Kehendak untuk berkuasa
Menurut filsuf Martin Heidegger, der Wille zur Macht- Nietzsche tidaklah diartikan secara harafiah sebagai 'kehendak untuk berkuasa'. Kehendak di sini diartikan sebagai kehendak untuk mengatasi rintangan. Lalu rintangan yang seperti apa yang dimaksudkan? Rintangan terbesar adalah 'kebenaran', karena dia mencerminkan pengkristalan dari pandangan atau perspektif. Der Wille zur Macht tidak dapat berhenti pada sebuah pandangan atau perspektif, oleh karena menurut Nietzsche, dia memiliki karakter dasar untuk adil. Adil dalam arti mengakui masing-masing kebenaran yang ada. Arti lebih mendalam: setiap perspektif harus diamati dan dicermati. 'Kebenaran' dianggap sebagai semacam kekeliruan. Oleh sebab itu harus ada sesuatu untuk meng-atasi kebenaran, yakni seni. Karena seni tidak pernah cukup puas dengan sebuah perspektif atau pandangan (dibaca: pada sebuah kebenaran). Kata seni di sini bukanlah sekadar berarti seni dalam arti yang sempit, untuk subyek yang ber-seni, melainkan kata lain dari 'yang menjadi atau yang akan datang' (Das Werden). Dan dia lebih intim dengan kehidupan [1] daripada dengan kebenaran.
Seni adalah representantiv tertinggi dari der Wille zur Macht, dan ia bukanlah sekadar kehendak seorang subyek. Ia adalah karakter dasar dari keberadaan atau Das Sein (sebagaimana Heidegger menggambarkan). Bukan subyek individu yang menentukan der Wille zur Macht, melainkan sebaliknya. Daya Kekuatan dari der Wille zur Macht menentukan subyek. Der Wille zur Macht juga adalah sebuah penampakan (ein Schein), dia adalah das Werden itu sendiri, yang terus bergulir, bertransformasi dan tidak akan pernah berhenti pada sebuah pandangan.
Catatan kaki
[sunting | sunting sumber]- ^ Kata kehidupan di sini dipahami bahwa segala sesuatunya berada dalam transformasi antara 'yang berlalu' (Vergehen) dan 'yang akan datang' (Werden)