Parafilia merupakan istilah untuk segala sesuatu mengenai kebiasaan seksual, gairah
seksual, atau kepuasan terhadap perilaku seksual yang tidak lazim dan ekstrim. Psikopatologis
parafilia tidak sama dengan psikologis perilaku normative seksual dan fantasi seksual orang
dewasa pada umumnya.
Kegiatan konsensual orang dewasa dan hiburan yang mungkin
melibatkan beberapa aspek roleplay seksual atau aspek fetishisme seksual tidak selalu di pastikan
sebagai kegiatan paraphilia (McManus et al. 2013).
3|page
Gangguan Preferensi Seksual
ISI
Definisi
Definisi paraphilia didasarkan pada penyimpangan pandangan terhadap idealisme
perfeksionis dari norma seksual. Berbagai preferensi dan kepentingan seksual yang dimasukkan
ataupun dikeluarkan dari definisi parafili, contohnya, sampai tahun 1973 homoseksual termasuk
klasifikasi dari paraphilia berdasarkan DSM (diagnostic and statistical manual of mental
disorders) II. Waktu dan budaya berperan dalam menentukan definisi atau berbagai macam
kepentingan paraphilia. ICD-10 tidak memberikan definisi paraphilia secara spesifik. Oleh
karena itu, definisi yang umum digunakan di seluruh dunia berasal dari DSM-IV (yang tidak
didefinisikan ulang di DSM-5) (McManus et al. 2013):
"rekuren, fantasi gairah seksual yang intensif, dorongan seksual, atau perilaku umumnya
melibatkan i) benda-benda non-manusia, ii) penderitaan atau rasa dipermalukan baik pada
pasangan maupun diri sendiri, atau iii) anak-anak dan orang dalam keadaan terpaksa, yang
terjadi selama jangka waktu minimal 6 bulan "(p.566, [6]) (McManus et al. 2013).
Epidemiologi
Tingkat prevalensi untuk parafilia sulit diperoleh karena perubahan kriteria dari waktu ke
waktu dan antar budaya. Penelitian Ehlers et al yang dilakukan pada 1915 pria Jerman berusia
40-79 tahun, menemukan 62,4% yang dilaporkan setidaknya terdapat satu pola gairah seksual
terkait paraphilia, dan hal ini menyebabkan stress hanya dalam 1,7% dari kasus. Berdasarkan
penelitian ini, terlihat bahwa prevalensi gairah paraphilic berada dalam mayoritas dan
selanjutnya tidak dianggap sebagai suatu yang menyedihkan. Langstrom dan Seto yang
melakukan survey pada 2.450 orang berusia 18-60 tahun dan menemukan bahwa 3,1% dari
peserta dilaporkan setidaknya satu insiden yang terangsang secara seksual dengan mengekspos
alat kelamin mereka kepada orang asing dan 8% mengaku menjadi terangsang saat mematamatai orang lain berhubungan seks. Namun, tingkat prevalensi masih sulit ditentukan dengan
pasti, hal ini dipengaruhi oleh adanya kontroversial definisi paraphilia (McManus et al. 2013).
Parafilia dialami oleh sejumlah kecil populasi. Tetapi, sifat gangguan yang berulang
menyebabkan tingginya frekuensi kerusakan akibat tindakan parafilia. Di antara kasus parafilia
4|page
Gangguan Preferensi Seksual
yang dikenali secara hukum, pedofilia adalah jauh lebih sering dibandingkan yang lainnya.
Voyeurisme memiliki resiko yang tidak besar. 20% wanita dewasa telah menjadi sasaran orang
dengan ekshibisionisme dan voyeurisme. Masokisme seksual dan sadisme seksual
kurang
terwakili dalam perkiraan prevalensi yang ada. Zoofilia merupakan kasus yang jarang (Kaplan, et
al., 2010).
Menurut definisinya, parafilia adalah kondisi yang terjadi pada laki-laki. Lebih dari 80%
penderita parafilia memiliki onset sebelum usia 18 tahun. Pasien parafilia umunya memiliki 3
sampai 5 parafilia baik yang bersamaan atau pada saat terpisah. Kejadian perilaku parafilia
memuncak pada usia antara 15 dan 25 tahun, dan selanjutnya menurun. Parafilia jarang terjadi
pada pria umur 50 tahun, kecuali mereka tinggal dalam isolasi atau teman yang senasib (Kaplan,
et al., 2010).
