Lompat ke isi

Pembunuhan yang ditargetkan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Versi yang bisa dicetak tidak lagi didukung dan mungkin memiliki kesalahan tampilan. Tolong perbarui markah penjelajah Anda dan gunakan fungsi cetak penjelajah yang baku.
Penembak Jarak Jauh yang digunakan sebagai salah satu metode pembunuhan yang ditargetkan

Pembunuhan yang ditargetkan didefinisikan sebagai pembunuhan yang sudah direncanakan terlebih dahulu, pembunuhan yang ditujukan sebagai bentuk pencegahan suatu kejahatan serta pembunuhan yang sengaja dilakukan terhadap seseorang atau lebih, di mana individu atau kelompok tersebut dianggap berbahaya atau mengancam keamanan dan keselamatan suatu negara. Individu dimaksud, biasanya terafiliasi dengan terorisme.[1][2] Metode yang digunakan untuk membunuh bervariasi, meliputi penembakan jarak jauh, penembakan dalam jarak dekat, peluncuran misil menggunakan helikopter, pesawat militer, pesawat nirawak, bom mobil dan racun.[2]

Pembunuhan yang ditargetkan dapat dilakukan oleh pemerintah maupun afiliasi dari pemerintahan dalam rangka menciptakan kedamaian, baik yang sifatnya untuk menghindari konflik bersenjata, atau bahkan organisasi bersenjata yang terlibat dalam konflik yang mengganggu perdamaian suatu negara.[2] Pembunuhan yang ditargetkan merupakan langkah akhir yang dilakukan sesudah adanya mediasi terhadap individu atau kelompok yang sudah diidentifikasi sebagai pelaku kejahatan.[3]

Kebijakan terkait pembunuhan yang ditargetkan

Pada zaman modern, negara-negara di dunia sangat membatasi dan mengatur dengan ketat aktivitas pembunuhan yang ditargetkan, di mana pembunuhan yang ditargetkan harus dilakukan secara rahasia dan didasarkan pada justifikasi kebenaran. Umumnya, beberapa negara mengadopsi kebijakan yang mengizinkan adanya kegiatan pembunuhan yang ditargetkan sebagai salah satu aktivitas pemerintahan, atau secara resmi mengadopsi konsep kebijakan pembunuhan yang ditargetkan tanpa mengakui secara nyata keberadaannya[4]

Berikut merupakan beberapa negara yang secara nyata mengadopsi konsep pembunuhan yang ditargetkan:

Israel

Serangan misil di Palestina oleh Pasukan Pertahanan Israel

Pada tahun 1990, Israel secara tegas menyatakan penolakan terhadap konsep pembunuhan yang ditargetkan dan menyatakan bahwa segala tuduhan terhadap aksi yang dilakukan Pasukan Pertahanan Israel kepada rakyat Palestina adalah pembunuhan yang sudah ditargetkan adalah tidak benar. "Pemerintah Israel menyatakan bahwa tidak ada dan tidak akan pernah ada kebijakan terkait pembunuhan yang sudah direncanakan terhadap individu atau golongan tertentu, di mana hak hidup seseorang adalah sakral dan merupakan prinsip utama Pasukan Pertahanan Israel dalam melaksanakan tugas-tugasnya".[5] Pada November tahun 2000, Pemerintah Israel menyatakan bahwa kebijakan terkait pembunuhan yang ditargetkan harus dilaksanakan berkaitan dengan aksi perlindungan diri Israel serta berdasarkan Hukum Kemanusian Internasional, Pemerintah Palestina gagal untuk mencegah, mengivestigasi serta mengusut aksi terorisme khususnya serangan bunuh diri yang ditujukan kepada Israel.