Kategori Diagnostik
Pedofilia
Eksibisionisme
Veyorisme
Frotteurisme
Masokisme seksual
Transvestik Fetishisme
Sadisme seksual
Fetishisme
Zoofilia
Pasien
Parafilia
dalam
Terapi Rawat Jalan (%)
45
25
12
6
3
3
3
2
1
(Kaplan, et al., 2010)
Etiologi
Faktor Psikososial
Dalam model psikoanalitik klasik, seseorang dengan parafilia adalah orang yang
gagal untuk menyelesaikan proses perkembangan normal kearah penyesuaian
heteroseksual, tetapi model tersebut telah dimodifikasi oleh pendekatan psikoanalitik.
Kegagalan menyelesaikan krisis oedipus dengan mengidentifikasi aggressor ayah (untuk
laki-laki)atau aggressor ibu (untuk perempuan) menimbulkan baik identifikasi yang tidak
sesuai dengan orang tua dengan jenis kelamin berlawanan atau pilihan objek yang tidak
5|page
Gangguan Preferensi Seksual
tepat untuk penyaluran libido. Eksibisionisme dapat merupakan suatu upaya
menenangkan kecemasan mereka akan kastrasi.Kecemasan kastrasi membuat eksibisionis
meyakinkan diri sendiri tentang maskulinitasnya dengan menunjukkan kelaki-lakiannya
kepada orang lain (Sadock, BJ & Sadock, VA. 2010).
Apa yang membedakan satu parafilia dengan parafilia lainnya adalah metode yang
dipilih oleh seseorang (biasanya laki-laki) untuk mengatasi kecemasan yang disebabkan
oleh: (1) kastrasi oleh ayah dan (2) perpisahan dengan ibu. Bagaimanapun kacaunya
manifestasi, perilaku yang dihasilkan memberikan jalan keluar untuk dorongan seksual
dan agresif yang seharusnya telah disalurkan kedalam perilaku seksual yang tepat.
Berdasarkan teori ini terdapat beberapa penyebab parafilia. Freud dan koleganya
mengajukan bahwa beberapa parafilia dapat disebabkan oleh penyimpangan dari
fasecourtship. Normalnya, fase ini akan berujung pada proses matingpada pria dan wanita.
Fase ini dimulai dari masa remaja dan dengan/ tanpa adanya sexual intercoursepada tahap
awal perkembangan seksual.
Fase Definitif Courtship
a)
Locating partner potensial fase inisial dari courtship.
b)
Pretactile interaction berbicara, main mata dst.
c)
Tactile interaction memegang, memeluk, dst. (foreplay).
d)
Effecting genital union sexual intercourse .
Teori lain mengaitkan timbulnya parafilia dengan pengalaman diri yang
mengondisikan atau mensosialisasikan anak melakukan tindakan parafilia. Awitan
tindakan parafilia dapat terjadi akibat orang meniru perilaku mereka berdasarkan perilaku
orang lain yang melakukan tindakan parafilia, meniru perilaku seksual yang digambarkan
media, atau mengingat kembali peristiwa yang memberatkan secara emosional di masa
lalu. Teori pembelajaran menunjukkan bahwa karena mengkhayalkan minat parafilia
dimulai pada usia dini dan karena khayalan serta pikiran pribadi tidak diceritakan kepada
orang lain, penggunaan dan penyalahgunaan khayalan dan dorongan parafilia terus
berlangsung tanpa hambatan sampai usia tua (Sadock, BJ & Sadock, VA. 2010).
Faktor Biologis
Beberapa studi mengidentifikasi temuan organik abnormal pada orang dengan
parafilia. Di antara pasien yang dirujuk ke pusat medis besar, yang memiliki temuan
6|page
Gangguan Preferensi Seksual
organik positif mencakup 74 % pasien dengan kadar hormone abnormal, 27 % dengan
tanda neurologi yang ringan atau berat, 24 % dengan kelainan kromosom, 9 % dengan
kejang, 9 % dengan disleksia, 4 % dengan EEG abnormal, 4 % dengan gangguan jiwa
berat, 4 % dengan cacat mental. Tes psikofisiologis telah dikembangkan untuk mengukur
ukuran volumemetrik penis sebagai repon stimulasi parafilia dan nonparafilia. Prosedur
dapat digunakan dalam diagnosis dan pengobatan, tetapi memiliki keabsahan diagnostik
yang diragukan karena beberapa laki-laki dapat menekan respon erektilnya (Sadock, BJ
& Sadock, VA. 2010).
Karena sebagian besar orang yang mengidap parafilia adalah laki-laki, terdapat
spekulasi
bahwa
androgen
berperan
dalam
gangguan
ini.
Berkaitan
dengan
perbedaandalam otak, suatu disfungsi pada lobus temporalis dapat memiliki relevansi
dengan sejumlah kecil kasus eksibisionisme.
Klasifikasi Parafilia
(McManus et al. 2013)
Fetisisme terjadi pada laki-laki. Inisiasi gangguan ini berakar pada masa remaja. Fokus
gairah seksual di fetisisme berorientasi pada benda mati seperti sepatu, sarung tangan, celana
ketat, dan pakaian dalam wanita, semua yang terkait erat dengan tubuh. Pasien bisa masturbasi
sambil mengenakan pakaian dalam wanita, tidak memiliki keinginan untuk melakukan hubungan
intim dengan wanita. Pasien mencapai orgasme dengan benda-benda. Aktivitas seksual dapat
7|page
Gangguan Preferensi Seksual
secara langsung difokuskan pada fetish, seperti masturbasi dengan sepatu, atau digunakan dalam
hubungan seksual seperti meminta pasangan untuk mengenakan objek tertentu. Penyalahgunaan
obat dapat mempengaruhi fungsi seksual, salah satunya yaitu kristal (glass) / methamphetamine
yang penggunaannya telah meningkat belakangan ini. Kristal digunakan sebagai zat industri
modern. Saat Kristal/ methamphetamine masuk
dalam sistem saraf pusat (SSP), terjadi
pelepasan dopamin dari otak yang merangsang sel-sel otak dan meningkatkan atau menciptakan
kesenangan (Zareanari et al. 2013).
Diagnosis
F65.0 Fetishisme
Pedoman Diagnostik Fetishisme menurut PPDGJ - III (Pedoman Penggolongan Dan
Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III (PPDGJ-III), 1993) :
Mengandalkan pada beberapa benda mati(non-living object) sebagai rangsangan
untuk membangkitkan keinginan seksual dan memberikan kepuasan seksual.
Kebanyakan benda tersebut (objek fetish) adalah ekstensi dari tubuh manusia,
seperti pakaian atau sepatu.
Diagnosis ditegakkan apabila objek fetish benar-benar merupakan sumber yang
utama dari rangsangan seksual atau penting sekali untuk respons seksual yang
memuaskan.
Fantasi fetishistik adalah lazim, tidak menjadi suatu gangguan kecuali apabila
menjurus kepada suatu ritual yang begitu memaksa dan tidak semestinya sampai
mengganggu hubungan seksual dan menyebabkan penderitaan bagi individu.
Fetishisme terbatas hamper hanya pada pria saja.
Kriteria Diagnostik Fetishisme Transvestik menurut DSM-IV (DSM IV)
a. Selama waktu sekurangnya 6 bulan, pada laki-laki heteroseksual, terdapat khayalan
yang merangsang secara seksual, dorongan seksual, atau perilaku yang berulang dan
kuat berupa cross dressing.
8|page
Gangguan Preferensi Seksual
b. Khayalan, dorongan seksual, atau perilaku menyebabkan penderitaan yang bermakna
secara klinis dan gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting
lainnya.
F65.1 Transvestisme Fetihistik
Pedoman Diagnostik Tranvetisme Fetihistik menurut PPDGJ - III (Pedoman
Penggolongan Dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III (PPDGJ-III), 1993)
Mengenakan pakaian dari lawan jenis dengan tujuan pokok untuk mencapai
kepuasaan seksual
Gangguan ini harus dibedakan dari fetihisme (F65.0) dimana pakaian sebagai objek
fetish bukan hanya sekedar dipakai, tetapi juga untuk menciptakan penampilan
seorang dari lawan jenis kelaminya. Biasanya lebih dari satu jenis barang yang
dipakai dan seringkali suatu perlengkapan yang menyeluruh, termasuk rambut palsu
dan tat arias wajah.