Setelah kebijakan pembunuhan yang ditargetkan mendapatkan legalitas, Israel memulai aktivitas pembunuhan yang ditargetkan dengan mayoritas target di "Area A" yang merupakan bagian dari Tepi Barat yang masih menjadi wewenang Palestina.[6] Objek yang menjadi target meliputi berbagai macam grup terorisme, termasuk Fatah, Hamas, Islamic Jihad yang dianggap Pemerintah Israel terlibat dalam perencanaan dan penyerangan warga Israel.[7] Metode yang digunakan Israel untuk melakukan pembunuhan yang ditargetkan meliputi pesawat nirawak, penembak jitu, peluru kendali, , penembakan melalui helikopter, pembunuhan jarak dekat dan artileri.[8] Hingga 26 Juli tahun 2021, ada 9.730 warga Palestina yang terbunuh, sebagai akibat dari operasi pembunuhan yang ditargetkan.[8]

Amerika Serikat

Pesawat Nirawak "Predator" yang digunakan Badan Intelejen Pusat Amerika Serikat
Pesawat Nirawak "Reaper" yang digunakan Badan Intelejen Pusat Amerika

Dalam operasi pembunuhan yang ditargetkan, Amerika Serikat menggunakan pesawat nirawak dan serangan udara pada konflik militer yang terjadi di Afghanistan dan Irak, di mana operasi pembunuhan dilakukan oleh pasukan bersenjata.[9] Amerika Serikat mengadopsi kebijakan pembunuhan yang ditargetkan segera setelah Serangan Menara Kembar pada 11 September 2001,[10] di mana Badan Intelejen Pusat (CIA) mendapatkan tugas rahasia untuk melakukan pembunuhan yang ditargetkan menggunakan pesawat nirawak dengan sebutan "Predator" atau "Reaper" yang melibatkan pasukan operasi khusus Amerika Serikat.[11]

Pembunuhan yang ditargetkan pertama oleh CIA terjadi pada 3 November 2002, di mana pesawat nirawak "Predator" menembakkan peluru kendali pada sebuah mobil di Yemen. Operasi ini menewaskan Qaed Senyan al-Harithi yang merupakan salah satu pemimpin al-Qaeda yang dianggap bertanggung jawab terhadap pengeboman USS Cole.[12] Semenjak kejadian tersebut, terdapat 120 kali[13] serangan pesawat nirawak yang dilaporkan di Yaman, kurang lebih 20 kali hingga ratusan kali di Pakistan.[14]

Pesawat nirawak dikendalikan langsung dari pusat CIA di Langley, Virgina, di mana berkoordinasi dengan pilot yang dekat dengan lapangan terbang di Afganistan dan Pakistan.[11] Serangan yang dilancarkan CIA tidak memerlukan identifikasi target, baik berdasarkan nama, melainkan keputusan penyerangan menggunakan pesawat nirawak berdasarkan pada observasi yang sudah lama dilakukan dan analisa pola aktivitas individu atau kelompok yang dianggap sebagai teroris.[11]

Militer Amerika Serikat juga memiliki rincian target penyerangan di Afganistan, salah satunya adalah pengedar obat-obatan terlarang yang diduga mendukung Taliban secara finansial. Rincian target penyerangan tersebut diperoleh melalui verifikasi minimal dua orang dan satu bukti tambahan yang mempertegas bahwa individu tersebut adalah teroris atau bagian dari teroris. Militer Amerika Serikat diberikan kebebasan menggunakan kekerasan pada daftar target, di mana menangkap dan membunuh atau menangkap target di medan pertempuran diperbolehkan.[15]

Rusia

Operasi militer Rusia terkait aksi pembunuhan yang ditargetkan berlokasi di Chechnya pada 1999, sebagai bentuk operasi untuk melawan aksis terorisme. Selama konflik 1999 berlangsung, Rusia menggunakan strategi mencari dan menyebar untuk memburu grup pemberontak yang sudah ditargetkan sebagai teroris.[16] Pada tahun 2006, Parlemen Rusia membuat hukum dengan perngesahan Presiden Rusia, di mana layanan keamanan Rusia mendapatkan izin untuk melakukan pembunuhan yang ditargetkan di luar negara Rusia, meski individu ataupun kelompok yang ditargetkan masih dalam status terduga.[17] Definisi teroris dan aktivitas terorisme dalam hukum tersebut, dideskripsikan ke berbagai aspek yang meliputi: bentuk-bentuk aktivitas mempengaruhi keputusan pemerintahan, menciptakan otoritas pemerintahan mandiri atau aksi terorisme organisasi internasional terhadap populasi masyarakat atau aksi kekerasan.[17]