Transvetisme fetihistik deibedakan dari trasvetisme transsexual oleh adanya
hubungan yang jelas dengan bangkitnya gairah seksual dan keinginan/hasrat yang
kuat untuk melepaskan baju tersebut apabila orgasme sudah terjadi dan rangsang
seksual menurun
Adanya riwayat transvetisme fetihistik biasanya dilaporkan sebagai suatu fase awal
oleh para penderita transeksualisme dan kemungkinan merupakan suatu stadium
dalam perkembangan transeksualisme.
F65.2 Ekshibisionisme
Pedoman Diagnostik Ekhibisionisme menurut PPDGJ-III (Pedoman Penggolongan
Dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III (PPDGJ-III), 1993)
Kecenderungan yang berulang atau menetap untuk memamerkan alat kelamin kepada
asing (biasanya lawan jenis kelamin) atau kepada orang banyak di tempat umum,
tanpa ajakan atau niat untuk berhubungan lebih akrab.
Ekshibisionisme hampir sama sekali terbatas pada laki-laki heteroseksual yang
memamerkan pada wanita, remaja atau dewasa, biasanya menghadap mereka dalam
jarak yang aman di tempat umum. Apabila yang menyaksikan itu terkejut, takut, atau
terpesona, kegairahan penderita menjadi meningkat.
9|page
Gangguan Preferensi Seksual
Pada beberapa penderita, ekshibisionisme merupakan satu-satunya penyaluran
seksual, tetapi pada penderita lainnya kebiasaan ini dilanjutkan bersamaan
(stimultaneously) dengan kehidupan seksual yang aktif dalam suatu jalinan hubungan
yang berlangsung lama, walaupun demikian dorongan menjadi lebih kuat pada saat
menghadapi konflik dalam hubungan tersebut.
Kebanyakan penderita ekshibisionisme mendapatkan kesulitan dalam mengendalikan
dorongan tersebut dan dorongan ini bersifat ego-alien (suatu benda asing bagi
dirinya).
Kriteria Diagnosik Eksibisionisme menurut DSM-IV (DSM IV)
a. Selama waktu sekurangnya 6 bulan, terdapat khayalan yang merangsang secara
seksual, dorongan seksual, atau perilaku yang berulang dan kuat berupa memamerkan
alat kelaminnya sendiri kepada orang yang tidak dikenal dan tidak menduga.
b. Khayalan, dorongan seksual, atau perilaku menyebabkan penderitaan yang bermakna
secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting
lainnya.
F65.3 Voyeurisme
Pedoman Diagnostik Voyeurisme menurut PPDGJ-III (Pedoman Penggolongan Dan
Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III (PPDGJ-III), 1993)
Kecenderungan yang berulang atau menetap untuk melihat orang yang sedang
berhubungan seksual atau berperilaku intim seperti sedang menanggalkan pakaian.
Hal ini biasanya menjurus kepada rangsangan seksual dan mastrubasi, yang dilakukan
tanpa orang yang diintip menyadarinya.
Kriteria Diagnostik Voyeuisme menurut DSM-IV (DSM IV)
a. Selama waktu sekurangnya 6 bulan, terdapat khayalan yang merangsang secara
seksual, dorongan seksual, atau perilaku yang berulang dan kuat berupa mengamati
orang telanjang yang tidak menaruh curiga, sedang membuka pakaian, atau sedang
melakukan hubungan seksual.
b. Khayalan, dorongan seksual, atau perilaku menyebabkan penderitaan yang bermakna
secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosil, pekerjaan, atau fingsi penting lainnya.
F.65.4 Pedofilia
10 | p a g e
Gangguan Preferensi Seksual
Pedoman Diagnostik menurut Pedofilia PPDGJ III (Pedoman Penggolongan Dan
Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III (PPDGJ-III), 1993)
Preferensi seksual terhadap anak-anak, biasanya pra-pubertas atau awal masa
pubertas, baik laki-laki maupun perempuan
Pedofilia jarang ditemukan pada perempuan
Preferensi tersebut harus berulang dan menetap
Termasuk : laki-laki dewasa yang mempunyai preferensi partner seksual dewasa,
tetapi karena mengalami frustasi yang kronis untuk mencapai hubungan seksual yang
diharapkan, maka kebiasaanya beralih kepada anak-anak sebagai pengganti.