Hukum tersebut membuat Rusia tidak memiliki batasan dalam menggunakan kekuatan militer untuk menekan aktivitas terorisme secara internasional, dengan tidak melibatkan keputusan dari Federasi Rusia.[17] Fungsi lain dari pembuatan hukum tersebut adalah untuk menargetkan teroris yang bersembunyi di negara-negara yang kondisi politik dan ekonominya sudah tidak terkontrol, di mana badan keamanan akan lebih mudah melakukan koordinasi dengan intelijen negara tersebut.[18] Hukum ini merupakan adopsi dari kebijakan yang dibuat Amerika Serikat dan Israel dalam menangani ancaman terhadap terorisme di luar batas negaranya.[19]

Britania Raya

Pada 21 Agustus 2015, seorang anak laki-laki bernama Reyaad Khan berumur 21 tahun yang berasal dari Cardish, Britania meninggal di Raqqa, Suriah karena serangan pesawat nirawak milik Angkatan Udara Kerajaan Britania Raya. Penyerangan tersebut dilakukan karena adanya bukti video rekaman bahwa Reyaad Khan muncul di video rekrutmen ISIL atau Da'esh.

Serangan militer Britania Raya yang ditujukan kepada Reyaad Khan, merupakan tindak pencegahan yang dilakukan Pemerintah Britania Raya dalam melawan aksi terorisme. Sebelum operasi dilakukan, pemerintah sudah melakukan observasi sebelum melakukan serangan. Perdana Menteri Britania Raya menyampaikan bahwa kebijakan yang dibuat merupakan tindakan akhir, karena Reyaad Khan dianggap membantu perencanaan dan mengarahkan serangan teroris yang terjadi di Britania Raya.[20]

Teknologi

Pesawat nirawak awalnya digunakan untuk mengumpulkan informasi serta memantau dan mengintai. Beberapa negara seperti Israel, Rusia, Turki, Cina, India, Iran, Britania Raya dan Perancis memiliki serta mengembangan pesawat nirawak yang memiliki kapabilitas untuk menembakkan peluru kendali jarak jauh dengan berat 35 hingga lebih dari 100 pon. Keuntungan penggunaan pesawat nirawak bersenjata, khususnya di area yang berseteru adalah sedikitnya risiko yang dimiliki personel militer dalam melakukan pembunuhan yang ditargetkan karena bisa dikendalikan dari jarak jauh.[21]

Penggunaan pesawat nirawak untuk mengawasi target

Berdasarkan IHL Penggunaan pesawat nirawak bersenjata dilarang karena dapat menyebabkan terbunuhnya masyarakat yang tidak bersalah serta area sekitar masyarakat. Selain itu, IHL juga melarang penggunaan beberapa senjata, seperti senjata biologis yang tidak membedakan target dan sifatnya berskala besar. Penggunaan pesawat nirawak karena dianggap memiliki risiko lebih kecil dibandingkan metode lain, di mana pemantauan menggunakan layar video pesawat nirawak juga dapat memungkinkan salah sasaran, dikarenakan proses identifikasi individu melalui layar jauh masih belum sebaik identifikasi target secara langsung yang dilakukan oleh manusia. Sehingga, keputusan penggunaan pesawat nirawak yang dilengkapi dengan senjata haruslah dilakukan setelah observasi mendalam terhadap target dilakukan.[22]

Dasar Hukum

Aturan dan Kerangka Dasar

Legalitas aktivitas pembunuhan yang ditargetkan bergantung pada konteks di mana aktivitas tersebut digunakan, baik di dalam maupun di luar konflik bersenjata, bahkan di kondisi antar atau inter negara yang saling menggunakan kekerasan. Berikut merupakan dasar hukum yang digunakan dalam aktivitas pembunuhan yang ditargetkan:

Konteks konflik bersenjata

Di bawah aturan Hukum Kemanusiaan Internasional (IHL) dan Hak Asasi Manusia (HAM). pembunuhan yang ditargetkan dianggap legal apabila target merupakan prajurit atau petarung,[23] di mana dalam kasus target merupakan warga sipil, maka target setidaknya haruslah terlibat langsung dalam pertempuran.[24] Target pembunuhan harus dalam kepentingan militer, di mana penggunaan serangan militer harus proporsional untuk meminimalisir dampak yang diakibatkan kepada lingkungan serta masyarakat sekitar yang tidak bersalah.[22] Standar hukum ini berlaku bahkan untuk konflik antar negara, baik konflik bersenjata maupun tidak, serta individu yang masih dalam praduga sebagai teroris, aturan hukum ini juga melarang segala bentuk hukuman ataupun serangan yang ditargetkan kepada warga sekitar.[24]

Konteks di luar konflik bersenjata

Legalitas pembunuhan yang ditargetkan pada konteks di luar konflik bersenjata di atur dalam standar hukum HAM, khususnya dalam penggunaan serangan mematikan. Penegakan hukum dengan menggunakan serangan mematikan hanya boleh dilakukan oleh penegak hukum internasional yang telah ditunjuk atau disetujui oleh seluruh pejabat pemerintahan, di mana penegak hukum tersebut haruslah negara yang memiliki pengalaman kekuatan penegakan kriminal, yang meliputi militer dan pasukan pengamanan. Persyaratan operasi penegakan hukum utama di luar konflik bersenjata, target harus diidentifikasi telah melakukan tindak kekerasan.[25]

Dalam HAM, legalitas aktivitas pembunuhan yang ditargetkan hanya diperbolehkan apabila ditujukan untuk melindungi kehidupan masyarakatnya dengan penggunaan serangan mematikan secara proporsional, seperti operasi penangkapan, operasi pelumpuhan target serta bentuk pencegahan aktivitas yang mengancam kehidupan. Dalam hal ini, penggunaan serangan mematikan diperbolehkan, namun tidak menghilangkan hak hidup manusia lain.[26] HAM membatasi proporsi penggunaan serangan mematikan di mana dalam meminimalisasi kematian, eksekutor wajib menggunakan aksi pencegahan kepada target, seperti pembatasan area, peringatan, dan penangkapan target.[26]

Penggunaan serangan antar negara

DI bawah hukum serangan antar negara, pembunuhan yang ditargetkan yang dilakukan di luar teritori negara yang bersangkutan tidak diperkenankan untuk mengganggu kedaulatan negara di mana serangan dilakukan. Hal ini diatur oleh hukum internasional Piagam Persatuan Bangsa-bangsa, di mana negara yang dijadikan target diperbolehkan menggunakan serangan militer sebagai bentuk aksi perlindungan diri terhadap serangan dari negara lain atau negara yang dijadikan target memiliki keinginan untuk menghentikan serangan dari negara lain yang menjangkau negara yang dijadikan target.[27] Hukum internasional mengizinkan penggunaan serangan mematikan sebagai bentuk perlindungan diri terhadap serangan bersenjata yang dilakukan oleh negara lain dengan persyaratan penggunaan serangan seminimal mungkin.[28]

Daftar pembunuhan

Daftar pembunuhan adalah daftar target pra-otorisasi di mana daftar tersebut telah disetujui oleh pihak yang berwenang untuk dapat dilakukan pembunuhan yang ditargetkan karena risiko yang mereka berikan kepada sebuah negara. Daftar tersebut dibuat dengan terlebih dahulu membuat pertanyaan awal "Apakah seseorang masih merupakan ancaman yang akan segera terjadi di sebuah negara?" ." Kemudian mengumpulkan bukti berkelanjutan pada daftar tersebut, dimana individu atau kelompok ditinjau secara terus menerus.[29]

Objek yang mendapat legalitas pembunuhan yang ditargetkan

Berdasarkan IHL, ada beberapa objek yang diperbolehkan melakukan pembunuhan yang ditargetkan, seperti berikut:[22]

  1. Masyarakat serta badan intelijen tidak dilarang untuk berpartisipasi dalam pembunuhan yang ditargetkan, namun akan ada konsekuensi lain yang mengikuti, yaitu kemungkinan menjadi target oleh aktivis terorisme atau grup terorisme.
  2. Personel intelijen yang melakukan pembunuhan yang ditargetkan, dengan konsekuensi tidak mendapatkan perlindungan hukum lokal karena ikut berpartisipasi. Hal ini dikecualikan untuk Amerika Serikat, di mana CIA serta hukum lokal Amerika akan melindungi siapapun yang menjadi target aktivitas terorisme.
  3. Militer serta badan pertahanan suatu negara.
  4. Badan atau organisasi yang ditunjuk.