Kriteria Diagnostik Pedofilia menurut DSM-IV
a. Selama waktu sekurangnya 6 bulan, terdapat khayalan yang merangsang secara
seksual, dorongan seksual, atau perilaku yang berulang dan kuat berupa aktivitas
seksual dengan anak prapubertas atau dengan anak-anak (biasanya berusia 13 tahun
atau kurang)
b. Khayalan, dorongan seksual, atau perilaku menyebabkan penderitaan yang bermakna
secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting
lainnya.
c. Orang sekurangnya berusia 16 tahun dan sekurangnya berusia 5 tahun lebih tua dari
anak, atau anak-anak dalam kriteria A.
F65.5 Sadomasokisme
Kriteria Diagnostik Sadomasokisme menurut PPDGJ-III (Pedoman Penggolongan
Dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III (PPDGJ-III), 1993)
Preferensi terhadap aktivitas seksual yang melibatkan pengikatan atau menimbulkan
rasa sakit atau penghinaan; (individu yang lebih suka untuk menjadi resipien dari
perangsangan demikian disebut masokisme, sebagai pelaku = sadism)
Seringkali individu mendapatkan rangsangan seksual dari aktivitas sadistik maupun
masokistik.
Kategori ini hanya digunakan apabila sadomasokistik merupakan sumber rangsangan
yang penting pemuasan seksual.
11 | p a g e
Gangguan Preferensi Seksual
Harus dibedakan dari kebrutalan dalam hubungan seksual atau kemarahan yang tidak
berhubungan dengan erotisme.
Kriteria Diagnostik Untuk Sadisme Seksual menurut DSM-IV (DSM IV)
a. Selama waktu sekurangnya 6 bulan, terdapat khayalan yang merangsang secara
seksual, dorongan seksual, atau perilaku yang berulang dan kuat berupa tindakan
(nyata atau disimulasi) dimana penderitaan korban secara fisik atau psikologis
(termasuk penghinaan) adalah menggembirakan pelaku secara seksual.
b. Khayalan, dorongan seksual, atau perilaku menyebabkan penderitaan yang bermakna
secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting
lainnya.
Kriteria Diagnostik Untuk Masokisme Seksual menurut DSM-IV (DSM IV)
a. Selama waktu sekurangnya 6 bulan, terdapat khayalan yang merangsang secara
seksual, dorongan seksual, atau perilaku yang berulang dan kuat berupa tindakan
(nyata, atau disimuasi) sedang dihina, dipukuli, diikat, atau hal lain yang membuat
menderita.
b. Khayalan, dorongan seksual, atau perilaku menyebabkan penderitaan yang bermakna
secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting
lainnya.
Frotteurisme
Kriteria diagnostik Frotteurisme menurut DSM-IV (DSM IV)
a. Selama waktu sekurangnya 6 bulan, terdapat khayalan yang merangsang secara
seksual, dorongan seksual, atau perilaku yang berulang dan kuat berupa menyentuh
atau bersenggolan dengan orang yang tidak menyetujuinya.
b. Khayalan, dorongan seksual, atau perilaku yang menyebabkan penderitaan yang
bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi
penting lainnya
Penatalaksanaan
Tujuan utama dari pengobatan adalah (Thibaut, 2012):
12 | p a g e
Gangguan Preferensi Seksual
Untuk mengendalikan fantasi dan perilaku paraphilic (ini akan membantu untuk
mengurangi risiko kejahatan seksual terutama dalam kasus-kasus pedofilia atau
pemerkosaan);
Untuk mengurangi tingkat penderitaan subjek paraphilic.
Pilihan pengobatan pada dasarnya akan tergantung pada ((Thibaut, 2012):
-
Riwayat medis pasien sebelumnya,
kepatuhan pasien,
Intensitas fantasi seksual paraphilic dan risiko kekerasan seksual.