Objek pembunuhan yang ditargetkan

Selain teroris dan kelompok yang mendukung aktivitas terorisme, dalam panduan International Comitte of the Red Cross, setiap aksi spesifik yang dilakukan oleh warga suatu negara untuk diidentifikasi sebagai bagian dari teroris dan menjadi legal haruslah memenuhi kriteria sebagai berikut:[30]

  1. Harus memiliki bukti sah yang membahayakan, secara objektif harus berdasarkan dari akibat yang ditimbulkan warga tersebut. Hal ini dapat berupa aktivitas atau hal yang mempengaruhi operasi militer atau mempengaruhi kelompok oposisi atau bahkan menyebabkan kerusakan properti atau hilangnya nyawa warga lain.
  2. Individu yang ditargetkan diidentifikasi harus menyebabkan dampak kerusakan yang sudah diperkirakan sebelumnya.
  3. Individu diidentifikasi memiliki hubungan dengan aktivitas terorisme, hal ini harus didukung oleh hasil observasi di mana warga tersebut setidaknya harus terbukti mendukung operasi terorisme oposisi yang merugikan operasi militer.

Transparansi pembunuhan yang ditargetkan

Transparansi mengenai siapa objek yang dijadikan pembunuhan yang ditargetkan menjadi persyaratan dari HAM dan IHL yang digunakan sebagai bentuk data untuk melakukan investigasi bahwa penegak hukum yang bersangkutan tidak menyerang masyarakat yang tidak bersalah. Penolakan yang dilakukan negara yang melakukan pembunuhan yang ditargetkan untuk menyediakan transparansi baik itu kebijakan dan metode serta target sudah menyalahi batasan hukum internasional terhadap penggunaan senjata mematikan terhadap individu maupun kelompok.[27]

Berikut merupakan prosedur keselamatan yang harus dilakukan suatu negara, yang melakukan pembunuhan yang ditargetkan pada konflik bersenjata:[31]

  1. Memastikan pasukan militer dan intelijen memiliki akses terhadap informasi yang terpecaya untuk mendukung keputusan dalam menyerang target. Hal ini meliputi perintah yang tepat dan mengontrol struktur target sebagai bentuk pencegahan salah sasaran.
  2. Memastikan informasi yang memadai terkait efek dari penggunaan senjata serta jumlah warga yang akan terkena dampak dan apakah mereka memiliki untuk berlindung terhadap serangan sebelum serangan dilancarkan.
  3. Proporsionalitas setiap serangan harus dinilai untuk setiap target yang diserang.
  4. Memastikan apabila kesalahan selama operasi berlangsung, operasi harus segera dapat dibatalkan atau ditunda.