Terapi Farmakologis
o Selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs)
Alasan untuk menggunakan SSRIS dalam indikasi ini didasarkan pada efek samping
seksual dan kesamaan antara OCD dengan beberapa perilaku parafilik, Meskipun
penggunaan klinis meningkatnya SSRI untuk paraphilias dan hiperseksualitas dengan
agen ini masih kurang. Khasiat SSRI dalam pengurangan fantasi dan perilaku paraphilic
sebelumnya telah dijelaskan untuk pengobatan pedofilia, eksibisionisme, parafilia pada
umumnya, voyeurisme dan fetisisme. Durasi maksimal penggunaan obat ini adalah 12
bulan tetapi, dalam banyak kasus durasi kurang dari 3 bulan. Sebagian besar obat yang
digunakan yaitu fluoxetine (20-80 mg/d) dan sertraline (100-200 mg/d), tetapi juga
paroxetine dan fluvoxamine (300 mg/d) telah menunjukkan keberhasilan dalam
mengurangi fantasi seksual parafilik dan perilaku menyimpang pada pasien ini. (Thibaut,
2012)
o Anti androgen
Antiandrogen, seperti ciproterone acetate (CPA) di Eropa dan medroxiprogesterone
acetate (MPA) (Depo-Provera) di Amerika Serikat, telah digunakan secara eksperimental
pada parafilia hiperseksual. Medroxiprogesterone acetate bermanfaat bagi pasien yang
dorongan hiperseksualnya diluar kendali atau berbahaya (sebagai contoh masturbasi yang
hampir terus-menerus, kontak seksual setiap kesempatan, seksualitas menyerang yang
kompulsif). (Thibaut, 2012)
o GnRH Analogues
Gonadotropin-releasing hormone (GnRH) adalah analog awal yang bertindak pada
tingkat hipofisis untuk merangsang pelepasan LH, sehingga terjadi peningkatan
sementara kadar testosteron serum. Setelah stimulasi awal, GnRH analog menyebabkan
13 | p a g e
Gangguan Preferensi Seksual
desensitisasi cepat reseptor GnRH, sehingga terjadi pengurangan LH dan testosteron
dalam waktu 2 sampai 4 minggu. Dua analog hormon gonadotropin-releasing yang
istimewa digunakan dalam paraphilic yaitu triptorelin dan leuprorelin (Thibaut, 2012).
Pada paraphilia berat dengan resiko tinggi kekerasan seksual, durasi minimal pengobatan adalah
tiga sampai lima tahun. Terapi hormonal tidak boleh berhenti tiba-tiba. Dalam kasus paraphilia
ringan, pengobatan minimal dua tahun, setelah itu pasien harus di follow up setela perawatan
berhenti. Pengobatan harus dimulai kembali jika terjadi kekambuhan fantasi seksual paraphilic
(Thibaut, 2012).
Di antara laki-laki dengan parafilia dan gangguan terkait paraphilia, gangguan mood
merupakan komorbid diagnosis aksis I yang paling sering , dengan prevalensi seumur hidup
71,6%. Hal tersebut berimplikasi penting terhadapa strategi pengobatan, obat antidepresan,
terutama selektif serotonin reuptake inhibitor (SSRI), bisa efektif untuk kedua gangguan. Pilihan
pengobatan yang paling efektif untuk gangguan terkait paraphilia adalah terapi cognitivebehavioral therapy (CBT), obat antiandrogen atau obat antidepresan, dan disarankan untuk
kombinasi farmakoterapi dan intervensi psikososial (Haasen C. 2010).
Terapi prilaku
o Electric aversion therapy /terapi penghindaran menggunakan listrik
Terapi penghindaran dapat digunakan untuk mengarahkan kembali mereka dengan minat
seksual yang menyimpang. Untuk teknik ini, kejutan listrik yang tidak nyaman akan
dirasakan pada kaki atau lengan pada mereka yang berfikir tentang prilaku menyimpang.