Referensi

  1. ^ Hunter, Thomas Byron (2009). "Targeted Killing: Self-Defense, Preemption, and War on Terrorism". Strategic Security. 2 (2): 3. 
  2. ^ a b c Saradzhyan, Simon (29 April 2002). "Russia's System to Combat Terrorism and Its Application in Chechnya". Diakses tanggal 7 Juli 2021. 
  3. ^ Melzer, Nils (2009). "Targeted Killing in International Law". American Journal of International Law. 103 (4): 4–5. 
  4. ^ Schmitt, Michael N (1992). "State-sponsored assassination in international and domestic Law". Yale J. Int'l L. 17: 609. 
  5. ^ Yashuvi, Na’ama (1992). Activity of the Undercover Units in the Occupied Territories. Israel: B’Tselem. 
  6. ^ Cavanaugh, Kathleen A. (2002). "Selective Justice: The Case of Israel and the Occupied Territories". Fordham International Law. 26: 934–960. 
  7. ^ Michaeli, Orna Ben Naftali & Keren (2008). "We Must Not Make a Scarecrow of the Law': A Legal Analysis of the Israeli Policy of Targeted Killings". Cornell International Law Journal. 36 (2): 247. 
  8. ^ a b "Fatalities: All Data". B'Tselem. 26 Juli 2021. Diakses tanggal 26 Juli 2021. 
  9. ^ Somerville, Keith (5 November 2002). "US drones take combat role". BBC News. Diakses tanggal 26 Juli 2021. 
  10. ^ "Secret Detentions and Illegal Transfers of Detainees Involving Council of Europe Member States". Council of Europe. 11 Januari 2008. Diakses tanggal 26 Juli 2021. 
  11. ^ a b c Perlez, Jane (15 April 2009). "Pakistan Rehearses Its Two-Step on Airstrikes". The New York Times. Diakses tanggal 26 Juli 2021. 
  12. ^ "The War in Yemen: U.S. Drone Strikes in Yemen". New America. 2002. Diakses tanggal 26 Juli 2021. 
  13. ^ "America's Counterterrorism Wars". New America. Diakses tanggal 26 Juli 2021. 
  14. ^ McManus, Doyle (3 Mei 2009). "The cost of killing by remote control". Los Angeles Times. Diakses tanggal 26 Juli 2021. 
  15. ^ Afghanistan’s Narco War: Breaking the Link Between Drug Traffickers and Insurgents: Report to the Senate Committee on Foreign Relations (PDF). Washington: U.S. Government Printing Office. 2009. hlm. 15–16. 
  16. ^ Cohen, Samy (2008). Democracies at war against terrorism : a comparative perspective. New York: Palgrave Macmillan. hlm. 222. 
  17. ^ a b c Federal Law No. 35-FZ on Counteracting Terrorism. 2006. hlm. Artikel 1–6.  [pranala nonaktif permanen]
  18. ^ Finn, Peter (12 Desember 2006). "In Russia, A Secretive Force Widens Putin Led Regrouping Of Security Services". The Washington Post. Diakses tanggal 29 Juli 2021. 
  19. ^ Eke, Steven (27 November 2006). "Russia law on killing 'extremists' abroad". BBC News. Diakses tanggal 29 Juli 2021. 
  20. ^ The Government’s policy on the use of drones for targeted killing. Joint Committee on Human Rights. 2015. hlm. 5–7. 
  21. ^ "Hizbullah's Worrisome Weapon". Newsweek. 10 September 2006. Diakses tanggal 29 Juli 2021. 
  22. ^ a b c Customary International Humanitarian Law Rules. 2005. hlm. 20–57. 
  23. ^ The Manual on the Law of Non-International Armed Conflict (PDF). Sanremo: International Institute of Humanitarian Law. 2006. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2021-06-02. Diakses tanggal 2021-07-31. 
  24. ^ a b Manual on International Law Applicable to Air and Missile Warfare (PDF). Bern. 15 Mei 2009. hlm. 50–52. ISBN 978-0-9826701-0-1. 
  25. ^ Basic Principles on the Use of Force and Firearms. Law Enforcement Officials. 1990. hlm. Artikel 1. 
  26. ^ a b "Report on Terrorism and Human Rights". Inter-American Commission of Human Rights. 2002. Diakses tanggal 31 Juli 2021. 
  27. ^ a b "United Nations Charter". United Nations. Diakses tanggal 31 Juli 2021. 
  28. ^ Schachter, Oscar (1984). "The Right of States to Use Armed Force". Michigan Law Review. 82 (5&6): 34. 
  29. ^ ', Joint Committee on Human Rights (2015). The Government’s policy on the use of drones for targeted killing. The House of Lords and House of Commons. hlm. 63–64. 
  30. ^ Interpretive guidance on the notion of Direct participation in hostilities (PDF). Geneva: International Humanitarian Law. Mei 2009. 
  31. ^ Commentary to the HPCR Manual on International Law Applicable to Air and Missile Warfare. Cambridge University Press. 2013. hlm. 32–39.