Namun terapi aversion saat ini tidak lagi menjadi pilihan karena masalah etika (Beech,
2012).
o Olfactory aversion therap /Terapi penghindaran penciuman
Prosedur ini melibatkan pasien dengan fantasi seksual menyimpang dengan pengalaman
penciuman tidak menyenangkan, seperti bau daging busuk. Tujuannya adalah untuk
mengasosiasikan
dua
peristiwa,
sehingga
citra
menyimpang
menjadi
kurang
menggairahkan. Ada beberapa bukti yang mengatakan bahwa penghindaran penciuman
dapat mengurangi gairah seksual menyimpang (Beech, 2012).
o Masturbatory reconditioning
Penggunaan teknik rekondisi masturbasi untuk mengubah
preferensi
seksual
digambarkan oleh Marquis (1970). Prosedur ini biasanya melibatkan klien masturbasi
14 | p a g e
Gangguan Preferensi Seksual
untuk tema menyimpang sampai titik di mana ia merasa orgasme tidak bisa dihindari.
Klien kemudian diperintahkan untuk beralih ke fantasi tidak-menyimpang, sehingga
orgasme yang dipasangkan dengan fantasi tidak-menyimpang (Beech, 2012).
o Cognitive-behavioral therapy (CBT)
Metode yang paling umum dari pengobatan semua pelaku kejahatan seks (paraphilic dan
non-paraphilic) adalah terapi perilaku kognitif, dengan komponen pencegahan dari
kekambuhan. Komponen kognitif membahas pengalaman menyinggung mereka (distorsi
kognitif) yang mempengaruhi suasana hati dan prilaku. Terapi kognitif bertujuan untuk
mendorong individu untuk berpikir secara berbeda tentang peristiwa, secara khusus
menginformasikan kepada mereka bagaimana pengaruh perilaku kognisi seksual mereka,
bagaimana mereka telah melukai korban-korban mereka secara fisik dan psikologis. Ini
juga melatih mereka untuk mengidentifikasi distorsi kognitif mereka sendiri, dan
menggunakan berbagai teknik untuk bekerja melalui distorsi ini. Aspek perilaku CBT
membahas perilaku terbuka dan rahasia individu (Beech, 2012).
15 | p a g e
Gangguan Preferensi Seksual
PENUTUP
Gangguan preferensi seksual atau parafilia merupakan istilah untuk segala sesuatu
mengenai kebiasaan seksual, gairah seksual, atau kepuasan terhadap perilaku seksual yang tidak
lazim dan ekstrim. Psikopatologis parafilia tidak sama dengan psikologis perilaku normative
seksual dan fantasi seksual orang dewasa pada umumnya. Klasifiksi paraphilia antara lain:
Fetishisme, transvestisme fetishistic, ekshibisionisme, voyeurisme, pedofilia, sadomasokisme,
gangguan preferensi multiple, sadism, masokisme. Dalam penegakan diagnosis dapat
menggunakan pedoman diagnosis yang terdapat pada PPDGJ III yang terdapat pada F65
Gangguan preferensi seksual. Penatalaksanaan pasien paraphilia dilakukan dengan terapi
farmakologi dan terapi prilaku.
16 | p a g e
Gangguan Preferensi Seksual
Daftar Pustaka
Beech R A. 2012. DSM-IV paraphilia: Descriptions, demographics and treatment interventions.
Aggression and Violent Behavior 17;p: 527539.
Haasen C. 2010. Comorbidity of paraphilia and depression in Mexico. Mental Illness; volume
2:e8
McManus et al. 2013. Paraphilias: definition, diagnosis and treatment. F1000Prime Reports
2013, 5:36
Pedoman Penggolongan Dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III (PPDGJ-III),
Departemen Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Pelayan Medik, 1993. Cetakan Pertama
Sadock, BJ & Sadock, VA. 2010. Gangguan Seksual yang Tidak Tergolongkan dan Parafilia
dalam Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis Edisi 2. Jakarta : EGC; pp 315 328
Sadock, BJ & Sadock, VA. 2007. Paraphilias and Sexual Disorder Not Otherwise Specified in:
Kaplan & Sadocks Synopsis Of Psychiatry 10th ed. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins; pp.705-717.
Thibaut F. 2012. Pharmacological Treatment of Paraphilias. Isr J Psychiatry Relat Sci 49(4);p
297-305.
Zareanari et al. 2013. Fetishism Due to Methamphetamine (Glass) Abuse: A Case Report. Addict
Healt; 5(1-2): 73-6
17 | p a g e
Gangguan Preferensi Seksual